Jumat, 29 April 2011

Terbang Bersama Angin


Facebook?”
            Iya, facebook. Sudah bikin?”
            Aldi tertegun.
            Bising yang membalut kantin sejak tadi seketika mengirim sepi di kepala Aldi. Samar. Begitu tiba-tiba. Namun sangat terasa. Sekali lagi ia tertegun dan sama sekali tidak tahu mesti berbuat apa.
            ”Al,”
            Aldi tersentak pelan. ”Eh, iya. Itu, aku belum bikin facebook. Kamu sudah?”
            ”Kepengen banget sih. Tapi aku gak ngerti. Gak ada yang ngajarin. Tadinya aku mau minta ajarin sama kamu. Taunya kamu aja belum bikin. Ya sudah kalau begitu.”
            Diteguknya lagi sisa es cokelat bertabur seres yang tadinya sangat sedap itu. hanya saja, kali ini Aldi tidak merasakan apa-apa selain galau yang begitu menghentak. Cuma lantaran facebook? Mungkin iya. Pantas saja belakangan ini gadisnya sering diam. Beberapa kali ia dapati Yutha termenung sambil mengetuk-ngetukkan ponselnya dengan lembut ke meja. Facebook rupanya.
            Aldi sendiri sampai sekarang memang belum menyentuh mainan baru yang katanya mendunia itu. Bukan tidak ingin. Ingin lah. Hanya saja pastinya repot kalau cuma mau online lima menit saja mesti bolak-balik ke warnet. Ponsel? Itu dia masalahnya. Sejak ponsel ditemukan sampai sekarang yang katanya lagi ponsel sudah pada canggih gini, ponselnya sendiri belum ganti-ganti. Masih yang itu-itu aja. Gak ada lagunya, gak ada kameranya, apalagi buat internetan. Gak mungkin lah. Fungsi ponselnya itu cuma tiga. Pertama buat nelpon, kedua buat SMS, yang ketiga buat nimpuk kucing yang suka ganggu kalau dia lagi makan.
            ”Hari gini gak punya facebook?” begitu yang sering Aldi dengar manakala ia ditanya masalah alamat facebooknya. Atau,
            “Ke laut aja gih...” Lebih parah lagi? Ada.
            “Sempit banget sih pergaulanmu?” gitu.
            Miris. Menyebalkan. Cuma gara-gara facebook saja kok sampai segitunya ia dihujat. Gak punya facebook juga gak mati kelaparan kok. Biasa saja lah. Batin Aldi sebal, lebih berusaha ingin menghibur diri sendiri.
            “Al, aku daftar facebook, ya. Aku kan kepengen online juga.” Yutha menghembuskan napasnya, pelan. Memang tidak ada kewajiban untuk minta izin ke Aldi. Apalagi cuma masalah daftar facebook saja. Gak penting banget lah. Tapi Yutha ingin dianggap sebagai cewek yang bisa dipercaya dan bisa menghargai keberadaan seorang cowok. Itu saja.
            ”Iya. Daftar saja. Ponsel kamu kan bisa dipake buat online setiap saat.” sahut Aldi risau. Senyumnya begitu kentara dipaksakan. Tak ada ekspresi lain selain ingin segera menghantamkan ponselnya ke kepala kucing yang sedang lewat. Saat ini juga.
            Sepi.
            ”Kamu bener gak apa-apa, Al?”
            Aldi mengangkat kepalanya. Kucing dalam pikirannya barusan entah sudah kabur kemana juga, ia tidak tahu.
            ”Al,”
            ”Iya, gak apa-apa. Bener ini.” jawabnya. Bohong tentu saja. Juga masih dengan senyum yang tadi. Dipaksakan.
Sayang, Yutha belum begitu pandai membaca hati kekasihnya itu.
***
            Sesuatu yang menakutkan itu telah datang. Sebuah ancaman. Prahara yang menghantam. Begitu kuat merentangkan jurang dengan pesona yang sungguh hampir tak teraba. Sesuatu yang kerap terabaikan. Dianggap biasa. Namun justru kemudian merupakan bumerang yang mematikan. Menyerang diam-diam. Begitu ingin memperbaiki keadaan, sayang, sudah sangat terlambat untuk menyadarinya.
            ”Kamu daftar facebook ke warnet berdua dengan Daniel saja?” ledak Aldi tanpa bisa dicegah. Tak peduli dengan raut bingung dihadapannya. Hatinya lebih sakit. Lebih tidak terima. Facebook? Okelah. Tapi mengapa harus Daniel?
            ”Dia mau mengajari aku bikin facebook. Itu saja kok.” Sungut Yutha.
            Aldi mengatupkan rahang rapat-rapat. Marah. Milk shake dihadapannya tak terlihat. Tak berasa apa-apa. Hambar. Tawar. Justru perih yang sangat terasa. Dihatinya, tentu saja.
            ”Kamu sendiri gak mau ngajarin aku. Malah kamu belun punya.” lanjut Yutha lagi. Tentu saja kian menghanguskan hatinya.
            ”Apa temen di kelas kita yang bisa ngajarin bikin facebook cuma Daniel saja? Raihana gak bisa? Atau Indri, Siska. Bisa kan?”
            ”Kamu kenapa sih, Al?” sahut  Yutha sengit, ”Daniel kan temen kamu juga. Akrab malah. Jadi masalahnya dimana?”
            ”Oya?” Aldi menatap wajah polos dihadapannya dengan tatapan yang nyaris membunuh. Gampang sekali cewek ini bilang begitu, pikirnya. ”Bukannya Melanie itu temen kamu juga? Kelewat akrab malah.” lanjut Aldi, mencoba memutarbalikkan keadaan.
            Terlambat. Tak ada lagi kalimat sengit yang keluar dari bibir Yutha. Ia tak bisa lagi membela diri. Serangan balik dari Aldi sungguh tepat menikam emosinya. Telak.
            Mau tidak mau Yutha harus mengingat kembali masa lalu, ketika ia meledak habis-habisan kepada Aldi yang waktu itu membantu Melanie, sahabat karibnya, mengerjakan makalah. Di warnet juga. Berdua.
Tak ada yang lebih membakar hati selain mendengar kabar Aldi membantu Melanie mengerjakan tugas. Sungguhpun sebenarnya Melanie sendiri tidak punya felling apa-apa terhadap Aldi, mengingat Yutha adalah sahabat karibnya sendiri. Hal ini yang membedakan Melanie dengan Daniel. Melanie menganggap itu murni bantuan saat mengerjakan tugas. Tentu saja. Sementara Daniel? Sebelum Yutha jadian dengan Aldi, Yutha sendiri sudah terlanjur tahu banyak tentang perasaan Daniel kepadanya. Dan inilah yang sekiranya membuat Aldi  seperti petasan disebelah kompor gas. Siap meledak kapan saja tanpa bisa dicegah lagi.
”Iya sih,” hanya itu yang bisa diucapkan Yutha. Pendek. Lemah. ”Jadi, aku mesti gimana sekarang?”
”Terserah kamu saja lah. Aku bisa bilang apa?”
Nah, ini. Ini nih, yang kayak begini yang Yutha paling risau. Aldi kalau sudah marah sikapnya selalu begini. Selalu menganggap semua tidak penting. Terserah-nya itu yang paling bikin suasana gak enak. Salah langkah bisa celaka. Serba salah.
Yutha mulai berani berpikir, seberapa penting sih Aldi baginya?
***
            Aldi meninjukan kepalan tangan kanannya ke telapak tangan kiri. Berkali-kali ia melakukan itu. Jelas ada yang perlu dibicarakan dengan Daniel. Empat mata. Hanya empat mata. Ini menyangkut Yutha. Tentu saja Yutha. Bukan facebook tolol itu.
            Lagian si Daniel ini geblek banget sih, pikir Aldi. Apa aku harus memeluk Yutha didepannya biar dia ngerti kalau Yutha itu pacarku? Harus gitu ya?
            Jelas, semua warga kampus sudah tahu kalau Yutha itu pacarnya Aldi. Gak ada yang perlu diberitakan lagi. Faktanya memang begitu. Meski tidak terang-terangan, Daniel masih saja menyerang. Tak dapat lewat kencan, ia masuk lewat sesuatu yang sangat fatal jika diteruskan. Facebook.
            Dasar Daniel. Payah. Musuh dalam selimut. Menggunting dalam lipatan. Pagar makan tanaman. Hei, kebagusan amat aku nyumpah-nyumpah dia pakai pepatah dan peribahasa. Memangnya siapa sih dia? Rezky Aditya? Atau Justin Timberlake sekalian?
            Aldi menyandarkan kepalanya ke sebatang pohon mangga yang berdaun lebat. Sejuk benar jika siang-siang begini duduk dibawah pohon mangga ini. Tapi tidak untuk saat ini. Kepala, juga hatinya terasa panas. Siap untuk meleleh. Yutha membayang begitu saja tanpa bisa dicegah. Setiap saat. Tanpa jeda.
            ”Sudah lama nunggu?”
            Daniel.
            ”Lumayan. Tapi santai saja lah.” sahut Aldi singkat sambil memberikan tempat untuk Daniel duduk.
            ”Ada apa sih sebenarnya? Kok tumben resmi amat? Mau ketemu aku saja mesti lewat SMS. Biasanya juga kamu langsung ke kelas Biologi.” Daniel yang belum bisa membaca keadaan nyerocos begitu saja, seolah hari ini masih sama dengan hari-hari kemarin saat ia dan Aldi ketemu. Tak ada yang serius. Semuanya serba canda. Ketawa-ketawa.
            ”Pengen nanya saja,” jawab Aldi pendek, ”masalah facebook.”
            ”Oh...” Daniel tersenyum. ”Tertarik juga? Bagus dong.” cerocosnya lagi. ”O iya, barusan juga Yutha minta ajarin lagi tuh. Dia minta ajarin gimana caranya up load foto. Lumayan cerdas juga dia. Sebentar saja sudah bisa.”
            Aldi tertegun. Minta ajarin lagi? Berarti yang seperti ini sudah terjadi beberapa kali. Padahal sudah dua hari ini Yutha dingin padanya. Setiap ditanya, jawabannya selalu sama, “Lagi online nih. Nanti saja ya, nanyanya.” Sampai segitunya? Facebook benar-benar telah meracuni kepala gadisnya itu. Gadisnya? Sejauh ini, masih.
            “Kok malah bengong?”
            “Sudah dua hari Yutha diemin aku, Niel. Dan celakanya itu karena facebook.” Aldi menghembuskan napas perlahan. “Menurut kamu, facebook itu penting ya, Niel?”
            Daniel ngakak. “Ya penting banget lah, Al. Secara hari gini kan gak mudah tuh menyatukan banyak orang dengan banyak kepentingan pada saat orang-orang itu ada di tempat yang saling berjauhan. Ini dia pentingnya facebook, Al.”
            Aldi melempar tatapannya jauh ke depan. “Gitu, ya?”
            “Iya. Makanya, kapan kamu mau daftar? Aku temenin lah.”
            ”Aku belum ada mood buat yang begituan, Niel. Ngeri saja. Nanti aku jadi aneh kayak Yutha, lagi.” sergah Aldi. Jawaban yang sedikit bego, pikirnya.
            ”Ya gak gitu lah, Al. Yutha aja sering kok ngobrol dengan aku.”
            Aldi mendelik kesal, ”Ketemuan berdua gitu? Face to face?”
            “Ya ampun, ya lewat facebook lah. Kan Yutha sudah mulai mahir main facebook. Makanya…”
            “Niel,” Aldi memenggal kalimat Daniel sekenanya, “Kamu masih suka sama Yutha, ya?”
            Giliran Daniel yang tertegun. “Kamu ngomong apa, sih?”
            “Aku nanya, kamu masih suka sama Yutha, gitu?”
            ”Al, sampai sekarang aku memang belum punya cewek. Tapi kamu juga gak bisa membuat kesimpulan segampang itu dong.”
            ”Sudah lah, Niel. Aku gak perlu intro kamu. Tujuan aku manggil kamu kesini cuma mau nanyain hal ini saja kok. Gak ada tujuan lain.”
            Sepi terasa begitu berkuasa. Membalut keadaan yang mulai mencekam.
            Daniel larut dengan perasaannya sendiri. Perasaannya terhadap Yutha, tentu saja. Sungguh, ia begitu menikmati kebersamaan yang baru terjalin kurang lebih seminggu ini. Yutha memang manis. Cantik malah. Apa salah jika ia juga ikut kagum dengan kecantikan itu. Mungkin tidak, pikirnya. Tapi seandainya kekaguman itu sudah mulai masuk ke taraf ingin memiliki? Daniel tak ingin menjawab pertanyaannya sendiri ini.
            ”Iya, kan?” Aldi mendesak lagi, membuyarkan Yutha yang tergambar indah di kepala Daniel.
            ”Beruntung sekali kamu bisa memiliki Yutha, Al.”
            ”Belakangan aku tidak merasakan itu, Niel.”
            ”Yutha itu...”
            ”Jawab pertanyaanku, Niel.”
            Daniel mendesah pelan. Sebagai laki-laki, tentu dia juga punya harga diri. Tapi kalau untuk urusan hati, mungkin harga diri bisa sedikit dinegosiasi.
            ”Daniel...”
            ”Apa aku harus menjawabnya?”
            Cukup.
            Aldi tak ingin mendebat lagi. Kalimat Daniel barusan sudah cukup mewakili perasaannya pada Yutha, pacarnya. Dan itu berarti, Aldi sudah tidak memerlukan jawaban apa-apa.
            Yutha. Sekarang ia terasa seperti angin. Menyejukkan. Terkadang juga begitu kuat menampar. Ada, terasa, tapi tak tergenggam.
            Aldi mendesah panjang. ”Niel, besok temenin aku daftar facebook, ya...”
            Seketika semua membelai begitu saja. Senyum Daniel. Angin. Juga Yutha.

Malam Merah Jambu

Percaya deh, untuk sepasang muda-mudi yang lagi mesra-mesranya pacaran, gak ada hal yang paling menyedihkan selain saat kamu udah semangat-semangatnya pergi ke suatu tempat atau suatu acara, eh…pacarmu yang paling ganteng sedunia itu ngebatalin janji cuma untuk urusan yang menurut kamu gak penting. Dan malangnya, aku sering banget ngalamin yang kayak beginian. Menderita banget, tau gak???
            Pada suatu kesempatan...
            Jam empat sore, malem minggu. Semangat sekali rasanya aku ngangkat gagang telpon, mencet nomor hape Dito, cowokku yang paling ganteng sedunia. Oh Tuhan, semoga aku gak berlebihan, apalagi khilaf. Bukan apa-apa sih, aku cuma mau ngingetin aja. Toh aku yakin kalo ia gak bakal lupa kewajibannya tiap malem minggu. Paling gak ya muter-muter di alun-alun dua kali lah. Aku udah seneng banget. Tapi demi Tuhan aku sempet gak percaya dia ngomong apa.
            ”Waduh, Mel, sumpah mati, aku lupa kasi tau kamu kalo AREA mau manggung di Lapangan Selatan. Jadi....”
            BRAKKK... telpon kubanting. Bagiku itu udah cukup. Gak ada jadi-jadi lagi.
            Kesempatan lain, saat pulang sekolah...
            Dito jemput aku pake mobilnya yang, asli, kinclong banget, licin kayak baju abis disetrika. Bukan maksud mau matre, tapi cewek mana coba, yang gak suka kalo pas pulang sekolah, matahari udah kayak lima kilan di atas kepala, panas, haus, capek, nah loh...dijemput pake mobil. Hayooo, cewek mana yang gak suka? Plis lah, gak usah sok jual mahal gitu.
            Di dalem mobil, Dito fresh banget. Ceria abis. Mataku aja gak bosen mandanginnya. Disela-sela senyumnya, dia ngulurin sesuatu yang aku suka banget. Tiga batang cokelat. Ya Tuhan, cokelaaaaatttt......
            “Buat kamu,“ katanya ramah baget.  Ya iya lah, buat aku. Mana mungkin sih, dia nitip cokelat untuk pembantuku di rumah? Aku pikir sih wajar aja. Ngasih aku cokelat maksudku, bukan nitip cokelat untuk pembantuku. Secara kan aku ceweknya. Pacarnya. Wajar kan?
            ”Tumben-tumbenan sampe tiga? Biasanya dua aja susah.”
            ”Ini kan spesial untuk kamu. Biasa aja lagi.”
            Sumpah, aku suka. Tapi memdadak kok rasanya gimanaaaa gitu. Jangan-jangan...
            ”Mel, nanti malem aku gak ngapel ya. AREA diundang lagi nih. Kali ini maen di Himpunan Ungu, di kampus. Sebenernya sih...”
            ”STOP...STOP...STOOOOP...AKU MAU NAEK BIS KOTA AJAAAAAAAAAAA!!! ”
***
            Aku pengen nanya ke semua cewek yang punya cowok seorang musisi. Apa kelakuannya sama seperti Dito ya? Kalo iya, wah, nyebelin banget. Masa-masa indah pacaran bakal tergeser sama yang namanya manggung, mentas, diundang, nampil, jadi bintang tamu, festival, parade, audisi, rekaman, promo, launching, atau apalah namanya. Yang jelas semua itu buat aku sama sekali gak penting ting...ting.... Gak enak nak...nak... Enakan juga jalan-jalan. Muterin alun-alun sambil lihat orang jual balon gas. Kalo capek, singgah ke kedai, makan pecel lele, sate, minum es teler, pokoknya makan. Nah, yang kayak gini kan lebih bikin hepi. Iya apa enggak?
            Tapi kok aku lihat temen-temenku yang cowoknya sama-sama musisi malah keranjingan minta ampun sih? Ada aja yang bikin mereka teriak histeris kalo cowoknya kelar manggung. Kayak si Retna yang lagi ngobrol sama Esti di pojokan sana. Wah, udah bukan-bukan aja semangatnya cerita. Kalah deh semangatnya kakekku saat nyeritain gimana mantapnya beliau dan teman-temannya berhasil mengusir penjajah sampe balik lagi ke Jepang sana.
            ”Ya ampuuun, Dody semalem keren banget loh maen bass-nya. Gila, saking menghayatinya, cowokku itu sampe gigit bibir. Ughhh, seksi banget deh.” kata Retna dengan intonasi yang asli gak dibuat-buat. Aku cuma bisa mencibir, meski aku harus mengakui, bassist High Voltages Band itu memang jago. Aku aja yang kurang paham musik bisa ngerasa.
            Esti lain lagi. ”Kalo Rovi, wah..., nada-nada yang keluar dari gitarnya menghanyutkan kalbu. Seperti sungai yang menghanyutkan sampah dengan arusnya yang deras. Sumpah, keren. Hehehe...” Aku hampir kesedak denger dia banggain cowoknya yang satu band dengan cowokku ini. Kalbu disamain dengan sampah? Nih cewek bangga apa goblok sih?
Cowoknya Esti tuh gitaris AREA, sementara cowokku yang paling ganteng sedunia adalah bassistnya. Ah, ternyata dunia ini memang sempit (apa hubungannya coba?)
             ”Melanie,”
            Aku kaget. Sumpah, aku bener-bener kaget. Aku sama sekali gak tau kapan nih makhluk muncul. Tau-tau ada di sebelahku aja.
            ”Mel, aku mau ngomong. Penting ”
            ”Udahlah, aku udah tau kok. Paling kamu mau ngomong masalah nanti malem mau manggung lagi kan? Dimana itu? Lapangan Selatan ya? Atau himpunan Ungu lagi?” aku memalingkan muka. Seketika kurasakan kalo Dito mengacak-acak rambutku.
            ”Sok tau kamu,” katanya dengan sedikit senyum. ”Aku gak mau ngomongin itu kok. Ada hal yang lebih penting yang pengen aku tunjukin ke kamu.”
            Aku mencibir, ”Apa?”
            ”TARAAA...” Dito mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Tiket sebuah pertunjukan.
            ”Buat apaan nih?”
            ”Ya buat kamu lah. Aku pengen ngajak kamu nonton. Lusa tuh AREA dan High Voltages jadi band pembuka konser band ibu kota loh. Kamu tau Kangen Band kan? Keren banget gak sih, band aku jadi band pembuka konser Kangen Band? Hahaha... oh iya, tiket ini eksklusif, VIP, istimewa, khusus untuk tamu kehormatan. Kamu bisa duduk paling depan. Gimana?”
            Aku gak tau mesti bilang apa. Yang jelas, kemarahanku udah gak bisa ditolerir lagi. Udah sampe ubun-ubun kepala. Sebentar lagi meledak. Jengkel. Aku marah. Beneran nih, aku marah. Dan tentang Kangen Band itu? Tuhan, tolonglah, mending aku nonton Ipin dan Upin deh, di rumah.
            ”Kok diam?”
            ”Kamu tuh gak bisa ya ngeluangin waktu kamu buat aku sedikit aja? Tiap malem minggu kamu selalu punya acara. Kalo gak manggung, kamu latihan sama band kamu. Terus waktu buat aku kapan? Kamu tau kan kalo Papa aku gak bakal ngasih ijin jalan kalo gak malem minggu? Tau kan?”
            ”Mel, aku...”
            ”Cukup. Aku mohon sekarang kamu pergi. Mulai sekarang aku akan belajar untuk gak ngarepin kamu lagi kalo pas malem minggu. Tanpa kamu aku juga bisa seneng. Sama kan? Tanpa aku juga kamu bisa seneng, kan?”
            ”Mel, maksudnya apa?”
            ”Kita bubaran aja. Putus, ngerti? Percuma. Ada atau gak ada kamu toh sama aja. Aku juga sering sendirian. Aku capek denger alasanmu terus.”
            ”Melanie...”
            ”PERGIII...!!!”
***
            Eh, banyak juga loh yang bilang aku bego karena udah mutusin Dito. Gak tau lah, aku emang bego atau mereka aja yang gak ngerti. Kadang emang seneng juga punya pacar orang ngetop. Tapi nyebelin juga kan kalo karena ngetopnya itu kita jadi diterlantarkan gitu aja? Mentang-mentang anak terlantar dipelihara oleh negara. Eh, ada loh di undang-undang. Baca aja kalo gak percaya.
            Hmmm... plong banget sekarang. Paling nggak udah gak ada lagi tuh rasa sebel ditinggal melulu. Apalagi ditinggal untuk acara yang sama. Manggung. Nyebelin banget. Emang musisi tuh kadang-kadang sok ngetop deh. Baru di tingkat lokal juga, gayanya udah kayak bassist Peterpan aja. Contohnya ya mantan pacar aku yang paling ganteng sedunia itu. Untung aja udah mantan. Meski kadang-kadang yah...kangen juga sih sama dia.
            ”Melanie, yup...cepet...cepet...latihan udah akan dimulai...”
            Sumpah, aku kaget. Kangenku tadi seketika terbang entah kemana. Hmmm...iya, aku belum bilang kalo aku udah gabung sama kelompok teater sekolah ya? He-eh, aku sekarang nih judulnya anak teater gitu. Cuma untuk ngisi waktu aja kok. Kalo lagi diem, aku suka ingat Dito terus. Contohnya ya barusan tadi. Selalu Dito yang melintas saat aku melamun. Gak tau deh kenapa. Padahal kan aku yang mutusin dia. Tapi kok aku yang selalu kangen sama dia ya? Apa iya aku masih cinta sama dia? Aku harap sih iya. Gitu juga aku harap sama Dito, masih cinta sama aku juga. Ah...
            ”Hei...” meski gak kaget-kaget amat, toh aku sempet gugup juga. Tau-tau Hans udah ada di depanku. ”Nanti malam kamu ada acara gak?” tanyanya kemudian. Ia mengulurkan sebotol air mineral. Latihan teater kali ini emang terasa melelahkan.
            ”Emang kenapa?”
            ”Ini kan malem minggu. Jalan yuk? Kita nonton J-Rocks. Nanti malem kan J-Rocks maen di Lapangan Selatan.” Kulihat Hans diam sambil menatapku. ”Ayolah, kan malem minggu. Papa kamu pasti kasih ijin. Pulangnya gak malem kok. Aku janji sebelum jam sebelas aku udah anter kamu pulang. Ayolah Mel... ”
***
            Gak tau gimana kisahnya. Yang jelas, sekarang aku udah di Lapangan Selatan, tempat yang sering dipake kalo ada band-band ibu kota manggung. Malam ini J-Rocks akan pamer lagu baru di kotaku. Aku seneng. Cuma sayang aja, kali ini aku keluar sama Hans. Jujur, aku ngarep banget keluar nonton konser kayak gini bareng kekasihku yang paling ganteng sedunia, Dito. Nonton konser berdua loh ya, bukan aku yang nonton dia manggung. Tapi, boro-boro ngajak balikan terus ngajak nonton konser, SMS nanyain kabarku aja gak pernah. Males banget jadinya.
            Lapangan Selatan senyap ketika MC ngasih tau kalo acara akan dibuka oleh band-band lokal yang udah gak asing lagi. Seketika nih, daun telingaku berdiri. Apa aku gak salah dengar???
            ” ...and please welcome... AREA...”
            Jujur loh ya, aku takjub juga. Aku kagum, kok bisa-bisanya sih AREA dipake untuk buka acara besar kayak gini? J-Rocks loh ya, bukan Kangen Band. Tapi...tapi...musik yang mereka mainkan, emang bagus banget kok. Drum yang digebuk sama Rendra terasa sampe ke dada. Keyboard Eza tuh nyentuh banget. Romantis.  Belum lagi gitar Rovi yang meraung-raung apik. Lain lagi sound gitarnya Ade yang pinter ngisi celah yang kosong,  dibalut dengan dentum suara bass yang dimainkan oleh... ”HAH, ITU KAN DITO...” upsss...
            ”Iya, itu Dito. Mantan kamu kan?” Hans langsung nodong gitu ke aku. Ya ampun nih cowok, nyolot banget dia. Emang dia kira dia tuh siapa? Irfan Bachdim? Baru bisa ngajak nonton konser gini aja gayanya udah kayak ngajak aku liburan ke Eropa aja. Minta ampun nyebelinnya. Bodo amat sama Hans. Aku jarang banget nemuin yang kayak gini. Jujur nih.
            Tanpa sadar aku ikut nyanyiin lagu yang sekarang lagi dinyanyiin Harry. Heran deh, kalo udah di pentas gini kok kayaknya gak ada jeleknya ya? Apa setiap band akan kayak gini? Aku aja sampe merinding denger lagu ini. Padahal nih lagu kan udah sering banget aku denger. Dulu sih.
            ...bulan katakan padanya, aku merindunya, teringat cantiknya
            hanya senyumnya yang bisa meluluhkan jiwa, tak dapat kulupa...
***
            Percaya gak? Kalo kita niat ngejalanin sesuatu, pasti jadinya bakal bagus. Percaya deh. Contohnya aku nih. Sejak SMA dulu aku ikutan teater. Tadinya sih emang buat ngisi waktu aja. Tapi lama-lama teater itu mengasyikkan loh.
            Sekarang aku udah kuliah. Udah semester empat. Mantapnya, di kampusku juga ada tuh sanggar teater. Suka banget aku. Gak usah mikir dua kali lah, aku langsung gabung aja.
            ”Oke, kita break dulu.”
            Huaaaaaaahhh. Akhirnya. Pelatihku nyuruh break juga.
            ”Ingat, kita maen tinggal tiga hari lagi. Artinya, kita gak punya waktu banyak. Dua hari nanti akan kita gunakan untuk gladi full instrument. Saya harap, kalian bisa memberikan yang terbaik. Pertama, untuk diri kalian sendiri dulu lah. Maen yang bagus. Jangan kecewakan diri kalian sendiri. Ingat itu.”
            Aku, juga sebagian temenku yang laen, gak ada yang kasih komen atau nanya-nanya apa gitu. Rata-rata pada ngangguk-ngangguk, entah paham entah enggak tuh.
            ”Kita nanti gak akan jalan sendiri. Kesepakatan dengan Sakura Orkestra sebagai music instrument sudah deal. Jadi nanti Sakura yang akan mengawal pementasan kita. Intinya, kita boleh berbangga hati bisa menggandeng Sakura. Maka dari itu, sedapatnya lah kita jangan kecewakan mereka. Buat mereka terkesan dengan kualitas acting kita. Bisa?”     
            Aku lihat, sebagian temen-temenku pada tepuk tangan. Aku garuk-garuk kepala. Gak ngerti ngapain juga mereka pada tepuk tangan.
            ”Eh,” kucolek cowok disebelahku, ”Ngapain sih pake tepuk tangan segala?”
            ”Wah, ente bahlul. Bisa deal dengan Sakura tuh sebuah kebanggaan loh. Aku denger sih, sanggar Pramestika tuh ngebet banget kepengen pementasan mereka dikawal juga sama Sakura. Tapi sampe sekarang gak deal-deal juga. Nah, kita apa gak bangga tuh, bisa maen dikawal Sakura?”
            Aku cuma monyongin mulut, ”Ooooo...” Kelihatan deh kalo aku nih kadang-kadang emang bener bahlul. Dan Sakura? Kayak nama makanan kaleng khas Jepang aja!
***
            Aku mematut-matut diri. Mantap. Sudah sangat mantap. Gaun sutera merah jambu yang aku pake keren abis. Aku yakin malam ini penampilanku bakal bagus banget. Entahlah. Kadang-kadang yang namanya pede itu memang harus ada. Perlu ada malah.
            ”Melanie,” itu suara pelatihku, ”kenalkan,”
            Aku nyamperin pelatihku yang berdiri sama seorang cowok yang juga berdiri, membelakangiku. Aku heran, kenapa coba, pelatihku ini mesti nunjuk aku sebagai korban perkenalan konyol ini? Kulihat di pojokan sana, Rizky dan Novi nganggur kok. Kenapa gak mereka aja yang jadi korban?
            ”Ini pemeran utama kami malam ini, Mas,” itu suara pelatihku lagi, lebih kepada Mas-Mas yang sok jaim itu, yang masih membelakangiku. Oh, aku baru tau alasannya kenapa kok sampe aku yang diminta kenalan sama Mas-Mas jaim ini.
            Mas-Mas itu balik badan. Lantas? Bisa ditebak. Kagetku luar biasa. Seperti akan lepas aja biji mataku dari tempatnya.
            ”Ngapain kamu disini?” bodohnya aku. Kok bisa-bisanya nanya kayak gini. Kulirik pelatihku. Bengongnya udah bagus banget untuk meranin tokoh yang goblok. Natural dan gak perlu dipoles lagi.
            ”Aku kangen sama kamu, Mel.”
            Dadaku berdesir. Sementara pelatihku tambah goblok aja dia, maksudku tambah bengong. Aku gak ngerti, apa hubungannya Mas-Mas jaim ini dengan kelompok teaterku. Perasaan selama latihan, nih orang gak pernah nongol deh.
            Segalanya mendadak berjalan begitu cepat. Aku gak bisa mengawal detak jantungku sendiri. Mas-Mas jaim itu menggandengku keluar ruang make up. Tangannya, masih sehangat dulu. Aku gak bisa bohong. Duh, kok aku jadi menye-menye gini sih? Tapi...tapi, aku suka suasana ini. Dan dadaku berdesir lagi.
            ”Kita balikan yuk, Mel?” katanya, Mas-Mas jaim itu. Dan aku mendengarnya dengan sangat jelas. Leherku merinding. Beneran ini.
            ”Ogah. Aku gak sudi punya pacar musisi kayak kamu. Bisa gila aku kalo tiap waktunya ngapel, kamu selalu bilang mau manggung lah, mentas, diundang, nampil, jadi bintang tamu, festival, parade, audisi, rekaman, promo, launching, aaaah, bosan.” Mas-Mas jaim itu cekakakan sendiri. Tangannya sibuk mengacak-acak rambutku. Rasanya dia lebih dewasa dibanding dua tahun yang lalu.
            ”Masa-masa itu udah lewat, Mel. Kuliah udah bikin kita sibuk. Barangkali untuk sekedar iseng dan kangen sama instrumen sih, oke lah. Tapi gak lagi lah kalo harus intens kayak dulu itu. Kamu ngerti kan, Mel?”
            Aku ngangguk, meski sebenarnya gak yakin. Yang namanya cowok itu kalo pas ada maunya aja, bisa berubah sangat manis. Contohnya ya kayak Mas-Mas jaim ini.
            ”Kamu mentas jam berapa?”
            ”Kira-kira sejam lagi.” jawabku bangga. Kali ini, gantian aku yang nyuruh dia nonton pertunjukanku. ”Kamu bisa duduk di kursi VVIP kalo kamu mau. Aku bisa minta ke pelatihku untuk nyiapin satu kursi buat kamu. Gimana?” tuh, sombong kan, aku sekarang? Biarin, biar dia tau rasa.
            Mas-Mas jaim itu tersenyum. Tangannya mengulurkan sesuatu yang diambilnya dari saku jas. ”Buat kamu. Masih suka ini kan?”
            Mataku melotot. Tiga batang cokelat. Ya Tuhan, cokelaaaaatttt...... ”Tumben-tumbenan sampe tiga? Biasanya dua aja susah.” ya ampun, rasanya percakapan seperti ini pernah terjadi deh. Tapi kapan ya? Kalo gak salah ingat, lawan bicaraku akan jawab...
            ”Ini kan spesial untuk kamu. Biasa aja lagi.”
            Tuh kan, bener? Aku jadi curiga. ”Jangan-jangan setelah ngasih ini, kamu mau bilang kalo kamu mau manggung lagi. Iya kan? Bener kan?”
            Mas-Mas jaim itu cekakakan lagi. ”Melanie...Melanie... Kamu itu gak berubah, ya? Ah, aku beneran kangen sama kamu, Mel.” tangannya mampir lagi di kepalaku, mengusapnya dengan lembut. Aku harus ngomong apa coba?
            ”Kamu ngapain sih, disini?” kataku, lebih untuk ngilangin gugup dan berusaha meredam detak jantungku sendiri.
            ”Jawab dulu, kamu mau balikan lagi gak, sama aku?”
            ”Kamu dulu yang jawab. Kan aku yang nanya kamu dulu.”
            ”Oke.” Mas-Mas jaim itu menarik napas. ”Sakura Orkestra itu punya papa aku. Cukup menjelaskan, kan?”
            Ooooooo, bilang dong dari tadi!
            ”Sekarang giliran kamu yang jawab.”
            Eh? ”Kan tadi aku udah kasi jawaban. Kurang jelas, apa?”
”Yang mana?”
” Ogah. Aku gak sudi punya pacar musisi kayak kamu. Bisa gila aku kalo tiap waktunya ngapel, kamu selalu bilang mau manggung lah, mentas, diundang, nampil, jadi bintang tamu, festival, parade, audisi, rekaman, promo, launching. Yang ini. Jelas?”
”Nggggg, misal aku bisa ngurangin itu semua, dan memprioritaskan kamu, gimana? Bisa gak?”
”Ah, paling juga ntar kamu bohong.”
”Aku kan mengusahakan. Yang namanya hobi itu kan gak serta merta bisa ditinggalkan gitu aja. Sama seperti kamu sekarang. Kamu bisa gak ninggalin teater?”
Nah loh, kok malah dia sih yang balik nyerang? ”Bodo ah. Aku mau makan cokelat dulu. Laper.”
”Eeeeeeeh, dijawab dulu dong,”
”Iyaaaaaa, mau. Rese banget deh ah.” Mas-Mas jaim malah senyum gak jelas. Dasar sableng nih orang.
”Melanie,” itu suara pelatihku, ”stand by di belakang panggung. Kita briefing dulu. Setengah jam lagi kita on the stage. Oke?” sesekali pelatihku senyum ke Mas-Mas jaim.
”Aku akan nonton kamu main, Mel. Aku akan duduk di kursi paling depan. Aku mau nonton pacarku main drama.” tangan Mas-Mas jaim mencolek daguku. Dadaku berdesir lagi. Dasar.
Tapi...tapi, malam ini indah sekali. Aku punya pacar lagi. Dito.

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah