Senin, 30 Juni 2014

Kriteria Pengiriman Naskah Cerita Anak KOMPAS



Kawan-kawan penulis, terutama yang suka nulis cerita anak, nih, aku kasih postingan penting kriteria jitu untuk tembus ke koran terbaik di Indonesia, KOMPAS. Kriteria ini juga kiriman dari KOMPAS kok. Jadi, jangan khawatir kalo aku ngada-ngada doang. Heheheheee…

Okeeeehhhhh. Cekicrotttt…

1. Naskah asli, bukan jiplakan/ saduran/ terjemahan, belum pernah dimuat dalam penerbitan lain, dan hanya ditulis/ dikirim untuk Kompas Anak.


2. Cara penyajian tidak panjang lebar tapi padat, singkat, mudah ditangkap, gaya bahasa enak dibaca, dan sesuai kaidah ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan alias EYD.

3. Panjang naskah maksimal tiga halaman kuarto untuk cerpen atau dongeng dan empat halaman kuarto untuk rubrik “Boleh Tahu”, semuanya dengan ketikan dua spasi, tulisan diharapkan jelas dan bersih.

4. Sering tulisan yang pantas dimuat terpaksa dikembalikan, karena tidak mungkin lagi memuatnya pada waktu yang tepat berhubung terbatasnya ruangan atau benturan dengan tulisan-tulisan lain.

Tuh, kriterianya. Kalo udah ngerasa sip, kawan-kawan boleh deh kirim ke:

kompas@kompas.com


Wokeh???
Sip lah ya.


Salam,
Kakanda Redi

Nyanyi Sepi, Nyanyi Patah Hati

Kakanda Redi dan Dewi Mustikasari


: lin…


aku mencintaimu…
kunyanyikan syair itu berulang kali dalam sepi
dalam gelap yang membungkam suara nyeri tentang nyanyian patah hati
tapi kau hanya diam. diam dalam remang hayalku yang lebur jadi puisi

dan ketika rasa itu bertepuk sendiri tak bersuara
tinggal aku yang bertanya: akankah seutas harap kosong sebagai tujunya?
lantas akankah aku mengembara menjelma sebagai pungguk yang putus asa?

aku hanya berharap aku tak hidup dalam sebuah mimpi tak berpenghuni
sebuah mimpi yang terkadang terus mencabik-cabik perasaan dan sesekali memaksa air mata menetes, menderas, melumpuhkan segala harap. ah... terlalu jauh engkau
terlalu halus engkau, hingga tangan tak kuasa untuk sekedar meraba...

aku paham. meraba datangmu hanya tinggal kenang.
aku berteriak pada malam: pergi saja kau wahai pengacau jagat hati nan kelam
musnahkan bangkai-bangkai mimpi kelabu di pinggir karam

tapi tidak. kini bangkai-bangkai itu adalah wajahku yang tergambar dalam resah. kini bangkai-bangkai itu adalah rinduku yang tertahan dalam gundah. apa yang harus aku lakukan, lin? haruskah aku berbaring untuk selamanya menjelma sebagai bangkai agar kau percaya bahwa malam ini syair itu terus kunyanyikan berulang kali dalam sepi?

harus aku katakan berapa kali agar kau mengerti, lin
bahwa sisa hidup ini hanya bagimu, peri dalam negeri mimpiku
tapi toh aku paham
tapi toh aku tetap tidak rela ketika munafik menari di sudut bibirmu
hanya untuk melukis garisan senyum di wajahku
oh tidak, tidak…
kau… terlalu halus untuk mencatat sebuah sandiwara cinta
dimana kau adalah pemeran utamanya
aku? ah, sudahlah lin…

kini biar kugambar sendiri reranting kering yang patah. reranting tempatku hinggap lalu terjatuh sendiri. sepi. setelah kalah oleh sebuah pengakuan yang tenang.
ah, lin...
bahkan ujung kuasku pun turut patah, tak mampu lagi melukis senyummu di sore itu

lin…
kini kau adalah nyanyiku dalam sepi
kini kau adalah nyanyiku saat patah hati

Mempawah – Pontianak
28 desember 2013
13.12 wib

Bincang di Tepi Jalan



Sajak Kakanda Redi
    : tentang petuah Pak Kung untuk aku di masa nanti

sembari aku telusuri jalan ini
yang sangat penuh sesak dengan tanaman berduri
aku terkantuk meski masih senantiasa berdiri
pada usiaku yang masih sangat pagi
aku dicemooh sekitar
kelapa, ketela, cemara, dan entah apa lagi
  : hei, telapak kakimu masih terlalu tipis buat menjejaki
    semak belukar ini

sembari menebaskan sabit tua
membuka jalan bagi kami berdua
kakekku berjalan tegar
mengayunkan sabit
ia hafal benar
inilah rumahnya
inilah kerajaannya
inilah sahabat karibnya
alam mengirim angin
mengipasinya
mengusapkan peluhnya

aku mencoret-coret langit
dengan kuas sabut kelapa
bekas tebasan sabitnya
yang barusan kami hirup airnya
yang seperti inipun,
ha…ha…ha…
aku belum bisa

tapi ia memberiku dongeng
bukan kisah masa silam
tapi tiga bait sajak untuk kubawa 
kala aku kelak seusianya

"ini kerajaan kita
akan jaya bila kamu sudah bisa mengupas kelapa
anak-anakmu akan suka 
saat kau bercerita seperti ini
saat aku juga sudah harus pergi
mengintipmu dari langit yang kau coret-coret
dengan kuas sabut kelapa tadi"

11 April 2007

Sajak-sajak Kakanda Redi: Mengenang Kakek Tercinta



Interlude Pagi



senyumnya menyapaku lewat jeda dzikir yang samar-samar
aku dengar, tadi

tapi ranjangku tak hendak sudi ku tinggal pergi
kebekuan pagi ini sebenarnya sanggup mematahkan batang padi


tapi bajak sudah dipikulnya

di kandang sudah tak ada lagi sapi-sapi
yang sebentar lalu masih menemaniku mengulur mimpi


mataku sayup pekat pada perapian yang kian hangat
pada segelas teh serbuk asli

yang kelat



…aku menggeliat,

apa ini sudah pagi?


April 2007





Interlude Siang



buih-buih putih dan gemericik air kali menyambut tubuhnya
yang lelah sekali
lantas keruh di ujung sana
bekas telapak kakinya yang banyak menyimpan cerita
tentang negeri-negeri persinggahan

senyumnya menyapaku lewat
Jeda dzikir yang samar-samar
aku dengar, tadi
tapi kailku masih aku
lempar kesana-kemari
sudah tiga lele yang
aku tangkap hari ini

nunggu enam,
baru aku pulang

April 2007



Interlude Senja

semilir angin singgah di keningnya dengan sangat mesra
dipandangnya langit indah
alam goresan siluet
sambil duduk bersila

kek, lelenya cuma lima
malam mematahkan kailku
saat hampir ku tangkap yang keenam

kita pulang,
kita bakar saja yang lima tadi
dengan perapian senyum ketenangan

besok, mulai dari satu lagi
tapi enam, tujuh lele
mesti kita dapatkan!

April 2007


Interlude Malam

kembali, dipan tua dan kusam siap mengantarkan
malamnya menuju kerajaan yang paling manja
yang paling nyaman
keningnya mengkerut
barangkali sapinya lupa disuguhi makan malam

ia menerawang pada gelap
sambil gending-gending
lama Ia lantunkan
pelan-pelan sampai senyap
baru ia lelap

besok pagi,
kembali senyumnya akan menyapaku lewat jeda
dzikir yang samar-samar aku dengar,
saat aku masih meringkuk erat

nanti, sebentar lagi
sapi-sapinya pasti sudah hilang sama sekali.

April 2007





Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah