Selasa, 30 Juli 2013

Lebaran di Sanggau Ledo nih...

Wahyu Yosita Dwi dan Dinda Risti

Lebaran Idul Fitri tahun 2012

Jalan-jalan ke Paket D

Lebaran di Sanggau Ledo tahun 2012

Jalan-jalan dong ah...

Lebaran Idul Fitri di Sanggau Ledo Tahun 2012

Dinda Risti masih hamil nih...
Resa Masih di dalam perut ;-)

Resa main di teras rumah Mbah -edisi liburan di Sanggau Ledo-

Juni 2013.

Air Terjun Jugan


Dinda Risti - Resa - Kakanda Redi liburan ke Air Terjun Jugan Sanggau Ledo


Monumen Perbatasan Indonesia - Malaysia di Jagoi Babang


Pos Terpadu Lintas Batas Indonesia - Malaysia


Air Mineral Kemasan Malaysia

Toh rasanya sama saja. Hahahahahahahahahahahaaaa...

Kakanda Redi -gaya sekejap tak pe la...-








Patok NOL KM 'perbatasan Indonesia - Malaysia'


Patok Perbatasan Indonesia - Malaysia di Jagoi Babang Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat


Kakanda Redi - Dinda Risti - Resa - Paman Ade Ariyanto

Jagoi Babang, Juni 2013

Resa dan Mamak Liburan ke Perbatasan

Rhein Reisyaristie dan Dinda Risti
Jagoi Babang, Bengkayang
Kalimantan Barat
Juni 2013

Resa -alpukat-


Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie "Jalan-jalan ke perbatasan"

Jalan-jalan ke perbatasan Indonesia - Malaysia
Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang
Kalimantan Barat
Juni 2013

Resa Ristie

Resa lagi maen di halaman rumah Mbah Buyut di Sanggau Ledo.

Resa di rumah Pak Kung


Resa Sarapan


Resa di Sanggau Ledo

Hari pertama Resa Liburan di Sanggau Ledo, Juni 2013

Piagam Penghargaan Lomba Busana Muslim Wanita SMP Negeri 3 Mempawah Timur


Piagam Penghargaan Lomba Baca Puisi SMP Negeri 3 Mempawah Timur



Piagam Penghargaan Lomba Busana Muslim Pria SMP Negeri 3 Mempawah Timur





Gambar bikinan sohib sejati gue, Ade Ariyanto, S.Pd.


Stiker SMP Negeri 3 Mempawah Timur, Kalimantan Barat


Kalender bulan Maret tahun 2013


Undangan acara AQIQAH dan GUNTING RAMBUT Rhein Reisyaristie


Stiker Logo KOMPOSIT

Pantang berkata TIDAK
sebelum MENCOBA

#KOMPOSIT

Sabtu, 27 Juli 2013

Yang terasa, yang dipikirkan, yang ditulis… [sedikit uneg-uneg dari dalam hati]




Sangat menyenangkan jika ada kesempatan untuk nongkrong bersama para karib di kedai kopi. Menikmati kesibukan dan hiruk-pikuk orang-orang sekitar seraya menyulut sebatang rokok dan menghembuskan asapnya perlahan. Secangkir kopi di hadapan menunggu giliran untuk dinikmati juga. Sementara para karib sibuk mengaduk teh atau secangkir cappuccino di hadapan mereka masing-masing seraya bersiap-siap melemparkan kalimat sebagai pembuka wacana. Sungguh menyenangkan.
Banyak hal yang bisa dibincangkan di kedai kopi bersama para karib tadi. Yang paling sering jadi topik terhangat adalah keberadaan para penulis lokal dan apa saja karya-karya yang sudah mereka buat. Dari sekian banyak nama yang kami sebutkan, tentu saja lambat laun akan mengerucut pada nama yang itu-itu juga dan karya yang begitu-begitu saja. Si A yang berani menulis karya yang mendobrak segala macam hal-hal yang dianggap tabu. Si B yang karya-karyanya berbau sufisme. Si C yang tulisan-tulisannya sangat dangkal. Si D yang begini begini begini…
Aneh saja rasanya jika kami terpaksa harus diposisikan seperti komentator sepak bola. Komentator-komentator itu biasanya cenderung bebicara saja tanpa paham sedikitpun bagaimana sulitnya menggiring bola di lapangan dan harus menciptakan gol.
Kami? Kami mengomentari namun juga berbuat. Kami tidak diam saja. Kami juga punya karya yang bisa (sedikit) dibanggakan.
Yang sedikit belum bisa saya terima adalah, jika ada ‘komentator’ yang sedikit mengarahkan bahwa karya yang bagus itu seperti ini, maka menulislah seperti ini. Oh, itu terlalu membebani. Terlebih bagi seorang penulis pemula seperti saya.
Sedikit mengutip pendapat Pram, bahwa semua harus ditulis. Apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna (Pramoedya Ananta Toer, Menggelinding I, 2004). Pelan-pelan saya mulai menunaikan titah Pram tadi. Menulis. Apa pun. Saya yakin, suatu saat pasti berguna.
Saya senang membaca karya-karya penulis hebat. tentu saja sebagai penulis saya juga ingin seperti mereka. Ingin sama hebatnya. Ingin punya nama hebat dan dikenang sebagai penulis yang hebat. Tapi, dari segi teknik kepenulisan dan hasil karya, biarlah saya menemukan jati diri saya sendiri tanpa harus dipaksakan sama dengan penulis-penulis yang punya karya hebat tadi.
Dalam berkarya, saya cenderung menuliskan apa yang saya rasakan dan apa yang sedang saya pikirkan. Intinya, saya menulis jika perasaan saya nyaman. Nyaman dalam arti tanpa ada tekanan atau paksaan harus menulis seperti ini atau seperti itu. Bebas. Perkara nanti hasilnya memuaskan atau tidak, biarlah pembaca yang menilai.
Dalam berkarya, saya juga memiliki keyakinan bahwa pembaca itu cenderung senang dengan bahan bacaan yang sejatinya mereka pahami. Sederhana saja. Pembaca yang seperti itu adalah pembaca yang membutuhkan bahan bacaan sebagai hiburan, bukan bahan bacaan untuk diteliti dan sebagainya. Jadi, biarlah mereka mendapatkan dan menikmati karya-karya yang bisa menghibur mereka. Dengan demikian, tentu saja karya-karya seperti itu akan ada gunanya juga. Dan, bagi merekalah tulisan-tulisan saya yang sederhana ini saya persembahkan.
Saya masih ingat kutipan dari buku Teori Sastra karangan Austin Warren dan Renne Welleck. Di dalam buku itu tertulis bahwa karya sastra adalah karya yang mengandung unsur keindahan dan kebergunaan. Keindahan tentu saja berkaitan dengan nilai estetika sebuah karya sastra. Saya sebagai penulis jelas tidak bisa memaksakan kepada pembaca untuk mengatakan bahwa karya saya itu indah. Ini (indah atau tidaknya sebuah karya) sudah menjadi urusan pembaca dan ini soal selera. Jika pembaca suka, kebergunaan sebuah karya sastra akan muncul dengan sendirinya, sesederhana apapun itu. Sekurang-kurangnya, karya saya akan menghibur mereka.
Pada akhirnya, saya tinggal berharap saja semoga buku kumpulan cerita pendek Hujan Bulan Juni ini memang memiliki unsur estetika dan semoga saja buku ini ada gunanya buat para pembaca.

Mempawah, penghujung Mei yang tenang, 2013
Salam,
Redia Yosianto

Kata mereka...



Kesedihan. Keputusasaan. Air mata. Tiga hal yang bisa mewakili keseluruhan isi buku ini. Mungkin itulah mengapa buku ini diberi judul ‘Hujan Bulan Juni’, meskipun ‘hujan’ tidak melulu membawa kesedihan atau mewakili keputusasaan dan air mata.
(Maylisa Santauli – Alumni Ganesha Operation, penikmat karya sastra modern)

Pak Redi menulis cerita pendek dengan sangat bagus. Ide-idenya cemerlang dengan ending yang tidak terduga. Seandainya saja ide-ide yang cemerlang tadi tampil dalam bentuk novel, tentu akan lebih hebat lagi dan saya yakin Pak Redi mampu mewujudkannya.
(Adhitya Pangestu – Siswa Kelas Akselerasi Ganesha Operation)

Membaca judulnya saja sudah membuat saya ingin segera ‘membongkar’ isinya. Redi memang jagoan dalam menciptakan rasa penasaran pembaca.
(Ffate’ – Penulis buku Edelweis Berkisah)

Redi. Saya memanggilnya dengan sebutan ‘Bung Redi’. Dia adalah guru Bahasa Indonesia. Buku ini sangat penting untuk beliau sendiri dan juga tentu saja untuk para siswanya. Setidaknya, dalam mengajarkan materi tentang cerita pendek, Bung Redi tidak sekedar memberikan teori belaka. Buku ini adalah contoh nyata dan buktinya.
(Ade Ariyanto – Guru Matematika di SMA Negeri 1 Sanggau Ledo)

Saya tidak terlalu paham tentang teori berkomentar. Ketika Mas Redi menyodorkan naskah cerpen-cerpennya, meminta saya membacanya, dan meminta saya untuk memberi tanggapan, saya gak bisa bilang banyak selain dua hal: BAGUS dan BAGUS BANGET.
(Danu Priyadi – Mahasiswa Poltekkes Pontianak Jurusan Keperawatan Gigi)

Beberapa judul cerpen di dalam buku ini sudah pernah saya baca sebelumnya di surat kabar. Sangat luar biasa jika pada akhirnya cerpen-cerpen ini tampil lagi dengan wujud yang lebih eksklusif: buku kumpulan cerpen. Selamat buat Redia Yosianto.
(Tri Sugiarti – Ibu rumah tangga, penikmat karya sastra)

Membaca cerpen-cerpen Pak Redi seperti menonton acara tv kesayangan. Terus pengen baca, baca, baca sampe habis. Belom puas kalo belom kelar. Bagus. Sangat bagus.
(Andini Shafira – Calon mahasiswi)



Tentang Penulis - dalam 'Hujan Bulan Juni' -



REDIA YOSIANTO

Kelahiran Jembrana, 28 tahun yang lalu ini menghabiskan masa kanak di Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Mulai menemukan keasyikan tersendiri di dunia tulis menulis sejak duduk di bangku SMP.  Beberapa cerita pendek dan sejumlah puisi lahir dari tangannya saat itu. Hingga kini sudah menerbitkan beberapa judul buku kumpulan cerpen, novel, dan antologi puisi bersama.

Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain:
Coretan di Langit Kapuas, sebuah antologi cerita pendek bersama penulis muda Kalimantan Barat (Lentera, 2009), Ramadhan di Rantau (Penerbit Harfeey, 2012), Ayat-ayat Ramadhan, sebuah antologi puisi bersama penulis nusantara (Alif Gemilang Publishing, 2012), Suara Lima Negara, sebuah antologi puisi bersama penyair lima negara (Tuas Media, 2012), Kalbar Berimajinasi, sebuah antologi cerita pendek bersama 25 sastrawan Kalimantan Barat (STAIN Press, 2012), Di Tepi Pelabuhan Ini, kumpulan cerita pendek tunggal (Literer Khatulistiwa, 2013), Arus, sebuah antologi cerita pendek bersama penulis Kalimantan Barat (Literer Khatulistiwa, 2013), Gerimis di Luar Sana, sebuah novel (Seruni Creative Publishing, 2013), Rumah Datuk Uban, sebuah antologi cerita pendek bersama 13 penulis Kalimantan Barat (Seruni Creative Publishing).
Hujan Bulan Juni adalah kumpulan cerita pendek tunggal keduanya yang diterbitkan oleh Literer Khatulistiwa, 2013.

Saat ini menetap di Mempawah, Kalimantan Barat.
Ingin berbagi atau sekedar berbincang?
Redia Yosianto dapat dihubungi lewat e-mail kakanda_redi@rocketmail.com
Atau lewat Facebook Kakanda Redi
Lewat Twitter di @kanda_redi

Kata mereka tentang Buku Kumpulan Cerpen Hujan Bulan Juni



Cerita di buku ini enak-enak. Gue saat ini lagi galau, lagi patah hati. Dan buku kumpulan cerpen Hujan Bulan Juni ini emang gue banget dah. Salut buat elu, Di. Nulis terus. Tetep berkarya. Jangan mau kalah sama penulis-penulis di tempat gue.
(Dita Aditya – Drummer, tinggal di Jakarta)

Ide cerita di kepala Redi bisa bermanifestasi dalam rupa tulisan yang bisa dicerna dengan ringan dan membuat ketagihan. Seringkali sajian cerpennya ditutup dengan kejutan diluar dugaan. Dan, tentu saja, kejutan bisa sangat menyenangkan sekali bukan?
(Tetty Maria – Staf pengajar di Ganesha Operation Pontianak)

Redi pandai menjalin sebuah cerita. Bahasanya bagus. Cerpen-cerpennya enak dibaca. Saya pikir untuk ke depannya nanti Redi bisa jadi cerpenis jempolan.
(Dewi Mustikasari – Guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 3 Siantan)

Berkarakter. Bagus. Salut.
(Farninda Aditya – Penulis buku Otakku Cenat-cenut)

Sebenarnya cerita-cerita di dalam buku ini cenderung berkisar di kehidupan sehari-hari. Umum. Sederhana. Tapi, setelah dituliskan dengan bahasa yang cantik, tema yang umum tadi bisa sangat memikat. Untuk soal ini, Mas Redi jagonya.
(Febrian Arie Waspodo – Mahasiswa)

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah