Jumat, 26 Mei 2017

APRESIASI (6); NAMA DI DALAM SAJAK

Oleh: Abroorza Ahmad Yusra
 
Tidak jarang, para penyair menyebut nama orang di dalam sajak-sajaknya. Kadang ada di bawah judul, kadang menjadi bagian dari sajak itu sendiri. Seolah, sajak tersebut memang diciptakan khusus untuk seseorang. Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Sutan Takdir Alisyahbana, Joko Pinurbo, dan macam-macam lagi –hampir semua penyair–  pernah melakukannya. Misalnya, pada sajak Rendra berjudul “Surat Cinta”.

Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur mainan
anak-anak peri dunia yang gaib
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah
Wahai, Dik Narti, aku cinta kepadamu!

Bisa dianggap, sajak tersebut merupakan ungkapan lamaran Rendra kepada seseorang yang dipanggil ‘Dik Narti’. Bagi yang mengenal kisah hidup Rendra, sajak tersebut bisa dianggap sebagai pinangan Rendra kepada Dik Narti, dan pada kenyataannya memang demikian. Dik Narti menjadi istri Rendra.
Namun, meski terkesan si penyair berbicara langsung kepada seseorang, sejatinya, sajak itu juga bicara kepada pembaca umum. Siapapun nama yang tercantum di dalam sajak, pembaca juga diberi ruang untuk meningterpretasinya. Sebagaimana sajak lain yang tanpa ada cantuman nama, pembaca juga dituntun memasuki sebuah persitiwa. Bedanya, kali ini pembaca diajak ‘menguping’ monolog satu arah, antara pengisah dan nama atau orang yang dituju. Kesan personal pada sajak juga dapat menjadi konsumsi pembaca umum. Sajak dengan cantuman nama, tidak harus menjadi khusus. Interpretasi terhadap karya yang mencantumkan nama juga berarti tidak selalu bersifat khusus.

Di dalam Sayap Imaji, boleh kita perhatikan sajak berikut ini. Judulnya, “Julius, Ketika Aku Rindu”, karya Herlina Kiei.

Desember adalah sebuah penantian
kelahiran yang menyelamatkan
tolong. selamatkan aku dari kerinduan yang membentang di segala zaman
lantaran padamu, aku akan dan harus pulang
**
Telah kucoba sembunyikan rindu
pada kaki-kaki langit yang jauh
tetapi desember selalu berhasil melahirkannya
kembali
**
Julius..
Telah kugeser ribuan kaki
Ke negeri yang jauh
namun, rindu tak pernah lelah memeluk
langkahku
**
Ah, bagaimanapun
hati kita sungai-sungai
sejauh mana mengalir
akan kembali ke muara yang sama
**
Meski layar telah kandas
Rindu ini tak pernah tumpas, Julius
Ia enggan menepi walau di tengah laut sepi
Dalam hati rindu bersarang tak pernah mati

Dalam sajak tersebut, Herlina sebagai penyair melakukan monolog percakapan satu arah, dengan orang yang bernama Julius. Saya tidak tahu apakah Julius itu memang sosok yang nyata, yang mengilhami sajak tersebut, atau sekadar sosok imajinasi. Tetapi, tidak perlu kita bersusah payah bertanya kepada Herlina Kiei sebab, telah disebutkan tadi, sajak tidak melulu bersifat khusus, meski ada cantuman nama. Lagi pula, pada prinsipnya ‘pengarang telah mati’. Interpretasi karya dapat dilakukan melalui hubungan pembaca dengan karya, tidak mesti melalui pengarangnya. Tugas pembaca bukan mendalami atau kepo atas hubungan antara Herlina dengan Julius, melainkan mendalami peristiwa yang dibangun di dalam sajak, dengan berdasarkan pada kata-kata, larik-larik, di dalam sajak.

Melalu piranti bahasa, Herlina mencoba mengungkapkan persoalan perasaan yang disebut ‘rindu’. Indikasi tersebut dapat dilihat misalnya pada larik-larik “Julius / Telah kugeser ribuan kaki / Ke negeri yang jauh / namun, rindu tak pernah lelah memeluk / langkahku”. Lantas, pengarang mencoba memberi arti pada ‘Desember’. Desember menjadi simbol atau lambang sebuah kenangan, bukan sekadar nama bulan. “Desember adalah sebuah penantian / kelahiran yang menyelamatkan” atau pada larik, “Telah kucoba sembunyikan rindu / pada kaki-kaki langit yang jauh / tetapi Desember selalu berhasil melahirkannya / kembali”. Lewat larik-larik tersebut, pembaca diajak menyelami nuansa bulan Desember, yang menurut pengarang, memiliki suatu makna. Ada asa juga yang ditawarkan, diibaratkan seperti “hati kita sungai-sungai / sejauh mana mengalir / akan kembali ke muara yang sama”.

Herlina di dalam sajak telah berubah menjadi ‘aku lirik’ dan ‘Julius’ adalah tokoh yang diajaknya bicara sehingga terjadi sebuah monolog. Dalam monolog itu, penyair tidak lagi menjadi sosok di luar sajak, melainkan menyatu di dalamnya. Karena itu, nama apapun yang tercantum di dalam sajak, hanyalah nama. Tidak perlu dihubung-hubungkan dengan kenyataan di luar sajak. Bila kebetulan pembaca mengetahui hubungan Herlina dengan Julis di dalam kenyataan sebenarnya, itu hanyalah bonus. Bukan hal yang mesti dilakukan.

Ada sedikit cerita. Seorang kawan bercerita kepada saya mengenai dosen yang meminta mahasiswanya untuk menemui pengarang agar interpretasi mahasiswa tersebut terhadap karya pengarang mendekati kenyataan. Saya pikir, itu sebuah hal lucu. Apakah memang harus bertanya langsung kepada pengarang untuk memaknai sebuah karya? Jika memang demikian, di mana letak kebebasan pembaca untuk memaknai sajak? Bagaimana jika pengarang tersebut telah wafat. Anggaplah saya ingin menafsirkan sajak Chairil Anwar, apa saya harus main jailangkung untuk bertanya pada arwahnya? Bagaimana jika harus menafsirkan sajak-sajak Pablo Neruda, mestikah saya pergi ke Amerika Latin? Merepotkan saja. Pengarang adalah seorang penulis yang artinya menyampaikan semua hal yang ingin disampaikannya melalui bahasa tulisan. Ketika sebuah tulisan telah rampung, tulisan itu menjadi ‘hidup’ sendiri, sedangkan pengarang ‘telah mati’. Bahasa tulisan, hal itu yang menjadi poin penting dalam mendalami karya, bukan sisi pribadi pengarang.
Memang, mungkin tafsir kita bisa saja mendekati kenyataan bila mengetahui kehidupan pribadi pengarang. Tetapi bisa juga membatasi tasir kita. Sebab, puisi bukan pada hakikatnya tidak berbicara tentang kenyataan. Puisi lahir dari imajinasi penyair yang berdasarkan pada kenyataan.
Pada dasarnya, sajak ditulis untuk pembaca, tidak khusus untuk seseorang. Jika kita mampu melepaskan diri dari pengetahuan tentang nama yang tercantum di dalam sajak, pembaca tentu bisa lebih membebaskan imajinasi dan mencapai tafsir yang lebih mendalam. Yang terpenting bukanlah hubungan antara Herlina dengan Julius, atau Rendra dengan Dik Narti, namun lebih kepada bagaimana sebuah hubungan, entah itu cinta, sakit hati, putus asa, rindu, diungkapkan oleh penyair.
Sebagai contoh lain, boleh juga kita simak puisi Tenanglah Tenang, Angelica, karya Kakanda Redi.

pada tepi kota-kota yang sepi, malam telah sampai
perjalanan telah selesai

tapi rindu terus memburu temu
memaki tik-tok jarum yang yang terseok-seok
memberi rentang jarak bagi sebuah jumpa

tenanglah, Angelica
tak ada yang sia-sia dari setiap kecupan-kecupan mesra
cinta tak akan pernah membentang jurang
cinta tak akan pernah memberi sesat

Angelica, pada kecup yang paling sunyi, rasa telah sampai
pencarian telah selesai
terjal perjalanan itu hanyalah bebatu
sedang rindu hanyalah keresahan-keresahan
dan kau; jawab dari segala doa yang terpanjatkan

Tidak jauh berbeda seperti sajak Herlina, Redi juga menuntun pembaca pada nuansa mengenai rindu dan cinta, terekam pada larik “tapi rindu terus memburu temu / memaki tik-tok jarum yang yang terseok-seok / memberi rentang jarak bagi sebuah jumpa”. Pada larik-larik selanjutnya, Redi mencoba menampilkan suasana bahwa ‘peristiwa yang terjadi antara mereka’, kerinduan itu, bukan suatu hal yang perlu diratapi. “tenanglah, Angelica / tak ada yang sia-sia dari setiap kecupan-kecupan mesra / cinta tak akan pernah membentang jurang / cinta tak akan pernah memberi sesat”. Sajak lantas ditutup oleh harapan. Terekam pada larik “Angelica, pada kecup yang paling sunyi, rasa telah sampai / pencarian telah selesai” dan “dan kau; jawab dari segala doa yang terpanjatkan”.
Sebagai pembaca, kita diajak menyaksikan peristiwa itu, yang berisi tentang suasana merindu, ketegaran, dan harapan. Melalui sajak, pembaca ‘menguping’ apa yang dikatakan Redi sebagai ‘aku lirik’ kepada perempuan yang bernama Angelica. Kita bisa melakukan interpretasi dengan berdasarkan bahasa, larik, kata, yang digunakan Redi. Kita bisa ikut menyelami persitiwa yang dibangun tanpa harus bersusah payah mencari tahu hubungan Redi dan Angelica. Yang penting bagi pembaca bukanlah ‘apa yang terjadi’ di luar sajak, melainkan ‘apa yang bisa dihayati’ lewat sajak.


Abroorza Ahmad Yusra beraktivitas sebagai penulis, peneliti budaya, dan penggiat lingkungan. Hingga kini, telah menulis beberapa buku. Berdomisili di Pontianak dan Surabaya. Dapat dihubungi melalui rozzay_abroorza@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah