Kamis, 28 Juni 2012

Mancing






Saya sangat suka mancing. Mulai dari mancing ikan, mancing gadis, heheheeeee, sampai mancing keributan juga saya suka.
Momen ini terjadi di Kuala Mempawah, having fun bersama para brader, ngisi waktu libur.

Sepotong Doa di Ulang Tahunnya


12 Juni 2008
00.37 Wib
 

Tuhanku…
Engkau yang paling tahu apa yang sedang hamba pikirkan saat ini
saat malam kian meninggi, menuju pagi

Tuhanku…
telah Kau utus seorang hamba-Mu yang menenangkan, yang mengilhami
setidaknya sampai saat ini ia telah menemaniku menjalani hari saat hamba jauh dari sanak dan keluarga, jauh dari kasih sayang yang semestinya ada
tapi ia telah Kau hadirkan menggantikan yang tiada tadi, dengan segala kasih sayang melebihi hangat matahari pagi

Tuhanku…
jika memang kelak ia yang Kau berikan untukku, untuk mendampingi hidupku
maka muliakanlah ia, agar hamba, yang senantiasa menunggunya, dapat tersenyum sampai ujung usia
terangkanlah padanya apa-apa yang masih belum ia mengerti
karuniakan kepadanya ketangguhan sebagai seorang istri, untuk memberikan bakti yang sekarang masih tertunda, untuk menjaga kehormatan dan cinta sebagai penetap bahagiaku
beri ia gelar wanita solehah sebagai mahkota untuk mendampingiku, menyayangiku

Tuhanku…
hamba yang sibuk dalam kelelahan penantian, sangat mendamba seorang penawar saat dahaga
yang menyenangkan saat kupandang, yang patuh saat kupinta, yang pandai menjaga martabat saat kutinggalkan
jadikan ia rumah yang lapang buatku, kendaraan yang nyaman bagiku, penunjuk jalan yang lurus di depanku, penyejuk saat siangku, selimut saat malamku, pelipur saat sedihku, penyemangat saat terpurukku
kepadanyalah kelak aku memanggil istri, ibu dari anak-anakku

Tuhanku…
jika kelak ia menjadi rizki untukku
maka hamba ingin Engkau menjadikan pula hamba rizki yang indah baginya
cinta yang senantiasa membuatnya tertawa, yang selalu hadir dalam kosongnya, malaikat dalam mimpinya, warna di taman bunganya

Tuhanku...
gadis yang Kau pilihkan untukku, dua puluh tiga tahun kini
pada kesempatan menghadap-Mu kali ini, hamba mohon...
berikan kehidupan yang terang di sisa usianya yang telah terambil lagi satu
pimpin ia, lindungi ia dari marabahaya-Mu, karuniakan ia dengan kesehatan, kecerdasan, dan rizkimu yang halal
akal setipis rambutnya, tebalkan dengan ilmu-Mu
hati serapuh kaca, kuatkan ia dengan iman
perasaan selembut sutera, hiasilah dengan akhlak
bisikkan ke telinganya bahwa kelembutan bukan kelemahan

Tuhanku...
kabulkan pinta hamba malam ini
Amien...


Singgahlah Kemari

Luangkanlah waktu, singgahlah kemari
ke negeri penuh mimpi
tempat enggang menetaskan telur
tempat bocah pulas tertidur

sungai yang jernih
lapang yang bersih
matamu, mataku
adalah matahari musim semi
sebab di sini
cinta dan peluk
akan senantiasa mekar sepanjang pagi


Kita Adalah...



kau tau, Dinda...
kita adalah laut dan pantai
yang bercumbu saat langit
semburat jingga
kita adalah gerimis dan basah
yang menulis puisi sejuk di dahan akasia
kita adalah manis dan gula
tak rentang jarak, tak tau jeda.



November 2008

Kamis, 21 Juni 2012

Senyummu Sore Ini

entah dengan apa lagi kulukiskan
     : manis benar senyummu sore ini
       seperti sore pada awal musim semi
ingin benar kugenggam tanganmu
meremasnya dengan tergesa
sayang, aku mulai kehabisan jingga

Jumat, 15 Juni 2012

Cerita Nenek tentang Ramadhan


Nenek berkisah, sekali waktu
ketika gerimis mendendang di atap rumah, bertalu-talu
ketika Ramadhan hampir masuk tanggal satu
            : Ramadhan di kampung ini, dulu sekali
              adalah musim bunga, mekar warna-warni
              adalah musim suka cita, musim-musim jadi pelangi
              perjumpaan malam tak pernah sepi
              langgar-langgar sesak oleh ayat suci
              kita mengaji… kita mengaji…
              tadarus mengalir di sela sunyi

Nenek berkisah, sekali masa
sambil menghitung gerimis yang lama
sekian menit, tak juga reda
            : kampung terjaga, tak pernah tidur, Cu…
              kentongan sahut-menyahut, tiap pukul satu
              sahur… sahur…
  adalah lagu paling merdu
  mata terjaga sampai subuh di tepi
  kita mengaji… kita mengaji…
  tadarus mengalir lagi di sela sepi

Lalu nenek menatap senja
nyalang mata nenek kesana-kemari
sibuk mencari garis-garis pelangi
garis musim-musim setiap Ramadhan dulu itu
kini pudar tinggal kenang dan cerita paling kelu
            : Ramadhan di kampung ini, sebentar lagi, Cu…
              adalah kesepian seperti Ramadhan setahun yang lalu
              langgar-langgar sepi ayat suci
              mengaji juga kini sekali-sekali
              kentongan mati setiap pukul satu
              sebab penabuhnya sibuk tidur melulu

              Ah, Cucuku…
              barangkali masa memang sudah berganti
              tadarus mengaji kalah oleh lagu di televisi.

Kota Baru, Mei 2012

[cerpen] Kawin


Redia Yosianto

            Kawan, kalau kalian ingin tahu siapa wanita yang paling cerewet yang pernah tinggal serumah denganku, itu tak lain dan tak bukan adalah emak. Ah, kalian harus dengar ceritaku, Kawan, biar kalian tahu kalau ibu kalian tidaklah secerewet emakku. Semua hal yang sepele bisa dikomentarinya berjam-jam lamanya. Itu yang sepele, seperti lupa menutup pasta gigi sehabis mandi, lupa menjemur handuk, lupa menyalakan lampu teras ketika hari sudah gelap, dan macam-macam. Padahal, ah, lupa menutup pasta gigi dua hari pun tak akan membuat benda itu lemau atau basi, kan?
            Itu baru hal sepele, Kawan. Belakangan, tidak tidak, maksudku beberapa bulan terakhir, emak sibuk mengomentari status lajangku. Emak meminta aku untuk segera kawin. Dan kalau sudah membahas masalah kawin, bisa berjam-jam lamanya emak ngomel. Ngilu sekali telingaku rasanya. Semua jadi serba gampang menurut emak. Ya kawin itu tadi. Sudah puluhan anak gadis yang dikenal emak, turut pula dikenalkan ke aku. Disebutkannya satu-satu. Mulai dari yang tinggal di pasar sampai yang tinggal di pinggir sungai Kapuas pun emak kenal. Gila! Kawin sudah seperti ngerebus mie instan saja. Jerang air, rebus, makan, habis.
            “Bile kau maok kawen, Mat? Nunggu Mak mati ke ape?” seperti biasa, setelah ngomong gitu emak akan langsung batuk. Sapu tangan kecil yang belakangan selalu tersedia di saku bajunya itu segera membungkam mulutnya sendiri, meredam suara batuknya itu. Emak memang alergi dengan debu.
            Nah, Kawan, kalian dengar sendiri, kan? Dengar, kan? Itulah, aku tak pernah ingin bohong pada kalian soal emakku. Terutama soal cerewetnya.
            “Tak tengok ke kalau umur kau tu udah tige puloh?” emak ngomel lagi, batuk lagi.
            “Ape die tige puloh pulak,  Mak?” aku coba membela diri, “Dua lapan. Dua taon agik baru tige puloh.”
            “Ha, dua lapan.” selain cerewet, emak juga pandai meralat kekeliruannya sendiri. “Pas dah tu kawen. Maok nunggu ape agik bah?”
            Aku diam.
            “Ape lah agik yang maok kau cari? Kulu kilik-kulu kilik ngikot pakde kau tuh ke? Jadi kernet bis? Hah, tue di jalan gak nampaknye anak emak nih.”
            “Nyari pengalaman lah, Mak. Nyari duit gak.” aku memasang raut muka bodoh.
            “Duit? Untuk ape?” kulihat telinga emak sedikit mencuat.
            “Ndak e, untuk kawen lah dah. Emak gak yang besibuk nyuruh Mamat cepat-cepat kawen.” sahutku, masih dengan tampang bodoh.
            “Bile?” cuatan telinga emak kian tinggi. Hal ini wajar terjadi bila emak mendengar berita yang sekiranya bisa membuat hatinya senang.
            Tuhan, ini sungguh luar biasa. Raut wajah emak bisa langsung berseri-seri jika aku sendiri yang menyebut kata kawin dengan sedikit antusias. Kalau boleh aku tebak, selain raut wajahnya yang berseri-seri, kukira hatinya juga langsung berbunga-bunga demi mendengar anak bujangnya ini punya niat untuk kawin. Padahal, sungguh, aku cuma ingin segera mengakhiri omelannya untuk edisi kali ini. Itu saja.
            “Usah nak lamak-lamak agik kau kawen, Mat. Usah kau ikotkan pakde kau tu. Macam tak tau jak pakde kau tu, dude tak senonoh. Tak kawen-kawen. Mo jadi bujang agik ke ape?”
            Kawan, tolong jangan tertawakan aku. Aku memang kelihatan bodoh jika berhadapan dengan emak. Tapi sungguh, aku tidaklah seperti itu.
            “Kawen dengan Syarifah tu ha.” mulai lagi. Emak mulai lagi menawarkan anak gadis yang dia kenal. Entahlah, kali ini anak gadis yang dia kenal itu tinggal dimana.
            Aku tertegun. “Syarifah anak Wak Mahmud ke, Mak?” aku menerka. Aku kenal dengan beberapa gadis yang bernama Syarifah. Aku ingin memastikan, mungkin dari salah satu Syarifah yang kukenal itulah yang ditawarkan emak saat ini.
“Iye lah dah.” emak membenarkan. “Biar Mak mintakkan ke Wak Mahmud. Gampang lah tu. Wak Mahmud tu kawan Emak sekolah dolok. Emak minta sekarang, lusa bise dah kau kawen.”
“Ape lalu Syarifah pulak ni Mak?” protesku. Syarifah? Kawan, nanti akan aku ceritakan sedikit soal perempuan pilihan emak  kali ini. Lucu sekali jika aku harus kawin dengan si Syarifah ini. Pasti akan aneh.
            “Ngape pulak?” kali ini alis emak yang mencuat.
“Ck,” aku mulai gusar. Kawan, akan aku ceritakan sekarang saja soal Syarifah tadi. Biar sedikit mengurangi penasaran kalian. “Emak ni macam tak tau jak. Budak tu ngerebus aek jak pandai hangus aek tu. Tak kan lah yang kayak gitu mau jadi istri Mamat pulak. Tak pandai masak. Nyuci baju di Kapuas bah sikat cuci pandai anyot sorang. Tak pandai bedandan. Nanti Mamat pegi undangan malu lah Mak, bini Mamat tak cantek. Ape kate orang? Emak gak kan yang malu. Agikpun berape lah umur budak tu? Paling baru tige belas. Mane nyaman, Mak.” sahutku lagi. Kujelek-jelekkan si Syarifah itu sambil dalam hati aku meminta maaf kepadanya.
“Nyaman apenye, Mat?”
“Eh, nyaman apenye pulak? Mane nyaman ditengok orang lah dah. Mamat dua lapan, budak tu baru gak tige belas. Mane cocok, Mak.”
“Halah, pandai jak kau jawab omongan Mak ni.”
Aku tersenyum. Kawan, tahulah kalian kalau kali ini aku bisa memukul mundur emak. Aku menang. Calon pilihan emak kali ini sudah tereliminasi sebelum sempat bertanding. Kawan, aku tidak sebodoh yang kalian kira bukan?
***
            Di rumah pakde, aku menumpahkan segala keluh kesah selama beberapa hari terakhir. Soal emak dan obsesinya untuk segera  mengawinkanku tentunya. Seperti biasa, pakde hanya mengangguk-angguk sambil setengah terpejam. Entahlah, orang ini mendengarkan apa tidak.
            Oiya, Kawan, pakde ini adalah adik emak. Dia sudah dua tahun menjadi duda. Istrinya meninggal ketika hendak melahirkan anak pertama mereka. Mujur tak dapat diraih. Selang beberapa jam setelah istri pakde menghembuskan napas terakhir, putri kecilnya menyusul. Jadilah pakde duda seperti sekarang.
            Sehari-hari pakde bekerja sebagai sopir sebuah bis tua. Bis miliknya sendiri. Jangan salah, Kawan. Biarpun tua, bis yang dinahkodai pakde ini sudah malang melintang di pentas percarteran. Bis pakde sering disewa orang untuk acara-acara yang penting dan lumayan jauh. Kabupaten di Borneo Barat ini hampir khatam dijelajahi pakde dengan bis tuanya ini.
            Aku tak pernah secara resmi direkrut pakde menjadi kernetnya. Mulanya aku hanya ikut-ikutan saja. Tujuannya jelas, agar aku bisa pergi dari rumah tapi bukan secara liar. Dengan menjadi kernet, aku bisa melihat daerah luar. Lebih penting lagi, aku bisa melarikan diri dari omelan emak.
            Pakde meneguk kopinya yang sudah dingin sejak tadi. “Tambah pengalaman kau tu, Jang. Kawen gampang lah tu.” Pakde memanggilku dengan sebutan Bujang.
            Nah, ini yang aku suka dari pakde. Pandai sekali dia memahami perasaan keponakannya ini. Aku tersenyum. Dudukku sedikit tegak.
            “Kau udah jadi sarjana, tadak gak maok kerje. Maok kau kasi makan ape istri kau nanti kalau kau kawen cepat-cepat?”
            Mantap. Keren. Aku suka dengan pola pikir pakde yang berorientasi ke depan ini. Coba saja emakku juga seperti ini.
            “Ape agik lah yang mak kau maokkan tu? Cucu udah dapat dari adek kau. Ape agik? Menantu perempuan? Bilanglah ke mak kau tu Bujang, sabar-sabar. Macam lah die tu besok maok mati.”
            Aku tergelak. Pandai juga rupanya pakde mengata-ngatai kakaknya sendiri. “Pakde macam tak tau emak jak. Gitu lah die tu. Ape yang die maok, tak pernah bise sabar.” timpalku masih dengan sisa tawa.
            Pakde menyulut rokok, “Kalau memang mak kau tak bise sabar agik, kau kawen jak dengan Maria anak tetangga Pakde tu.”
            Kali ini aku menautkan alis. “Lalu Maria pulak yang Pakde sebotkan.” aku kenal dengan Maria, Kawan. Dia itu teman satu kampus semasa kuliah dulu.
            “Ape agik kurangnye budak tu? Masak pandai dah. Segale macam lauk pandai die mbuatnye. Ape agik? Nyuci? Jangankan nyuci Jang, nyangkul jak die lihai. Bedandan? Tak usah bedandan pun cantek dah budak tu.”
            “Pakde ni emang tak paham dengan emak.” aku menghempaskan tubuh ke dinding terasnya.
            “Ngape tak paham pulak?”
            “Maria tu orang batak, Pakde.”
            “Orang Zimbabwe pun kalau memang jodoh tak kemane, Bujang. Ape kau ni, lalu gitu pulak pikiran kau. Kesal benar Pakde dengarnye.”
            “Emak tu maoknye Mamat kawen dengan orang melayu gak, Pakde. Mane maok emak selain melayu. Dolok pacar si Nina orang jawe, ndak gak boleh kawen same emak. Akhirnya kawen lah si Nina tu dengan Ilham, budak melayu itam legam tukang mancing udang tu.” Pakde mengangguk-anggukan kepala mendengar penjelasanku. Rupanya masih ingat juga dia bagaimana menolaknya emak ketika adikku mengajukan calonnya sendiri. Sama seperti si Syarifah, si Bambang juga tereliminasi sebelum sempat bertanding.
            “Oke lah. Kalau menurut Pakde,” pakde menikmati betul setiap sedotan rokoknya. Dihembuskannya pelan-pelan asap dari bibirnya yang sedikit diruncingkan. Asap segera meluncur perlahan. Aku tak sabar menunggu kalimatnya yang terpenggal oleh asap itu.
            “Ape Pakde?”
            “Kau memang harus kawen cepat-cepat, Bujang.”
            Aku bangkit dari duduk. Hari ini tak sudi aku ngernet bis tua Pakde.
***
            Kawan, kalian tahu aku ada dimana sekarang? Aku di rumah sakit, Kawan. Emak masuk rumah sakit. Perkara batuknya itu, dulu kupikir hanya batuk biasa saja. Betapa bodohnya aku yang selalu percaya setiap emak mengatakan kalau dia alergi terhadap debu. Emak tak pernah bilang kalau dia mengidap kanker paru-paru. Dan perkara sapu tangan yang selalu membungkam mulutnya sendiri selepas batuk itu, rupanya untuk menyembunyikan darah yang keluar dari setiap batuknya, bukan untuk meredam nyaring suara batuknya atau apalah namanya. Sekali lagi aku merasa benar-benar bodoh. Tidak, Kawan, kali ini bodohku tidak kubuat-buat.
            Aku jengkel saat tahu bahwa sebenarnya pakde mengetahui penyakit emak ini. Aku jengkel. Mengapa mereka harus menyembunyikannya? Apa salah jika aku, anaknya yang tak tahu adat ini, turut mengetahui sakit emak? Dan perkara kawin itu, ah…
            “Mat, emakmu siuman. Temui emakmu dolok gih. Emakmu manggil-manggil kau terus tu ha.” Pakde merangkul pundakku, menuntunku memasuki ruangan tempat emak terbaring.
            “Mak,” bisikku pelan. Kulihat emak membuka matanya. Kutelusuri tubuh emak. Baru sadar aku kalau emak semakin kurus. Kulitnya yang keriput semakin membuat emak terlihat lemah. Entahlah, Kawan, sudah sejak kapan aku meneteskan air mata. Aku sungguh tak sadar.
            “Mat,” tangan emak terulur ke kepalaku. Lembut sekali rasanya. Belaian emak ini, sungguh aku juga sudah lupa kapan terakhir kali aku merasakannya.
            “Ngape Emak ndak maok cerite ke Mamat kalau Emak ni sakit?” susah sekali mengatakan satu kalimat ini sambil menahan tangis. Aku sesenggukan. Kulihat emak malah tersenyum. Ah, emak…
            “Emak ni ade utang dengan almarhum bapak kau, Mat. Emak udah janji, emak tak akan tenang nyusul bapak kau kalau Emak belom ngawenkan kau. Nina udah kawen. Tinggal kau jak yang belom.”
            Aku masih sesenggukan. Kulihat emak memejamkan matanya. Sebentar saja.
            “Tapi rupenye Tuhan bilang lain. Tuhan tak mengijinkan Emak melunasi utang Emak ke bapak. Emak kena kanker paru-paru. Pakdemu tu lah yang ngantar Emak berobat, lapan bulan yang lalu. Kate dokter, kanker emak udah stadium tige. Entahlah, Mat. Emak pun tadak gak tau arti kate stadium tu ape.”
            Tangan emak masih juga mengusap-usap kepalaku. Aku makin menenggelamkan wajah ke tepi pembaringan emak. Tangisku tak kuat lagi kutahan. Air mataku menderas.
            “Itulah ngape Emak ni bekalut benar nyuruh kau tu cepat-cepat kawen. Firasat Emak tak nyaman beberape hari belakangan ni. Emak temimpi bapak kau teros, Mat.” usapan tangan emak pindah ke pundakku yang bergetar. “Emak minta maaf ye, Mat, kalau-kalau udah kelewat cerewet dengan kau belakangan nih. Kawen dengan pakse pun tadak gak bagos. Emak tau bah. Emak pun ngerase bersalah gak dengan Nina.”
            “Emak sembuh ye, Mak. Mamat janji, Mak. Kalau Emak sembuh, Mamat kawin. Emak lah yang milihkan gadis untuk Mamat. Mamat ndak akan nolak, Mak. Tapi Emak harus sembuh ye. Kite balek ke rumah ye, Mak.”
            Emak tersenyum. Kulihat senyum emak begitu tenang dan menenangkan. “Iye, Mat. Kite balek ke rumah sebentar agik. Cume,” emak memejamkan matanya sejenak. Emak menyebut nama Nina, adikku itu, dengan sedikit bergetar. Nina memang tidak disini sekarang. Nina ikut suaminya. Mereka menetap di Sambas. Barangkali sekarang Nina dan suaminya sedang menuju ke Pontianak. Pakde yang menelponnya, beberapa saat setelah emak tumbang dan dilarikan ke rumah sakit.
            “Kalau Emak tak sempat balek ke rumah nanti ni, sampaikan ke Nina ye, Mat, Emak minta maaf soal kawen die tu. Mungkin dengan si Bambang tu lah si Nina tu berjodoh. Tapi Emak dah maksekan jodoh untuk die. Emak minta maaf.”
            Aku meraung lagi. Kuciumi punggung tangan emak berulang kali. Aku ingin mengatakan satu hal yang selama ini begitu ingin kusampaikan langsung ke Emak. Aku sayang emak. Aku tak pernah mengatakan ini ke emak. Aku sayang sama emak. Aku sangat sayang emak. Aku harus bilang sekarang. Sebelum…sebelum…
            “Mak? Emak? Emaaaaaaaaaaaaak…”


Kota Baru, April 2012

n.b.
Cerpen ini dimuat dalam buku antologi cerita pendek
terbitan Borneo Tribune Press Pontianak.

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah