Petak-petak sawah satu persatu terlewati. Juga ladang jagung dan beberapa lahan yang ditanami sayuran. Ladang tebu, pohon randu, dan cericit burung-burung kecil yang hinggap di batang-batang padi yang mulai menguning, menjadi pelengkap taman bunga di hatiku pagi ini. Aku akan ke kota kabupaten. Aku akan mengantarkan tresno-ku meraih mimpinya. Bukan, bukan mimpinya, tapi akulah yang memaksa dia untuk bermimpi.

Di boncengan belakang, Tukiyem diam. Lengan kanannya yang merangkul pinggangku terasa begitu hangat dan sungguh pantas. Setiap orang yang berpapasan denganku pasti tersenyum. Satu dua malah menggoda. Aku anteng saja, se-anteng Tukiyem yang duduk di boncengan belakang.

Aku tak ingin cepat-cepat sampai. Aku ingin menikmati pagi ini dengan sesempurna mungkin. Jalan-jalan berdua dengan Tukiyem, ke kota yang jaraknya kira-kira dua belas kilometer, naik sepeda. Aku tak henti-henti tersenyum. Siulanku masih membahana sesekali. Duh Gusti, terima kasih atas segala kebahagiaan di pagi yang indah ini.

***

Tukiyem, kekasihku, gadis yang sudah aku pacari selama dua tahun terakhir, adalah seorang biduanita kondang di kampungku. Dia dan grup organ tunggal-nya kerap diundang untuk memeriahkan berbagai acara. Organ tunggal-nya itu menurutku hanya numpang tenar saja. Begini, pernah suatu kali ada juragan kaya dari kampung sebelah akan mengadakan acara khitanan anaknya. Organ tunggal kampungku dipanggil. Namun, organ tunggal malang itu urung tampil lantaran waktu itu Tukiyem sakit dan tidak bisa memaksakan diri untuk tampil menyanyi. Nah, apa aku bilang. Sebenarnya yang jadi magnet untuk mengundang warga datang menonton adalah Tukiyem itu, bukan organ tunggal-nya.

Aku sendiri terang saja bangga. Bisa memacari biduanita kondang adalah sebuah anugerah. Tukiyem yang cantik itu luluh oleh ketulusanku. Betapa lebar aku menyunggingkan senyum ketika ada seorang pemuda yang punya mobil bagus datang melamar Tukiyem dan ditolak. Tukiyem lebih memilih sepeda tua milikku yang setia mengantarkan kemanapun dia akan naik pentas.

“Suaramu itu bagus,” pujiku suatu ketika saat aku dan Tukiyem sedang duduk memandangi sore sambil menghabiskan segelas es cendol, “kamu juga cantik luar biasa. Apa ndak sebaiknya kamu ikut lomba saja di kota? Ikut apa itu namanya? Yang lomba disuruh nyanyi dan dipanggil satu-satu itu loh? Yang biasanya ada di tivi?”

“Audisi?”

“Nah iya, itu. Audisi. Apa kamu ndak kepingin ikut acara itu?”

Emoh. Aku malu, Kang. Cah ndeso kok gak tau diri, berani-beraninya bersaing dengan anak-anak kota yang lebih bagus. Halah, belum daftar saja aku sudah gugur, Kang.”

“Eee, kamu ndak boleh ngomong gitu,” aku menyuapkan sendok berisi beberapa potong agar-agar ke dalam mulutku, “banyak kok artis-artis yang sekarang kondang di tivi, tadinya juga wong ndeso kayak kita. Mereka bisa kondang begitu karena mereka yakin bahwa mereka punya bakat dan mereka bisa. Itu saja kuncinya, Yem.”

Lha, aku sendiri kok ndak yakin kalau aku ini bisa. Bagaimana ini, Kang?”

“Tapi aku yakin, Yem. Kamu pasti bisa.” Aku bangkit. Kuangsurkan beberapa lembar uang ribuan ke paklik penjual es cendol seraya kuucapkan terima kasih, “Sudahlah. Bulan depan kamu aku antar ke kota kabupaten. Aku dengar di kota ada audisi penyanyi dangdut. Eee, siapa tau Yem, nasibmu bagus. Jadi artis kamu, Yem.”

Kulihat pipi Tukiyem bersemu merah jambu. Aku tidak tau apa yang sedang melintas di kepalanya saat ini. Tapi jika aku boleh menerka, sepertinya saat ini Tukiyem sedang membayangkan naik panggung yang bagus, banyak lampunya, ditonton oleh orang se-Indonesia, dan punya uang banyak.

“Nanti kalau kamu sudah kondang di tivi, kamu mau beli apa, Yem?”

Tukiyem masih diam. Aku jadi penasaran.

“Ndak beli apa-apa, Kang. Kalau memang benar nasibku bagus seperti kata sampeyan barusan, uang hasil menyanyi akan aku tabung saja, Kang. Kalau sudah banyak, mau aku pakai untuk menikah, Kang. Sama sampeyan.”

Pernah melihat manusia punya sayap? Aku tidak punya sayap. Tapi saat ini aku merasa bahwa aku bisa terbang tinggi. Sangat tinggi.

***

Berbulan-bulan sudah lewat sejak pagi aku mengantarkan Tukiyem pergi ke kota untuk ikut audisi. Sekarang Tukiyem sudah mulai kondang.Kondang itu ngetop. Populer. Beberapa kali wajahnya tampil di tivi. Orang-orang sekampung berbondong-bondong ke rumah Pak Lurah hanya untuk numpang nonton tivi, kepingin melihat biduanita kebanggaan mereka tampil di tivi. Tukiyem tampak semakin cantik. Aku bangga sekali jika ada yang nyeletuk ‘sebentar lagi Fauzan kawin sama artis’, atau ‘asuuuuu, Tukiyem ayu tenaaaaaaan!’

Suatu kali, Tukiyem sempat pulang ke kampung. Tidak lama. Hanya dua hari. Tapi dua hari itu adalah obat buatku yang sudah ditinggal oleh Tukiyem selama empat bulan lebih. Tukiyem kini lebih bersih. Kulitnya lebih putih. Jalannya seperti sudah diatur, pelan-pelan dan berwibawa. Aku merasa tidak nyaman dengan kondisi seperti ini. Untung saja Tukiyem tidak ikut-ikutan berubah perasaannya kepadaku. Dia tetap seperti dulu, memilih aku yang cuma punya sepeda tua ini.

Sebelum kembali lagi ke ibu kota, Tukiyem memberiku sesuatu. Aku bingung. Bukan bingung akan barang yang dia berikan, tapi bingung lantaran tak bisa menggunakannya.

“Nomerku sudah ada disini loh, Kang. Kalau mau telpon aku, ditekan tombol yang ini, ada namaku kan? Nah, baru ditekan tombol yang warna hijau ini. Ngerti to?”

Aku mengangguk. Ternyata tidak sesulit yang aku pikirkan.
“Pulsanya nanti aku kirimi dari kota. Sampeyan tenang saja, ndak usah khawatir.”

Aku mengangguk lagi. Kupandangi benda mungil di genggamanku ini. Bagus dan berkilauan. Pasti masih baru, pikirku.

“Tapi ingat loh Kang, kalau mau telpon aku, sebaiknya jam dua belas malam ke atas saja.”

“Loh, kok begitu?” aku menautkan alis, bingung.

“Sampeyan ini bagaimana? Sampeyan kan tau sendiri kalau acara nyanyi di tivi sering sampai larut malam.”

“Siang ndak boleh juga?”

“Aduh, kalau siang itu bakal sering ada konfrensi pers. Ndak ngerti to sampeyan? Wes to lah, pokoknya telpon aku jam segitu. Aman, jam segitu aku kosong. Gak bakal ada jadwal.”

Meski aku bingung dan tidak begitu mengerti, toh aku tetap tersenyum. Kulepas kepergian Tukiyem dengan doa, semoga sukses dan nasib baik senantiasa menyertainya.

***

Tuhan mengabulkan doaku. Kini Tukiyem hampir setiap saat tampil di tivi. Tidak selalu menyanyi memang. Beberapa acara malah mengundangnya untuk sekedar ngobrol. Aneh, ngobrol saja pakai masuk tivi segala.

Tapi…tapi itu? Kok…kok nama yang muncul bukan Tukiyem? Oh, ada apa ini? Apa tukang ketik nama di stasiun sana salah tekan? Atau salah menayangkan? Nama yang muncul malah Theresia Intan. Nama siapa itu? Seingatku Tukiyem itu namanya ya Tukiyem saja, ndak ada Theresia-Theresianya begitu.

Kuputuskan untuk menyimak acara ngobrol ini sampai habis. Aku terkesima. Sebab ditengah obrolan, Theresia, eh, Tukiyem mengatakan akan tour ke beberapa kota. Nama kabupaten tempat dia audisi dulu juga disebutkannya. Oh, kabar bagus. Aku akan datang menemui tresno-ku itu. Aku akan datang menemui Tukiyem, bukan Theresia siapa tadi, aku kok lupa.

***

Tidak seperti dulu, kali ini sepeda tua kebanggaanku ini kugenjot kuat-kuat. Dua belas kilometer rasanya kok jauh sekali. Rasanya kok tidak sampai-sampai. Peluh yang mengalir di pelipis sudah tidak aku pedulikan. Napasku juga sudah ngos-ngosan. Biarkan saja. Aku ingin cepat sampai. Aku rindu setengah mati sama Tukiyem-ku, kangen sama tresno-ku.

Aku mengatur napas. Lapangan sepak bola tempat Tukiyem dan rombongan menggelar tour sudah di depan mata. Jantungku berdetak cepat. Aku senyum-senyum sendiri. Aku bahagia. Sebentar lagi aku akan ketemu sama Tukiyem.

Hp di saku bajuku sudah kusiapkan sejak dari rumah tadi. Kuisi pulsa dengan uangku sendiri. Seandainya aku tidak bisa melihat Tukiyem, aku akan menelponnya dan meminta dia untuk menemui aku di warung sate langganan. Oh, Tukiyem. Kakang rindu padamu.

Sepeda sudah aku titipkan. Perlahan tapi pasti, aku mulai merayap masuk, menerobos ratusan manusia yang mungkin juga kepingin melihat artis ibu kota dari dekat. Aku ingin tertawa. Manusia-manusia yang malang. Lihatlah, sebentar lagi aku akan menggandeng artis yang kalian tunggu sejak subuh tadi. Lihat saja. Kalian akan iri setengah mati sama aku yang hanya seorang pemuda kampung ini.

Aku sudah sampai di tenda rombongan. Aku ragu, masuk atau tidak. Kalau aku masuk, aku mungkin akan ditangkap oleh petugas keamanan sebab dikira memasuki daerah khusus rombongan tanpa ijin. Kalau aku menunggu saja di luar, rasanya pasti akan sangat lama. Iya kalau Tukiyem cepat keluar, kalau tidak?

Aku sudah memutuskan, aku memilih masuk saja. Jika aku ditangkap, tak mungkin tidak, Tukiyem pasti akan membelaku. Tukiyem adalah bintang di acara ini. Pasti suaranya didengar orang, termasuk petugas keamanan. Baik, aku harus masuk.

Baru saja aku membuka kaain penutup tenda, aku sudah dibentak oleh orang berbadan besar dan tak aku kenal. Aku kaget setengah mati. Orang itu mencengkram lenganku dengan kasar. Aku dibentak-bentak. Aku seperti akan diseret keluar. Hei, padahal aku belum saja masuk. Gila!

Kuedarkan tatapan ke segala penjuru. Kulihat Tukiyem sedang memoles bibirnya dengan pewarna merah menyala. Seseorang di sebelahnya juga ikut-ikutan sibuk mendandani Tukiyem dengan rupa-rupa kain warna-warni yang mencolok.

“YEM…TUKIYEEEM!!!”

Tukiyem menoleh. Oh, tatapan matanya sungguh lain. Sepasang alis yang indah itu bertaut. Matanya menyipit. Malah posisi kepalanya sedikit miring. Seperti orang bingung saja dia. Astaga, Tukiyem malah akan melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai tadi. Kali ini kuas di tangannya akan menyapu pipi yang tambah putih dan ranum itu. Tukiyem lebih memilih pipinya yang belum disapu dengan kuas ketimbang aku yang sibuk meronta-ronta berjuang agar bebas dari cengkraman orang berbadan besar ini? Duh Gusti…

“YEMMMM!!! INI AKU YEM, KANG FAUZAN. TUKIYEEEEMMMM…”

“Maaf, Mbak Theresia kenal sama dia?”

Si badan besar itu sedikit membungkuk saat berbicara dengan Tukiyem. Hahahaaaa, apa aku bilang. Bintang di acara ini jelas Tukiyem. Tinggal mengangguk saja, maka aku akan bebas dari kungkungan si badan besar ini.

“Yem, katakan sesuatu Yem, bilang aku ini kekasihmu. Aku jauh-jauh datang dari kampung, cuma kepingin ketemu sama kamu saja, Yem!”

Kulihat Tukiyem seperti ragu. Beberapa kali tatapan matanya tertuju pada seorang laki-laki gagah yang duduk di pojokan ruangan sambil membaca majalah. Aku semakin geram dengan si badan besar yang mencengkram lenganku ini. Awas saja dia. Setelah Tukiyem bilang ‘iya’ sebentar lagi, maka akan aku tendang pantatnya. Mampus dia!

“Ah, mungkin hanya fans saja. Tolong diamankan ya,  Pak. Bilang, nanti akan ada sesi jumpa fans dan sesi foto bareng. Di sesi itu saja ketemunya.”

Mataku mendelik. Napasku sesak. Darah seperti berhenti mengalir di tubuhku. Apa? Barusan Tukiyem bilang apa? Hanya fans? FANS???

“INI AKU, KANG FAUZAN. TUKIYEEEEEEMMMMM!!!”

“Amankan, Pak!”

“Siap, Mbak!”

Asuuuuu!!! Dan aku pun diseret, benar-benar diseret seperti seekor kerbau yang bodoh dan tak berguna. Aku dilempar begitu saja. Dibuang sejauh mungkin dari lokasi tenda rombongan. Aku merasa terhina. Aku seperti sampah. Seperti kotoran. Aku tidak berguna. Harga diriku sudah diinjak-injak oleh orang yang tadi pagi amat aku agung-agungkan dan begitu ingin aku temui secepatnya. Duh Gusti, hati ini kelewat sakit untuk sekedar diam saja. Aku sudah tak mampu berkata-kata lagi.

Aku beringsut. Susah payah kucari jalan keluar. Manusia-manusia bodoh itu sudah menyemut. Mungkin kini sudah ribuan jumlahnya. Persetan dengan mereka. Aku hanya ingin segera bertemu dengan sepeda tuaku. Itu saja.

Hp di saku bajuku bergetar persis ketika setir sepeda sudah aku genggam. Kulihat layar kecilnya. Berkedip beberapa kali lalu diam. Tukiyem mengirimi aku pesan singkat.

aku benar2 minta maaf soal tadi.
menejer bilang, aku ndak boleh
sampe punya pasangan dulu
demi menjaga karir dan popularitas katanya.
setelah ini aku akan minta waktu utk pulang.
kita bicarakan semua.

Kutekan tombol untuk menonaktifkan Hp. Mataku memejam sebentar. Aku tak ingin menangis. Aku tak ingin kelihatan bodoh. Gusti, hati ini sudah terlanjur sakit. Sangat sakit. Hanya aku dan Kau yang tau rasanya.

Sepeda kukayuh perlahan. Aku ingin pulang. Aku ingin menenangkan diri. Aku ingin belajar melupakan Tukiyem. Itu saja.

Kakanda Redi
[kota baru]
11 – 2012
Komentar Anda