Minggu, 19 Mei 2013

[cerpen] Sebelum Senja Turun




Oleh : Redia Yosianto

            Belum genap setahun Arman menempati rumah mungil ini. Rumah yang hanya memiliki dua kamar dan sedikit ruang untuk sekedar menerima tamu yang datang berkunjung. Halaman yang tak terlalu luas namun terlihat asri dan hijau. Sejuk oleh rindang pepohonan yang cukup terawat. Rumah sederhana yang selalu saja ia banggakan dengan menyebutnya ‘istana’. Tentu saja. Juga tidak untuk sekedar menyenangkan diri sendiri. Arman sungguh benar-benar bangga dengan ‘istana’nya ini. Betapapun sederhananya itu. Ia bangga.
            Tak hendak Arman membiarkan sedikit lahan miliknya ini kosong tanpa memberikan manfaat apa-apa. Ia sendiri yang menggagas membuat kebun sayur di halaman belakang rumahnya. Istrinya menolak, tapi toh akhirnya tak bisa berbuat banyak. Cukuplah Arman sendiri yang mengerjakan segalanya, tanpa bantuan istrinya, sedikitpun. Arman sadar betul jika istrinya masih belum bisa menerima sepenuhnya untuk tinggal dan menetap disini, di sebuah desa tempat orang tua Arman tinggal, tempat Arman menghabiskan masa kanak-kanak dengan menjerat burung, menangkap belut di sawah, dan menerbangkan layang-layang yang ia buat sendiri dari kantong plastik, dulu, belasan tahun yang lalu. Anggriana, istrinya, pernah menolak dengan terang-terangan untuk pindah dari kota ke desa yang menurutnya sangat sepi ini. Yah, tentu saja Arman sangat maklum akan hal itu.
            Sore ini, seperti biasa, Arman menyibukkan diri dengan merawat kebun kecil miliknya, dan milik istrinya juga. Arman tersenyum. Pikirannya terbang kemudian hinggap ke suatu dimensi waktu ketika ia dan Anggriana masih tinggal di kota dulu.
            “Apa Mas Arman sudah mantap untuk pindah ke tempat Ibu?” Anggriana memecah keheningan pada malam itu, sambil tangannya sibuk melipat pakaian kering yang baru saja diangkat tadi sore.
            ”Ya, tentu saja.” Arman menimpali. ”Saya akan membuatkan Dik Anggri rumah di desa sana. Yah, walau tidak besar, cukuplah untuk kita, Saya, Dik Anggri, dan Tari, berteduh dari sengat panas dan guyur hujan. Bagaimana? Dik Anggri tentunya suka, kan?” selesai berkata begitu, Arman melirik Tari, putri satu-satunya yang pulas tertidur memeluk bantal.
            Anggri menghela napas, ”Mas tidak kasihan dengan Tari?”
            ”Maksud Dik Anggri apa?”
            ”Lima tahun Tari dibesarkan di kota, dikeramaian, dekat dengan tempat-tempat hiburan. Sebentar lagi Tari akan masuk sekolah. Apa Mas tidak kasihan kalau Tari kita sekolahkan di desa?”
            ”Maksud Dik Anggri, di desa sekolah dasarnya tidak bagus, begitu?”
            ”Bukan begitu maksud Saya, Mas.” Anggri bangkit dari duduknya, membawa setumpuk pakaian yang sudah rapi ia lipat, menyusunnya ke dalam lemari. Sejenak kemudian ia duduk kembali ditempatnya semula. ”Di desa kan sepi, Mas. Mas sendiri yang bilang, kan? Apa nantinya tidak memengaruhi psikologi Tari?”
            Arman tersenyum. Memang dulu ia sendiri yang bilang kepada istrinya itu bahwa di desa tempat orang tuanya tinggal sangatlah sepi. Jauh sekali perbedaannya dengan kota tempat mereka tinggal sekarang ini. ”Makanya kita biasakan dari sekarang, Dik.” Arman merebahkan tubuh disebelah kiri Tari. Dipandangnya putri tercintanya itu. Cantik. Bahkan saat tertidur sekalipun. Dibelainya rambut Tari yang mulai acak-acakan terbawa tidur. Keringat sedikit membasahi keningnya. Arman mengusapnya dengan lembut. Penuh kasih sayang. ”Justru Saya kasihan kalau Tari tetap kita rawat dan kita besarkan disini.” gumam Arman yang juga turut didengar oleh Anggri.
            Anggri sendiri seketika mengernyitkan alis, ”Maksud Mas Arman apa?”
            ”Apa selamanya kita akan hidup seperti ini? Tinggal di rumah kontrakan. Fasilitas yang lazimnya setiap rumah harus punya, kenyataannya tidak. Untuk urusan seperti mandi, cuci, kakus sekalipun kita harus rela berbagi dan berdesakan dengan warga kontrakan yang lain. Sempit. Segalanya serba mengantre. Mandi antre. Buang air saja harus ngantre. Bikin kamar mandi sendiri di dalam rumah juga tidak memungkinkan. Mau kita posisikan di mana? Sementara berapalah gaji guru lulusan Diploma seperti Saya. Dik Anggri yang selesai Strata 1 saja masih mengeluhkan gaji guru honor yang sangat tidak memadai. Sungguhpun gaji Dik Anggri lebih besar dari gaji saya. Di lain keadaan, kita harus bayar sewa rumah, tagihan listrik, tagihan air, uang keamanan lah..., uang bulanan warga lah... Mumet, pusing Saya kalau harus seperti ini sepanjang bulan, sepanjang tahun.”
            ”Hubungannya dengan Tari?” secepat itu Anggri menyela dan memenggal kalimat suaminya itu sekenanya.
            ”Apa Dik Anggri tidak ingin merawat Tari di rumah sendiri? Milik sendiri?” Arman ganti bertanya pada istrinya, “Sesederhanapun rumah itu, Mas sangat ingin kita punya rumah sendiri, punya istana sendiri. Nantinya juga akan jadi rumah Tari juga. Biar dia tidak malu kalau ingin mengajak kawan-kawannya belajar kelompok di rumah. ” Arman tersenyum.
            “Lantas, di desa nanti Mas mau kerja apa? Jadi guru juga? Toh gajinya kecil juga kan? Malah jangan-jangan lebih kecil dari yang sekarang.” Anggri merebahkan tubuh disebelah kanan putrinya. Sedang matanya masih terus menatap tajam suaminya yang kian mesra menerawang langit-langit kamar. Entah sketsa masa depan yang seperti apa yang sedang dilukis suaminya itu. Terkadang ia sungguh tak mengerti jalan pikiran suaminya, yang tulus menikahinya tujuh tahun yang lalu.
            “Kita akan membuat kebun kecil. Kita akan tanam segala macam sayuran. Cabe, tomat, terung, kangkung, timun, kacang panjang, ketela juga boleh. Selain itu Mas akan membuat kandang kecil. Kita akan pelihara ayam. Bagaimana menurutmu, Dik Anggri?”
            Anggri tersenyum. Bukan untuk kecerdasan suaminya, melainkan untuk raut wajah suaminya yang begitu berbinar saat melukis sketsa masa depan di kanvas imajinasinya barusan. Indah sekali. Tapi toh ia masih tidak setuju juga.
            Anggri membiarkan suaminya berandai-andai sendiri, lebih tepatnya memberikan kebebasan untuk memberi warna pada sketsa masa depan yang sudah hampir rambung ia lukis. Ia sendiri mulai menghitung dalam hati. Semoga pada hitungan keseratus, ia sudah lelap tertidur, batinnya.
            Arman yang belum sadar bahwa Anggri telahpun terlelap, masih saja mencetuskan ide-ide cemerlangnya. Ia mulai memasukkan jagung, lada, dan kakau dalam daftar jenis tanaman yang akan ditanam setibanya mereka di desa kelak. Juga kambing, itik, dan ikan lele, telahpun masuk ke dalam daftar peliharaan yang ia gagas barusan. Dan juga...
            “Dik Anggri? Dik? Oh, sudah tidur rupanya.”
            Arman menarik selimut yang sudah mulai tipis pada bagian tengahnya. Diselimutinya tubuh istri dan anaknya itu dengan penuh kasih sayang. Penuh cinta kasih. Dikecupnya kening Anggri dan Tari bergantian. ”Selamat tidur, dua Kartini kebanggaanku...”
***
Hari libur seperti ini tentu saja tak ingin disia-siakan oleh Arman. Sepanjang pagi ia merapikan tiang-tiang penyangga tanaman kacang panjang di kebunnya yang sudah mulai berbuah. Lebat juga buahnya. Barangkali sebentar lagi akan dapat dipetik. Ia tidak main-main dengan gagasannya dulu, saat masih tinggal di rumah kontrakan, di kota. Beberapa dari gagasan itu telahpun ia wujudkan. Rumah mungil dengan pelataran yang sejuk, hijau, dan asri oleh beraneka bunga. Untuk masalah bunga ini tentu saja istrinya yang mengerti betul. Selain itu, kebun kecilnya telahpun menghasilkan berbagai macam sayuran. Terung, cabe, tomat, ketela, juga bayam sudah beberapa kali ia panen. Ayamnya pun sudah mulai ada yang bertelur. Sungguh sebuah pemandangan yang indah. Senang benar hati Arman memandang segalanya itu. Arman kembali tersenyum.
Sayang, itu hanya sebentar saja.
“Saya bosan hidup seperti ini terus, Mas.“ tiba-tiba sepotong kalimat sederhana seperti ini telah menerpa dan menggoyahkan kebahagiaan Arman. Ketegaran Anggri beberapa bulan terakhir ini sudah mulai luntur. Runtuh oleh sesuatu yang mencekam, mengikat kesenangan dan keramaian. Sepi.
“Dik Anggri kangen dengan suasana kota, ya?” tanya Arman disuatu siang, saat ia beristirahat melepas lelah setelah sedari pagi sibuk membenahi pagar kebun yang tumbang diterjang anak sapi milik Pak Nurhadi, tetangganya.
“Bosan.“ jawab Anggri dengan intonasi mulai meninggi. “Coba saja dulu kita tidak buru-buru pindah kesini. Kalau sudah begini? Siapa yang harus disalahkan, coba?”
Arman mendesah panjang. Tak terpikir dibenaknya untuk membalas dengan emosi juga perkataan istrinya barusan. Ia justru maklum betul mengapa istrinya sampai demikian. Jika sudah begini, mulai sibuklah pikiran Arman mencari kata-kata mesra yang kiranya mampu meredam marah istrinya barusan.
Arman meneguk teh yang sudah mulai dingin dihadapannya. “Tidak ada yang harus disalahkan, Dik. Ini kan sudah jadi kesepakatan kita berdua. Kita sudah sepakat untuk mengubah hidup yang dulu hanya begitu-begitu saja, sekarang sudah sedikit lebih baik. Dik Anggri harusnya bersyukur, bukan malah uring-uringan seperti ini.”
”Kita sekarang punya apa, coba? Tivi kita tidak punya, sepeda motor kita tidak punya. Ya cuma sepeda mini itu, Mas. Itu pun harus bergantian makainya. Kalau seperti ini terus lebih baik hidup seperti dulu saja lah. Biar rumah kontrakan, tapi kita punya tivi, punya sepeda motor.” sahut Anggri masih dengan bara disetiap ucapnya.
”Dik Anggri,” Arman mengusap dahi istrinya, merapikan anak-anak rambut yang jatuh begitu saja karena tak ikut terikat dengan rambut yang lain, ”Tivi dan sepeda motor kita jual, uangnya untuk apa? Untuk rumah, kan? Dik Anggri sabar dulu lah. Nanti kalau kita punya rezeki lebih, kita beli lagi. Bukan begitu?”
”Kapan kita punya rezeki lebih, Mas? Kebun Mas Arman itu hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan dapur saja. Lantas kapan waktunya kita nabung buat beli perabotan?”
Arman menghembuskan napas panjang. ”Perabotan itu kan bisa menyusul. Bukankah Dik Anggri sendiri yang mengusulkan agar dinding rumah kita diganti dengan dinding semen? Yang seperti ini kan juga perlu biaya. Uang gaji kita berdua selalu kita kumpulkan untuk memperbaiki rumah.” kembali Arman menasehati istrinya dengan lembut.
”Halah, kalau bukan Saya yang punya inisiatif nabung, tidak bakal rumah kita sebagus sekarang ini, Mas.”
Arman tercekat, ”Maksud Dik Anggri apa?” Arman menajamkan pandangannya. Sungguhpun tidak dengan emosi kalimatnya barusan, tapi jelas terlihat tidak senang juga ia mendengar kalimat istrinya yang terakhir, pada saat seperti ini pula.
Anggri salah tingkah. Baru sadar ia kalau barusan ia sudah salah bicara. Belum pernah rasanya ia melihat suaminya segusar seperti sekarang. Sedang ia sendiri, sungguh, tak tahu mesti berbuat apa untuk memperbaiki keadaan ini.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam. Eh, anak Bapak sudah pulang,” Arman meraih kepala putrinya, kemudian mencium kening Tari dengan lembut. “Tadi main di rumah siapa?”
Anggri sendiri tak banyak menanggapi kedatangan Tari barusan. Ia tertegun, berusaha mengatur napas. Sungguh, sedikit banyak, kedatangan Tari bisa meredakan ketegangan yang baru saja tercipta diantara ia dan suaminya barusan.
“Main di rumah Widi, Pak. Ramai loh. Ada Niken, Lastri, Tati, juga ada Nia.”
“Oya? Main apa saja tadi? Bapak tahu, pasti lagi main masak-masakan. Iya kan?” arman mencium putrinya sekali lagi, lalu membiarkan putrinya tersebut bercerita dengan gaya kanak-kanaknya.
”Bapak salah, hehehe...” Tari melepas tawa yang renyah kedengarannya, ”Tadi kami main sepeda, bukannya main masak-masakan.” Tari tertawa lagi. ”Oiya Pak, kemarin Niken dibelikan sepeda baru. Ada goncengannya loh, Pak. Bagus deh. Tari kepengen punya sepeda juga, Pak. Kapan Bapak belikan Tari sepeda seperti punya Niken?” lanjut Tari dengan mata berbinar-binar. Seakan-akan nanti sore juga sepeda yang ia idamkan itu akan dibelikan oleh Bapaknya.
Arman tersentak demi mendengar permintaan Tari itu. Dadanya bergetar halus. Tatapnya sendiri seketika itu juga beralih kepada istrinya yang duduk ditempatnya seperti tadi. Didapatinya istrinya itu diam saja, menunduk, seolah tak ikut mendengarkan perbincangan antara bapak dan anak barusan.
Arman membelai rambut Tari yang sedikit hangat. Ia tak ingin menyalahkan Tari sedikitpun atas permintaannya tadi. Pikiran kanak-kanaknya yang menuntun ia berucap demikian. Percuma menceritakan kepada Tari akan kesusahannya mencari uang untuk memperbaiki ’istana’nya ini dulu, barulah nanti memikirkan akan membelikan sepeda seperti yang anaknya kehendaki itu. Iya, percuma saja mengatakan semuanya. Toh Tari tak akan paham juga. Tak akan tercerna oleh otak kanak-kanaknya itu.
”Oiya, Tari tentu lapar setelah main dengan teman-teman. Sekarang Tari maem dulu ya. Cuci tangan yang bersih. Sebelum maem baca doa dulu. Hmmm, tadi Ibu masak sup jagung kesukaan Tari. Ayo, cepat maem dulu.” bujuk Arman dengan penuh harap agar Tari lupa dengan sepeda yang saat ini tentu masih panas di otaknya.
”Tapi Bapak harus janji dulu sama Tari, Bapak harus belikan Tari sepeda.Tari ingin punya sepeda seperti punya Niken yang ada goncengannya. Atau seperti punya Nia yang ada keranjangnya.”
Sekali lagi Arman menarik napas. ”Iya, Bapak janji sama Tari. Ya sudah, sekarang Tari maem dulu ya.”
Bagai anak panah yang lepas dari busur kencangnya Tari melesat dari pangkuan bapaknya menuju dapur. Arman sungguh takjub akan hal itu. Tentu saja hanya sepeda baru yang membuat anaknya berlaku seperti itu. Dan ini sungguh membuat dada Arman sedikit sesak. Kini bebannya bertambah lagi. Beban ini sudah terucap sebagai janji pula.
”Mas dengar sendiri kan, permintaan Tari tadi? Anak kita saja sudah paham akan kebutuhan, sungguhpun itu hanya menurut porsi bermainnya saja. Apa Mas tidak kasihan jika melihat hanya Tari seoranglah yang tidak punya sepeda diantara teman sepermainannya?” Anggri menggerutu lagi.
Arman meremas rambutnya sendiri. Berkali ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Padahal baru beberapa waktu yang lalu ia tersenyum demi melihat segala apa yang ia usahakan dapat tumbuh subur, berbuah, berkembang biak, dan tentunya sebentar lagi akan bisa dipanen. Tapi beberapa saat setelahnya ia seperti dihantam badai. Istri dan anaknya justru yang menjadi badai itu. Tak dapat juga ia menyalahkan segala macam pinta mereka.
”Dik Anggri, sungguh Mas minta maaf. Sejak tujuh tahun kita menikah, Mas belum bisa memberikan apa-apa yang kiranya pantas didapatkan oleh seorang istri. Selama tujuh tahun itu, Mas hanya melibatkan Dik Anggri bekerja saja, mencari sedikit demi sedikit nafkah untuk menyambung hidup setelah hari ini. Barangkali Dik Anggri mengira Mas tidak memperhatikan kebutuhan lain seperti apa saja yang Dik Anggri inginkan. Kalau begitu pemikiran Dik Anggri, tentu Dik Anggri salah. Mas juga ingin memberikan sesuatu yang kiranya bisa membuat Dik Anggri tersenyum. Sayang, sampai saat ini Mas belum bisa mewujudkan itu.” Arman meneguk sisa teh di dalam cangkir yang ada dihadapannya.
”Sampai sejauh ini,” lanjut Arman lagi, ”Selama tujuh tahun kita mengayuh perahu pernikahan, Mas hanya bisa memberikan rumah kecil yang barangkali di mata orang lain adalah kandang. Benar kata Dik Anggri tadi. Jika bukan karena usaha Dik Anggri menabung, tentu tak akan jadi seperti itu bagusnya rumah kita. Tentu saja demikian. Mas juga maklum karena gaji Dik Anggri sebagai guru SMP tentu lebih besar ketimbang gaji Mas yang hanya diberi kesempatan mengajar di sekolah dasar saja. Tapi Mas tidak akan berdiam diri saja. Mas berusaha mencari tambahan dengan cara berkebun. Nyatanya, Dik Anggri tak pernah sekalipun membantu. Tak apa-apa buat Mas. Pikiran Mas, asal jangan Dik Anggri menuntut dulu yang macam-macam seperti tadi. Tapi toh nyatanya tercetus juga dari bibir Dik Anggri apa yang Mas kuwatirkan.”
Arman menekan kuat-kuat agar jangan sampai air matanya menetes. Sungguhpun amat susah payah ia melakukan itu. “Untuk semuanya tadi, sekali lagi Mas minta maaf. Memang Mas belum bisa memberikan apa yang disebut sebagai kebahagiaan kepada Dik Anggri. Tapi Mas janji, Mas akan bekerja lebih giat lagi. Mas akan belikan Dik Anggri tivi, barangkali sepeda motor juga. Agar sewaktu akan pergi mengajar, kita tidak bergantian lagi menggunakan sepeda mini kita itu.”
Arman tersenyum menatap istrinya yang menunduk kian dalam saja. “Dik Anggri, sudah waktunya sholat. Mari kita jama’ah. Mungkin Tari juga sudah selesai makan. Setelah itu kita berdua makan bersama.”
Anggri tak juga kunjung bicara. Ia sungguh ingin mengatakan sesuatu, tapi tak akan kuat jika ia mengatakannya sekarang.
***
Sore itu, seperti yang sudah-sudah, Arman tenggelam kembali dengan pekerjaannya merawat kebun yang sebentar lagi akan masuk masa panen. Bibirnya senantiasa bersenandung. Tak dihiraukannya lagi matahari yang sengatnya masih sangat panas, sungguhpun hari sudah sore. Diikatnya batang-batang pohon sayur kacang panjang yang lepas dari tiang-tiang penyangga. Hal ini tentu karena buah sayur kacang panjang itu sangat lebat, sehat besar-besar dan berisi. Sangat senang hati Arman memandangnya.
Kembali ia bersenandung. Tak diingatnya lagi hal istrinya kemarin. Bahkan sekarang ia sudah bisa tersenyum lagi. Di dalam hatinya tak berhenti mengucap syukur kepada Tuhan yang masih memberinya rezeki sampai saat sekarang ini. 
(*)
Istriku, marilah kita tidur, hari telah larut malam
lagi, sehari kita lewati, meskipun nasib semakin tak pasti...
lihat anak kita tertidur menahankan lapar
erat memeluk bantal dingin pinggiran jalan
wajahnya kurus pucat, matanya dalam...

Istriku, marilah kita berdo’a, sementara biarkan lapar terlupa
seperti yang pernah ibu ajarkan: Tuhan bagi siapa saja
meskipun kita pengemis pinggiran jalan
do’a kitapun pasti Ia dengarkan
bila kita pasrah diri, tawakal...

Esok hari, perjalanan kita masih sangatlah panjang
mari tidurlah, lupakan sejenak beban derita
lepaskan...

Tuhan, selamatkanlah istri dan anakku
hindarkanlah hati mereka dari iri dan dengki
kepada yang berkuasa dan kenyang ditengah kelaparan
oh... hindarkanlah mereka dari iri dan dengki
kuatkanlah jiwa mereka
Bimbinglah di jalan-Mu...
Bimbinglah di jalan-Mu...

”Mas Arman,” Anggri menyapa suaminya, sesaat setelah suaminya itu  menghentikan senandungnya tadi.
”Eh, Dik Anggri,” senyum Arman segera mengembang.
”Minum dulu, Mas. Pasti Mas Arman haus sekali.” diangsurkannya kepada suaminya itu segelas es teh yang baru saja ia buat.
Sesaat wajah Arman mengguratkan keheranan yang teramat sangat. Tapi itu sebentar saja. Lalu sejenak kemudian diterimanya es teh segelas itu dengan suka cita yang amat sangat pula. Diteguknya hingga setengah. ”Alhamdulillah, segar sekali.” ucapnya tegas. ”Terima kasih ya, Dik. Es ini sungguh nikmat. Barangkali karena dibuat dengan penuh kasih sayang sehingga terasa begitu segar dan nikmat luar biasa.” Arman memuji istrinya. Segera saja dilihatnya pipi Anggri bersemu merah.
”Pandai benar Mas Arman menyentuh hati Saya,” ucap Anggri disela senyumnya yang sedikit tertahan.
Arman mengacak-acak rambut istrinya itu, kemudian mencubit pipinya. Keduanya sama-sama tertawa setelah itu.
Sepi sejenak. Tawa keduanya telah reda.
”Mas Arman, Saya minta maaf atas kelakuan Saya kemarin yang sangat tidak pantas itu.” intonasi Anggri mulai menurun, seiring tatapannya yang kian menunduk. ”Entah setan apa yang menghasut saya kemarin, sampai-sampai Saya tega menghujat Mas dengan kata-kata yang amat menyinggung perasaan Mas Arman. Untuk itu Saya benar-benar minta maaf.” Anggri duduk disebelah Arman, menyandarkan kepalanya ke pundak Arman, suaminya itu.
”Mas Arman bilang bahwa Mas belum memberi Saya apa-apa. Mas salah akan hal itu. Mas sudah memberi Saya banyak hal yang sangat berarti buat Saya, buat kesenangan Saya. Mas sudah bersedia menikahi saya, merawat saya, anak yatim ini. Itu saja sudah membuat saya bahagia. Lebih lagi Mas sudah memberikan Saya hadiah yang tak terkira nilainya. Tari, anak kita itu, merupakan karunia yang sangat luar biasa bagi Saya. Selama enam tahun sudah Mas memberikan kepada saya gelar yang amat membahagiakan bagi seorang perempuan, yaitu gelar ’ibu’. Belum sempurna kebahagiaan seorang perempuan jika ia belum dipanggil ’ibu’ oleh anak kandungnya. Sedang Saya sudah enam tahun menerima kepercayaan Mas untuk merawat Tari. Saya bahagia sekali, Mas.”
Anggri mengusap peluh didahinya sejenak, ”Lain dari itu semua, Mas Arman sudah membuka pikiran saya. Benar kata Mas dulu. Andai kita tetap tinggal di kota, bukan mustahil kita tetap tinggal di kontrakan, tak punya rumah sendiri. Beruntung Saya memiliki  suami yang bijaksana seperti Mas Arman. Mas sudah mengajak saya pindah ke desa ini, membangun ’istana’ yang akan melindungi kita dari sengat panas dan guyur hujan. Sungguh kecil, toh itu milik kita juga. Akan kita apa-apakan ’istana’ itu, tak akan ada yang marah. Kebun ini juga, meskipun Saya tidak pernah ikut campur, tapi Mas selalu semangat mengerjakannya sendirian. Sekarang mulai terbuka mata Saya akan hasil yang sudah Mas perjuangkan mulai dari tidak ada sama sekali ini. Entahlah, dengan cara apa saya harus meminta maaf kepada Mas Arman atas sifat saya yang durhaka kemarin.”
Arman mendekap tubuh istrinya dengan perlahan. Diusapnya rambut istrinya itu, lalu dikecupnya. ”Dik Anggri ngomong apa, sih? Sudahlah, sekalipun juga Mas tidak pernah marah. Masalah kemarin itu Mas sudah maklum, kok. Malah Mas sudah lupa.” ia tersenyum, seraya dikecupnya sekali lagi rambut istrinya itu.
”Oiya Mas, masalah tivi dan sepeda motor kemarin jangan Mas pikirkan lagi. Lupakan saja. Sekarang mari kita bahu-membahu membenahi ’istana’ kita, kemudian kita pikirkan bagaimana Tari bisa punya sepeda yang ada keranjangnya.” Anggri tersenyum manis.
”Wah, iya. Mas sampai lupa kalau Tari minta dibelikan sepeda. Maklumlah urusan sepeda itu sampai terlupakan, soalnya konsentrasi Mas bukan sepeda, melainkan yang agak besar sedikit, yang ada mesinnya. Ehmmm, sepeda motor.” canda Arman sambil tersenyum.
”Ah, Mas Arman ini ngeledek Saya, ya? Ha? Hayo, ngeledek lagi?”
Susah payah Arman menghindari cubitan kecil dari istrinya yang terus menghujaninya itu. Sesekali Arman mengaduh, tapi toh tak juga dipedulikan oleh Anggri.
”Bilang ’ampun’ dulu baru Saya tidak mencubit lagi.”
”AMPUUUNNN...”
Canda itu berkesudahan juga akhirnya.
”Ehmmm, Dik Anggri, Mas mau kerja dulu ya. Tinggal beberapa pohon sayur kacang panjang lagi yang belum Mas ikat. Sebelum senja turun, semoga sudah selesai semua pohon-pohon itu  Mas ikat ke tiang-tiang penyangganya. Dik Anggri berteduh saja di bawah pohon jambu air itu.”
Wajah Anggri mendadak berubah menjadi masam. ”Mas gak kepengen ngajarin Saya mengikat pohon kacang panjang ini?”
”Memangnya Dik Anggri mau?”
Anggri tersenyum kembali. ”Bukankah pekerjaan ini akan semakin cepat selesai jika kita kerjakan berdua? Jadi, sebelum senja turun kita sudah bisa beristirahat. Nanti saya buatkan es teh lagi. Bagaimana?”
Arman tersenyum. Binar dimatanya kian terang. ”Baiklah. Jadi cara mengikatnya begini...”
Anggri tertegun disebelah suaminya, benar-benar memperhatikan apa yang diajarkan oleh suaminya itu.




Pontianak, April 2009

Catatan:
(*)     lirik lagu Ebiet G. Ade yang berjudul
‘Nasehat Pengemis untuk Istri dan Do’a untuk Hari Esok’













[cerpen] Percakapan Menjelang Malam





            Di depan, laut menghampar tenang. Permukaannya yang tertimpa sinar matahari senja tampak berkilauan. Sesekali riak-riak kecil mesra mencumbui bibir pantai yang kering. Pasir putih yang terhampar, tampak sesekali basah dan sedikit berbusa.
            Ketenangan ini memang begitu melenakan. Tak ada suara debur ombak yang pecah setelah menghantam karang. Tak ada jerit anak-anak yang biasanya berlarian dan ribut memperebutkan bola. Tak ada juga suara tangis bocah yang tidak suka bila istana pasir yang ia bangun dengan susah payah, dirusak begitu saja oleh kakak atau abangnya yang usil. Semua tampak senyap. Sesenyap camar yang melenggang tanpa suara. Sesenyap perahu-perahu yang terikat diam dalam temaram.
            Desah kecil terhembus begitu saja dari bibir Alan, lelaki yang sejak tadi tak henti mengamati kesunyian laut dihadapannya itu. Kerindangan pohon kelapa cukup membuatnya merasa nyaman dan sejuk. Sesekali kantuk datang menyergap. Tapi cepat-cepat ia usir dengan paksa. Ia tak boleh tertidur, pikirnya. Sebab kali ini ia tidak sedang berlibur bersama Lisa, putrinya yang berumur lima tahun, dan Mira, mantan istrinya.
            Mira?
            Alan selalu menarik napas dalam-dalam setiap kali nama itu muncul dikepalanya. Sudah sebulan ini ia melakukan hal itu. Perceraiannya dengan Mira begitu membuatnya terpukul. Tidak, bukan dia saja yang menderita. Lisa juga. Meski ia sendiri tak bisa menutupi dan membohongi perasaannya bahwa ia sebenarnya belum siap kehilangan istrinya secepat ini. Betapa ia ingin teriak sekuat tenaga sekarang ini. Meneriaki laut yang diam tanpa ombak, meneriaki pantai yang sepi tanpa tingkah anak-anak. Ia ingin melepaskan semua beban. Bukankah itu sesuatu yang wajar, pikirnya. Air mata bukan hanya milik perempuan saja. Bukankah laki-laki juga boleh menangis?
            Alan melirik jam dipergelangan tangan kirinya. Enam belas lebih tiga puluh delapan menit, desisnya pelan. Sejenak kemudian ia sudah berdiri tegak, menyapu sekeliling dengan tatapannya yang tajam. Puas ia mencari, tak ada tanda-tanda seseorang yang ia tunggu akan segera datang. Ia menghempaskan diri kembali ke tempat semula. Diputuskannya untuk menunggu setengah jam lagi.
            ”Mas Alan,” seseorang menyapanya pelan.
            Alan berdiri dan mencoba bersikap biasa saja. Sayang, ia gagal. Matanya sama sekali tidak tertuju kepada orang yang menyapanya barusan, melainkan lebih kepada Strada silver yang terparkir tak jauh dari tempatnya menunggu sekarang ini. Mata itu semakin jalang ketika mendapati sosok lelaki keluar dari Strada silver tadi dengan penuh ketenangan, setenang laut saat senja kali ini. Lelaki itu menghampiri mereka, ia dan mantan istrinya.
            Alan berusaha mempelajari laki-laki yang sudah berdiri dihadapannya kini. Perawakannya tegap, bagus untuk ukuran laki-laki yang masih terlihat muda. Ditaksirnya, laki-laki di depanya ini belum sampai tiga puluh lima.
            ”Mas Alan sudah lama menunggu?” Mira mencoba mencairkan ketegangan yang sempat ia baca dari wajah Alan barusan ini. Ia paham Alan belum siap untuk bertemu dengan Sonny secepat ini.
            ”Sejak pukul enam belas tadi,” sahut Alan sekenanya, sambil matanya tak lepas dari sosok yang kini ada diantara mereka, sekali lagi, ia dan mantan istrinya.
            Mira segera tanggap dengan suasana yang kurang nyaman ini. Cepat ia bertindak menyelamatkan harmoni yang hampir tercipta. ”O iya, kenalkan, dia Mas Sonny, yang begitu ingin Mas kenal,” katanya ramah kepada Alan, ”Dan dia Mas Alan, yang kemarin Mira ceritakan pada Mas,” lanjutnya lagi, kali ini matanya tertuju kepada Sonny.
            Sonny mengulurkan tangan lebih dahulu. Senyum tipisnya mengembang, ”Sonny,” sebutnya singkat.
            ”Alan,” Alan menyebut namanya, sambil sebelumnya menyambut jabat tangan yang diulurkan Sonny. ”Satu perusahaan dengan Mira?” lanjut Alan sejenak setelah mereka melepaskan jabat tangan perkenalan di senja yang cerah ini.
            ”Iya, Mas Alan. Saya dan Mira satu kantor. Saya dibagian Public Relation, sedang Mira, yah... Mas Alan juga sudah tahu lah.” jelas Sonny dengan ramah dan bersahabat.
            Alan mengulum senyum. Tak ada yang ingin ia ucapkan setelahnya. Hanya saja hati kecilnya yang menahan perih segera memberi kesimpulan yang menyakitkan, ”pantas saja...”
”Sendirian saja, Mas?” Sonny mencoba membuka wacana baru. Jujur, ia sedikit tidak enak dengan ketegangan yang belum juga mencair ini.
“Berdua dengan Lisa, putri saya yang tercinta.” jawab Alan tegas, sengaja dengan memberi sedikit penakanan saat menyebutkan kata ’tercinta’ tadi. Ia tak ingin menoleh pada Mira, sungguhpun ia tahu seketika itu juga Mira membuang tatapan ke arah lain. “Masih punya waktu untuk berbicara sebentar?” katanya lagi kepada Sonny.
“Oh, tentu saja, Mas.”
Alan memandang Mira yang belum juga berusaha mengalihkan tatapan. Ditepuknya pundak Mira perlahan, “Kami ingin bicara sedikit, bedua saja. Kamu tunggu sebentar.” Katanya pelan. “O iya, kalau kamu rindu pada Lisa, temui saja dia. Sekarang Lisa di tempat biasa, tempat kesukaannya saat belibur kesini bersamamu.”
Mira menganggap ini bukan sebagai saran, melainkan sebagai keharusan. Baguslah, pikirnya. Toh ia pun sudah sangat rindu pada Lisa, putrinya yang tercinta, batinnya lagi. Kali ini ada sedikit pedih yang menyertai langkahnya.
Sonny merasa tak nyaman dengan kalimat Alan barusan. Meski Alan mengucapkan dengan intonasi yang pelan dan terkesan sendu, tapi ada makna yang dalam menyertai kalimat itu. Sonny mulai mengerti bagaimana bahagianya keluarga yang sudah terpecah ini. Tapi itu dulu. Entah untuk saat ini.
”Sudah lama dekat dengan Mira?” Alan membuka percakapan, saat ia sudah merasa yakin sekarang ini mereka tinggal berdua saja.
Sonny mendesah pelan, ”Sejak saya sekantor dengan dia, Mas. Kira-kira setahun yang lalu.”
”Saya adalah suami kedua Mira,” Alan bercerita lagi, ”Dengan suami pertamanya, Mira tidak bisa memiliki keturunan. Bukan karena salah satu dari mereka mandul atau apa. Yang jelas, menjelang tahun kedua pernikahan mereka, Mira menggugat cerai suaminya. Suaminya bersedia mengabulkan permintaan Mira dengan satu syarat, dia ingin mengenal siapa lelaki yang berhasil menggoyahkan perahu rumah tangga mereka. Lantas saya memberanikan diri untuk masuk lebih jauh ke dalam kehidupan mereka. Saya mulai kenal dengan suaminya. Sejatinya dia orang baik. Sering kali ia menasehati saya tentang banyak hal, termasuk tentang Mira.” Alan mengusap mukanya sendiri dengan telapak tangan.
”Lantas Mira bercerai dan menikah dengan Mas Alan?” tanya Sonny dengan begitu hati-hati.
Alan mengangguk, ”Lisa adalah bukti cinta kami. Sayang, hanya enam tahun saya bisa mempertahankan bahtera rumah tangga kami. Perahu kami karam oleh sebab yang tidak jelas. Mira meminta cerai dari saya.” alun suara Alan terdengar kian lirih. Ada sedikit serak menyertai suaranya. Alan menatap Sonny yang tampak salah tingkah. “Kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri. Bukan kamu yang menyebabkan rumah tangga kami hancur. Lagi pula, setelah resmi bercerai, hubunganku dengan Mira tidak begitu buruk. Sesekali ia masih menjenguk Lisa.”
“Saya jadi tidak enak, Mas.”
“Sudahlah, Son. Tidak usah memelihara perasaan itu. Sekarang yang perlu kamu lakukan, jaga Mira jika kamu memang mencintai dia. Sudah setahun lebih kami berpisah. Tentu sekarang ini ia sudah mulai merindukan seseorang yang bisa melindungi dia.”
Sonny mengangguk pelan beberapa kali.
Alan sendiri merasakan risau yang amat sangat, yang ia gambarkan pada wajahnya yang mendadak ragu untuk mengatakan sesuatu. Ingin sekali ia katakan saat ini juga, tapi justru hatinya sendiri yang begitu kuat melarangnya.
”Sudah sore, Mas. Kalau tidak ada apa-apa lagi, baiknya kita pulang.” Sonny mencoba memberikan ide yang baik, yang segera disetujui oleh Alan dengan dua kali anggukan.
”Kamu ambil ini,” Alan mengangsurkan selembar kartu namanya sendiri pada Sonny, ”Saya yakin kamu akan mencari saya dan akan menceritakan sesuatu. Tentu tidak dalam waktu yang dekat ini.”
Sonny menerima kartu nama Alan dengan sedikit rasa heran. Tapi sudahlah. Apa susahnya sih menyimpan selembar kartu nama, pikinya kemudian.
Langit tampak kian jingga. Keheningan semakin berkuasa. Begitu juga dengan gelap yang sedikit demi sedikit menebar pekat dan kelam. Hitamnya mulai menyelimuti laut. Di langit, tak ada lagi camar yang hilir mudik. Yang tertinggal hanya jingga yang menghampar, awan putih yang tinggal beberapa saja, dan semilir angin yang sejuk menampar.
Alan mendesah, mencoba menenangkan diri. Matanya sayu mengiringi langkah Sonny yang kian menjauh dari hadapannya, menuju Strada silver yang menunggu dengan gagahnya.
Tampak Mira disana, disebelah Strada silver itu. Ia tersenyum, melambai ke arah Alan beberapa kali. Alan membalasnya, dengan senyum pula. Senyum yang begitu terpaksa dan ada gurat kepedihan yang menyerta. Alan memejamkan mata.
***
            Lisa, sudah delapan tahun kini. Ia tumbuh sebagai gadis kecil yang lincah dan riang. Wajahnya cantik sekali. Matanya tajam. Selalu tanggap akan segala sesuatu yang tidak mengena dengan pikiran kanak-kanaknya. Tentu, kecerdasannya yang membuat ia demikian.
            Alan merapikan buku-buku Lisa menjelang ia berangkat sekolah. Sudah tiga tahun hal seperti ini ia lakukan, sendiri saja. Tak pernah ia mengeluh sebab ia merasakan pekerjaan yang seperti ini kelewat mudah.
            ”Nanti Papa gak usah jemput Lisa. Soalnya kemarin Lisa sudah buat janji dengan Mama. Hari ini Mama yang jemput Lisa.” ucap gadis kecil itu seraya memasang sepatunya.
            Alan tak menanggapi. Memang, sejak Lisa masuk sekolah dasar, masalah antar jemput bukan tanggung jawabnya sendiri. Mira menghendaki ia juga dilibatkan dalam hal ini. Alan tak keberatan akan hal itu. Toh tak ada yang merasa dirugikan.
            ”Papa tahu arti kata afiliasi?” Lisa berbicara lagi, setelah usai mengikat tali sapatunya.
            Alan mengernyitkan dahi. Seketika di dalam hatinya memuji sekolah tempat anaknya belajar. Bagaimana tidak? Untuk anak kelas tiga es-de saja sudah diberi pekerjaan rumah seberat ini, menghapalkan arti kosakata yang lebih pantas dihapalkan oleh anak setingkat SMP atau di atasnya lagi. Alan tersenyum, ”Memangnya gurumu sudah memberikan tugas seperti itu?”
            Lisa menggeleng, ”Tidak!”
            ”Lantas?”
            ”Tadi pagi Lisa nonton tivi, berita tentang SMA apa gitu, berafiliasi dengan SMA ternama lainnya. Maksudnya berafiliasi itu apa sih, Pa?”
            Alan tersenyum lagi. Ah, Lisa...cerdas sekali kamu. Andai saja kamu ini...
”Papa ditanya kok malah senyum-senyum sendiri? Jangan-jangan Papa juga tidak tahu arti kata afiliasi!”
”Afiliasi itu artinya bergabung dengan, atau lebih tepatnya menginduk. Contohnya ya seperti berita yang kamu tonton tadi. Ada SMA yang baru saja didirikan, belum berprestasi apa-apa, belum maju, berafiliasi dengan SMA yang sudah maju dan memiliki banyak prestasi. Ngerti?”
”O...” Lisa mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali.
”Oke, kita berangkat sekarang. Sebentar lagi pukul tujuh. Mudah-mudahan tidak macet seperti tempo hari.”
***
            Di depan, laut bergemuruh dengan dahsyat. Ombaknya garang menghantam karang. Memporak-porandakan barisan perahu yang tertambat pasrah tak berdaya. Menghempas tubuh bocah-bocah yang berlarian ditepi pantainya. Angin tak henti menampar apa saja yang kebetulan dilalui. Sementara di langit, tak ada sepotongpun awan putih. Warna biru begitu angkuh menguasai angkasa.
            Kali ini Alan memandang laut sendirian. Lisa lebih memilih ikut bersama mamanya berbelanja ke butik langganan.
            Bukan tanpa sebab Alan berdiri di sini, sendirian pula. Ia tengah menunggu seseorang yang dua hari lalu memintanya untuk bertemu di tempat ini. Ada hal yang penting yang ingin ia ceritakan, katanya lewat telepon.
            “Sudah lama menunggu, Mas?”
            Alan menoleh ke arah datangnya suara. Sonny sudah berdiri dibelakangnya, entah sejak kapan. “Saya juga belum lama datang.” Jawab Alan sedikit berdiplomasi.
            Keduanya terlihat akrab menceritakan kabar masing-masing, apa saja yang sudah mereka perbuat sejak pertemuan yang terakhir, keadaan keluarga, dan sedikit masalah pekerjaan. Sesekali tawa ringan menghiasi pembicaraan yang sama ringannya itu. Tak ada ketegangan di sana.
            “Saya ingin bercerita sedikit, Mas. Tentang Mira.”
Alan hanya mengangguk. Tak ada lagi senyum dibibirnya.
            “Mira meminta saya menceraikan dia, Mas.”
            Alan terbelalak. “Bukankah kalian sudah punya anak?”
            ”Mas tentu tidak tahu bahwa Indri bukan anak kandung kami. Kami mengadopsi Indri ketika pernikahan kami menginjak usia satu tahun.”
            Alan tercekat, tak tahu mesti berkata apa. Ia seperti mendapati dirinya sendiri delapan tahun yang lalu.
            ”Dulu Mas Alan pernah bilang bahwa suatu saat saya akan datang mencari Mas dan saya akan menceritakan sesuatu kepada Mas.” Sonny mengusap rambutnya sendiri, ”Rupanya ini yang Mas Alan maksud dulu. Saya baru paham sekarang.”
            Alan menghela napas panjang. Entah mengapa dulu dia begitu yakin bahwa kelak Sonny akan datang untuk menemuinya. Cepat atau lambat. Dan hal itu benar terjadi. Saat ini. Disini, di tempat yang sama saat dulu dia berkenalan dengan Sonny.
            ”Kamu menyesal menikahi Mira?”
            Sonny melempar tatapan jauh ke laut. ”Posisi kita sama, Mas. Kita adalah laki-laki yang sebenarnya tersakiti namun tak ingin mengatakannya pada siapapun. Aku sudah merasakan apa yang Mas Alan rasakan dulu, saat kita baru pertama kali bertemu disini. Aku pikir tak ada lagi yang perlu Mas Alan tanyakan padaku, bukan?”
            Alan mengangguk membenarkan. Ditolehnya Sonny kemudian. ”Aku sangat sayang pada Lisa. Aku harap begitu juga kamu pada Indri. Bukankah posisi kita sama?”
            ”Tentu Mas, tentu. Aku sangat sayang pada Indri, meski Indri bukan anak kandungku.”
            Sepi menguasai. Tak ada percakapan beberapa jenak kemudian.
            ”Sudah hampir malam. Sebaiknya kita pulang.” Alan yang lebih dulu memecah kesunyian. Sementara tak banyak yang dilakukan Sonny selain mengikuti Alan yang mulai beranjak.
            ”O iya,” Alan menghentikan langkah, ”apa kamu sudah bertemu dengan calon suami Mira?”
            Sonny tersenyum. ”Minggu depan, Mira akan membawanya menemuiku disini, di tepi pantai ini. Mungkin saat senja seperti ini juga, Mas.” lagi, Sonny menyunggingkan senyum. Ada perih menyerta di sana, di senyum itu. Alan sangat paham. Bukankah itu juga yang dirasakannya dulu?
            ”Kira-kira apa yang akan kamu lakukan?”
            ”Sama seperti apa yang Mas Alan lakukan dulu saat pertama kali kita bertemu dulu.” sahut Sonny dengan sangat yakin.
            Keduanya tersenyum, lelaki yang tersakiti itu. Alan dan Sonny.
            Entahlah. Nanti, saat senja seperti ini, mungkin akan ada lagi yang tersenyum. Perih. Senyum dari laki-laki yang sebenarnya tersakiti namun tak ingin mengatakannya pada siapapun.

31 Januari 2011
23.13 WIB










Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah