Rabu, 10 Desember 2014

Sepotong Omellete untuk Mak Mok










Sepotong Omellete untuk Mak Mok


Hari masih sangat pagi. Matahari belum muncul, tapi putri kecilku sudah sibuk minta dimandikan dengan air hangat. Sebentar-sebentar mulut kecilnya berceloteh tentang ayunan warna-warni yang dia lihat di sekolah taman kanak-kanak kemarin. Dia bilang, dia sangat ingin main di situ, di ayunan warna-warni itu, nanti jika dia sudah masuk sekolah.
Seminggu yang lalu aku membawa putri kecilku mendaftar ke taman kanak-kanak yang tak begitu jauh dari rumah. saking dekatnya, bahkan kami cukup berjalan kaki saja. Jika tidak tergesa-gesa, sekitar lima belas sampai dua puluh menit berjalan kaki maka kami sudah sampai di sekolah taman kanak-kanak itu.
Sepanjang perjalanan dari rumah menuju taman kanak-kanak, putri kecilku berdendang dengan gembiranya. Lagu ‘kupu-kupu yang lucu’ yang aku ajarkan kepadanya sudah hampir fasih dia nyanyikan. Belum lagi selesai lagu ‘kupu-kupu yang lucu’ itu, lagu ‘naik kereta api’ sudahpun meluncur dari mulut mungilnya.
Lantas, di pagi yang cerah ini, putri kecilku sudah sibuk minta dibedaki seusai mandi. Baju sekolahnya dia kenakan sendiri. Meski agak kesulitan, namun pada akhirnya dia berhasil mengenakan baju barunya itu. Rambut putri kecilku kukuncir dua, kiri dan kanan, lalu kunciran rambut itu kuberi pita kuning, senada dengan warna seragam barunya. Iya, hari ini adalah hari pertama putri kecilku masuk sekolah taman kanak-kanak.
“Mama, ayolah kita berangkat. Nanti Resa tak dapat ayunan,” putri kecilku sudah sibuk menarik-narik tanganku, minta secepatnya diantar berangkat sekolah.
Aku tersenyum gemas, “Sabarlah dulu. Ini masih pagi. Masih jam enam lewat sedikit. Teman-temanmu juga pasti belum berangkat. Tunggulah sebentar lagi. Biar Mama siapkan bekalmu dulu,” putri kecilku berlalu, tak menarik tanganku lagi. Kini dia duduk di sofa. Sebentar-sebentar tatapannya mengarah ke pintu. Entah apa yang dia pikirkan saat ini.
Bekal untuk putri kecilku sudah selesai aku siapkan. Roti panggang isi cokelat dan keju. Tempat minumnya yang juga masih baru kuisi dengan susu cokelat hangat. Persis jam setengah tujuh pagi, kuantarkan putri kecilku berangkat ke sekolah. Betapa dia begitu semangat di hari pertamanya sekolah. Diam-diam aku tersenyum sembari menggandeng tangannya yang terus berayun-ayun.
***
Dua minggu pertama putri kecilku sekolah, dia sama sekali tak mau ditinggalkan. Dia ingin begitu jam bermain selesai, aku harus ada di luar kelas atau di taman kecil tempat para orang tua menunggu anaknya pulang sekolah.
Pernah suatu hari diam-diam aku pulang ketika putri kecilku sedang asyik bermain. Maksudku, menjelang jam pulang nanti, aku sudah ada di luar kelas, menunggunya keluar kelas seperti biasanya. Tapi yang terjadi adalah, putri kecilku pulang sambil tersedu-sedu. Tentu saja aku sangat kaget dan demi Tuhan aku sangat menyesal telah melakukan hal ini. Putri kecilku diantar oleh seorang ibu guru yang menerima kami saat pendaftaran sekolah tempo hari.
“Resa? Resa kenapa? Kok nangis?” putri kecilku langsung menghambur ke pelukanku. Tangisnya kian kencang. Tatapan mataku pindah ke ibu guru yang mengantar Resa pulang. Kami saling melempar senyum dan sedikit menganggukkan kepala.
“Tadi Resa haus usai bermain ayunan. Resa tak dapat membuka tutup botol minumnya. Saat itulah Resa mencari Ibu. Begitu sadar Ibu tak ada di tempat tunggu seperti biasanya, Resa langsung menangis, minta pulang.”
Aku tertegun. Tangis putri kecilku mulai reda.
Kupersilahkan ibu guru yang sudah mengantar Resa pulang tadi untuk masuk. Secangkir teh tentu sangat pas sebagai pelengkap saat berbincang nanti. Tapi ibu guru itu menolak dengan halus. Aku baru sadar bahwa jam belajar rupanya memang belum selesai.
“Terima kasih sudah mengantar Resa pulang. Maaf sudah merepotkan Ibu,” ujarku. Ibu guru itu tersenyum.
“Tak apa. Resa anak yang pintar. Seperti yang Ibu lihat, dia cepat sekali menemukan kawan-kawannya. Soal dia minta ditunggui sampai pulang, itu wajar. Anak yang baru masuk sekolah dan menemukan lingkungan baru rata-rata memang begitu.”
Aku mengangguk mendengar penjelasan ibu guru yang mengantar Resa pulang ini.
“Baiklah, saya mohon diri,” ibu guru itu menyalamiku, “Resa, Mak Mok ke sekolah lagi ya. Besok Resa sekolah lagi ya,” katanya kepada putri kecilku yang masih sesenggukan. Ajaib, putri kecilku langsung menyunggingkan senyum.
***
Aku senang. Sekarang putri kecilku sudah tidak menangis lagi saat kutinggal pulang. Kujanjikan kepadanya bahwa aku sudah akan tiba di sekolah lagi bahkan sebelum lonceng pulang berbunyi. Putri kecilku mengangguk.
Satu hal yang pasti terjadi, setiap pulang sekolah, putri kecilku pasti bercerita tentang Mak Mok, ibu guru yang belakangan sering ikut mengantarnya pulang meskipun aku sudah datang menjemput. Sepertinya putri kecilku tak pernah kehabisan cerita soal Mak Mok-nya itu. Entah mengapa ibu guru itu membahasakan dirinya ‘Mak Mok’ kepada Resa. Padahal, kepada siswa yang lain tidaklah begitu. Beliau tetap dipanggil ‘Bu Azizah’ sebab memang begitulah namanya.
“Mama, tadi Resa dikasih kue sama Mak Mok. Kuenya enak,” ujar putri kecilku di sebuah siang yang tak begitu terik saat pulang sekolah. Seperti biasa, tangan mungil putriku selalu berayun-ayun saat kugandeng.
“O ya? Kue apa?”
“Itu loh, Ma, kue yang ada indomie-nya itu. Yang digoreng. Ada telurnya juga. Enak. Resa suka. Mama bisa bikin?”
Aku tersenyum, “Itu namanya omellete. Mama bisa bikin. Nanti Mama bikinkan di rumah,” janjiku. Putri kecilku langsung meloncat-loncat senang.
Tiba di rumah, kusiapkan baju ganti untuk putri kecilku itu. Aku memintanya untuk bertukar pakaian. Kuajarkan pula agar seragam yang sudah dilepas tidak dibiarkan berserakan.
Makan siang kali ini, kubuatkan omellete untuk putri kecilku. Mie instan memang tidak baik untuk anak-anak, tapi sekali-sekali tentu tak apa. Yang aku senang, putri kecilku begitu antusias mengikuti setiap gerakanku membuat omellete. Matanya tajam mengawasi dan dia tak pernah banyak tanya jika yang dilihatnya tidaklah sulit.
“Ma, kok indomie-nya direndam dulu? Biar apa?”
Aku tersenyum, “Nanti kalau digoreng biar tambah renyah. Tidak direndam juga tidak apa-apa kok,” jelasku kemudian. Putri kecilku tampak mengerti. Lantas, bola matanya tampak membesar begitu adonan omellete aku masukkan ke minyak panas. Sekilas senyumnya mengembang.
“Boleh minta, Ma?” tanya putri kecilku dengan mata berbinar saat omellete aku angkat dari penggorengan.
“Tentu saja boleh. Tapi sabar dulu. Masih terlalu panas.”
Putri kecilku mengangguk.
Aku sangat takjub saat melihat putri kecilku melompat sambil berteriak saat kukatakan kepadanya bahwa omellete sudah bisa dimakan. Hangatnya pas, tidak terlalu panas.
“Enak, Ma.”
Lagi-lagi aku tersenyum. Putri kecilku mengatakannya saat mulutnya penuh sesak dengan potongan omellete yang tengah dikunyah.
“Habiskan. Biar Resa kenyang. Habis makan, bobok siang ya?”
Putri kecilku tertegun, “Kok dihabiskan? Disisihkan untuk Papa ya, Ma?”
“Papa pulang kerja masih lama. Nanti kalau Papa pulang, biar Mama buatkan lagi. Yang ini Resa habiskan saja, biar kenyang.”
Putri kecilku bersorak.
***
Sudah tiga hari Mak Mok tidak masuk. Selama tiga hari ini pula, kuperhatikan putri kecilku seperti kehilangan gairah bermain. Ayunan warna-warni sepertinya tak lagi menarik minatnya. Sebentar-sebentar tangannya meraba kotak bekal di dalam tas.
Beberapa hari yang lalu, putri kecilku minta diajari membuat omellete. Kupenuhi permintaannya. Aku hanya mengajarinya membuat adonan saja. Yang menggorengnya tetaplah aku. Begitu saja putri kecilku sudah senang bukan kepalang seraya mengatakan bahwa omellete itu dialah yang membuat.
Ini adalah hari ketiga Mak Mok tidak masuk. Putri kecilku terlihat gusar. Dihampirinya aku yang duduk terdiam di kursi taman.
“Nanti omellete ini keburu dingin lagi seperti kemarin. Mak Mok mana ya, Ma? Kok tidak masuk lagi?”
Aku menggeleng. Putri kecilku sangat ingin memberi Mak Mok-nya omellete buatannya sendiri. Dia ingin bercerita bahwa dia sudah bisa bikin omellete. Dan Mak Mok harus mencoba, katanya tempo hari kepadaku.
“Besok kita bikin omellete lagi ya, Ma. Besok Mak Mok pasti datang. Ya Ma, ya?” putri kecilku mengguncang lenganku dengan lembut. Aku hanya mengangguk seraya tersenyum.
Tengah aku dan putri kecilku mulai putus asa dan sangat pesimis soal kedatangan Mak Mok hari ini, tiba-tiba saja orang yang sangat ditunggu-tunggu kedatangannya oleh putri kecilku itu muncul di ambang pintu gerbang sekolah. Senyumnya mengembang begitu matanya beradu pandang dengan putri kecilku.
“Resaaaaa,”
Putri kecilku menoleh. Seketika itu pula semangatnya terbit. Tenaganya kembali. Lincahnya datang lagi. Dengan begitu bersemangat putri kecilku berlari dan menghambur ke Mak Mok yang berjalan menghampiri kami.
Mak Moooook…” sekejap mata, putri kecilku sudahpun berada di gendongan Mak Mok-nya. “Mak Mok kemana saja? Resa bawa omellete untuk Mak Mok. Kemarin sudah dingin. Resa makan sendiri. Yang ini Resa buat lagi. Untuk Mak Mok.” Putri kecilku terus saja bercerita. Tangan mungilnya melingkar di leher Mak Mok.
“O ya? Kalau yang bikin Resa, pasti enak.”
Putri kecilku tertawa. Sepertinya dia sudah tidak sabar untuk segera memberikan omellete yang dia buat kepada Mak Mok-nya.
Mak Mok sudah sampai di hadapanku. Kami saling menjabat tangan dan menanyakan kabar. Sementara putri kecilku tak juga mau lepas dari gendongan Mak Mok-nya.
“Dua hari sudah saya tidak masuk. Saya sedang mengurus surat pindah. Suami saya pindah tugas ke Sumatera Selatan. Hari ini saya sekalian mau pamit dengan keluarga besar sekolah, pamit kepada Ibu dan Resa juga.”
Entah apa yang ada di kepala putri kecilku sekarang. Tiba-tiba saja dia kembali seperti tadi, seperti saat Mak Mok-nya belum tiba. Putri kecilku mendadak jadi pendiam. Celoteh-celotehnya mendadak lenyap, menguap entah kemana. Sementara aku sendiri? Jujur saja, dadaku sedikit sesak mendengar kabar ini. Kupikir, nantinya putri kecilku pasti akan sedih sekali. Selain aku dan papanya, rupanya Mak Mok juga sudah punya tempat tersendiri di hati putri kecilku ini.
“Ma, selatan itu jauh ya, Ma?”
“Sumatera Selatan?”
Putri kecilku mengangguk, “Iya, selatan. Jauh ya, Ma?”
Aku tak hendak menjawab pertanyaan putri kecilku itu. Dadaku masih sesak. Sumatera Selatan? Ah, tentu saja jauh. Sangat jauh malah. Apa aku harus bilang begitu?
Tatapan mataku pindah ke Bu Azizah. Mak Mok-nya Resa itu juga terdiam. Sesekali diusapnya rambut putri kecilku dengan penuh rasa sayang.
“Tidak jauh kok. Resa jangan takut. Kalaupun Mak Mok jarang jumpa Resa lagi, Mak Mok akan berkirim surat buat Resa. Makanya, Resa sekolah yang pintar ya, biar cepat bisa membaca.”
Putri kecilku mengangguk. Aku sendiri cepat-cepat memalingkan wajah. Ada yang terasa begitu hangat di pelupuk mataku saat ini.
“O iya, tadi katanya mau ngasih Mak Mok omellete. Mana? Mak Mok pengen rasa omellete buatan Resa,” Mak Mok mencoba tersenyum. Tapi sepertinya dia gagal. Suaranya mulai bergetar.
Ingat dengan omellete yang masih di dalam tas, putri kecilku segera turun dari gendongan Mak Mok-nya. Dikeluarkannya kotak bekal dari dalam tas.
“Masih hangat. Ini untuk Mak Mok,” Resa mengangsurkan omellete yang masih tersusun rapi di dalam kotak bekalnya.
Bu Azizah tersenyum dan sangat antusias menerima omellete pemberian putri kecilku itu. Tapi tidak begitu yang kurasakan. Seperti ada sesuatu yang tidak biasa pada diri Bu Azizah hari ini. Oh, ini adalah perjumpaan penghabisan Bu Azizah dengan Resa. Besok dan seterusnya, Bu Azizah tidak akan masuk lagi, tidak akan mengajak Resa bermain lagi, tidak akan menggendong Resa lagi, tidak akan mengantar pulang Resa lagi. Dadaku kian sesak memikirkan ini.
Kulihat, omellete pemberian Resa tadi mulai disantap oleh Bu Azizah. Bibir Bu Azizah sungguh penuh senyum. Tapi… tapi kulihat matanya basah.


Kota Baru, November 2013

Buku Kakanda Redi







Buku pertama di tahun 2014. Buku pertama yang digarap sama Penerbit Pijar Publishing Pontianak.

Judul     : Jangan Menangis, Vania
Kategori   : Kumpulan cerita pendek
Penerbit   : Pijar Publishing
Tahun   : Oktober 2014
Tebal halaman   :  110 hlm.
Harga   : NEGO. hahahahahahahaaaaa...

Buku Kakanda Redi - JANGAN MENANGIS, VANIA

Telat posting. Hahahahahahaaaa...
Gpp lah.
Ini buku saya yang ke - 14. Tuh, gaya kan aku??? Heheheheeee...

Buku pertama di tahun 2014. Buku pertama yang digarap sama Penerbit Pijar Publishing Pontianak.

Judul     : Jangan Menangis, Vania
Kategori   : Kumpulan cerita pendek
Penerbit   : Pijar Publishing
Tahun   : Oktober 2014
Tebal halaman   :  110 hlm.
Harga   : NEGO. hahahahahahahaaaaa...

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah