Rabu, 31 Mei 2017

RINDU



rindu berjejalan di kepala

ku telpon tuhan
lalu kutanyakan;

“apakah rindu juga kau jejalkan di kepalanya?”

[mempawah]
10 – 2014

Jumat, 26 Mei 2017

UNTUK MICHAEL: MENIKMATI RASA PERSONALITAS PADA SAJAK-SAJAK HERLINA

UNTUK MICHAEL karya HERLINA



UNTUK MICHAEL:
MENIKMATI RASA PERSONALITAS PADA SAJAK-SAJAK HERLINA

Oleh: Kakanda Redi


Beberapa tahun yang lalu, saya berhasil ‘menghasut’ Herlina untuk terlibat dalam penggarapan buku antologi cerita pendek. Tidak hanya berhenti pada satu buku saja. Melainkan dua buku. Dua buku itu terbit dalam kurun waktu satu tahun. Bukan main.
Buku yang pertama adalah ARUS, sebuah antologi cerita pendek (Literer Khatulistiwa, 2013) yang kami tulis bersama tiga penulis Kalimantan Barat lainnya. Lantas, hanya dalam kurun waktu beberapa bulan setelah terbitnya ARUS, saya dan Herlina kembali meluncurkan KENANGAN MUSIM SEMI (Literer Khatulistiwa, 2013).
Saya kira, Herlina akan nyaman di jalur cerita pendek sebagaimana halnya dengan saya. Rupanya saya salah. Setelah KENANGAN MUSIM SEMI, saya pelan-pelan meluncurkan buku-buku kumpulan cerita pendek yang saya tulis sendirian. Herlina justru berhenti. Tidak lagi menulis cerita pendek. Herlina ternyata menemukan media yang lebih nyaman untuk mengungkapkan emosi personalnya; sajak.
Sajak-sajak Herlina yang terangkum dalam kumpulan sajak UNTUK MICHAEL ini menawarkan kisah-kisah percintaan yang kompleks dengan segala hal yang menjadi latar belakang penulisannya. Benar, Herlina cukup piawai menyuarakan kegelisahan, jatuh cinta, rindu, patah hati, dan kenangan akan sesuatu lewat sajak. Jika kita meninjau dari segi faset tematis, kita akan mendapati dengan gamblang, secara umum tema yang digarap Herlina dalam kumpulan sajak ini tidak jauh dari tema percintaan yang bisa dikatakan saat ini menjadi konsumsi kaum muda. Umum. Mudah ditemukan di koran-koran yang memuat sajak-sajak yang ditulis juga oleh kaum muda. Namun, tak perlulah kita berpikir bahwa sesuatu yang lahir dari peristiwa-peristiwa yang sedang populer dibicarakan akan segera usang dan dilupakan orang. Masalah percintaan adalah masalah yang universal. Tema ini bisa digarap dari sudut mana saja. Herlina pun begitu. Tema percintaan yang digarap Herlina di buku ini lebih kepada bagaimana Herlina menyuarakan kegelisahan batin, jatuh cinta diam-diam, atau rindu yang menggebu namun tak tersampaikan. Sekali lagi saya katakan, Herlina adalah penulis yang ditakdirkan memiliki kepekaan yang tinggi terhadap masalah percintaan dan telah menemukan media yang tepat untuk menyuarakan apa yang dia rasakan.
Meminjam sedikit pendapat Joni Ariadinata, benar bahwa ribuan karya sastra telah ditulis orang di seluruh dunia, baik dalam bentuk novel, puisi, maupun cerita pendek. Jika kita cermati, dari seluruh sejarah penulisan karya sastra, nyaris tak ada satu pun penggarapan yang baru dari segi tema. Kemanusiaan, cinta, keadilan, kebenaran –dan seribu satu macam kisah anak manusia yang berhubungan dengan itu- adalah inti tema yang selalu digarap ulang oleh setiap pengarang di seluruh dunia. Tak pernah jenuh dan bosan. Dalam arti kata, secara tematik, materi karya sastra pada dasarnya telah habis. Bolehlah dikatakan bahwa sebenarnya Herlina, dan penulis-penulis di seluruh dunia, hanya menyajikan tema yang sudah ada namun dengan gaya yang berbeda. Herlina menyajikan kisah percintaan dengan menggunakan diksi-diksi yang sederhana, biasa ditemukan dalam percakapan sehari-hari, namun tetap cantik dengan balutan metafora-metafora yang unik dan segar. Herlina cukup konsisten dalam hal ini.
Mari kita nikmati salah satu sajak yang Herlina tulis di dalam buku ini:

pada matamu
kutanam setangkai mawar
kemarin dan kemarinnya lagi
lalu hujan menyuburkannya
hari ini
sekuntum mawar mekar dari matamu
ketika kupetik
durinya menusuk diri sendiri

Sajak ini diberi judul ‘Mawar dan Matamu’ oleh Herlina. Lihatlah, begitu piawainya Herlina menceritakan kisah percintaan yang panjang hanya dalam beberapa baris saja. Herlina fasih bercerita tentang bagaimana ‘si aku’ yang terus-menerus menumbuhkan kebahagiaan dalam waktu yang tidak sebentar, kemarin dan kemarinnya lagi. Perjumpaan demi perjumpaan menumbuhsuburkan kebahagiaan yang telah dijaga selamaa ini. Lantas, sampailah pada suatu masa, saat kebahagiaan itu akan diungkapkan, justru kesakitan yang didapatkan. Sungguh, sebuah kesakitan yang hanya sanggup diceritakan dengan fasih oleh personalitas atau individu yang tahu betul bagaimana rasanya. Terlepas dari benar atau tidaknya Herlina sudah mengalami masa-masa ini, sajak di atas sangat menggetarkan si pembaca, dalam hal ini adalah saya sendiri. Metafora yang segar. Bahasa yang mendayu-dayu. Rasa personalitas yang kuat. Sudah cukup membuat saya turut merasakan emosi yang disuguhkan oleh sajak di atas.
Herlina, dalam proses kreatif penciptaan sajak-sajaknya, tentu tidak lepas dari situasi kausalitas yang melibatkan komponen-komponen yang sudah pasti memiliki hubungan timbal balik; karya sastra, pengarang, semesta, dan pembaca. Sebagai pengarang, Herlina telah melahirkan karya sastra yang dalam penciptaannya, hampir seluruh sajak yang dia tulis ‘berpedoman’ pada semesta. Pembaca buku ini nantinya tak perlu repot-repot menemukan hal itu. Semua sudah tersaji dengan jelas. Sebab, ekspresi estetika dan suara batin Herlina sebagai individu yang kerap bersinggungan dengan semesta, tertuang dengan lugas pada sajak-sajak yang ada di buku ini.
Terlepas dari seluruh sajak yang menjadi isi buku ini, harus kita akui, Herlina sudah melangkah maju. Terbitnya ‘Untuk Michael’ adalah upaya regenerasi dan berkesinambungannya kesusastraan di Kalimantan Barat yang sudah terealisasi. Benar bahwa kelak akan ditemukan kekurangan dalam buku kumpulan sajak ini dan hal itu lumrah. Silakan diperdebatkan. Namun, satu hal yang harus kita ingat dan kita pahami bersama; kemajuan dunia literasi tidak cukup hanya dengan koar-koar dan mengajukan setumpuk teori!
Akhirnya, dengan senyum dan perasaan bahagia yang membuncah, saya mengucapkan selamat untuk karib saya ini. Terus berkarya, Herlina. Terus menulis. Mengutip sebuah pepatah latin yang begitu populer; Verba Volant, Schrifta Manent. Memang begitulah tabiat kata-kata. Setumpuk teori tadi, sekali lagi, kalau cuma sekedar teori, secerdas apapun bunyinya, akan lenyap dibawa angin. Namun, kata-kata yang sudah tercatat, yang sudah dituliskan, akan abadi, akan selamanya dibaca dan dikenang orang.

Februari 2017

Kakanda Redi
Pemimpin Redaksi www.sayap-imaji.com


Hutan Mangrove Kabupaten Mempawah


Saat berkunjung ke Hutan Mangrove Mempawah
02 Oktober 2016
Kakanda Redi Rhein Reisyaristie Dinda Risti

Kapal Galaherang - Taman Alun Kapuas, Pontianak

Kenang-kenangan Minggu, 25 September 2016.

Kadang-kadang, perjalanan yang tidak direncanakan bisa jadi peristiwa yang menyenangkan. Tak ada rencana apa-apa di hari Minggu ini. Ide jalan-jalan tercetus begitu saja dari Dinda Risti. Taman Alun Kapuas adalah tujuan.

Sampai di lokasi, Sampan Galaherang berjajar di sungai. Kami tertarik untuk mencoba. Tidak mahal. Hitung-hitung untuk menambah pengalaman juga.

Ketika Sampan sudah bergerak, Resa berteriak. Sebenarnya saya juga ingin bersorak. Tapi takut dibilang norak 😆😆😆
 
Sampai pada satu kesimpulan sederhana; kemanapun perginya, jauh atau dekat, selama itu kami lakukan bertiga, semuanya pasti menyenangkan.


Rhein Reisyaristie dan Dinda Risti, mari kita jalan-jalan lagi 😄😄




Dinda Risti Rhein Reisyaristie Kakanda Redi


LELAKI PATAH HATI

sore ini. hujan turun pelan-pelan. lelaki patah hati. menyeka kenangan yang mampir bertubi-tubi. sendiri. senyum kekalahan dia sembunyikan di balik tirai-tirai gerimis. senyum kekalahan dia bentang lewat kilat belati. tancap di dada sendiri.

lelaki patah hati. lesap pada kenangan yang mampir bertubi-tubi. jatuh cinta. dia jatuh cinta. pada kenangan yang terulang sekali lagi.

05.11.16
KR

Taman Cinta, Water Boom Gunung Jempol, Pajintan, Singkawang, Kalimantan Barat.

26 November 2016

Anggaplah ini perayaan sederhana ulang tahun pernikahan kami yang ke-5. Tak ada kado. Tak pakai tart atau cake. Saya hanya memberikan waktu khusus di hari spesial kami ini. Cuma waktu. Sebab menyiapkan waktu di hari spesial itu tidak semua orang punya kesempatan. Saya sempat. Maka ini yang saya berikan kepada istri saya. Mengajaknya jalan-jalan adalah salah satu upaya membuatnya bahagia. Semoga saja.

Dan... di sinilah kami hari ini. Singkawang selalu saja keren. Romantis. Inspiratif. Menyenangkan. Ditambah lagi ributnya Resa yang selalu mengomentari banyak hal. Tambah rame. Tambah seru.

Okelah. Sudah malam. Kota sudah siap untuk dijelajahi. Kelap-kelip lampunya. Musiknya. Kulinernya. Semuanya.

Dinda Risti dan Rhein Reisyaristie, mari bersenang-senang.


Kakanda Redi Rhein Reisyaristie Dinda Risti

YUP...
Itu tadi adalah sepotong pengantar yang saya kutip dari laman FB saya sendiri.Perayaan sederhana ulang tahun pernikahan saya dan Dinda Risti. Kami merayakannya di Singkawang, Kalimantan Barat.

Semoga ada rezeki yang cukup dan semoga usia kami panjang. Kelak perayaan yang ke-6 kami akan cari tempat yang keren lagi.

Kakanda Redi

Kenang Ketapang, Kenang juga Pawan

pernah dimuat di www.sayap-imaji.com

di tepi pawan, kawanku
mari duduk. kita jelang senja
sembari merasa denyut riak yang paling rahasia

reranting dihanyutkan
dedaun kering. dahan-dahan
juga berlembar-lembar kenangan

musim terang, kawan. dulu. pawan surut
kerap kita berkecipak
memberi warna masa kanak
dengan tawa yang larut

kenang ketapang, kenang juga pawan, kawanku

musim basah, kawan. sekarang. pawan pekat
barangkali tak sudi lagi ikan lewat berkelebat

aih…
paman-paman nelayan tekun merawat jala
dengan sebatang kretek lembap dan kopi tanpa gula
pawan senyap. pawan larut dalam cerita

astaga, kawan. kita terlalu jauh kembara
dengan pawan lama tak bersua
atau dengan nadinya yang coklat tua

tak kedengaran lagi kecipak riak kenangan
juga cerita pilu paman-paman nelayan

kenang ketapang, kenang juga pawan, kawanku

di tepi pawan, kawanku
mari duduk. kita bikin cerita
tentang alir sungai pawan yang penuh rahasia
Februari 2016

APRESIASI (6); NAMA DI DALAM SAJAK

Oleh: Abroorza Ahmad Yusra
 
Tidak jarang, para penyair menyebut nama orang di dalam sajak-sajaknya. Kadang ada di bawah judul, kadang menjadi bagian dari sajak itu sendiri. Seolah, sajak tersebut memang diciptakan khusus untuk seseorang. Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Sutan Takdir Alisyahbana, Joko Pinurbo, dan macam-macam lagi –hampir semua penyair–  pernah melakukannya. Misalnya, pada sajak Rendra berjudul “Surat Cinta”.

Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur mainan
anak-anak peri dunia yang gaib
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah
Wahai, Dik Narti, aku cinta kepadamu!

Bisa dianggap, sajak tersebut merupakan ungkapan lamaran Rendra kepada seseorang yang dipanggil ‘Dik Narti’. Bagi yang mengenal kisah hidup Rendra, sajak tersebut bisa dianggap sebagai pinangan Rendra kepada Dik Narti, dan pada kenyataannya memang demikian. Dik Narti menjadi istri Rendra.
Namun, meski terkesan si penyair berbicara langsung kepada seseorang, sejatinya, sajak itu juga bicara kepada pembaca umum. Siapapun nama yang tercantum di dalam sajak, pembaca juga diberi ruang untuk meningterpretasinya. Sebagaimana sajak lain yang tanpa ada cantuman nama, pembaca juga dituntun memasuki sebuah persitiwa. Bedanya, kali ini pembaca diajak ‘menguping’ monolog satu arah, antara pengisah dan nama atau orang yang dituju. Kesan personal pada sajak juga dapat menjadi konsumsi pembaca umum. Sajak dengan cantuman nama, tidak harus menjadi khusus. Interpretasi terhadap karya yang mencantumkan nama juga berarti tidak selalu bersifat khusus.

Di dalam Sayap Imaji, boleh kita perhatikan sajak berikut ini. Judulnya, “Julius, Ketika Aku Rindu”, karya Herlina Kiei.

Desember adalah sebuah penantian
kelahiran yang menyelamatkan
tolong. selamatkan aku dari kerinduan yang membentang di segala zaman
lantaran padamu, aku akan dan harus pulang
**
Telah kucoba sembunyikan rindu
pada kaki-kaki langit yang jauh
tetapi desember selalu berhasil melahirkannya
kembali
**
Julius..
Telah kugeser ribuan kaki
Ke negeri yang jauh
namun, rindu tak pernah lelah memeluk
langkahku
**
Ah, bagaimanapun
hati kita sungai-sungai
sejauh mana mengalir
akan kembali ke muara yang sama
**
Meski layar telah kandas
Rindu ini tak pernah tumpas, Julius
Ia enggan menepi walau di tengah laut sepi
Dalam hati rindu bersarang tak pernah mati

Dalam sajak tersebut, Herlina sebagai penyair melakukan monolog percakapan satu arah, dengan orang yang bernama Julius. Saya tidak tahu apakah Julius itu memang sosok yang nyata, yang mengilhami sajak tersebut, atau sekadar sosok imajinasi. Tetapi, tidak perlu kita bersusah payah bertanya kepada Herlina Kiei sebab, telah disebutkan tadi, sajak tidak melulu bersifat khusus, meski ada cantuman nama. Lagi pula, pada prinsipnya ‘pengarang telah mati’. Interpretasi karya dapat dilakukan melalui hubungan pembaca dengan karya, tidak mesti melalui pengarangnya. Tugas pembaca bukan mendalami atau kepo atas hubungan antara Herlina dengan Julius, melainkan mendalami peristiwa yang dibangun di dalam sajak, dengan berdasarkan pada kata-kata, larik-larik, di dalam sajak.

Melalu piranti bahasa, Herlina mencoba mengungkapkan persoalan perasaan yang disebut ‘rindu’. Indikasi tersebut dapat dilihat misalnya pada larik-larik “Julius / Telah kugeser ribuan kaki / Ke negeri yang jauh / namun, rindu tak pernah lelah memeluk / langkahku”. Lantas, pengarang mencoba memberi arti pada ‘Desember’. Desember menjadi simbol atau lambang sebuah kenangan, bukan sekadar nama bulan. “Desember adalah sebuah penantian / kelahiran yang menyelamatkan” atau pada larik, “Telah kucoba sembunyikan rindu / pada kaki-kaki langit yang jauh / tetapi Desember selalu berhasil melahirkannya / kembali”. Lewat larik-larik tersebut, pembaca diajak menyelami nuansa bulan Desember, yang menurut pengarang, memiliki suatu makna. Ada asa juga yang ditawarkan, diibaratkan seperti “hati kita sungai-sungai / sejauh mana mengalir / akan kembali ke muara yang sama”.

Herlina di dalam sajak telah berubah menjadi ‘aku lirik’ dan ‘Julius’ adalah tokoh yang diajaknya bicara sehingga terjadi sebuah monolog. Dalam monolog itu, penyair tidak lagi menjadi sosok di luar sajak, melainkan menyatu di dalamnya. Karena itu, nama apapun yang tercantum di dalam sajak, hanyalah nama. Tidak perlu dihubung-hubungkan dengan kenyataan di luar sajak. Bila kebetulan pembaca mengetahui hubungan Herlina dengan Julis di dalam kenyataan sebenarnya, itu hanyalah bonus. Bukan hal yang mesti dilakukan.

Ada sedikit cerita. Seorang kawan bercerita kepada saya mengenai dosen yang meminta mahasiswanya untuk menemui pengarang agar interpretasi mahasiswa tersebut terhadap karya pengarang mendekati kenyataan. Saya pikir, itu sebuah hal lucu. Apakah memang harus bertanya langsung kepada pengarang untuk memaknai sebuah karya? Jika memang demikian, di mana letak kebebasan pembaca untuk memaknai sajak? Bagaimana jika pengarang tersebut telah wafat. Anggaplah saya ingin menafsirkan sajak Chairil Anwar, apa saya harus main jailangkung untuk bertanya pada arwahnya? Bagaimana jika harus menafsirkan sajak-sajak Pablo Neruda, mestikah saya pergi ke Amerika Latin? Merepotkan saja. Pengarang adalah seorang penulis yang artinya menyampaikan semua hal yang ingin disampaikannya melalui bahasa tulisan. Ketika sebuah tulisan telah rampung, tulisan itu menjadi ‘hidup’ sendiri, sedangkan pengarang ‘telah mati’. Bahasa tulisan, hal itu yang menjadi poin penting dalam mendalami karya, bukan sisi pribadi pengarang.
Memang, mungkin tafsir kita bisa saja mendekati kenyataan bila mengetahui kehidupan pribadi pengarang. Tetapi bisa juga membatasi tasir kita. Sebab, puisi bukan pada hakikatnya tidak berbicara tentang kenyataan. Puisi lahir dari imajinasi penyair yang berdasarkan pada kenyataan.
Pada dasarnya, sajak ditulis untuk pembaca, tidak khusus untuk seseorang. Jika kita mampu melepaskan diri dari pengetahuan tentang nama yang tercantum di dalam sajak, pembaca tentu bisa lebih membebaskan imajinasi dan mencapai tafsir yang lebih mendalam. Yang terpenting bukanlah hubungan antara Herlina dengan Julius, atau Rendra dengan Dik Narti, namun lebih kepada bagaimana sebuah hubungan, entah itu cinta, sakit hati, putus asa, rindu, diungkapkan oleh penyair.
Sebagai contoh lain, boleh juga kita simak puisi Tenanglah Tenang, Angelica, karya Kakanda Redi.

pada tepi kota-kota yang sepi, malam telah sampai
perjalanan telah selesai

tapi rindu terus memburu temu
memaki tik-tok jarum yang yang terseok-seok
memberi rentang jarak bagi sebuah jumpa

tenanglah, Angelica
tak ada yang sia-sia dari setiap kecupan-kecupan mesra
cinta tak akan pernah membentang jurang
cinta tak akan pernah memberi sesat

Angelica, pada kecup yang paling sunyi, rasa telah sampai
pencarian telah selesai
terjal perjalanan itu hanyalah bebatu
sedang rindu hanyalah keresahan-keresahan
dan kau; jawab dari segala doa yang terpanjatkan

Tidak jauh berbeda seperti sajak Herlina, Redi juga menuntun pembaca pada nuansa mengenai rindu dan cinta, terekam pada larik “tapi rindu terus memburu temu / memaki tik-tok jarum yang yang terseok-seok / memberi rentang jarak bagi sebuah jumpa”. Pada larik-larik selanjutnya, Redi mencoba menampilkan suasana bahwa ‘peristiwa yang terjadi antara mereka’, kerinduan itu, bukan suatu hal yang perlu diratapi. “tenanglah, Angelica / tak ada yang sia-sia dari setiap kecupan-kecupan mesra / cinta tak akan pernah membentang jurang / cinta tak akan pernah memberi sesat”. Sajak lantas ditutup oleh harapan. Terekam pada larik “Angelica, pada kecup yang paling sunyi, rasa telah sampai / pencarian telah selesai” dan “dan kau; jawab dari segala doa yang terpanjatkan”.
Sebagai pembaca, kita diajak menyaksikan peristiwa itu, yang berisi tentang suasana merindu, ketegaran, dan harapan. Melalui sajak, pembaca ‘menguping’ apa yang dikatakan Redi sebagai ‘aku lirik’ kepada perempuan yang bernama Angelica. Kita bisa melakukan interpretasi dengan berdasarkan bahasa, larik, kata, yang digunakan Redi. Kita bisa ikut menyelami persitiwa yang dibangun tanpa harus bersusah payah mencari tahu hubungan Redi dan Angelica. Yang penting bagi pembaca bukanlah ‘apa yang terjadi’ di luar sajak, melainkan ‘apa yang bisa dihayati’ lewat sajak.


Abroorza Ahmad Yusra beraktivitas sebagai penulis, peneliti budaya, dan penggiat lingkungan. Hingga kini, telah menulis beberapa buku. Berdomisili di Pontianak dan Surabaya. Dapat dihubungi melalui rozzay_abroorza@yahoo.com.

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah