Minggu, 06 Oktober 2013

Kakanda Redi: Seroja

seroja... seroja yang cantik
masih ingatkah kamu pada hujan tempo hari?
juga bianglala tak lama setelahnya?
bianglala yang berpendar jelas -di matamu-
yang tetap kupandang juga meski kau terpejam
ada rindu kini -pada bianglala di matamu- yang kian redup
sebab hujan sendiri yang mengoyak dengan jarum-jarumnya
memejamkan matamu
-meruntuhkan kenangku- juga...

Kakanda Redi: Resa dan Papito




Kakanda Redi: Resa - Papito - Mamito




Kakanda Redi: Tarian Cahaya

telah aku tinggal segala kenang di beranda matamu yang sunyi
juga sentuhku yang terasa cepat benar menjadi dingin di genggam tanganmu
sementara mencipta jarak denganmu hanyalah menabur butir-butir rindu saja
menguncup sebagai pelukan yang sebentar nanti akan lekas terasa
saat mataku mulai tersesat pada kerlip tarian cahaya
saat lamunku mulai lebur dalam belantara arus sebuah sungai tua
entah kenapa aku masih juga disini
duduk memandangmu yang sesekali kurupa sebagai riak kecil yang menggelombang
menyentuh segala sesuatu yang kita sebut sebuah kenang
tentang kita yang kadang terhanyut serupa rerantingan
yang singgah pada sebuah negeri yang lain
yang hanya mengenali satu rupa saja
jika tidak kau, tentu aku –masing dari kita pelan berkata-
kita mengerti bahwa setiap sudutnya telahpun sunyi
telahpun gelap
tapi aku punya kau: riak kecil yang menggelombang
yang selalu memantulkan segala tarian cahaya meski selalu senyap
teramat setia, teramat tetap…

Kakanda Redi: Malam Ini

...
di tepi telaga ini: mengeja rupamu lagi
belum kutemu sembarang makna
meski riuh kubuat kecipak di airnya
juga malam ini
terasa sunyi masih berguguran
menutupi merah mawar yang lekas benar jadi pudar
yang tak sempat kuselipkan di telingamu
sebab detak resah masih berlompatan
tenggelam dalam kenang telagamu
dan saat sampai di tepinya
tawamu menjelma kidung
juga bungkamku yang tak sempat melontar tanya
   :harus kusemai kembang apalagi, Maria
    agar malam di tepi telagamu tak lewat sia-sia?

Kakanda Redi: Banyak gaya memang si Kakanda Redi nih...



Stttttt... ini motor Febrian Arie Waspodho loh...
Pinjem bentar buat poto.
Haaaaahahahahahahahahahahaaaa...

Kakanda Redi: Gue, Kakanda Redi, lagi banyak gaya nih...

Pinjem motornya Dian Permana untuk poto.
Bener-bener banyak gayaaaaaaa...




Cemungudh eaaaaaaa...

Kakanda Redi: Resa dan Mbah Kakung Putri






Resa dan Mbah Kakung Putri
Lebaran hari ke-2
Sanggau Ledo, Idul Fitri 2013

Kakanda Redi: Resa dengan Mbah Kakung-nya

Di Sanggau Ledo
Lebaran hari ke-2
Idul Fitri 2013


Foto di depan rumah
Bulik Wahyu - Mbah Kakung - Resa





Resa dan Mbah Kakung

Kakanda Redi: Idul Fitri 2013



Hari pertama, di Sambas.
Pulang dari solat Ied nih...

Kakanda Redi: Sepucuk Senja


            : aku menoleh lagi kebelakang, mencari tanda
              kepada sahabat, yang sekarang ‘entah dimana’!

bila nanti kutemu lagi kamu
biar sesekali kubawa serta senyap lewat sepucuk senja
senyap yang entah kapan mulai terasa
hanya senja yang tau, yang merasa
sementara lembar kenang ini kian tercabik
menyerpih: MENYERPIH
luka mencabik
perih tertinggal lama: berdarah-darah
bahkan di masing mata kita
kitapun kian menyerpih
kian mengecil
kian memudar: entah kenapa
entah kenapa: sepi terasa lekat mengarca, membatu
yang sungguh sayang, tak lagi kukenal kamu
sebagai Jonggrang yang tersipu
kita: kamu, juga aku, kian kaku
juga musim-musim yang semakin jadi getir
melangkah terpejam, melangkah memejam
rindu menyentuhmu lagi kian dalam
misal, misal tak pernah kuceritakan kepadamu tentang senja: sepucuk saja
barangkali senyap ini tak mencabik
tak menyerpih
tak berdarah-darah
yang entah: sampai bila!

13 September 2011
01.07 WIB

Kakanda Redi: ...hujan yang gugur tiba-tiba

malam menjelma
pagi memang masih terlalu lama
kukira kau akan pergi lagi
menyerta alun gerimis yang mulai berhenti
tak lagi merangkulkan lenganmu atas dadaku
yang masih menyembunyikan buncah setiap jumpa
tapi sungguh, aku tak pernah mengira
dalam tunduk wajahmu kulihat pula sepasang mata berkaca
maka hanya karenamu semata aku mencipta lagi semesta
kucipta lagi sebuah negeri yang penuh bunga
mawar melati menjelma sebuah musim semi
juga edelweis, yang kuturunkan dari puncak rindu tertinggi
dan tenanglah, manis
perjumpaan senja tadi akan tetap kubingkai
sebagai ganti lukisan air mata
yang kucipta tadi, lewat jeda saat pedih turut merentang mimpi
kurasa diammu adalah hujan yang gugur tiba-tiba, manis
yang mencabik, yang menghantam
meski kau tak kemana
merentang sua denganmu, adalah hujan yang gugur tiba-tiba...


8 Mei 2011
01:06 wib

Kakanda Redi: Kepada Cahaya Malamku



kutaburi tempat tidurmu dengan bunga-bunga rindu
setiap malam sebelum kau tidur
kan kau rasa aku ada disana
disebelahmu
nyenyaklah nyenyak, cahaya malamku
sampai pagi mekarkan lagi bunga rindu yang baru
agar besok malam bisa kutaburkan lagi
ditempatmu tertidur.

Kakanda Redi: Dalam Kerjap Matamu


           :seseorang yang kusebut mimpi

aku gusar menata rerumputan segar untuk kau lalui
taman ini hampir jadi
tapi belum kutanami dahlia, aster, lili, juga melati
aku gusar menunggumu lewatinya
lalu mekar disana
ah, tapi sayang, putikmu gugur dulu
kehilangan rasa
dan dalam kerjap matamu
aku tak menemukan apa-apa.

Kakanda Redi: Sandiwara Cinta Semusim


           :persinggahan hati setelah untuk pertama kali

kilat jernih matamu sudah puas mengatakannya
tentang peribahasa yang hanya satu kalimat saja
satu hela napas saja:
‘aku cinta kau! semoga kau percaya!’
tapi inilah peribahasa yang kau cipta
bahwa cinta kadang hanya sandiwara
dan untuk kali ini, kita adalah pemerannya.

Kakanda Redi: Jika Aku Adalah Burung…


            :untuk sebuah manja, beberapa saat yang lalu

bulan purnama hampir selesai ketika aku mulai bermimpi
terbang mengitari pepohonan randu yang kau lukis siang tadi
dan jika aku adalah burung
sayapku hampir patah dan jatuh
sebab kau tak melukis sisa dahan untukku berteduh.

Hampir Malam, Kala Itu…


            :persinggahan hati untuk kali pertama

inilah bincang paling hambar yang pernah kita rekam
juga kerap kita putar ulang
sambil kita duduk manis menghadap ke jalan
sore kemarin, sore ini, mungkin juga sore kemudian
hampir malam, kala itu
dan sampai kita lelap
rupanya memang tak banyak yang kita buat
tak banyak yang kita bincangkan

Aku Ingat…

            :burung daraku

aku masih ingat
ketika mataku nyalang mengawasimu
ketika bibirku bergetar menyanyikan namamu
ketika pikiranku kusut menganyam senyummu
ketika jemariku lugas melukis lekuk tubuhmu
ketika jantungku terus mendetakkan lakumu

aku ingat, masih ingat
kau tak pernah paham satupun dari semua itu!

Dingin, Saat Kita Tak Lagi Menggenggam

dingin lagi, manis
dingin kembali memeluk seperti biasa
hujan di kotaku sekarang
mungkin sedikit beda dengan hujan bersamamu yang penuh nuansa
tanganmu memeluk, setiap hujan mulai berhamburan
entah, mungkin sudah ratusan senja
dan sekarang hujan ini sungguh beda
dinding mengabur basah
sepi menyergap resah
jemari lentikmu tertinggal di awang-awang
tinggal bayangan
dingin ini sungguh dingin yang sebenarnya.

1 Mei 2011
11.37 WIB

Sampai pada Suatu Masa

apalagi yang tersisa disini?
selain secangkir hangat teh racikanmu, manis
semua sudah pergi

sebuah pelataran tua, dipan bambu membujur mesra
dan biar aku coba meraba sedikit
entah itu lenganmu, atau apalah
demi kepalaku yang ingin menyandar
demi selarik nafas yang tinggal menunggu dihela
habis sudah
saat bentang hijau sawah disana
dan pinggiran kali yang bergemericik manja
telah berkalipun menyuguhkan siluet senja
semua lewat begitu saja
sama sekali, sama sekali tak pernah punya sisa

sebuah catatan kecil, pada sepi pagi ini
nanti akan kubaca lagi
biar sampai pada suatu masa
kelak, akan kulelehkan air mata

21 Agustus 2010
06.17 WIB
: kepada hidup yang sesekali terasa sangat berat.

...sebait sajak cinta di bawah hujan

pejalan kaki yang menyanyikan sajak lelah di bawah hujan
dalam air mata yang dia senyumkan
terus berjalan
seiring gerimis mendera dalam tarian
ada juga sajak cinta
yang keluar dari mata basah
saat dia lelah

Anjungan, 25 Desember 2010
10.21 WIB

n.b.
Sajak ini terpikirkan saat singgah di gubuk seorang penjual buah nanas di Anjungan. Aku dan temenku Fitra Rusadi kehujanan. Kami dalam perjalanan menuju kampung tercinta, Sanggau Ledo.
Saat berteduh inilah kulihat seorang kakek yang mendorong sepeda dengan keranjang di kiri dan kanan penuh dengan buah nanas. Tegar sekali. Aku tau dia lelah. Tapi dia tetap melakukannya dengan penuh cinta. Keluarganya menunggu di rumah.

...gerimis dan kita

lagi, kudengar kau berdendang
lagu paling manis
tentang gerimis dan kita
ada bunga rekah disana
semerah saga
secerah jingga
selentik tari kaki angsa
mengitari kerjap matamu
yang pada senja tadi adalah telaga
lalu mengabur mesra
pada malam yang kian sempurna

25 April 2011
23.27 WIB

pada sajak yang tak pernah selesai ini…

gerimis kian menjelma sebagai hujan
membadai mengaburkan kaca-kaca jendela kereta perpisahan
sekali waktu masih kutunggu kau turun, sekedar untuk mengecup keningku saja
tapi urung kau lakukan: sebab gerimis mambadai sebagai hujan,
katamu pelan.

“pisah ini akan sampai juga, sayang” katamu tapi tak kudengarkan
sedang aku hanya ingin memaknai pisah ini dengan segaris senyum menerima
sayang kaki-kaki hujan tak hanya membasahi tanah tempat keretamu bersandar,
tapi mataku juga. tak bisa kugambar senyumku dibalik jendela kereta
aku mulai menulikan telinga
“pisah ini akan sampai juga, sayang” lagi katamu, tapi tak kudengarkan.

beribu basah yang menerpa telah kuseka, juga air mata
dan dibalik jendela itu, kulihat kau juga melakukan hal yang sama
kini yang tiba dimataku tak lagi kau yang tegar
yang selalu menyalakan matahari saat malam menghantam jalanku
yang selalu menuang air dalam gelasku saat kemarau jalang bercerita
air mengalir dimatamu: bercerita tentang lembar yang hampir terkoyak
sedang di dalamnya kau ceritakan kupu-kupu yang terbang dengan tarian-tarian

aku ingin lagi mendengar detak jantungmu saat malam kian menua
merasakan lagi hangat teh yang kau seduh di sepanjang gerimis senja dan musim bunga
“pisah ini akan sampai juga, sayang” katamu tapi tak kudengarkan
sebab kau masih akan meneruskan tidurmu: memimpikan aku sore ini
di keretamu yang masih terhenti

dan aku?
biar kurupa kau menjadi gerimis yang tenang,
yang menidurkanku saat senja mulai temaram
meski kerikil menghadang jejak-jejak langkahku menujumu
kaulah malamku yang memesonakan
ingin kugambar kau laksana kupu-kupu yang terbang dengan tarian-tarian
yang hinggap manja di dahan juga dedaunan pohon-pohon randu
dan selalu kukenang kau disini
pada sajak yang tak pernah selesai ini...



16 Februari 2010
01.36 WIB

Kamis, 03 Oktober 2013

Pantun Setelah Ijab dan Kabul



 
Bujang:
Kaki panda tidaklah belang
Belang lagi kaki sang naga
Hati kanda sangatlah senang
Yang dicita lagi sampailah juga

Dare:
Berjalan ke seberang gunung Merapi
Rehat sekejap di sudut kereta
Biar menyeberang lautan api
Dinda tetap turut menyerta

Bujang:
Bunga melati mekar di taman
Dibawa ke hulu dengan pedati
Biar mati kanda kemudian
Dinda tetap satu di hati

Dare:
Beli benang di pasar tua
Benang dirajut gambar melati
Susah senang kita berdua
Seiya dimulut, teguh dihati

Pantun Perkenalan







Bujang:
Dewi Galuh senang berdendang
Berdendang kasidah dari seberang
Dari jauh abang memandang
Abang terpandang adik seorang

Dare:
Kain batik dari Jakarta
Dibawa pedagang ke negeri Melayu
Hati adik bingung berkata
Kenapa sebab abang merayu

Bujang:
Ke negeri Melayu membeli ikan
Ikan dicampur putik cendawan
Abang merayu tiadalah bukan
Sebab adik cantik rupawan

Dare:
Sungguh bimbang dara di sarang
Menunggu pejantan pulang petang
Sungguh abang pandai mengarang
Membuat hati mulai bertentang

Bujang:
Sungguh indah kembang di taman
Mengundang kumbang menghisap madu
Sungguh bila adik berkenan
Hendak abang menitip rindu

Dare:
Tak ada tanah yang tak licin
Bila datang musim hujan
Tak ada hati yang tak ingin
Bila datang pintanya Tuan











Bujang:
Kembang naga berkelopak dua
Dibawa pasti dari Tarakan
Meski raga kita berdua
Elok hati kita satukan

Dare:
Sebab pedati membawa belanga
Maka tambang elok dieratkan
Sebab hati sudah berbunga
Kata abang adik turutkan

Pantun Bujang Dare [Setelah Ijab Kabul]



Pantun Setelah Ijab dan Kabul


Bujang:
Anak arab pulang ke arab
Pulang ke arab singgah ke Jeddah
Siang diharap malam diharap
Yang diharap sampailah sudah

Dare:
Pergi ke kuala pakai sepatu
Sambil memancing di sampan laju
Meski dua kita satu
Laksana kancing dengan baju

Bujang:
Berkirim surat rindu bersua
Hendak bersentuh tidaklah tercapai
Ibarat makan sepiring berdua
Dunia akhirat jangan bercerai

Dare:
Padi sudah kita sebarkan
Sawah tergenang kita surutkan
Janji sudah kita ikrarkan
Susah senang dinda turutkan

Bujang:
Meski tua berkacamata
Tapi kaki tegaplah berjalan
Meski dua tampak dimata
Tapi hati satu tujuan

Dare:
Anda sekalian harap saksikan
Aku berkata penutup malam
Kandaku didepan dinda ikutkan
Penentu arah laksana imam

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah