Jumat, 06 Mei 2011

Indriana


Disinilah aku sekarang, di sebuah desa yang sejuk di kaki Gunung Merapi. Desa Paraksari. Bukan, ini bukan desaku. Aku sekedar berkunjung saja ke rumah sahabat terbaikku saat masih kuliah dulu. Lukman. Sudah lima tahun lamanya kami berpisah setelah lepas masa perkuliahan dulu. Kami bertemu lagi secara tak sengaja. Beberapa minggu yang lalu, aku diundang oleh Dandi, sahabat kami juga. Kapan hari itu Dandi me-launching buku pertamanya. Disinilah aku bertemu dengan Lukman. Segera saja kami bertiga terlibat pembicaraan yang sangat akrab dan hangat.
            “Gila! Sastrawan Jakarta diundang juga? Waaaah, bisa minder aku ini.”
            Aku tersenyum. Itulah komentar Lukman pertama kali saat dia melihatku berjalan beriringan bersama Dandi. Acara belum dimulai.
            “Sastrawan? Hei, kau sudah menerbitkan buku. Dandi akan me-launching bukunya sebentar lagi. Lah, aku? Orang yang kau sebut sastrawan ini belum punya karya apa-apa. Sebenarnya siapa sih yang pantas mendapat gelar sastrawan?” kami bertiga terbahak, saling berpelukan setelahnya. Kabar terbaru segera meluncur dari bibir kami masing-masing.
            Seusai acara, Lukman menawarkan singgah ke rumahnya. Aku menolak. Tentu saja aku punya alasan. Lukman juga bisa memahaminya. Lima tahun sudah kami meninggalkan bangku kuliah. Tentu saja kami punya kesibukan sendiri. Kami rasa, ini memang sudah menjadi keharusan. Bukan harus sibuk, tapi harus menerapkan ilmu yang kami dapat selama kuliah dulu.
            “Kapan-kapan kalau kau punya waktu libur yang sedikit panjang, mampirlah ke gubukku. Aku senantiasa menunggu kunjunganmu, Lang.” Lukman menuliskan alamat rumahnya di kertas kecil. Segera diangsurkannya kertas itu ke aku begitu dia selesai menulis. Aku menerimanya dengan senang sambil dalam hati aku berjanji jika kelak ada waktu luang, aku akan berkunjung. Secepatnya.

***

Disinilah aku sekarang, di sebuah desa yang sejuk di kaki Gunung Merapi. Desa Paraksari. Aku menggunakan penerbangan pertama dari Jakarta. Sampai di Jogja, segera saja aku meluncur ke Kecamatan Pakem, alamat rumah Lukman yang dia tuliskan dulu, sebelum kami berpisah. Lukman bilang, rumahnya tidaklah begitu jauh dari Jogja. Hanya sekitar tujuh belas kilometer saja.
Bus yang aku tumpangi melaju tenang. Aku menemukan kedamaian disini, bahkan di dalam bus sekalipun. Sepanjang perjalanan, mataku tak lepas dari pemandangan yang tersaji dengan indah dan alami. Banyak sekali rumah penduduk yang kulihat sepi. Aku jadi ingat cerita Lukman dulu, sewaktu kami masih kuliah. Setiap malam Lukman selalu bercerita tentang desanya yang menyenangkan. Itu katanya.
            “Kamu tau, Lang, desaku sepi. Sangat sepi malah. Tapi karena sepi itulah aku jadi senang mudik.” Lukman mulai bercerita. Aku mendengarkan dengan seksama sambil mencoba untuk terlelap.
            “Lah, kok bisa gitu?”
            “Apanya?”
            “Ya itu tadi, sepi, tapi kamu malah suka.”
            “Oh,” Lukman membenarkan letak bantalnya, “tentu saja aku suka. Kamu tau sendiri kan, gimana ramainya disini. Bising. Macet. Gerah. Kalau aku mudik, terus yang kutemui di desaku sama seperti yang terjadi di sini, mendingan aku gak usah mudik kan, Lang?”
            Aku mulai mengerti dengan alur pikirannya. “Terus, kok bisa sepi gitu, orang-orangnya pada kemana?”
            “Banyak yang merantau, Lang. terutama bapak-bapak dan remaja. Kalau ibu-ibu biasanya bekerja sebagai pemanen buah salak di beberapa perkebunan milik orang kaya.”
            “Salak?” aku antusias. Segera saja kepalaku miring dan mencoba mencari kepastian atas cerita Lukman barusan. “Di desamu banyak salak?”
            “Iya, banyak.”
            “Waaaaah, mantap.”
            “Kamu suka salak, Lang?”
            “Gak.” Jawabku sekenanya. Kalau sudah begini, bantal yang persis berada di bawah kepala Lukman segera saja pindah ke mukaku.
            Aku tersenyum. Semuanya melintas dikepalaku begitu saja. Kenangan itu terasa begitu indah.
            Laju bis mulai melambat.
Tak sulit mencari tukang ojek disini. Kutunjukkan alamat yang tertera di kertas kumal pemberian Lukman tempo hari kepada salah satu tukang ojek yang aku temui. Setelahnya kami tawar menawar harga. Motor segera melaju perlahan setelah ada kesepakatan. Dan, segera saja dadaku bergetar hebat. Aku akan bertemu Lukman. Tidak, bukan hanya Lukman. Tapi aku akan bertemu dengan keluarganya. Anak dan istrinya.
            Ojek berhenti. Persis di depan rumah mungil yang pekarangannya sangat luas. Aku takjub. Semilir yang dikirim oleh beberapa batang Akasia di tepi jalan segera menyambutku. Aku mematung. Masih takjub. Pandanganku mulai beredar liar. Dua buah taman kecil ditata begitu rapi. Bunga warna-warni melambai dengan lentik. Aroma yang begitu wangi segera menyergap memenuhi rongga hidung. Segar sekali. Setapak jalan kecil membelah persis ditengah-tengah taman. Jalan ini menuju beranda rumah yang mungil dan asri tadi. Kebahagiaan begitu terasa di rumah ini. Sejenak aku hanya bisa diam. Dadaku masih belum berhenti bergetar.
            Pintu terbuka. Ojek sudah menghilang sejak tadi.
            “Elang?”
            Suara itu. Aku mendengarnya lagi. Aku tak kuasa untuk melangkah. Bahkan untuk sekedar membalas keterkejutannya sekalipun.
            “Elang? Oh, masuklah. Ayo.”
            Suara itu masih menggetarkan sebuah keterkejutan. Aku juga. Jujur, aku juga terkejut. Tentu saja beda. Suara itu terkejut tentu karena sama sekali tidak menyangka bahwa aku akan benar-benar berkunjung. Sementara aku? Aku terkejut karena, ah, bodohnya aku. Aku hanya terkejut lantaran kulihat perempuan yang berdiri di ambang pintu itu masih seperti dulu. Cantik.
            Pelan, aku melangkah mendekati pintu. Segera aku disuguhi oleh paras bingung seorang perempuan yang tak tau harus memulai pembicaraan dari mana. Aku mulai mencoba meredakan detak jantungku yang masih saja menghantam dada. Kupandang lekat-lekat wajahnya, perempuan itu. Dia tertunduk. Niatku untuk berinisiatif memulai percakapan gagal.
            “Duduklah, Lang. sebentar kuambilkan minum.”
            Aku menerima tawarannya. Sebenarnya aku tidak merasa letih atau apalah namanya. Aku duduk karena ingin menenangkan diriku sendiri. Detak jantungku sendiri.
            Perempuan itu segera kembali. Kuamati lakunya lekat-lekat. Manis sekali. Bahkan caranya menyuguhkan minum sekalipun.
            “Mana Lukman, In?” aku mencoba mencairkan ketegangan.
            “Biasalah, masih mengajar. Sebentar lagi juga pulang.” Indriana, perempuan dihadapanku ini, tersenyum. Aku benci. Bukan kepada senyumnya, tapi kepada gemuruh yang sekali lagi menghantam dadaku dengan hebat.
            “Oiya, kamu apa kabar? Sejak menikah dengan Lukman, kamu seperti tenggelam, hilang ditelan bumi. Tak pernah lagi kubaca tulisanmu di koran lokal. Berhenti jadi penulis?”
            Lagi, kulihat dia tersenyum. “Aku ya seperti yang kamu lihat sekarang ini. Ibu rumah tangga yang hanya sesekali saja merasa sibuk mengurusi taman kecil itu. Selebihnya, tak banyak yang aku lakukan. Menulis tak pernah aku tinggalkan. Aku suka bunga. Aku juga suka menulis. Hanya saja, tulisanku sekarang statusnya sebagai koleksi pribadi saja.”
            Aku merasakan, ketegangan sudahpun mencair. Indriana segera saja menjelma sebagai gadis delapan belas tahun saat pertama kali kukenal dulu. Hangat. Ramah. Berbincang dengannya selalu saja membuatku kesulitan dalam satu hal: mengakhirinya.
            Aku sendiri mulai bisa mengontrol detak jantungku. Semuanya akan baik-baik saja. Perbincangan ini sendiri mulai terasa mengalir apa adanya. Hangat seperti dulu. Kami tertawa bersama. Membicarakan kenangan-kenangan saat di bangku kuliah dulu. Semuanya hadir. Datang kembali tanpa bisa dicegah. Menyeruak memenuhi ruang dan waktu saat ini. Sebuah dimensi yang telah kami tinggalkan beberapa tahun lamanya. Kami paksa, kami seret untuk hadir kembali dan setelahnya kami tertawa. Menertawakan segala tingkah yang terkadang terasa begitu bodoh.
            Sampai akhirnya kami dikejutkan oleh teriakan Lukman.
            “ELAAAANG???”
            Aku benar-benar terkejut. Lukman menghambur, memelukku dengan erat. Tawanya nyaring. Sungguh terasa bahwa dia bahagia. Tidak dibuat-buat. Matanya bulat membesar mengamatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Diguncangkannya pundakku beberapa kali. Lukman tertawa lagi.
            “Kau datang juga, jagoan. Ah, aku benar-benar senang hari ini. Kau benar-benar menginjakkan kakimu di gubukku yang renta ini. Selamat datang sahabatku Elang. Mari, kita ngopi dulu sambil menikmati lezatnya jadah tempe buatan istriku.”
            Itulah Lukman. Seorang sahabat yang sampai saat ini belum pernah mengecewakanku sekalipun. Aku begitu bahagia dengan sambutannya ini.
            “Kau tidak berubah.” aku memulai pembicaraan sesaat setelah Indri kembali. Sepiring jadah tempe terhidang dihadapan kami. “Kau masih saja suka berteriak kalau sedang gembira. Persis seperti dulu.”
            Lukman tertawa. Indri juga. Tapi aku tidak berani menatapnya. Bibir yang tertawa itu. Bibir Indri.
            “Jadi, apa sekarang kau sudah berubah?”
            Aku mengangkat bahu. “Kau yang menilai, bukan aku yang mengaku.”
            Lukman tertawa lagi. “Ternyata kau juga masih seperti yang dulu, Kawan. Kau suka berdiplomatis setiap menjawab pertanyaan. Aku suka itu.”
            Aku mencomot sepotong jadah tempe. Mengunyahnya perlahan. Nikmat sekali. Lukman juga melakukan hal yang sama. Mencomot sepotong jadah tempe. Juga mengunyahnya perlahan. Kami tertawa menyadari ini.
            “Kenapa kalian tertawa? Apa ada yang aneh?” Indri yang bertanya.
            Aku memandang ke arah Lukman, memintanya untuk menjelaskan sebab kami tertawa barusan. Lukman sangat paham dengan isyaratku ini.
            “Kami punya banyak kesamaan, In. banyak sekali. Mulai dari kebiasaan tertawa, cara makan yang sama, kesukaan makanan yang sama, bahkan dulu sewaktu kuliah, kami mencintai gadis yang bernama sama. Indriana. Bedanya, Elang gagal mendapatkan gadisnya.”
            Aku tertawa membenarkan. Segera kutelan potong jadah tempe terakhir. Seketika rasanya menjadi tawar.
            “Masih kau simpan foto gadismu itu, Lang?”
            Aku tersenyum, “Tentu saja masih.” kuambil dompet di saku celana, kukeluarkan selembar foto yang sudah mulai kusut. “Ini. Cantik kan?”
            Lukman menerima foto yang kuangsurkan. “Lihat foto ini, In,” Indri mendekat. “Cantik kan? Itulah salah satu kesamaan kami. Selera kami tinggi kalau menyangkut urusan gadis.”
            Kusimpan kembali foto yang diangsurkan Lukman. Sejenak kulihat wajah Indri. Ekspresinya datar. Aku yakin dia tak hendak mengatakan apa-apa. Tentang gadis dalam foto itu tentu saja.
            Sepi.
            Sekali lagi aku berusaha menyeret sepotong kisah beberapa tahun yang lalu. Aku ingat waktu itu Lukman kaget setelah mendengar aku menyebutkan nama gadis yang ingin aku jadikan pacar. Dia bilang, nama yang aku sebutkan barusan sama persis dengan nama gadis yang juga ingin dia jadikan pacar. Akhirnya kami sepakat untuk saling menunjukkan foto gadis kami masing-masing. Aku memintanya menunjukkan foto gadisnya lebih dulu.
            “Bagaimana? Cantik bukan?”
            Aku tersenyum ketika itu. Aku suka dengan pilihannya. Gadis itu cantik sekali.
            “Sekarang, tunjukkan foto gadis idamanmu.”
            Aku mengeluarkan selembar foto. Kuserahkan ke Lukman. “Cantik gak?” kulihat Lukman berdecak beberapa kali.
            “Cantik sekali, Lang. kamu pintar memilih calon.”
            Kami tertawa. Waktu itu kami berjanji akan memperjuangkan cinta kami. Tentu saja seharusnya begitu.
            Aku tersenyum. Tiba-tiba Lukman menepuk pundakku. Sepotong kenangan yang baru saja hinggap tadi seketika terbang.
            “Menginaplah disini barang beberapa hari. Kita bercerita sepuas-puasnya. Nanti kuajak kau melihat kebun salak milikku yang baru saja berbuah. Tidak begitu luas. Tapi kujamin kau akan letih setelah mengelilinginya.”
            Aku menyetujuinya. Masalah menginap itu. Juga masalah melihat kebun salak milik Lukman. Tapi aku katakan, aku tidak bisa berlama-lama. Besok sore aku harus sudah kembali ke Jakarta. Kulihat Lukman mengangguk juga meski wajahnya menunjukkan rasa yang lain.
            Sementara Indri? Dia hanya mematung. Sesekali mata kami saling beradu pandang. Sebentar saja. Debur itu menghantam lagi didadaku. Sama hebatnya ketika pertama kali kakiku sampai disini, di desa ini, beberapa saat yang lalu.

***

            Malam masih belia. Langit sedang cerah. Ada sesuatu yang lain disini. Aku merasakannya. Sangat. Kedamaian yang belum pernah aku jumpai dimanapun. Tenang. Jakarta tak pernah menyuguhkan keadaan seperti ini.
            Aku kembali berbincang dangan Lukman. Indri sedang mengajari putranya menyelesaikan pekerjaan rumah oleh-oleh dari sekolah tadi siang. Suaranya lamat-lamat kudengar. Begitu sabar.
            Sepanjang sore tadi Lukman membawaku berkeliling kebun salak miliknya. Ada beberapa pohon yang buahnya sudah siap dipetik. Aku senang melihatnya. Kebun salak itu dan tentu saja Lukman. Ia berhasil sekarang. Banyak hal yang dia punya. Keluarga yang menyenangkan, beberapa buku karyanya sudah terbit, juga kebun salak yang sudah mulai berbuah. Aku semakin kagum.
            “Besok sore aku akan mengantarmu ke bandara. Sekarang kau istirahatlah. Tentu kau letih sekali hari ini.”
            Lukman berlalu. Aku mengatakan kalau aku masih ingin menikmati malam di sini. Lukman membiarkan aku sendirian.
            Aku memanfaatkan keadaan ini sebaik mungkin. Menyelami ketenangan yang mengagumkan. Kubiarkan kekagumanku menyeruak menari. Aku ingin seperti ini hingga larut malam nanti.
            “Aku masih menemukanmu, sama seperti dulu, Lang.” Indri, tiba-tiba saja dia berdiri diambang pintu.
Aku tersentak. Benar-benar terkejut. “Maksudmu?”
“Jawab dengan jujur, Lang, kemana pergimu ketika Lukman mulai masuk diantara kisah yang sudah kita jalin? Kau pengecut, Lang.” suara Indri begitu lirih namun sangat tajam menusuk. Begitu juga tatapannya.
Aku menunduk. Untuk saat ini, hanya itu yang bisa aku lakukan.
“Apa kau masih mencintaiku, Lang?”
Pertanyaan ini bukan saja tajam menusuk, tapi hampir membunuhku. Aku harus mengatakan apa? Kembali ke masa lalu, mengingat semua kesalahan,  lantas berusaha memperbaikinya saat ini, tentu bukan perkara yang gampang.
Sepi kembali berkuasa.
“Lang, jawab.”
Aku membenarkan letak dudukku sejenak, “In, sudahlah. Semua sudah lewat. Aku tak perlu menjawabnya. Kurasa kau lebih paham dan tau mengapa hingga sekarang aku belum juga berkeluarga.”
“Sesederhana itu kah?”
“Ini sangat rumit, In. Sama seperti waktu itu. Aku juga Lukman sama-sama suka padamu. Sekarang semuanya sudah jelas bukan?”
“Lantas, foto itu?”
Kali ini aku yang tersenyum. “Tidurlah, In. Malam telah larut.” Aku menggeliat, merentangkan tangan. “Benar apa kata Lukman tadi siang. Mengelilingi kebun salak kalian bisa membuat tubuhku letih. Selamat malam, In.”

***

            Disinilah aku sekarang, dikamarku sendiri yang dibungkus dengan gemuruh dan gerah kota Jakarta. Paraksari sudahpun kutinggalkan sore tadi. Kebun salak, jadah tempe, juga Indri. Dadaku masih bergetar sekalipun hanya kelebat bayangan Indri yang datang. Seperti saat ini.
            Kuingat, aku masih menyimpan foto gadis yang kusebut sebagai ‘Indriana’ dihadapan Lukman dulu. Bahkan dihadapan Indriana yang sesungguhnya. Aku merasa begitu bodoh.
            Kukeluarkan foto ‘Indriana’ dari dalam dompet. Kupandangi lekat-lekat. Gadis ini memang cantik. Aku tersenyum. Kulirik jam dinding yang tergantung persis di atas bingkai foto Indri. Indriana yang sesungguhnya. Pukul dua puluh satu lebih empat belas menit. Belum terlalu larut. Kuputuskan untuk menelpon ‘Indriana’, gadisku ini.
            “Ada apa, Mas?” suara Indriana, di seberang sana.
            “Mama udah tidur?”
            “Belom. Mau ngomong sama mama?”
            Aku menggeleng. Ah, gobloknya aku. “Gak. Mas cuma mau bilang sama kamu kalo kemaren Mas ke Jogja. Nginep di rumah Indri. Di rumah Lukman maksud Mas.”
            “Oya? Mbak Indri apa kabar? Pasti dia kaget banget pas dia tau kalo Mas Elang yang datang.”
            Aku tertawa. Lantas kisah yang terjadi kemarin meluncur begitu saja. Mengalir dengan leluasa. Sayang, aku belum sempat bilang ke Lukman dan Indriana kalau aku punya seorang adik perempuan yang namanya Indriana juga.
 
22 Maret 2011
Makasih buat De' Lin yang udah kasi info tentang Desa Paraksari. Deskripsinya bagus banget. Makasih ya...

Ada Bintang Malam Ini


           “Kamu suka lihat bintang?” tanya Mas Nino, suatu malam saat kami sama-sama tidak bisa tidur. Ini suatu kebetulan yang bagus. Mas Nino adalah orang yang sibuk. Beda dengan aku yang sama sekali tidak pernah bekerja dengan serius. Orang seperti aku memang selalu punya waktu luang yang lebih saat siang untuk istirahat. Lain seperti Mas Nino. Sibuknya saat siang itu kadang-kadang selalu menyita waktu seusai makan malamnya, untuk sekedar ngobrol sekalipun. Ia akan langsung menuju kamar dan tak lama kemudian tertidur. Makanya tadi aku bilang ini adalah suatu kebetulan yang bagus. Jarang-jarang Mas Nino bisa nemenin aku menikmati malam yang semakin menua ini.
            Ditanya seperti tadi, aku harus berpikir dulu untuk menjawab. Aku tidak suka bintang. Aku lebih suka bulan. Sayang, aku jarang bisa lihat bulan. Bulan muncul hanya kadang-kadang. Tidak sepeti bintang yang setiap malam selalu ada, asal tidak hujan.
            Kulihat Mas Nino masih menengadah. Matanya takjub menatapi bintang yang berkedip manja. Ia tersenyum.
            ”Kalau Mas sangat suka melihat bintang seperti ini, ” katanya lagi, padahal aku saja belum menjawab pertanyaan yang tadi ia ajukan.
            ”Kalau Trisna lebih suka bulan. Sayang aja malam ini ia gak keluar. Coba kalau malam ini ada bulan, wah, kita bisa tanding siapa yang lebih terang, ” selorohku.
            Mas Nino tersenyum lagi. Yang kulihat kali ini senyumnya lebih untuk aku, bukan untuk bintang pujaannya. ”Jadi itu alasan kamu lebih suka bulan dari pada bintang? ”
            Aku mengangguk serius, berharap dengan argumenku barusan, Mas Nino akan pindah haluan lantas kemudian akan menyukai bulan sama seperti aku. ”Kalau Mas Nino, kenapa suka bintang? Apa alasannya? ” Mas Nino mengubah posisi duduknya. Ia memeluk lutut, sedikit agak merapat kepadaku.
            ”Bintang itu terlihat kecil, karena ia sangat jauh. Padahal kalau ada yang sanggup mengukur, sebenarnya bintang itu juga besarnya sama dengan bulan, bahkan dengan matahari sekalipun. ” Mas Nino menatapku, yang hanya mengangguk-angguk mencoba memahami arti kalimatnya barusan, ”Yang kamu harus tahu, meski bintang itu cahayanya lebih redup daripada bulan, tapi bintang punya cahaya sendiri. Beda dengan bulan yang cahayanya dapet dari matahari. Bulan hanya memantulkan cahaya dari matahari. Itu artinya bulan tidak punya cahaya sendiri. Gak asyik dong kalau gitu.  ”
            Aku menggeleng, kali ini bener-bener kurang mengerti arti dari ’gak asyik dong’nya barusan.
            ”Iya, ” Mas Nino menjelaskan, ”ibarat kita pegang uang banyak, tapi itu bukan uang kita. Enak apa enggak? ”
            Kembali aku mengangguk-anggukkan kepala, kali ini aku ngerti. Ah, Mas Nino memang pinter, pujiku dalam hati.
***
            Namanya Morino Setiawan. Ibu membiasakan aku memanggil anak dari kakaknya itu dengan sebutan Mas Nino. Kami adalah sepupu yang sangat dekat. Bahkan jika ada kesempatan menjemputku saat pulang sekolah, teman-temanku sering menggodaku sedang berpacaran dengan pegawai Bank. Aku hanya tersenyum, sebab memang tak banyak yang tahu kalau Mas Nino itu adalah kakak sepupuku.
            Aku, Ade Trisna Santika, seorang anak tunggal. Jujur, aku tak pernah merasa kesepian, karena sejak Mas Nino SMP, ia sudah tinggal bersama kami. Ia adalah kakak sekaligus teman yang sabar. Aku lebih senang mengadu kepadanya daripada ke ibu atau ke ayah. Barangkali perbedaan usia kami yang hanya terpaut tujuh tahunlah yang membuat Mas Nino lebih bisa memahami perasaan remaja sepertiku ketimbang ibu atau ayah.
            Malam ini, kembali aku duduk di genting atap rumahku. Tak susah melakukan ini. Tinggal loncat dari jendela kamar, kemudian merayap pelan-pelan mencari tempat yang agak datar didekat antena parabola. Tempat kesukaanku saat aku ingin menikmati malam. Sesekali saja ditemani Mas Nino. Seperti semalam. Barangkali tidak untuk malam ini.
            Tapi, dugaanku meleset. Tak lama setelahku, Mas Nino datang menyusul. Aku senang tak kepalang.
            “Kalau kamu begini terus, lama-lama kamu bisa sakit, “ kata Mas Nino begitu ia duduk disebelahku. Aku tersenyum kemudian melirik jam yang ada di pergelangan tangan kiriku. Pukul dua puluh tiga lebih delapan belas menit.
            “Gak tiap malam kok Mas. Kadang-kadang saja kalau lagi suntuk, ” jawabku mencoba sedikit bercanda.
            ”Kalau begitu saat ini kamu lagi suntuk dong, ”
            ”Iya, ” jawabku lagi, kali ini kuiringi dengan mengangguk.
            ”Mau cerita? ”
            Pasti, kataku dalam hati. Aku pasti cerita. Memang itu yang ingin aku lakukan kalau saja Mas Nino punya waktu luang. Dan sepertinya malam ini adalah waktu yang tepat itu.
            ”Tadi siang di sekolah ada dua temenku yang berantem. Andre dan Dido. Mas tau kenapa? “
            “Rebutan kamu? “
            “Mas loh ya yang bilang. Nanti kalau yang bilang aku, dikira aku ge er lagi. ” mendengar ini, Mas Nino tertawa.
            ”Lantas, tindakan kamu apa? ”
            ”Itu dia masalahnya, Mas, aku gak tau harus ngapain. Dua-duanya ngotot mau jadi pacarku. Berantem segala lagi. “ aku diam. Bingung. “Apa aku harus pilih salah satu? Atau dua-duanya sekalian biar adil? Atau gak usah semuanya? ”
            ”Ikut kata hatimu saja. ”
            ”Loh, maksud Mas apa? ”
            ”Kamu kan yang satu sekolah dengan mereka, jadi kamu lebih tau sifat mereka. Nah, coba tanyakan ke kata hatimu, sebenarnya kamu lebih berat yang mana.kamu gak boleh milih salah satu atas dasar kasihan atau karena ia lebih tampan misalnya. Karena ini masalah perasaan, bukan main-main. Kalau kamu salah, kamu juga yang akan sakit. ”
            Benar juga. Wah, kenapa ya aku kok gak mikir ini dari kemarin? Hmmm.. Mas Nino memang bijaksana. Bangga rasanya aku punya saudara seperti dia, meski bukan kandung. Rasanya semakin sayang aku dengan Mas Nino.jauh disana, dilubuk hatiku yang paling dalam, aku berharap Mas Nino akan selalu ada, baik saat aku senang, maupun saat aku ingin mengadu.
            ”Trisna, ”
            Aku tersentak. Lamunanku buyar oleh sapaan Mas Nino barusan. Bukan karena aku terkejut, melainkan aku merasakan sapaan kali ini terasa berat dan aneh. Aku tidak biasa merasakan ini. Ya Tuhan, ada apa ini?
            ”Tiga hari lagi Mas akan berangkat ke luar kota. Gak lama kok, cuma lima hari. Perusahaan tempat Mas bekerja mengutus Mas untuk menghadiri pertemuan yang sedianya Pimpinan Unit lah yang menghadiri. Tapi beliau berhalangan. ”
            Hfff...aku menghembuskan napas perlahan. Lega. Toh cuma lima hari. Gak lama kan? Tapi biarpun demikian, aku akan tetap merindukannya. Pasti.
            ”Trisna, ” Mas Nino menggeser duduknya kesisiku, ”kamu mau nitip apa? Mumpung Mas ke luar kota nih. Sekalian sebagai kado tahun baru dari Mas. ” tanyanya disertai senyum.
            Aku tengadah, memandang ke langit. Ada banyak bintang di sana, berkedip manja. Sejak semalam, aku sudah mulai jatuh hati kepada bintang. Aku jadi ingat aku harus minta apa. Aku tersenyum, ”Bawakan Trisna bintang yang bisa nyala buat pajangan di kamar. Bisa gak? ”
            ”Sudah jatuh hati sama bintang rupanya. ” sekali lagi ia tersenyum, ”Baik, nanti mas bawakan bintang yang bisa nyala dan bisa dipajang di kamar. Tapi sebelum Mas datang, kamu bisa lihat bintang yang disana, ” Mas Nino menunjuk salah satu sudut langit yang paling gelap, tapi justru disitulah ada bintang yang paling terang. ”Bintang yang itu sangat jauh, tapi masih bisa kamu lihat lewat cahayanya. Kalau kamu kangen sama Mas, Mas akan datang lewat bintang itu. Meski Mas jauh, Mas akan selalu ada buat kamu. ”
            Aku senang bukan main. Di dalam hati aku bilang, biarlah Mas Nino pulang gak bawa pajangan bintang yang bisa nyala, asal dia pulang saja aku sudah suka.
***
            Satu Januari. Iya, ini sudah tahun baru. Tadi pagi Mas Nino berangkat. Aku hanya bisa menduga-duga bahwa pesawat yang melintas di atas rumah barusan itulah yang ditumpangi Mas Dito. Tanpa sadar aku melambaikan tangan. Mataku terus mengikuti perjalanan pesawat hingga akhirnya ia menjadi titik yang kecil kemudian lenyap. Lima hari lagi barulah Mas Nino pulang. Itupun kalau urusannya lancar. Ah, semoga saja semua urusan Mas Nino beres.
            Hari ini aku tidak ingin mengerjakan apa-apa. Aku ingin bersantai saja. Sampai siang aku mengurung diri di kamar. Kusiapkan segelas jus mangga kesukaanku, sepiring roti cokelat lapis keju tipis, dan sepiring brownies sisa semalam. Kubuat suasana hari ini menjadi senyaman mungkin.
            Oiya, inikan tahun baru. Aku ingat kalau aku belum ngucapinn selamat tahun baru ke teman-temanku. Hmmm, baru aku sadar betapa telatnya aku ini. Padahal teman-teman yang lain sudah pada sms-an sejak pergantian hari semalam. Beberapa malah ada yang masuk ke hp-ku. Tapi tak apalah. Toh hari ini masih tanggal satu.
            Teman yang kupilih pertama yang ingin kukirimi sms adalah Anggi, temanku sebangku di sekolah.

            Woiii met tahun baru
ya neng ^_^ sori bgt aku telat.
Btw apa nich make a wish
di thn ini?
<send to : anggie cute>

            Rasanya belum sempat aku menelan jus yang baru saja kuteguk, sms Anggi sudah masuk. Sungguh, aku kagum dengan kecepatan dia mengetik sms.

            Sama2. gak aneh2
kok make a wishnya.
Yang penting aku selamet.
Kasian loh, saat seneng
gini malah ada yang sedih.
<sender : anggie cute>

Aku bingung dengan jawaban sms anggi yang menurut aku sama sekali gak nyambung ini. Segera aku balas.

Maksudnya apa?
<send to : anggie cute>

Pelabuhan Kecil, Pada Suatu Sore


            Selalu begini setiap aku dan Tri berkunjung ke pelabuhan kecil ini. Setidaknya yang seperti ini terjadi seminggu minimal tiga kali. Sebuah pertemuan yang memang kami rencanakan. Selalu disini, tak bisa dan tak ingin di tempat lain.
            Angin menyapu pelan. Mengusap wajah-wajah yang sesekali dilanda ketegangan. Juga sesekali membiaskan rasa takut. Tapi tak ada yang ingin mengatakannya lebih dulu. Aku dan Tri tentunya. Siapa lagi.
            ”Apa kita akan begini terus?”
Sesekali Tri memecah keheningan yang hanya disinggahi deru angin yang mengirim dingin. Sebuah pertanyaan sederhana sebenarnya. Tapi jika itu terlalu sering ditanyakan, menurutku sudah tidak sederhana lagi. Memang perlu ada tindakan tegas, terutama dariku yang secara pasti terlahir sebagai laki-laki.
            ”Sampai kapan?”
            Tanya Tri lagi. Di sore yang lain.
            Ah, Tri, aku harus bilang apa lagi?
            Setelah itu kami diam. Cukup lama. Sesekali pula salah satu dari kami memandang keadaan sekitar, berusaha menemukan sosok yang barangkali dikenali.
            Angin masih saja menebar pesona menjelang malam yang masih begitu belia. Belum tampak hari akan menjadi gelap. Namun pelabuhan kecil ini sungguh terasa begitu senyap. Sepi. Meskipun tidak terlalu. Bahkan bisa kudengar detak jantung Tri yang sesekali memburu seiring pandangannya saat mengamati keadaan sekeliling.
            “Aku mencintaimu, Tri.” Kataku mencoba meredakan detak jantungnya. Tapi sepertinya gagal.
            “Apa kamu akan mengatakan hal yang sama terus?”
            Oh, tidak. Ada apa denganmu, Tri? Bukankah kamu juga kerap menanyakan hal yang sama terus?
            ”Ren, kita sudah memulainya hampir dua tahun. Sepanjang perjalanan kita, apa kita akan begini terus? Sampai kapan?”
            Aku diam. Sama sekali tak ingin berusaha mendebat perkataan Tri, kekasihku yang sudah aku pacari sejak hampir dua tahun ini. Aku lebih memilih memainkan kaki-kakiku yang terbenam di air yang berwarna kecoklatan. Kesukaan kami berdua jika berkunjung ke pelabuhan kecil ini.
            Dari sudut mataku, bisa kulihat Tri yang masih saja memandangiku dengan pandangan menunggu. Mungkin sedikit disertai rasa sebal. Atau apalah namanya. Aku ingin tertawa. Ingin sekali. Sudahlah. Mungkin aku akan menjadi sangat bodoh jika aku melakukannya pada sat Tri memasang wajah yang sangat masam seperti sekarang.
            ”Reno,”
            Aku mengangkat wajah yang sedari tadi tertunduk memandangi sampah yang ikut terbawa arus air. Kutatap wajah Tri dalam-dalam.
            ”Kamu sama sekali tidak pusing dengan keadaan ini. Sepertinya kamu santai-santai saja. Ah...!”
            ”Apa seperti itu yang kamu lihat?”
            ”Iya.”
            ”Tri, dengar,” aku merapatkan duduk ke sebelah Tri, merangkul pundaknya, juga sesekali mengusap rambutnya, ”Aku belum menemukan waktu yang tepat untuk melamarmu, lalu menikahimu. Mungkin kamu sudah bosan dengan kata-kataku yang selalu itu-itu saja. Aku mencintaimu, aku mencintaimu, dan aku mencintaimu. Tapi kamu juga harus bisa nunggu. Keadaan yang membuat kita bertahan seperti ini.”
            ”Iya. Tapi mau sampai kapan?”
            Duh, Tri. Pertanyaan itu lagi...
            ”Selalu saja di pelabuhan sepi ini. Memandang laut, melihat camar, air yang keruh, perahu-perahu, dan entah hari ini apa lagi yang akan kita lihat. Kamu tidak bosan, Ren?”
            Aku mengiyakan dalam hati. ”Apa kamu sudah mulai bosan?”
            ”Kok kamu malah balik nanya sih?”
            ”Andai aku bilang tidak, apa kamu percaya?”
            Tri menggeleng. ”Jelas tidak.”
            Aku membenarkan lagi, masih dalam hati. ”Aku senang di tempat ini, Tri.” aku mulai berbohong. Sungguh, aku tidak ingin disalahkan. Keadaan, sekali lagi keadaan yang memaksa aku untuk berbohong. ”Terlebih jika disebelahku ada kamu.” kali ini aku jujur.
            ”Iya?”
            ”Iya.”
            Seperti sore yang sudah-sudah, Tri akan semakin membenamkan tubuhnya ke dalam rangkulanku yang segera akan berubah menjadi sebuah dekap yang hangat di sebuah sore yang sepi. Aku larut dengan perasaan dan senyumku sendiri. Untuk beberapa saat ke depan, aku bisa menenangkan perasaan Tri dan membuatnya lupa dengan segala pertanyaannya yang selalu sama itu. Tri pasti akan memejamkan matanya dalam pelukanku, sebentar saja. Biarlah ia belajar membaca detak jantungku yang memang selalu mendetakkan namanya. Selalu.
            ”Kalau kamu menikahi aku nanti, kamu akan membawaku kemana?”
            Aku tersenyum. Pertanyaan baru. Tapi menarik juga untuk dihayalkan. Menghayal itu sejatinya memang menyenangkan. Tidak ada yang mengganggu. Tidak pernah pula merugikan orang.
            ”Aku akan membawamu meninggalkan keramaian kota ini. Aku akan membuatkanmu rumah kecil dipinggiran kota. Rumah sederhana untuk kita dan anak-anak kita.” kumulai petualangan imajinasiku dengan sepetak rumah kecil yang indah. Cukup ampuh untuk membuat Tri tersenyum dalam dekapku.
            ”Ada taman bunganya tidak?”
            Aku mengangguk, ”Tentu. Karena aku tahu istriku paling suka dengan bunga.”
            Tri tersenyum lagi.
            Senyum itu...
            Apa aku tega merusak keindahannya? Menghancurkan hatinya? Atau hal yang terburuk, meninggalkan dia? Apa aku tega?
            ”Hei...”
            Aku tersentak. Segera kuukir senyum di wajahku yang menggurat galau barusan.
            Tri menarik tubuhnya dari dekapku. ”Kok diam? Kamu mikir apa?”
            ”Hmmm... ya itu tadi, taman bunga.” aku mulai sedikit gugup. ”Aku suka melamunkannya. Malah sekarang aku mulai mendesainnya. Letak dan tanaman apa yang akan kita tanam nantinya.” kataku, berbohong lagi.
            ”Yakin kamu sedang melamunkan itu?”
            ”Iya.” anggukku dengan perasaan yang sangat tidak nyaman.
            ”Bagus kalau begitu. Karena aku juga sedang melamunkan hal yang sama.”
            Aku tersenyum bersamaan dengan Tri yang juga tersenyum. Manis sekali.
Sementara langit kian pekat. Gelap samar terlihat. Matahari mulai memamerkan siluetnya yang sangat indah menghias senja. Burung camar mulai jarang terlihat melintas. Entahlah. Biasanya justru menjelang gelap beginilah mereka akan tampak ramai menghias langit sore. Mungkin tidak untuk sore kali ini.
”Tri,” kataku pelan, sambil melihat Tri yang sibuk memainkan kaki-kakinya di air, membuat suara gemercik dan mencipta busa-busa yang akan segera sirna begitu Tri selesai mengayunkan kakinya.
”Apa?”
Aku diam. Sangsi dengan keberanianku sendiri. Tapi aku harus menaanyakan ini. Harus.
“Kamu mau bilang apa?”
“Tidak begitu penting,” jawabku sekenanya, berusaha membalut sedikit rasa gugup yang singgah tanpa kuundang.
“Lantas, kenapa wajahmu tegang?”
Aku menyerah. “Kamu masih ingat saat dulu aku memintamu untuk jadi pacarku?” tanyaku akhirnya.
Tri tersenyum. Aku tidak berani untuk terlalu menikmatinya. Aku takut seandainya aku salah menafsirkan senyumnya kali ini.
”Iya, aku masih ingat.” lagi, Tri menjawab dengan senyumnya.
”Maksudku...”
”Aku bisa menerimamu apa adanya, Reno. Percayalah. Jika tidak, mana mungkin aku mampu bertahan sampai sekarang ini. Waktu yang hampir dua tahun ini terlalu lama untuk menciptakan sebuah kepura-puraan. Bukan begitu?”
Aku mengangguk. Tidak begitu mantap. Aku takut jika besok atau kemudian hari jawaban Tri akan berubah seiring ketidakmampuanku dalam membuat keputusan. Melamarnya, menikahinya, setelah sebelumnya...
”Percayalah Reno, janjimu tadi sudah cukup buatku untuk bertahan disisimu. Aku tidak akan pergi darimu. Aku juga yakin kamu pasti akan menepati janjimu.”
Begitu kalimat Tri saat memenggal lamunanku sekenanya. Aku masih diam.
”Kamu janji, Reno?”
”Menikahimu?” tanyaku balik.
”Tentu saja. Apa lagi?”
Aku menghela napas. Sungguh terasa berat. Aku mencintai Tri lebih dari apapun. Hanya saja... Ah...
”Iya Tri, aku janji. Tapi tidak untuk waktu dekat ini.”
”Aku akan menunggumu, Reno. Bukankah aku sudah bilang jika aku bisa menerimamu apa adanya. Tentu ini adalah sebuah konsekuensi dari pernyataanku sendiri.”
Aku mulai berani tersenyum. ”Terima kasih, Tri.” Kataku pelan sambil menatap lembut matanya.
Kulihat lagi senyum manis Tri, kekasihku, diantara balutan remang cahaya senja. Siluet yang tersisa tinggal sedikit saja. Menyamarkan apa saja yang tadinya teramat leluasa untuk ditatap. Termasuk senyum manis Tri. Juga gurat wajahku yang sedikit lebih lega.
Pelabuhan kecil ini kian sepi. Keadaan kian terasa dingin seiring kaki-kaki kami yang membeku karena terlalu lama berendam. Juga karena air yang kian meninggi akibat pasang.
Kugenggam jemari Tri dengan perasaan mantap. Biar kuimajinasikan sejenak. Aku bisa menatap masa depanku kelak, di pinggiran kota dengan sepetak rumah mungil yang memiliki taman bunga. Berdua dengan Tri, tentu saja.
Masih kugenggam jemari Tri, saat mozart mengalun pelan dari Hp-ku. Kukeluarkan benda kecil itu dari saku jaket. Rania memanggil...
”Tri,” panggilku bimbang.
Lembut suara Tri mengalun, ”Angkatlah, Ren,”
”Hallo, Rani...”
”Mas Reno,” terdengar suara diseberang sana, disertai tawa. ”Cuma mau mengingatkan Mas Reno saja, takut Mas lupa.”
“Iya Rani, Mas ingat kok,”
“Baguslah kalau begitu.” Lanjutnya, masih disertai tawa. “O iya Mas, nanti malam sebelum ke rumah, tolong belikan anggur ya. Satu kilo saja. Mama yang nitip. Nanti uangnya diganti kalau Mas sudah sampai rumah. Jangan lupa ya, Mas.”
Pembicaraan terhenti. Meninggalkan sesak yang entah bisa digambarkan dengan cara apa. Untuk Reno sendiri. Bahkan mungkin Tri juga.
Reno menghujamkan tatapnya dalam-dalam ke mata Tri yang masih begitu teduh. Keadaan yang seperti ini yang paling ia benci. Sangat.
“Inilah alasan mengapa aku belum bisa menikahimu dalam waktu dekat, Tri.”
“Kamu sudah mengatakannya saat kamu mengutarakan cintamu dulu. Kamu sudah memiliki Rania. Tapi toh aku menerimamu juga. Sekali lagi, memang ini konsekuensinya, Ren. Sekali waktu memang aku tidak sabar untuk bebas dan memilikimu secara utuh. Tapi percayalah, aku akan menunggumu. Aku akan selalu menerimamu apa adanya.”
Tri tersenyum. Entah apa artinya.
”Kita pulang sekarang, yuk. Kamu kan harus bersiap untuk acara makan malam nanti dengan keluarga Rani.”
Masih dengan senyumnya, Tri menarik tanganku untuk bangkit dan meninggalkan pelabuhan kecil ini. Jujur, aku begitu ingin memaknai senyum Tri kali ini. Di senyum itu, pertama kali aku menemukan sebuah ketulusan sebentuk hati.
Aku tersenyum menyambut uluran tangan Tri, kekasihku. Waktu yang hampir dua tahun ini terlalu lama untuk menciptakan sebuah kepura-puraan. Kalimat Tri tadi. Dan aku percaya itu.
Kutinggalkan pelabuhan kecil yang dingin ini. Tapi tidak untuk hatiku. Genggam jemari Tri telah menghangatkan segalanya.




Pontianak, 14 Oktober 2009
Redi






















Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah