Sabtu, 06 April 2013

[10] Segala sesuatunya itu selalu memiliki kemungkinan untuk terjadi, meskipun beberapa diantaranya memang sangat tipis



Re termenung di belakang kemudi mobilnya. Tatapan matanya lurus menghujam ke depan. Sesekali kosong. Kedua telapak tangannya erat menggenggam setir. Sesekali terdengar dia menghela napas perlahan, lalu menghembuskannya perlahan pula.
Mobil masih terparkir dengan gagahnya di pelataran rumah Re. Keberangkatan tinggal menunggu detik saja. Begitu kontak diputar, mobil akan melesat meninggalkan Pontianak untuk beberapa waktu lamanya. Sanggau Ledo adalah tujuan yang pasti. Tapi yang terjadi adalah, mobil masih juga mematung. Diam. Tak bergerak. Tak bersuara. Sepi.
Duduk di sebelah Re adalah Tetty. Dia juga diam. Sedikit gelisah. Sesekali salah tingkah. Rasa bersalah begitu kentara disana, di wajah dan juga gelagatnya. Tatapan matanya lebih sering bermain di dasbor, namun sesekali juga terlempar ke luar.
Di belakang Tetty, Ayu menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok mobil. Kelihatan banget dia nyoba untuk rileks, namun usahanya gagal. Yang tampak justru sebuah ketegangan yang sangat. Sesekali pandangan matanya beradu dengan Tetty lewat kaca di atas dasbor. Cukup dengan saling tatap saja. Tak ada yang berinisiatif untuk membuka cerita atau sekedar menyunggingkan senyum.
Leli sendiri tampak sangat gugup. Dia tak ingin melihat siapa-siapa untuk saat ini. Tangannya begitu tegang dan sedikit berkeringat. Duduknya gelisah. Selalu berubah posisi setiap tiga menit sekali. Dan selama berubah posisi itu matanya tak juga terbuka. Sungguh mengagumkan melihatnya berganti posisi dengan memejamkan mata.
Tetty menyentuh pundak Re yang masih juga mematung. Pelan namun pasti, tatapannya kini beralih ke wajah Re yang masih juga termenung.
“Kalo diam kamu ini memang benar karena mobil, aku sungguh-sungguh minta maaf,” ucap Tetty dengan intonasi yang penuh penyesalan, “Bukan mauku jika pada akhirnya semua ini harus terjadi. Aku mengira kalo mobil itu memang milikku. Rupanya aku salah. Mobil itu memang diperuntukkan buatku. Tapi toh tetap saja belinya pake duit mama. So, jelas aja kalo mama masih punya kuasa atas mobil itu. Dan begitulah nasib si anak bungsu, selalu saja dimenangkan tanpa harus mempertimbangkan siapa yang lebih punya kepentingan.”
Re mengangguk-anggukan kepalanya. Tatapan matanya masih belum beranjak dari fokus semula. Rasanya dia sudah cukup maklum dengan kejadian semacam ini. Bukan sekali dua Elsa menggagalkan kesempatan Tetty untuk membawa mobil. Dan tentu saja untuk urusan yang satu ini, Re benar-benar gak bisa ikut campur apalagi memaksa.
“Kumohon, maafin aku.”
Untuk pertama kalinya di pagi ini Re menyunggingkan senyum, “Aku gak mempermasalahkan mobil kok.” kata Re akhirnya, “Malah lebih bagus kalo kita berangkat pake mobilku saja. Mobil Kakak gak akan cukup untuk menampung barang bawaanku yang udah kayak bantuan kemanusiaan untuk korban perang di Gaza ini.”
Tetty menarik napas lega, “Trus, barusan manyun ngapain dong?”
“Tau nih,” sahut Leli dari belakang, masih dengan terpejam, “Plis lah, kita ini cuma mau ke Sanggau Ledo aja kok, mau liburan. Gak lebih. Kok merenungnya khusyu banget, udah kayak mau dikirim ke medan perang aja.”
Re menautkan alis. Sontak matanya melirik Leli yang terkapar di jok belakang lewat kaca di atas dasbor. Aje gile!!! Sambil merem aja bisa sesadis itu kalo ngomong. Apalagi kalo melek coba? Terus… terus kok dia bisa tau aku barusan khusyu banget? Dia kan lagi merem. Wah… Re hanya bisa membatin.
“Ngaku deh, Abang pasti lagi mikirin Yesi, kan?”
Re tersentak pelan. Apa yang disampein sama Ayu barusan memang benar adanya. Mau tidak mau dia harus mengangguk membenarkan.
“Kalo gitu, sama dong.”
“Kasian dia,” kata Re perlahan, “harusnya dia di sini bareng kita.”
“Iya, Bang. Dari tadi aku juga mikirnya gitu. Kasian dia. Kurang lebih sekitar enam jam lagi kita akan senang-senang di Sanggau Ledo. Sementara dia pasti lagi manyun sekarang.”
“Lagian mamanya sih ada-ada aja. Yang punya tamu kan beliau. Ngapain juga pake nyeret-nyeret Yesi segala?” tambah Leli, masih juga dengan memejamkan mata.
Re mendesah, “Kalian ingat gak kejadian tiga tahun yang lalu? Waktu itu kita dapet libur tanggal merah dua hari dan kita memutuskan untuk pergi ke Singkawang, ke Taman Pasir Panjang Indah. Karena suatu hal waktu itu aku gak bisa ikut. Kalian udah mati-matian membujukku. Aku ingat benar waktu itu. Akhirnya Yesi mengambil keputusan agar kalian gak pergi aja semuanya. Atas nama solidaritas, kesetiakawanan, kebersamaan, atau apalah namanya. Yang jelas, waktu itu aku ngerasa kalo kalian adalah bener-bener sahabat sejati yang pernah aku punya. Aku terharu. Kalian bener-bener gak berangkat padahal aku udah merelakan andai aja waktu itu kalian beneran pergi.”
Tetty diam. Ayu dan Leli juga. Ketiganya dipaksa untuk kembali ke suatu dimensi waktu, dimana ketika itu mereka memang akhirnya gak jadi berangkat ke Singkawang dan memilih liburan ke A Yani Mega Mal aja meskipun memang membosankan. Tapi atas nama kebersamaan, yang membosankan itu terasa lebih indah ketimbang yang menyenangkan tapi harus ada yang ditinggalkan.
“Setelah kupikir-pikir, hari ini kita udah jahat banget sama Yesi,” Re berucap lagi, kali ini sambil tertunduk, “Bukan kita sih, tapi aku. Kemaren Ayu udah ngasih usul yang bagus banget sebenernya. Sebaiknya kita batalin aja rencana liburan kali ini. Demi Yesi. Demi sebuah kebersamaan. Tapi, tapi…”
“Udahlah, gak usah terlalu dipikirkan.” Tetty memenggal kalimat Re sekenanya, “Kita juga ngerasain hal yang sama. Kita juga mikir, andai aja liburan kali ini gak melibatkan orang lain seperti pakdhe sekeluarga yang di Sanggau Ledo, udah pasti kita lebih milih gak berangkat. Tapi pakdhe sekeluarga di Sanggau Ledo pasti udah bikin persiapan buat nyambut kita. Misal kita bilang kalo kita batal datang di saat persiapan itu udah kelar, pasti mereka kecewa.”
Ayu hanya menganggukkan kepala demi membenarkan apa yang barusan dikatakan Tetty.
“Iya, bener. Aku setuju.” Leli menyahut lagi, “Kita udah kenal Yesi dangan sangat baik. Yesi pasti sangat kecewa, tapi toh nanti bisa kita bujuk. Nah, kalo yang kecewa pakdhe-nya Re kan susah. Boro-boro membujuk, kenal aja belum.”
Akhirnya tak ada lagi yang bersuara. Masing-masing berkutat dengan pikirannya.
Ayu meraih kantong plastik berisi snack yang dia simpan di dekat kaki. Dibukanya sebungkus Potato rasa sapi panggang. Diambilnya beberapa potong lalu dikunyahnya pelan-pelan.
Leli kembali mengubah posisi duduknya. Matanya masih juga terpejam. Entah ada apa dengan dia hari ini. Tingkahnya begitu aneh.
Tetty meremas jemarinya sendiri. Sesekali dia menoleh kebelakang. Tanpa basa-basi dicomotnya beberapa potong kentang berperisa sapi panggang dari tangan Ayu dan dikunyahnya. Pikirannya sedikit tenang kali ini. Entah itu karena potongan kentang yang barusan dia kunyah atau memang sudah waktunya.
Re memejamkan mata. Tangannya menggenggam erat setir. Perlahan, tangan kanannya terulur. Disentuhnya kontak yang sudah menempel. Hampir diputarnya benda itu, namun urung. Satu persatu ditatapnya sahabat-sahabat yang kini ada di dalam mobilnya ini. Tetty, Ayu, Leli juga. Dia sudah membulatkan tekad. Pikirannya sudah mantap.
“Baiklah, kita berdoa dulu. Sebentar lagi kita berangkat.”
Ayu meletakkan snack yang dia pegang lalu mengambil posisi untuk berdoa. Matanya terpejam khusyu. Bibirnya sedikit komat-kamit. Hal yang sama juga dilakukan oleh Tetty, Leli, dan Re sendiri. Sejenak kemudian ritual yang selalu mereka lakukan sebelum pergi jauh pun selesai.
Re memutar kontak. Strada Silver Metalik bergetar dengan lembut. Pelan-pelan mobil mulai keluar dari pelataran rumah dan menapak dengan mantap pada jalan beraspal halus. Sesaat ketika Strada yang gagah itu akan tinggal landas, mendadak sebuah sedan memotong jalan dan melintang persis di depan mobil yang dikemudikan Re.
Menyadari bahwa sedan itu gak juga beranjak minggir, Re yang pada dasarnya memang emosian langsung memencet klakson berkali-kali.
“Ini orang maunya apa sih?” Re sudah akan keluar dari mobil ketika sebelah tangan Tetty berhasil menangkap pergelangan tangannya.
“Tenang Re, gak usah pake emosi gitu lah.”
Re memencet klakson lagi. Kali ini cukup ampuh. Pintu sedan terbuka dan seseorang keluar dari sana. Seorang perempuan yang memakai topi pantai dan kaca mata hitam berjalan menghampiri mobil Re yang masih tak beranjak dari tempat semula.
Perempuan itu membuka topi pantai dan kaca mata hitam yang dia kenakan, “Masih ada tempat duduk gak buat aku?”
“YESIIIIIIIIIIIIIIIIIII???????”
Gak ada yang gak teriak. Re teriak. Tetty teriak. Ayu teriak. Leli membuka matanya, lalu teriak, “KRITIIIINGGGGGG???”
Mereka yang masih di dalam mobil mematung sekian detik. Menganga. Mengucek mata. Mencubit lengan sendiri. Menampar pipi temen terdekat. Seakan tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Sekian detik berikutnya, mereka berempat saling belomba untuk turun dari mobil.
“YESIIIII, ini bener kamu?” Tetty yang paling dulu nyampe di hadapan Yesi langsung memeluknya. Ayu dan Leli segera menyusul.
“Iya lah, ini aku. Emang kalian pikir ada orang yang mirip banget sama aku di Pontianak ini?”
Re merasa takjub dengan kejadian ini. “Kok kamu bisa sih lolos dari lubang jarum di saat yang genting seperti ini?” ah, tentu saja takjub. Bayangin aja. Mobil udah di jalan, mesin udah idup, tinggal injak pedal gas aja maka mobil akan melesat dengan kencangnya. Telat lima menit aja maka ketidakikutsertaan Yesi akan benar-benar menjadi kenyataan.
Yesi meringis, “Kalian juga udah pada tau kan kalo segala sesuatunya tuh selalu memiliki kemungkinan untuk terjadi, meskipun beberapa diantaranya emang sangat tipis dan nyaris gak mungkin. Dalam hal ini, aku ada di posisi yang nyaris gak mungkin itu. Tapi bukan berarti gak bisa, kan?” jawabnya diplomatis.
Mereka semua tertawa lepas. Benar-benar lepas. Tanpa beban. Tanpa kesedihan.

***

[9] Re: Percayalah, semua akan baik-baik saja



            Liburan tahun lalu, saat kami pergi ke Manokwari, aku ingat barang bawaanku gak sebanyak ini. Waktu itu barang-barangku cuma satu tas. Itu pun gak penuh-penuh amat. Sekarang? Aku membawa tiga tas dan lima kardus tanggung. Sumpah, aku udah kayak orang yang mau ngungsi aja. Lagian ibu ada-ada aja. Udah tau aku mau liburan, mau jalan-jalan, eeeeeh, pake dititipin barang-barang untuk Pakdhe Warno segala. Liburan maaaaaan, liburaaaaaan. Masa iya sih liburan bawa barang begituan? Narohnya dimana coba? Belum lagi barangnya temen-temen. Hadoooh…
            Misal nih ya, misal. Misalkan aku pake mobil sendiri, terus kardus-kardus tak berguna ini aku taroh di bak belakang, okelaaaah. Pasti muat kok. Cuma aku ogah aja kalo sempet ditanya sama orang dengan pertanyaan yang gak bermutu. Misalnya, ‘pindah rumah, Mas?’ atau yang lebih sadis lagi nih, ‘waduuuuh, ganteng-ganteng kok kerjaannya nganterin paketan orang!’
            Mampus deh aku!
            Aku masih duduk menghadap kardus yang numpuk. Males banget aku ngelihatnya. Ibu ini mau kirim oleh-oleh apa kirim barang dagangan sih? Oleh-oleh kok gak kira-kira gini. Bikin aku gak mood aja.
            “Kamu sudah nelpon pakdhe-mu, Re?”
            Aku nyaris mencelat. Ibu muncul dari dapur dengan tiba-tiba. Sumpah, aku kaget banget.
            “Kardus oleh-oleh ini jangan lupa. Yang tiga untuk pakdhe, yang dua untuk Ajeng.”
            “Memangnya isinya apa sih, Bu?”
            “Baju. Ada baju baru. Ada juga baju bekas untuk dipakai ke sawah.”
            “Yang untuk Mbak Ajeng isinya apa?”
            Ibuku tersenyum. Entah apa maksudnya. Yang jelas senyumnya sungguh mengundang curiga. “Mbak Ajeng-mu minta dibelikan boneka Angry Bird.”
            “APA???” demi Tuhan aku gak percaya barusan ibu ngomong apa. Angry Bird? Mbak Ajeng? Mbak Ajeng minta dibeliin boneka Angry Bird? Ya Tuhaaaaan, yang benar saja!!! Oh, itu tentu saja isi kardus yang pertama. Isi kardus yang kedua? Oke, biar kutebak. Pasti isi kardus yang kedua boneka barbie lengkap dengan baju ganti dan segala macam rumah dan kendaraannya yang bisa dibongkar-pasang. Dan… dan celakanya akulah yang membawa barang-barang itu. Tiba-tiba perutku terasa mual. Mataku berkunang-kunang.
Hp-ku bergetar. My Heart Draws a Dreams-nya L’Arc-en-Ciel mengalun dengan enerjik. Tuh, ringtone-ku aja udah laki banget gini, masa iya sih aku bakal jadi kurir boneka Angry Bird? Hah, yang benar saja!
“Siapa yang telpon?” tanya ibuku. Pasti beliau berharap telpon ini dari pakdhe. Kalo bener begitu harapannya, hahahaaaaa, siap-siap aja kecewa. Telpon ini dari Ayu.
“Dari Ayu, Bu. Biar Re angkat dulu.” Aku mendekatkan Hp ke telinga, “Hallo?”
“Hallo, Bang. Lagi apa?”
“Lagi ngelamunin Angry Bird,” kulirik wajah ibu yang masam.
“Serius dong ah,”
“Iya, serius ini. Didepanku lagi ada kardus yang isinya boneka Angry Bird. Bakal kita bawa tuh besok. Menuh-menuhin mobil aja.” Kulirik lagi wajah ibu. Manyun sekarang beliau. Hahahaaaaa. Gantian dong, sekarang aku yang meneror mentalnya.
“Bang, aku kok kepikiran Yesi terus ya? Rasanya gimanaaaaa gitu. Gak enak aja kalo gak ada dia. Sepi. Gak ada yang bisa dijadiin sasaran tabok.”
Aku merenung sejenak. Bener juga. Yesi adalah sumber kelucuan kami. Kalo ada sesuatu yang bakal jadi bahan ketawaan, itu karena ada dia. Dia itu sumbernya. Sumber keceriaan kami. Ibarat kata iklan, gak ada dia gak rame deh pokoknya. “Udah lah. Kalo mau dipikirin kayak barusan, ya emang berat. Kita gak biasa jalan dengan personil yang kurang. Formasi kita gak pas gini, tentu aja bakal gak asik. Tapi kan keputusan udah kita ambil. Percaya aja deh, semua bakal baik-baik saja kok.”
“Baik buat siapa dulu nih? Buat kita atau buat Yesi?”
“Ya buat dua-duanya lah,”
“Ah,” kudengar Ayu menyela di seberang sana, “tentu aja buat Yesi gak baik.”
Aku mengangguk. Biar gimana juga, pendapat Ayu barusan ada benernya. Bener banget malah. Siapa sih yang suka ditinggal sendirian dalam situasi seperti ini? Kupikir gak ada!
“Gimana kalo nggggg…”
“Apa?” aku mulai mencium gelagat yang gak enak.
“Gimana kalo acara liburan kita kali ini kita batalin aja. Atas nama solider sama temen. Gimana, Bang? Setuju gak?”
“APA???” aku bangkit dari duduk. Beneran, misal gak ada ibu di dekatku saat ini, barangkali udah aku tendang kardus berisi boneka kepala burung di depanku ini, “Jangan ngaco dong. Kita ngerencanain acara liburan kali ini bukan sehari-dua hari loh. Kita sudah membahas destinasi liburan kita ini jauh-jauh hari sebelum libur. Masa iya sih mau kita batalin gitu aja, padahal kita berangkatnya tuh besok. BESOK!!!”
“Aduh Bang, gak usah pake teriak-teriak gitu dong. Cumpleng nih kupingku,”
“Lagian ngasih usul ada-ada aja.”
“Yaaaaah, namanya juga usul. Kalo diterima ya bagus. Gak ya udah.”
“Kasian dong sama temen-temen yang laen. Sama Leli dan Kak Tetty. Mereka juga pasti udah packing barang. Kasian juga sama orang di Sanggau Ledo sana. Pasti mereka udah nyiapin tempat buat kita.”
“Iyaaaaa iyaaaaaaaaaaa, aku gak jadi ngasih usul yang tadi deh. Anggap aja tadi aku gak ngomong apa-apa.”
Aku mendengus kesal, “Ngasih usul aneh-aneh lagi Abang gampar nih ntar!”
“Aduuuuuhhhh, atuuuttttt. Digampar??? Ciyussss??? Miapaah???”
Kudengar Ayu ketawa terbahak-bahak sebelum menutup telponnya. Dasar tuh bocah. Ada-ada aja. Sama kayak ibu.
Ah, gila aja kalo emang bener liburan kali ini bakal dibatalin. Betapa kecewanya aku. Yang pasti aku gak akan sendirian. Pakdhe Warno juga. Beliau akan kecewa banget. Tempo hari aja waktu kutelpon, betapa nada bicara beliau tuh seneng banget begitu denger aku akan berkunjung ke Sanggau Ledo dengan temen-temen. Andai aja aku telpon sekarang dan aku bilang gak jadi pergi, waaaaahhhhh, bakal kecewa berat pastinya beliau itu. Mana ibu udah bilang mau ngirim baju lagi. Beuuuhhhh!!!
Telpon Leli ah.
Ngggggg… nelpon Kak Tetty aja deh. Mobilnya udah diservis belom ya? Kok perasaanku tiba-tiba gak enak gini sih?
“Hallo,”
Buset, tumben banget cepet gini ngangkatnya? Biasanya nunggu tiga jam baru diangkat kalo aku yang nelpon, “Hallo, gimana persiapan buat besok? Udah pada siap semua, kan?”
“Siap dong pastinya,”
Aku menautkan alis. Gak tau gimana cara ngelihatnya. Yang jelas barusan aku mendengar keragu-raguan dari jawaban Kak Tetty ini, “Mobil jangan lupa di cek kondisinya. Soalnya besok kan mau kita pake jalan jauh tuh. Jadi…” eh? Kok ada nada putus gini sih? “Hallo??? HALLOOOOOO??? KAAAKKKKK????”
Aje gile!!! Telponku diputusin gini? Nih orang kenapa sih? Kenapa sih hari  ini semua orang pada jadi aneh gini???

***


[8] Tetty: Kenapa sih yang namanya masalah itu selalu saja muncul menjelang detik-detik terakhir persiapan keberangkatan?



            “Kak, aku mau ngomong sebentar,”
            Nah, aku paling gak suka dengan intonasi sok penting dari anak ingusan kayak Elsa ini. Padahal plis deh, umurnya aja baru lima belas tahun. Itu pun entah udah nyampe atau belum. Tapi ngomongnya itu loh, kok udah kayak orang dewasa aja. Nada bicaranya aja udah nyebelin. Ngeliat tampangnya jangan dikata lagi. Beuhhh…
            “Ya ngomong aja lah, gak perlu pake masang muka sengak gitu,” koran sore belum pindah dari hadapanku. Lamat-lamat kulirik si Elsa mulai salah tingkah.
            “Kak, nggggg… besok aku mau pake mobil. Dua hari. Aku  udah bilang sama mama dan mama ngasih kok. Jadi Kakak gak perlu…”
            “Apa kamu bilang?” koran sore mencelat entah kemana. Kini yang ada di hadapanku bukan lagi koran sore, tapi mukanya si Elsa yang, oh Tuhan, sore ini tampak menyebalkan sekali. “Kamu mau pake mobil? Dua hari? Kamu ini beneran lupa atau pura-pura bego sih? Kakak kan besok mau berangkat. Mobil bakal Kakak bawa seminggu lebih. Gak ada tawar-menawar. Oke?”
            “Gak bisa!”
            ARRRRGGGGHHHHH… kalo aja di pasar ada orang jual nyawa, pengen rasanya nih bocah aku gamparin sampe wassalam.
            “Aku mau ke Singkawang, Kak. Mau tour. Temen-temen udah deal semua kalo besok bakal pake mobil aku.”
            “APA??? MOBIL SIAPA???” aku… aku nyaris saja tersedak. Seperti ada biji kedondong yang nyangkut di tenggorokanku saat ini. Aku gak percaya bahwa yang  sedang aku hadapi sekarang ini adalah adikku sendiri. Tapi, nabok adik sendiri sekali-sekali gak dosa kan?
            “Maksudku mobil Kakak. Ah, tapi kan yang beliin tetep aja mama. Aku udah minta ijin sama mama kok. Dan mama ngasih kok. Jadi…”
            “Udah! Cukup! Gak usah kamu ulang-ulang lagi alasan barusan. Kamu bahkan udah mengatakannya seribu lima ratus kali tiap kamu mau make mobil. Kakak tetep gak ngasi. Kakak mau make. Lagian yang kamu sebutkan tadi bukan deal. Itu bukan kesepakatan. Kamunya aja yang bego, gampang bener dimanfaatin. Temen-temenmu itu maunya gratisan aja. Plus kamu sendiri yang emang dasar mau pamer aja kalo kamu udah bisa nyetir. Gitu kan?”
            “Trus kalo gitu apa bedanya dengan temen-temen Kakak?”
            What???” sumpah, yang barusan itu aku bener-bener teriak, “Denger ya. Temen-temenmu dengan temen-temen Kakak jelas beda. Temen-temenmu masih pada ingusan. Senengnya sama yang gratisan. Temen-temen Kakak gak kemaruk sama yang namanya gratisan. Tanpa mobil Kakak pun mereka udah pada punya mobil sendiri-sendiri. Ngerti?” Oh, bahkan besok kami akan liburan gratis. Hidup ini sungguh ironis.
            “Nah,”
Kulihat anak ingusan itu menjentikkan jari dan memasang senyum liciknya.
“Kalo gitu Kakak nebeng sama temen Kakak aja. Mobil biar aku yang bawa besok. Gimana? Ide bagus kan?” katanya lagi dengan bangga, seolah barusan dia mengumumkan ke seluruh penjuru dunia bahwa dialah orang yang pertama kali menemukan mesin pemintal benang.
“NGGAAAAAK!” bentakku, “Sekali nggak ya nggak. Ngerti gak sih kamu?”
“Tetty…”
Ah, dewa penyelamat si anak ingusan muncul. Musibah udah diambang mata.
“Kenapa sih? Ada apa?”
“Mama kenapa sih kasih ijin sama si anak ingusan ini pake mobil besok? Mama kan tau kalo Tetty mau pergi. Liburan. Lama pula. Ah…”
“Tentu saja Mama punya pertimbangan, Sayang. Kamu kan bisa bareng temen-temenmu. Gak perlu bawa mobil sendiri kan? Tidak apa-apa lah mobil yang bawa Elsa. Sekali-sekali.”
“Sekali-sekali apanya?” kulihat si kunyuk Elsa senyum-senyum penuh kemenangan di belakang mama. Mata liciknya kian membesar. Malah dia udah berani menjulur-julurkan lidahnya ke aku. Beuhhh, tunggu aja dia. Pokoknya aku gak akan memberikan mobil ke dia. Tidak akan.
“Iya Ma, sekali-sekali kan gak apa-apa. Masak yang make mobil Kakak terus?”
“Eh, diam kamu, Kunyuk.” Mataku melotot ke Elsa, “Mama juga, ingat-ingat dong. Liburan dua tahun lalu juga mobil dibajak sama si kunyuk ini. Padahal waktu itu Tetty udah bilang kalo Tetty yang menyanggupi bawa mobil. Gara-gara dia acara liburan ke Sarawak nyaris gagal.” Telunjukku lurus mengarah ke muka Elsa. Hah, pengen rasanya tuh anak aku cambuk sekarang juga. Lihat saja, besok pagi sebelum aku berangkat ke Sanggau Ledo, roti panggangnya bakal aku kasi racun.
“Ya sudah, sebaiknya kamu telpon dulu temen-temen kamu. Tanya, apakah liburan kali ini ada yang mobilnya bisa dipakai atau tidak. Mama tunggu kabar baik dari kamu.”
Kelar ngomong gitu, mama langsung minggat. Si kunyuk ingusan ngekor di belakangnya. Sesekali tangannya melambai-lambai ke aku sambil menjulur-julurkan lidah. Ya Tuhan, aku ini anak kandung atau anak nemu di tong sampah sih? Malang bener nasibku. Selalu aja kalah sama si kunyuk. Aku pusing. Kenapa sih yang namanya masalah itu selaluuuuuuu aja muncul menjelang detik-detik terakhir keberangkatan? Dan yang selalu bikin masalah itu gak jauh-jauh dari Elsa. Huh!
Sebenernya udah pas banget kalo pakai mobilku. Kijang Innova emang standar kalo untuk berempat. Dua di depan, dua di tengah, dan yang paling belakang dipake untuk naroh barang. Pas kan? Akan beda kalo make mobinya Ayu atau Leli. Honda Jazz terlalu sempit jika kami perlu membawa barang yang banyak. Tentu aja gak asik rasanya duduk di mobil dan melakukan perjalanan yang jauh sambil memangku barang bawaan. Mobilnya Re apalagi. Sangat tidak sedap. Strada itu cocoknya untuk dua orang saja. Secara jumlah joknya cuma empat. Barang mau ditaroh dimana? Di bak belakang? Ntar kalo mau ngambil cemilan atau minuman ribet dong mesti berhenti dulu. Aaaaaahhhh…
Telpon… telpon… aku mesti nelpon. Aku mesti curhat. Kalo gak, bisa stress aku.
“Hallo…”
“Leliiiiiii…” hallo-nya Leli langsung aku sambut dengan teriakan histeris. Pasti Leli kaget barusan. Ah, sebodo teuing kalo itu sih, “Leli, besok pake mobilmu bisa gak?”
“Loh, emangnya mobilmu kenapa?”
“Aduuuuuuh, mobilku tuh…”
“Jangan bilang kalo mobilmu dibajak lagi sama Elsa,”
Aku garuk-garuk hidung, “Nah, itu tau.”
“Ya ampun Tetty… kok kamu selalu mengalah sih? Sama anak SMP aja kamu takluk terus. Gak ada perlawanan sama sekali.”
“Udah Leliiiiiii, udah. Malah mama juga udah aku serang sekalian barusan. Tapi ya itu, finalnya tetep aja aku yang tumbang.”
“Aduh, gimana ya, Tet. Ngggg, bukan gak boleh. Tapi mobil itu bakal dipake bapakku. Bapak ada acara ke Putussibau. Makenya masih tiga hari lagi sih. Tapi kan kita gak bisa mastiin apa tiga hari ke depan kita udah pulang atau belum.”
Aku mengangguk, “Iya sih,” hah, gak bisanya Leli semakin membuat hidupku kian dekat dengan game over. Tinggal dua orang lagi yang belum aku hubungi. Semoga aja salah satu dari mereka bakal bilang bisa.
Telpon udah aku matikan. Kini benda mungil itu sedang kutimbang-timbang. Ayu duluan atau Re duluan? Ah, Ayu duluan aja.
“Hallooooooooooooooooo…”
Eh, kok malah dia sih yang histeris? “Dimana nih?”
“Lagi di jalan. Ada apa?”
“Ngggggg, besok pake mobilmu bisa gak?”
“APAAAAA???”
“BESOK PAKE MOBILMU BISA GAK???”
“Woi, ngomong jangan teriak-teriak dong. Budeg nih.”
Eeee buseeeeet, yang teriak duluan siapa sih? Aduuuuuuh, tambah bikin pusing aja ini anak. Berhenti dulu kek, minggir dulu gitu biar enak nelponnya. Bete deh…
“Tadi ngomong apa?”
“Ini, mobilmu besok bisa di pake gak?” ulangku lagi, untuk yang ketiga kalinya.
“Dipake kemana?”
Nah, ini bocah kenapa lagi nih? Dipake kemana??? Helloooooo… emang besok kita mau kemana yaaaaaaaa????
“Ya liburan lah, ke Sanggau Ledo.”
“Wah, gak bisa. Barusan mobilku udah lenyap dibawa bokap sama nyokap ke Sambas. Sepupuku kawin. Mestinya aku ikut ke Sambas. Tapi karena aku solider sama kalian, jadinya aku milih kalian.”
Ayu cekikikan di seberang sana. Di dalam hati aku tepuk tangan dengan kesetiakawanan sosial nasional yang ditunjukkin sama Ayu barusan. Tapi toh intinya tetep aja MOBILNYA GAK BISA DIPAKE!!!
Pembicaraan dengan Ayu selesai.
Tinggal satu orang harapanku. Semoga aja nih anak mobilnya gak ada yang bawa.
Tapi, rupanya aku kalah cepat. Hp-ku udah teriak duluan sebelum aku pake untuk nelpon. Avenged Sevenfold nyanyi dengan lantangnya. Telpon dari Re. Ah, emang soulmate abis itu anak. Semoga aja dia bawa kabar bagus. Menawarkan diri agar besok kami berangkat dengan mobilnya aja, misalnya.
“Hallo,” sahutku dengan intonasi yang aku buat semerdu mungkin. Kalo Ayu Tingting denger suaraku barusan, pasti dia bakal ngiri.
“Hallo, gimana persiapan buat besok? Udah pada siap semua, kan?”
Eh, semoga yang dimaksud dengan ‘siap’ itu bukan mobil, “Siap dong pastinya,” jawabku dengan masih memasang intonasi yang merdu semerdu-merdunya.
“Mobil jangan lupa di cek kondisinya. Soalnya besok kan mau kita pake jalan jauh tuh. Jadi…”
HUAAAAAAAAAAA…
Aku udah gak sempet lagi denger kalimat lanjutan dari Re. Pandanganku mendadak jadi gelap gulita. Dadaku sesak. Dipikiranku udah mulai tersusun rencana untuk menaburi roti panggang sarapannya Elsa dengan bubuk mesiu.

***

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah