Sabtu, 31 Agustus 2013

Terapi Air Putih



Sobat, aku mau berbagi sedikit pengetahuan nih. Sepele sih, soal minum air putih doang. Semoga ada manfaatnya ya, Sob...
Simak deh.
Minum air putih tepat waktu akan memaksimalkan efektivitas kerja organ pada tubuh kita loh, Sob.
1. Dua gelas air putih setelah bangun tidur akan membantu mengaktifkan organ-organ internal kita.
2. Satu gelas air putih 30 menit sebelum makan gunanya untuk membantu fungsi pencernaan dan ginjal.
3. Satu gelas air putih sebelum mandi membantu menurunkan tekanan darah.
4. Satu gelas air sebelum tidur untuk menghindari stroke dan serangan jantung.

Yang gak boleh kamu lakukan dengan air putih nih:
1. Jangan minum air putih langsung dari gentong ya, Sob. Jorok ah. Dimasak dulu napa?
2. Jangan minum air putih sekaligus dengan gelas-gelasnya ya. Buset dah...
3. Kalo di cafe, jangan pernah mesen air putih selagi temen-temenmu mesen juice atau soft drink. Okelah, memang air putih itu sehat Sob, tapi ya gak harus malu-maluin gitu kan?
4. Jangan sekali-sekali minum air putih sambil ee' atau sambil pipis. Bukan apa-apa sih, gak etis ajah.
5. Jangan minum air putih siang bolong pas di bulan puasa. Lo gila apa?

Okelah, ini info yang pengen aku bagi sama kalian. Moga ada manfaatnya.
See you next time, Sob...

Makna Seorang Sohib Buat Kita


Men, sebenernya sohib itu siapa sih? Seberapa penting arti sohib buat kita? Gak banyak yang bisa ngejelasin pertanyaan ini. Untuk alasan itulah gue coba ngutip beberapa makna sohib yang sulit buat dijelasin tadi. Emang sih pake bahasa jawa. Tapi gue yakin beberapa ada lah yang elo ngerti. Hahahaaaa...
Dan sohib itu adalah...

Accepts you as you are
Believes in “you”
Calls you just to say “HI”
Doesn’t give up on you
Envisions the whole of you (even the unfinished parts)…
Forgives your mistakes
Gives unconditionally
Helps you
Invites you over
Just “be” with you
Keeps you close at heart
Loves you for who you are
Makes a difference in your life
Never Judges
Offers support
Proud to be yours
Quiets your fears
Raises your spirits
Says nice things about you
Tells you the truth when you need to hear it
Understands you
Values you
Walks beside you
X-plain things you don’t understand
Yells when you won’t listen and
Zaps you back to reality

Tuh, dari A sampe Z lagi. Keren kan yang namanya sohib itu?
Makanya, mulai dari sekarang, jangan sia-siakan yang namanya sohib. Sebab nih ya, gue pernah denger sebuah kalimat yang indaaaaaah banget, cuma gue lupa siapa yang ngomong. Bunyinya gini nih: 'Jika elo gak mau punya sohib baru dalam hidup, percayalah, ketika elo tua nanti, elo akan sendirian.'
Buset dah, keren banget.
Oke lah, pesen terakhir gue, tetep dukung Real Madrid sebagai juara La Liga dan Liga Champions ya ;-D 

Bapak Sayang Padamu, Nak...

...
cita-cita bapak sederhana saja, Nak
bapak ingin suatu hari nanti, kamu merasa bangga sebab punya bapak seperti saya
itu saja
...

# saat Rhein tertidur nyenyak
wajah tenangnya sungguh mengundang kecupku untuk singgah
bapak sungguh sayang padamu, Nak...
 
01 September 2013
Rhein udah 10 bulan sekarang. Sehat selalu ya, Sayang...

BAND BARU, DALAM SEBUAH PERJALANAN




          Adalah dua orang anak muda, Redi dan Rendra, yang sangat berambisi membentuk sebuah band yang diharapkan nantinya bakal bersaing dengan band-band papan atas, sebut saja Peterpan, Padi, Dewa, Sheila On 7, dll. Bukan hanya sekedar omong kosong belaka. Pada pertengahan tahun 2004 keduanya mulai merintis cita-cita. MIZTIK BAND yang didirikan Rendra adalah langkah awal dalam mewujudkan mimpi. Bersama Syaiful(vocal) dan Hardi (drum), dimulailah langkah pertama. Rendra yang mempunyai basic drum justru memilih untuk menempati posisi gitaris dan Redi yang awalnya memainkan gitar kini mulai mencoba skill bermain bass. Hasilnya? Miztik sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Band ini bubar begitu saja tanpa pernah mencoba satu pentaspun sebagai ajang unjuk gigi.
          Ambisi untuk mengaransemen lagu-lagu sendiri ternyata mengalahkan rasa trauma dalam membentuk sebuah band baru. Buktinya Rendra dan Redi tak hanya berhenti sampai di situ saja. Terpuruk di Miztik, keduanya tidak jera sedikitpun untuk mencoba hal baru.
          Awal tahun 2005, Rendra dan Redi kembali mengatur langkah. Berhasil menggandeng Rovi (gitar) dan Rabdi (gitar, vokal), mereka mulai masuk studio untuk melanjutkan mimpi yang sempat tertahan. Rendra kembali ke basic awal, yaitu drum. Sementara Redi masih pada posisi yang dulu, yaitu bass. Keempatnya mencoba mengaransemen lagu ciptaan sendiri. Lagu KUBAYANGKAN yang dicipta oleh Rendra berhasil diaransemen dengan sentuhan minimalis namun berkesan megah. Sungguh, suatu langkah yang kian bagus buat keempat anak muda ini.
          Tak lama berselang, Eza (eks keyboardist BARDEZ BAND) bergabung. Formasi terakhir yang dianggap solid inipun kembali mengaransemen lagu ciptaan sendiri sambil sesekali memainkan lagu dari band-band lain. Radja, Peterpan, Ada Band, Ungu, Muse, Cold Play, dll adalah sederet band papan atas Indonesia dan dunia yang menjadi kiblat kelima anak muda yang masih dalam masa pencarian jati diri ini. Lagu-lagu yang sederhana namun menyentuh adalah lagu-lagu yang sering mereka mainkan. Malah lagu-lagu yang mereka ciptakan bernuansa sama, lembut dan menyentuh.
          Sempat timbul pro dan kontra diantara para personil dalam memberi nama band. Pernah memakai nama CEREMONY, namun akhirnya nama ini mereka tinggalkan. Gantinya? Pada tanggal 25 Mei 2005 disepakatilah sebuah nama yang dirasa akan membawa keberuntungan. THE ARTHUR BAND. Nama yang diambil dari seorang ksatria pedang yang tangguh. Ini tentu saja bukan tanpa maksud. Dipilihnya nama Arthur diharapkan kelak band inipun akan tangguh seperti nama yang disandang. Yach…itulah The Arthur Band yang digawangi oleh Rendra (drum), Redi (bass), Rovi (gitar), Rabdi (gitar), dan Eza (keyboard).
          Kenyataannya masalah masih saja menyertai. Arthur belum memiliki vokalis tetap. Selama latihan, vocal masih diisi oleh Rabdi dan Redi. Ini jelas bermasalah.
          Sempat hadir nama-nama seperti Dian, Rudy, bahkan vokalis cewek, Putri, ditampilkan untuk mengisi posisi vocal yang masih kosong. Dian sendiri sempat ditampilkan sebagai additional vocal saat The Arthur Band diundang untuk tampil versi akustik mengisi acara pembukaan Pahim di kampus FKIP. Merasa karakter vocal ketiganya masih belum sesuai dengan lagu-lagu yang dimainkan Arthur, maka ketiganya dilepas.
          Pada tanggal 09 Oktober 2005, lagu BIAS CINTA diaransemen sekaligus say welcome buat Arie, vocal bersuara khas yang berhasil direkrut. Bergabungnya Arie semakin menyempurnakan The Arthur Band. Maka tanpa beban lagi, pada tanggal 16 Oktober 2005 lagu BUNGA dan BINTANG HATI diaransemen. Baru kemudian menyusul TAK BISA TANPAMU, KERAGUAN, TENTANG HATINYA, dan KARENA SIFATMU.
          Tidak puas dengan itu semua, Arthur mencoba nekat merekam lagu-lagu yang sudah mereka ciptakan. Dibantu oleh Ferdy gitaris Lemon Tea, tiga lagu Arthur berhasil direkam. Ketiga lagu tersebut diantaranya adalah Bunga, Tak Bisa Tanpamu, dan Bias Cinta. Sayang sekali bahwa kesuksesan sementara ini harus dibayar mahal. Pada awal Januari 2006, Rovi memilih meninggalkan band di saat tenaganya benar-benar dibutuhkan. Jadilah kemudian Arthur mengepakkan sayap lebih jauh minus Rovi.
          Demo lagu yang sudah diaransemen mulai jadi prioritas utama. Sejumlah radio terkemuka menjadi sasaran. Alhasil, pada bulan Maret 2006, The Arthur Band diundang untuk wawancara di Radio Swara Prima. Moment ini sekaligus dimanfaatkan sebagai ajang memperkenalkan lagu-lagu mereka. Realisasinya sudah jelas. Pada bulan April 2006, lagu-lagu Arthur mulai sering di request oleh pendengar radio. Bahkan Delta Radio, channel yang selalu stand by untuk acara musik,  juga sering memutar lagu-lagu mereka. Sejenak, kelima anak muda ini boleh bernapas lega.
          Merasa tidak nyaman bermain dengan satu gitar, Arthur mengambil langkah bijak dengan menggandeng Guntur yang ditempatkan sebagai additional player mengisi posisi gitar yang ditinggalkan oleh Rovi. Formasi band yang kelima ini kemudian mulai melangkah lebih jauh dengan semakin giat mencipta dan mengaransemen lagu. Hasilnya memang tidak mengecewakan.
          Pada tanggal 22 Mei 2006, Bengkel Seni Fisip merayakan ultahnya yang ke-8. Perhelatan akbar pun diadakan dengan menggelar acara pentas seni musik yang dimeriahkan oleh band-band indie Pontianak. Arthur jelas ikut ambil bagian di acara ini. Dengan membawakan tiga lagu karya mereka, Arthur berhasil mencuri perhatian publik.
          Tanggal 25 Mei 2006, The Arthur Band merayakan ultah yang ke-1. bertempat di Aula FKIP Untan dan bekerja sama dengan Sanggar Kiprah FKIP Untan, juga Radio Swara Prima sebagai official radio partner, Arthur memberanikan diri menggelar acara. Meskipun terkesan minimalis, namun acara ini sebenarnya memang layak untuk dikenang dan dijadikan teladan oleh band-band indie Pontianak. Selain penampilan dari Arthur sendiri, juga turut memeriahkan band-band indie Pontianak seperti Capsule, Cabinet, Esporadise, dan sejumlah band lainnya. Bahkan broadcaster Swara Prima, Echie, menyempatkan diri untuk hadir di acara ini.
          Ultah yang mengusung tema Ngejamp Bareng Arthur ini juga diisi dengan acara sekilas perjalanan band dan bagi-bagi sticker Arthur. Di acara ini juga, Guntur resmi direkrut sebagai personil tetap Arthur.
          Sukses menjajal ajang indie di radio, ternyata belum mendatangkan rasa puas di hati peronil Arthur. Bulan Agustus 2006, Arthur menjajal pentas festival untuk kali pertama. Sekali lagi, Arthur harus kehilangan salah seorang personilnya disaat band ini benar-benar focus mempersiapkan diri untuk ikut festival. Arie, sang vocal disibukkan oleh urusan studinya dan memilih untuk hengkang. Padahal festival tinggal dua hari lagi.
          Kehilangan vocal disaat yang kritis seperti itu tidak menyurutkan niat anak-anak Arthur untuk terus maju. Nekat menggandeng Frans, vocalis café D’ Zhu, Arthur pun melanjutkan perjuangan. Meskipun pentas ini tidak membuahkan hasil apa-apa, tapi Arthur merasa puas langkahnya tidak tersandung batu ditengah jalan. Setidaknya mereka tidak menggagalkan penampilan pertama mereka di ajang festival.
          September 2006, The Arthur Band kembali kehilangan salah satu pendirinya. Redi (bassist) mengundurkan diri dengan alasan yang dapat ditolerir : sibuk dengan urusan kuliah. Kekosongan pada posisi ini tidak berlangsung lama. Sandy direkrut untuk mengisi posisi bassist yang ditinggalkan Redi. 
          Formasi terakhir ternyata hanya mampu bertahan selama satu bulan lebih. Tepat pertengahan Oktober 2006, Guntur hengkang dari Arthur. Keadaan ini semakin memperparah kondisi. Keberadaan The Arthur Band semakin tenggelam justru saat lagu Bunga yang mereka pasang sebagai single hits sedang berada di puncak klasemen top ten Indie Pontianak. Kevakuman semakin memuncak, sampai pada akhirnya pada 19 Januari 2007, The Arthur Band resmi dibubarkan oleh para pendiri seperti Redi, Rendra, Reza, dan Rabdi, yang menyempatkan diri untuk berkumpul kembali. Lantas apakah hanya akan sampai disini saja perjuangan mereka?   



 
          

PUISI SATU

Oleh Ahmad Asma DZ

2o 08’ LU – 3o 05’ LS
108o 0’BT – 114o 10’ BT

Tugu Khatulistiwa, Pontianak 22 mei, 17.28
Dalam Bingkai foto dari ibu jari dan jari telunjuk
Memandang ke arah barat
Sinar matahari membentuk bayangan tugu
Rona ungu dan merah memberi nuansa khatulistiwa
Lewat sudah orang-orang bersinggah titik kulminasi
Melihat tubuh tanpa bayang di siang hari

Muare Ulakan, Sambas, September, 11.30
Menunggu dzuhur
Menyandar tulang
Menapak langkah turun ke sungai
Membasuh raga tertib berwudhu
Assalammu’alaikum, wr wb hamba haturkan
Sertakan 2 rakaat kearah qiblat
Kaki bersila di kayu belian
Mendengar hiqmat muadzin mengumandang adzan
Menunggu imam memimpin shalat
Melempar pandang ke arah beranda
Berharap Sulthan meneduh rasa
Sepanjang masa

Pasar Sungai Duri, Sintang, 17.30
Hujan gerimis, memang memberi nuansa lain dari menu makanan panas yang tersaji
Namun,
Sedikit menganggu pandanganku ke arah sungai
Sehingga tak terlihat jelas pertemuan Sungai Melawi
dan Sungai Kapuas
Mesjid jami’
Dan Keraton Dare Juante
Sengaja aku memilih tempat duduk paling tepi. Dari kawasan ‘pantai’ tepat di pinggir Sungai Kapuas
Aku merasa seperti seorang saudagar pedagang sungai di abad 19-an
Singgah sebentar di sini, untuk esok harinya kembali menyusuri sungai
Ke arah hulu atau sebaliknya
ke arah hilir
Abad 19-an
Sungai Kapuas, Sungai Melawi
Jadi terbayang selintas, bagaimana dulu Neuwenhuis melintas di sini

Kampung kaum, Ketapang, 14.15
Sampai saye’ di keraton Panembahan
Singgah sebentar di tepi sungai mengambil wudhu
Sampai saye’ di tanah tuan
Singgah tak bersimpang, mengambil hikmah seyogyanya tawadlu

Singkawang, 18.50
Melintas jalan ali anyang berbelok kearah kiri
Memesan mie tiauw selera pedas
Memandang gadis putih bermata sipit mengucap logat
Membayang Cheng Ho, andai bersinggah di kota ini

Ensaid Panjang, Sintang, 09.20
Lama perjalanan terbayar tuntas
Dengan satu ulasan senyum saudara tua menyambut ramah
Naik bersinggah, menapak tangga di rumah betang
Anak-anak mengintip
Perempuan menyapa
Para pria menjabat erat
Di satu sisi rumah betang,
Terlihat alat pembuat tenun ikat
Dan beberapa perempuan yang sudah tua tersenyum
Di tangannya masih memegang tenun ikat setengah jadi
Dengan beberapa motif binatang
Seorang menjelaskan
Satu yang ku tangkap,
Ungkapan keserasian
dan keaslian hubungan manusia dengan alam

Parit Kebumen, Kab Pontianak, 19.15
Kaki di sila dalam beranda
Depan rumah seorang tetua
Teh tubruk beraroma melati menambah hangat suasana
Seorang muda penuh kharisma membuka kata
Aksen leluhur kental terasa
Penganan berbungkus daun pisang
Bersinggah dalam raga
Awal makna tanda syukur berpulang
Akan berkah, panen masa tiba
Sedekah bumi,
Sebagai tradisi
Lusa di mulai
Mengingat syukur pada generasi

Kuala Secapah, Mempawah, 09.35
Datang berkerabat
Kawan menunggu di muare
Pagi hampir beranjak siang
Hari selasa minggu terakhir di bulan Safar
Mengenggam tradisi
Melangkah menyambut hari

Mandor, 28 Juni, 10.00
Kerabat dekat ramai bersinggah
Mengenang masa juga jiwa berjasa
‘Ereveld Mandor’ hilang berganti
Monumen Makam Juang tegak berdiri
Tak hadir kami di masa
Ajarkan kami sebagai generasi
Pada tanah
Yang kami kandung bersama

Batu Tungau, Petikah, Kapuas Hulu. 11.10
Adakah sama gambar,
Dari sang mata-mata
Akan serakah sumber daya
Membawa para romusha
Menggali isi kandungan bumi
Lalu mengganti dengan raga

Pontianak, 19 Desember 1941
Bersinggah di Sarawak, memulai terbang dari Dawau
Sembilan pesawat AA-MG2G meraung di atas langit Pontianak
Memuntah timah sebesar paha
Tak mengena lapangan Sudirman
Membabi buta Kampung Bali

Pasar Mawar, Pontianak, 6 desember, 20.15
“jawi keh ne bang?!!”
“bukan! Tapi jamin manislah”
“berape sebuti?!”
“empat, dua puloh ribu jak!”
“da e, Mahalnye!. Ndak bise kurang lagi keh?!!”
“Berape!”
“Macam semalam jak! Boleh!”
Durian pun di buka.
“Cari kan yang jawi bang! Belah jak di sini!”
Esok paginya, membaca berita
Tentang kerepotannya pemerintah kota,
bila musim durian tiba
Bagaimana mestinya sisa kulit durian diolah

Selimpai, Sambas, 21.20
Menunggu bulan sedepa surau
Keluar dari peraduan
Menunggu penyu
Melangkah dari lautan
Karena, aku punya satu pertanyaan
Bagaimana engkau berbicara pada Tuhan
Akan kala
Pada masa
Tentang rasa syukur, niqmat dan keberagaman

Selasa, 27 Agustus 2013

Mari Belajar Bahasa Indonesia

Penggunaan kata penghubung "tetapi", "akan tetapi", dan "namun"
Perhatikan contoh:
1. Banyak wanita cantik. Tetapi tidak banyak yang menjadi diva.
2. Wajahnya agak pucat, namun dia tetap tampil dengan senyuman.

Penggunaan kata penghubung "tetapi" dan "namun" pada kalimat (1 dan 2) secara baku tidak tepat. Kata penghubung "tetapi" merupakan kata penghubung intrakalimat. Kata penghubung "akan tetapi" dan "namun" merupakan kata penghubung antarkalimat.

Penggunaan yang benar sebagai berikut.
1. Banyak wanita cantik, tetapi tidak banyak yang menjadi diva.
2. Banyak wanita cantik. Akan tetapi tidak banyak yang menjadi diva.
3. Wajahnya agak pucat. Namun, dia tetap tampil dengan senyuman. 
 
Semoga ada manfaatnya ;-)
#sumber: status SRI BETTY, yang dibagikan ke Grup Himbasi Punya Cerita pada hari Selasa, 27 Agustus 2013 

Air Mata Menjelang Imsak



Redia Yosianto

            Ramadhan hari kedua puluh satu, tahun 2005. Seperti biasa. Sahur kujalani sendirian di kamar kost yang sepi dan gelap. Aku benar-benar sendirian. Beberapa sahabat yang tinggal satu kost denganku sudah pada mudik ke kampung halaman masing-masing. Aku sendiri berencana untuk mudik sekitar sehari atau dua hari lagi.
Aku tidak sadar sejak kapan kamarku gelap begini. Aku ingat ketika aku merebahkan diri, lampu masih menyala. Sekarang, ketika aku bangun untuk makan sahur, kamar sudah gelap. Kuintip keadaan di luar lewat celah jendela kamarku. Ternyata gelap juga. Mati lampu total. Mungkin sedang ada pemadaman listrik bergilir.
Aku berusaha menemukan sesuatu di sebelah bantalku. Yang pertama kali kupegang adalah Hp, karena memang benda mungil inilah yang membangunkanku barusan. Dengan cahaya redupnya, kucoba mencari lilin. Aku ingat aku masih menyimpan sebatang lilin di pojokan dekat lemari pakaian. Lumayanlah. Meski tidak terang, dapat juga aku makan sahur tanpa harus meraba-raba.
Rice cooker kubuka. Betapa kagetnya aku ketika aku mencium bau yang tidak sedap dari dalam rice cooker di hadapanku ini. Aku mulai curiga dan sedikit harap-harap cemas. Curiga jangan-jangan nasi bungkus untuk sahur hari ini basi. Harap-harap cemas semoga hal itu tidak sampai terjadi.
Aku keluarkan bungkusan nasi dari dalam rice cooker. Dingin. Sama sekali tidak ada hangat-hangatnya. Berarti lampu padam sudah cukup lama. Seketika kecurigaanku perlahan-lahan mendekati kenyataan ketika sedikit demi sedikit bungkusan nasi kubuka. Dan, benar saja. Nasi berikut sepotong tempe dan sebutir telur mata sapi yang sudah tersiram kuah ini basi. Aku memang terbiasa seperti ini. Bukan terbiasa makan nasi basi maksudku, tapi terbiasa membeli nasi bungkus lengkap dengan sayur dan lauknya sekalian. Sejauh ini aman-aman saja. Nasi untuk sahur tidak pernah basi selama listrik tidak mati. Tapi sahur kali ini sungguh membuatku sedih. Benar-benar sedih. Sudah tidak ada apa-apa lagi yang bisa dimakan. Mie instan sudah habis dua hari yang lalu. Minuman sereal saset, ada, tinggal sebungkus. Tapi tentu saja percuma. Aku tidak bisa memasak air panas. Ceret pemanas air milikku tentu saja tidak akan berguna jika listrik mati seperti sekarang ini. Memakan sereal itu mentah-mentah? Kupikir akulah orang aneh yang melakukannya pertama kali andai itu benar aku lakukan. Atau, beli makanan lagi saja? Nasi bungkus dengan lauk telur mata sapi dan sepotong tempe tidaklah terlalu mahal. Tapi tidak untuk kali ini. Aku ingat uangku tinggal lima puluh ribu. Sangat pas-pasan untuk ongkos bis kalau aku mudik nanti. Dan kalaupun aku nekat beli makan sekarang, tentu saja waktunya tidak akan cukup lagi. Aku tidak punya motor. Berjalan kaki menuju kedai makan terdekat sekalipun sudah barang tentu akan menghabiskan banyak waktu.
Kulirik jam yang tertera di layar Hp. Pukul tiga lebih empat puluh enam menit. Sebentar lagi imsak. Akhirnya kuputuskan untuk memakan apa yang ada saja. Nasi bungkus dihadapanku aku kais-kais, kucari bongkahan nasi yang belum tersiram kuah. Lumayan. Ada beberapa bongkah nasi yang masih bisa aku makan. Sungguh, rasanya sangat aneh. Kupaksakan juga agar nasi yang aku kunyah itu tertelan dan segera masuk ke perutku. Entah sejak kapan air mataku menetes. Yang aku tahu, tiba-tiba pipiku terasa hangat. Ada yang mengalir di sana. Aku bukanlah laki-laki yang cengeng. Aku tidak pernah menangis. Tapi entah mengapa, kali ini rasanya lain sekali.
Sepi ini terkoyak oleh Hp di sebelahku yang tiba-tiba berbunyi. Kulihat di layar, Ibuku memanggil. Aku menarik napas. Aku tidak ingin terdengar sedang atau baru saja menangis.
“Halo, Mak, Assalamualaikum,” ucapku senatural mungkin.
“Waalaikum salam. Sudah sahur, Mas?”
Ibuku memang biasa memanggilku ‘Mas’ karena aku adalah anak tertua, “Iya, baru saja, Mak. Di rumah lauknya apa?”
“Sayur nangka sama tahu goreng. Mas tadi sahur lauk apa?”
Seketika kerongkonganku tercekat. Tuhan, kuatkan hamba. “Lauk tempe sama telur.” Aku tidak bohong, kan? Memang itulah laukku meski tidak aku makan.
“Wah, enak itu, Mas. Hemat-hemat loh ya.”
Aku cuma bisa mengangguk. Tentu saja ibuku tidak bisa melihat anggukanku barusan. Sedapat mungkin aku tidak memperdengarkan suara yang mencurigakan. Susah sekali rasanya berbicara sambil menahan isak tangis. Begini rasanya jika jauh dari orang tua. Hal-hal yang tidak terduga seperti yang aku alami ini sungguh tidak enak. Tapi aku sadar. Allah sedang berbicara denganku. Allah sedang mengujiku. Aku sadar akan hal itu.

Pontianak, 2012
Mengenang Ramadhan tujuh tahun yang lalu.

#dimuat dalam buku antologi Ramadhan di Rantau
  diterbitkan oleh penerbit Harfeey

Ramadhan di Rantau - Kumpulan Kisah Nyata

Ramadhan di Rantau
-Ketika kolak pisang Bunda tak terjangkau-
Genre : Kumpulan kisah nyata anak rantau
Penulis : Boneka Lilin et Boliners
Editor : Boneka Lilin
Layout : Boneka Lilin
Cover Design : Ary Hansamu Harfeey
Penerbit : Penerbit Harfeey
Tebal : 201 Hlm ; 14,8 x 21 cm (A5)
Harga : Rp45.000,- (untuk kontributor diskon 20% setiap pembelian bukunya)

SINOPSIS
Persembahan bagi anak rantau...
Seorang anak remaja nekad merantau ke ibukota. Bertarung dengan kerasnya terik matahari, serta melakukan penghematan setengah mati saat Ramadhan di rantau, dengan harapan bisa mempergunakan gaji pertamanya yang tak seberapa, untuk mudik dan membelikan baju lebaran bagi kedua orangtuanya. Namun naas, musibah menantinya di perjalanan...
Musibah apakah itu? Berhasilkah remaja tersebut mewujudkan mimpi hasil kerja keras untuk membelikan baju lebaran bagi kedua orangtuanya di kampung?
Ikuti kisah selengkapnya dalam buku bertajuk Ramadhan di Rantau ini. Sebuah buku antologi kisah nyata dari para penulis pilihan dalam Negeri, yang berkisah tentang nuansa lucu, seru, dan harunya menjalani masa Ramadhan di perantauan.

Kontributor :
Boneka Lilin, Ary Hansamu Harfeey, Redia Yosianto, Nimas Kinanthi, Nyi Penengah Dewanti, Dilan Imam Adilan, Cakep Azian, Tahiruddin Tawil, Alisia A. Meilisia, Risma, Zainal Saiful Amir, Muamaroh Husnantya, Rosi Nurfadhilah, Reni Soengkunie, Andra, Nenny Makmun, Yana Fitri, Inayah Natsir, Titi Haryati Abbas, Erni Misran, Maharanie, Anisa, Mahesa Gemilang, Anna Lulus, Nikky Vianti, Yusuf Ichsan Ats Tsaqofy, Anto, Novia Anggraini, Armilia Sari, Eva Khofiyana, Ressti Zhahara Zuleika, Eka Yulianti Salim, Arinda Sari, Nai Saras, Bintunnajah Al-Muhaddis, Hana Sugiharti, Diani Ramadhaniesta, Ratrna Shun Yzc, Diah Utami, Annisa J. Moezha, Suparno, Nanda Ayu, Tri Harun Syafii, Mulyoto JJ, Jumrang, Fulki Ilmi, Laila Fariha Zein, Rakhmawati Agustina, Cantika Zee, Sandza, Ja'far Shiddiq.

Buku ini sudah bisa dipesan melalui Penerbit Harfeey, para kontributor, atau memesan langsung ke CP 081904162092*





Layang-layang

LAYANG-LAYANG

Oleh: Redia Yosianto

anakku bertanya:
musim kemarau adalah musim layang-layang
turun-temurun dari jaman datuk sampai sekarang
apa benar demikian?
aku harus bilang apa, selain anggukan?

anakku lalu bilang:
musim layang-layang kali ini tidak bikin senang
layang-layang baru terbang sejengkal benang
tapi layang-layang sudah hilang

lihatlah anakku,
langit sebelah barat hitam pekat
matahari senyap coklat pucat
ah, layang-layangmu menangis, nak, kehilangan tempat

selalu saja begini
menjelang musim bakar bulan juni
hutan berkobar-kobar
asap menampar-nampar
di tengah padang, layang-layang hilang kendali
samar sekali kelihatannya dari sini

sudahlah nak,
biar layang-layangmu bebas menentukan hidupnya sendiri
menata abjad-abjad, mencipta sajak sebuah elegi
mari kita pulang, langit sudah gelap memudar
padahal hari belumlah sore benar

Pontianak, April 2012

  • Redia Yosianto, lahir di Jembrana, Bali, pada tahun 1985. Gemar menulis cerita pendek dan puisi. Beberapa tulisannya dimuat di media massa lokal seperti Pontianak Post dan Equator. Pernah menerbitkan antologi cerita pendek yang berjudul Coretan di Langit Kapuas bersama beberapa penulis muda Kalimantan Barat di bawah organisasi kepenulisan Lentera Community. Kini menetap di Kota Baru, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.


Guru - Nano L. Basuki

GURU

Puisi Nano L Basuki

Seorang Guru melepas para siswa di padang belajar. Ia meminta mereka belajar bebas dan bebas belajar. Sendiri ia mengupas berita panas koran lawas. Satu, satu, siswa datang dan lemparkan tanya yang cemas.

Guru! Guru! Bagaimana cara menyusun kata menjadi sebuah puisi?
Bertanyalah pada para penyair!
Guru! Guru! Bagaimana cara paraphrase puisi Tarji?
Bacalah buku catatan terakhir!
Guru! Guru! Bagaimana cara mengajar yang baik?
Beraninya kamu menyindir…
Guru… Bolehkah aku tak lagi memanggilmu… Guru…

Guru perlahan tuntaskan kata kalimat yang menempel pada kertas
Koran diremas
Semakin was-was
Tapi tak jua berbalas
Pontianak, April 2012


Nano L Basuki. Menulis puisi adalah hobi yang membuatnya ketagihan sejak ia duduk di bangku kuliah. Ia pernah belajar bahasa Inggris di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Namun tidak diselesaikannya karena enggan menjadi guru.  Tak putus semangat untuk melanjutkan impiannya menjadi seorang sarjana, ia transfer ke jurusan Sastra Indonesia di universitas yang sama. Tiga tahun selesai. Dua tahun mengajar Play Performance (Drama III) di Jurusan Sastra Inggris USD sembari aktif bermain drama. Alih-alih ingin menjadi pemain drama profesional, ia justru terperosok ke dunia pendidikan: menjadi GURU!  Sebelumnya, puas sudah ia menjadi pemain drama di Teater Ring asuhan Jujuk Prabowo (sutradara teater Gandrik), Teater Seriboe Djendela, dan Bengkel Sastra USD Yogyakarta. Takdir berkata lain, ia memang harus menyerah pada kehendak Yang Kuasa yang mengutusnya terjun di dunia pendidikan formal. Ia melanjutkan studi Akta 4 agar sah menjadi seorang guru. Kini ia sedang melanjutkan studi S2  di Universitas Tanjungpura Pontianak, sembari mengajar sastra di SMP Suster Pontianak.  Selain itu, ia mengajar keterampilan berbahasa di Politeknik Tonggak Equator Pontianak.  Karya yang telah diterbitkan adalah Buah Pena, Wanita-wanita Renta, Delapan Warna, Tiga Merawat Kata, Republik Warung Kopi, dan Sarang Enggang. Sebelum berdomisili di Pontianak, lelaki ini sempat bermukim di Kota Singkawang dan Kabupaten Landak. Dari kampung ke kampung serta dari sekolah ke sekolah ia berkeliling, memotivasi para siswa untuk menulis karya sastra.  Ia dapat dijumpai di nanonoe@yahoo.co.id.

Halaman Senja - Shabrina Ws

oleh Shabrina Ws


Aku melipat senyum,
melipat kata,
dan melipat potongan kisah tadi pagi
Kubawa berjalan di sepanjang jalan setapak senja
Yang berujung pada matahari jingga

dan, esok
Setelah subuh melipat sajadahnya
Aku akan berjalan meninggalkan bayang-bayang yang memanjang
Menuju jalan setapak matahari terbit
Lalu menggunting kisah-kisah sepotong pagi
Lagi

senja emas, gading kirana,17717211
Shabrina WS. Seorang istri, seorang ibu dari Zaid dan Urfa. Menyukai pagi, senja, fabel dan buku-buku yang ada ’aroma’ hewannya. Baru punya 5 buku solo: Kerlip Bintang-bintang, Sketsa Negeri Para Anjing, Pelari Cilik, Petualangan Ciki Kelinci, dan Sakti dan Sapi Rebo. dan 24 antologi. Sekarang menetap di Sidoarjo, Jawa Timur.
 
#dari 'Suara Lima Negara'

Senin, 26 Agustus 2013

Satu Kesan Abadi - Kumpulan Cerpen Mini

Buku ini adalah proyek coba-coba saja. Saya cetak sendiri dan saya edarkan sendiri. Di bawah bendera SAKURA MERAH, buku ini saya cetak 25 eks untuk tahap awal. Sebagian saya edarkan gratis dan sebagian saya patok harga Rp 15.000.

Berisi 5 cerita pendek:
- Mbok Nah
- Pulang ke Kotamu
- Tante Mia
- Surat Musim Peluru
- Telefon

Karena respon pembaca yang sangat bagus, saya memutuskan untuk mencetak beberapa judul di atas untuk menjadi buku yang serius. Maka lahirlah Di Tepi Pelabuhan Ini. Buku terbitan Literer Khatulistiwa itu sukses terjual habis seminggu setelah diluncurkan.

Terima kasih untuk para pembaca buku saya. Semoga kalian tidak kecewa dengan apa yang sudah saya sajikan.

Salam sastra,
Redia Yosianto

Kalbar Berimajinasi

Kalbar Berimajinasi
Sebuah antologi cerita pendek karya 25 sastrawan Kalimantan Barat. Diterbitkan oleh Stain Press, tahun 2012.



Kawin
Redia Yosianto

            Kawan, kalau kalian ingin tahu siapa wanita yang paling cerewet yang pernah tinggal serumah denganku, itu tak lain dan tak bukan adalah emak. Ah, kalian harus dengar ceritaku, Kawan, biar kalian tahu kalau ibu kalian tidaklah secerewet emakku. Semua hal yang sepele bisa dikomentarinya berjam-jam lamanya. Itu yang sepele, seperti lupa menutup pasta gigi sehabis mandi, lupa menjemur handuk, lupa menyalakan lampu teras ketika hari sudah gelap, dan macam-macam. Padahal, ah, lupa menutup pasta gigi dua hari pun tak akan membuat benda itu lemau atau basi, kan?
            Itu baru hal sepele, Kawan. Belakangan, tidak tidak, maksudku beberapa bulan terakhir, emak sibuk mengomentari status lajangku. Emak meminta aku untuk segera kawin. Dan kalau sudah membahas masalah kawin, bisa berjam-jam lamanya emak ngomel. Ngilu sekali telingaku rasanya. Semua jadi serba gampang menurut emak. Ya kawin itu tadi. Sudah puluhan anak gadis yang dikenal emak, turut pula dikenalkan ke aku. Disebutkannya satu-satu. Mulai dari yang tinggal di pasar sampai yang tinggal di pinggir sungai Kapuas pun emak kenal. Gila! Kawin sudah seperti ngerebus mie instan saja. Jerang air, rebus, makan, habis.
            “Bile kau maok kawen, Mat? Nunggu Mak mati ke ape?” seperti biasa, setelah ngomong gitu emak akan langsung batuk. Sapu tangan kecil yang belakangan selalu tersedia di saku bajunya itu segera membungkam mulutnya sendiri, meredam suara batuknya itu. Emak memang alergi dengan debu.
            Nah, Kawan, kalian dengar sendiri, kan? Dengar, kan? Itulah, aku tak pernah ingin bohong pada kalian soal emakku. Terutama soal cerewetnya.
            “Tak tengok ke kalau umur kau tu udah tige puloh?” emak ngomel lagi, batuk lagi.
            “Ape die tige puloh pulak,  Mak?” aku coba membela diri, “Dua lapan. Dua taon agik baru tige puloh.”
            “Ha, dua lapan.” selain cerewet, emak juga pandai meralat kekeliruannya sendiri. “Pas dah tu kawen. Maok nunggu ape agik bah?”
            Aku diam.
            “Ape lah agik yang maok kau cari? Kulu kilik-kulu kilik ngikot pakde kau tuh ke? Jadi kernet bis? Hah, tue di jalan gak nampaknye anak emak nih.”
            “Nyari pengalaman lah, Mak. Nyari duit gak.” aku memasang raut muka bodoh.
            “Duit? Untuk ape?” kulihat telinga emak sedikit mencuat.
            “Ndak e, untuk kawen lah dah. Emak gak yang besibuk nyuruh Mamat cepat-cepat kawen.” sahutku, masih dengan tampang bodoh.
            “Bile?” cuatan telinga emak kian tinggi. Hal ini wajar terjadi bila emak mendengar berita yang sekiranya bisa membuat hatinya senang.
            Tuhan, ini sungguh luar biasa. Raut wajah emak bisa langsung berseri-seri jika aku sendiri yang menyebut kata kawin dengan sedikit antusias. Kalau boleh aku tebak, selain raut wajahnya yang berseri-seri, kukira hatinya juga langsung berbunga-bunga demi mendengar anak bujangnya ini punya niat untuk kawin. Padahal, sungguh, aku cuma ingin segera mengakhiri omelannya untuk edisi kali ini. Itu saja.
            “Usah nak lamak-lamak agik kau kawen, Mat. Usah kau ikotkan pakde kau tu. Macam tak tau jak pakde kau tu, dude tak senonoh. Tak kawen-kawen. Mo jadi bujang agik ke ape?”
            Kawan, tolong jangan tertawakan aku. Aku memang kelihatan bodoh jika berhadapan dengan emak. Tapi sungguh, aku tidaklah seperti itu.
            “Kawen dengan Syarifah tu ha.” mulai lagi. Emak mulai lagi menawarkan anak gadis yang dia kenal. Entahlah, kali ini anak gadis yang dia kenal itu tinggal dimana.
            Aku tertegun. “Syarifah anak Wak Mahmud ke, Mak?” aku menerka. Aku kenal dengan beberapa gadis yang bernama Syarifah. Aku ingin memastikan, mungkin dari salah satu Syarifah yang kukenal itulah yang ditawarkan emak saat ini.
“Iye lah dah.” emak membenarkan. “Biar Mak mintakkan ke Wak Mahmud. Gampang lah tu. Wak Mahmud tu kawan Emak sekolah dolok. Emak minta sekarang, lusa bise dah kau kawen.”
“Ape lalu Syarifah pulak ni Mak?” protesku. Syarifah? Kawan, nanti akan aku ceritakan sedikit soal perempuan pilihan emak  kali ini. Lucu sekali jika aku harus kawin dengan si Syarifah ini. Pasti akan aneh.
            “Ngape pulak?” kali ini alis emak yang mencuat.
“Ck,” aku mulai gusar. Kawan, akan aku ceritakan sekarang saja soal Syarifah tadi. Biar sedikit mengurangi penasaran kalian. “Emak ni macam tak tau jak. Budak tu ngerebus aek jak pandai hangus aek tu. Tak kan lah yang kayak gitu mau jadi istri Mamat pulak. Tak pandai masak. Nyuci baju di Kapuas bah sikat cuci pandai anyot sorang. Tak pandai bedandan. Nanti Mamat pegi undangan malu lah Mak, bini Mamat tak cantek. Ape kate orang? Emak gak kan yang malu. Agikpun berape lah umur budak tu? Paling baru tige belas. Mane nyaman, Mak.” sahutku lagi. Kujelek-jelekkan si Syarifah itu sambil dalam hati aku meminta maaf kepadanya.
“Nyaman apenye, Mat?”
“Eh, nyaman apenye pulak? Mane nyaman ditengok orang lah dah. Mamat dua lapan, budak tu baru gak tige belas. Mane cocok, Mak.”
“Halah, pandai jak kau jawab omongan Mak ni.”
Aku tersenyum. Kawan, tahulah kalian kalau kali ini aku bisa memukul mundur emak. Aku menang. Calon pilihan emak kali ini sudah tereliminasi sebelum sempat bertanding. Kawan, aku tidak sebodoh yang kalian kira bukan?
***
            Di rumah pakde, aku menumpahkan segala keluh kesah selama beberapa hari terakhir. Soal emak dan obsesinya untuk segera  mengawinkanku tentunya. Seperti biasa, pakde hanya mengangguk-angguk sambil setengah terpejam. Entahlah, orang ini mendengarkan apa tidak.
            Oiya, Kawan, pakde ini adalah adik emak. Dia sudah dua tahun menjadi duda. Istrinya meninggal ketika hendak melahirkan anak pertama mereka. Mujur tak dapat diraih. Selang beberapa jam setelah istri pakde menghembuskan napas terakhir, putri kecilnya menyusul. Jadilah pakde duda seperti sekarang.
            Sehari-hari pakde bekerja sebagai sopir sebuah bis tua. Bis miliknya sendiri. Jangan salah, Kawan. Biarpun tua, bis yang dinahkodai pakde ini sudah malang melintang di pentas percarteran. Bis pakde sering disewa orang untuk acara-acara yang penting dan lumayan jauh. Kabupaten di Borneo Barat ini hampir khatam dijelajahi pakde dengan bis tuanya ini.
            Aku tak pernah secara resmi direkrut pakde menjadi kernetnya. Mulanya aku hanya ikut-ikutan saja. Tujuannya jelas, agar aku bisa pergi dari rumah tapi bukan secara liar. Dengan menjadi kernet, aku bisa melihat daerah luar. Lebih penting lagi, aku bisa melarikan diri dari omelan emak.
            Pakde meneguk kopinya yang sudah dingin sejak tadi. “Tambah pengalaman kau tu, Jang. Kawen gampang lah tu.” Pakde memanggilku dengan sebutan Bujang.
            Nah, ini yang aku suka dari pakde. Pandai sekali dia memahami perasaan keponakannya ini. Aku tersenyum. Dudukku sedikit tegak.
            “Kau udah jadi sarjana, tadak gak maok kerje. Maok kau kasi makan ape istri kau nanti kalau kau kawen cepat-cepat?”
            Mantap. Keren. Aku suka dengan pola pikir pakde yang berorientasi ke depan ini. Coba saja emakku juga seperti ini.
            “Ape agik lah yang mak kau maokkan tu? Cucu udah dapat dari adek kau. Ape agik? Menantu perempuan? Bilanglah ke mak kau tu Bujang, sabar-sabar. Macam lah die tu besok maok mati.”
            Aku tergelak. Pandai juga rupanya pakde mengata-ngatai kakaknya sendiri. “Pakde macam tak tau emak jak. Gitu lah die tu. Ape yang die maok, tak pernah bise sabar.” timpalku masih dengan sisa tawa.
            Pakde menyulut rokok, “Kalau memang mak kau tak bise sabar agik, kau kawen jak dengan Maria anak tetangga Pakde tu.”
            Kali ini aku menautkan alis. “Lalu Maria pulak yang Pakde sebotkan.” aku kenal dengan Maria, Kawan. Dia itu teman satu kampus semasa kuliah dulu.
            “Ape agik kurangnye budak tu? Masak pandai dah. Segale macam lauk pandai die mbuatnye. Ape agik? Nyuci? Jangankan nyuci Jang, nyangkul jak die lihai. Bedandan? Tak usah bedandan pun cantek dah budak tu.”
            “Pakde ni emang tak paham dengan emak.” aku menghempaskan tubuh ke dinding terasnya.
            “Ngape tak paham pulak?”
            “Maria tu orang batak, Pakde.”
            “Orang Zimbabwe pun kalau memang jodoh tak kemane, Bujang. Ape kau ni, lalu gitu pulak pikiran kau. Kesal benar Pakde dengarnye.”
            “Emak tu maoknye Mamat kawen dengan orang melayu gak, Pakde. Mane maok emak selain melayu. Dolok pacar si Nina orang jawe, ndak gak boleh kawen same emak. Akhirnya kawen lah si Nina tu dengan Ilham, budak melayu itam legam tukang mancing udang tu.” Pakde mengangguk-anggukan kepala mendengar penjelasanku. Rupanya masih ingat juga dia bagaimana menolaknya emak ketika adikku mengajukan calonnya sendiri. Sama seperti si Syarifah, si Bambang juga tereliminasi sebelum sempat bertanding.
            “Oke lah. Kalau menurut Pakde,” pakde menikmati betul setiap sedotan rokoknya. Dihembuskannya pelan-pelan asap dari bibirnya yang sedikit diruncingkan. Asap segera meluncur perlahan. Aku tak sabar menunggu kalimatnya yang terpenggal oleh asap itu.
            “Ape Pakde?”
            “Kau memang harus kawen cepat-cepat, Bujang.”
            Aku bangkit dari duduk. Hari ini tak sudi aku ngernet bis tua Pakde.
***
            Kawan, kalian tahu aku ada dimana sekarang? Aku di rumah sakit, Kawan. Emak masuk rumah sakit. Perkara batuknya itu, dulu kupikir hanya batuk biasa saja. Betapa bodohnya aku yang selalu percaya setiap emak mengatakan kalau dia alergi terhadap debu. Emak tak pernah bilang kalau dia mengidap kanker paru-paru. Dan perkara sapu tangan yang selalu membungkam mulutnya sendiri selepas batuk itu, rupanya untuk menyembunyikan darah yang keluar dari setiap batuknya, bukan untuk meredam nyaring suara batuknya atau apalah namanya. Sekali lagi aku merasa benar-benar bodoh. Tidak, Kawan, kali ini bodohku tidak kubuat-buat.
            Aku jengkel saat tahu bahwa sebenarnya pakde mengetahui penyakit emak ini. Aku jengkel. Mengapa mereka harus menyembunyikannya? Apa salah jika aku, anaknya yang tak tahu adat ini, turut mengetahui sakit emak? Dan perkara kawin itu, ah…
            “Mat, emakmu siuman. Temui emakmu dolok gih. Emakmu manggil-manggil kau terus tu ha.” Pakde merangkul pundakku, menuntunku memasuki ruangan tempat emak terbaring.
            “Mak,” bisikku pelan. Kulihat emak membuka matanya. Kutelusuri tubuh emak. Baru sadar aku kalau emak semakin kurus. Kulitnya yang keriput semakin membuat emak terlihat lemah. Entahlah, Kawan, sudah sejak kapan aku meneteskan air mata. Aku sungguh tak sadar.
            “Mat,” tangan emak terulur ke kepalaku. Lembut sekali rasanya. Belaian emak ini, sungguh aku juga sudah lupa kapan terakhir kali aku merasakannya.
            “Ngape Emak ndak maok cerite ke Mamat kalau Emak ni sakit?” susah sekali mengatakan satu kalimat ini sambil menahan tangis. Aku sesenggukan. Kulihat emak malah tersenyum. Ah, emak…
            “Emak ni ade utang dengan almarhum bapak kau, Mat. Emak udah janji, emak tak akan tenang nyusul bapak kau kalau Emak belom ngawenkan kau. Nina udah kawen. Tinggal kau jak yang belom.”
            Aku masih sesenggukan. Kulihat emak memejamkan matanya. Sebentar saja.
            “Tapi rupenye Tuhan bilang lain. Tuhan tak mengijinkan Emak melunasi utang Emak ke bapak. Emak kena kanker paru-paru. Pakdemu tu lah yang ngantar Emak berobat, lapan bulan yang lalu. Kate dokter, kanker emak udah stadium tige. Entahlah, Mat. Emak pun tadak gak tau arti kate stadium tu ape.”
            Tangan emak masih juga mengusap-usap kepalaku. Aku makin menenggelamkan wajah ke tepi pembaringan emak. Tangisku tak kuat lagi kutahan. Air mataku menderas.
            “Itulah ngape Emak ni bekalut benar nyuruh kau tu cepat-cepat kawen. Firasat Emak tak nyaman beberape hari belakangan ni. Emak temimpi bapak kau teros, Mat.” usapan tangan emak pindah ke pundakku yang bergetar. “Emak minta maaf ye, Mat, kalau-kalau udah kelewat cerewet dengan kau belakangan nih. Kawen dengan pakse pun tadak gak bagos. Emak tau bah. Emak pun ngerase bersalah gak dengan Nina.”
            “Emak sembuh ye, Mak. Mamat janji, Mak. Kalau Emak sembuh, Mamat kawin. Emak lah yang milihkan gadis untuk Mamat. Mamat ndak akan nolak, Mak. Tapi Emak harus sembuh ye. Kite balek ke rumah ye, Mak.”
            Emak tersenyum. Kulihat senyum emak begitu tenang dan menenangkan. “Iye, Mat. Kite balek ke rumah sebentar agik. Cume,” emak memejamkan matanya sejenak. Emak menyebut nama Nina, adikku itu, dengan sedikit bergetar. Nina memang tidak disini sekarang. Nina ikut suaminya. Mereka menetap di Sambas. Barangkali sekarang Nina dan suaminya sedang menuju ke Pontianak. Pakde yang menelponnya, beberapa saat setelah emak tumbang dan dilarikan ke rumah sakit.
            “Kalau Emak tak sempat balek ke rumah nanti ni, sampaikan ke Nina ye, Mat, Emak minta maaf soal kawen die tu. Mungkin dengan si Bambang tu lah si Nina tu berjodoh. Tapi Emak dah maksekan jodoh untuk die. Emak minta maaf.”
            Aku meraung lagi. Kuciumi punggung tangan emak berulang kali. Aku ingin mengatakan satu hal yang selama ini begitu ingin kusampaikan langsung ke Emak. Aku sayang emak. Aku tak pernah mengatakan ini ke emak. Aku sayang sama emak. Aku sangat sayang emak. Aku harus bilang sekarang. Sebelum…sebelum…
            “Mak? Emak? Emaaaaaaaaaaaaak…”


Kota Baru, April 2012
Redia Yosianto


Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah