Sabtu, 30 November 2013

Herlina Kirei: Suara Tetangga


Herlina


Mereka yang suka bikin ulah dan main pelasah. Resah. Aku yang mendengarnya gelisah. Entah anak. Entah Ayah. Entahlah. Belum pernah melihat wajah. Yang terdengar hanya sumpah serapah.
Pernah, tengah malam dikala hujan aku terbangun mendengar suara barang pecah belah. Suara lelaki yang lantang terdengar marah-marah. Ya, aku dengar suara itu, suara yang mereka panggil Ayah.
“Mati kau! Mati kau!” Makian diiringi bak-buk suara seperti pukulan. Entah bagian mana. Entah bagaimana.
“Ampun, ampun, ampun, Ayah.” Suaranya melengking. Ya, awalnya melengking khas anak-anak. Terdengar suara sang ayah marah-marah sebab anak jarang di rumah, sibuk bermain dengan kawan-kawan sekolah.
“Dari mana kau? Kecik-kecik dah pandai bohong kau, ye!” Terus diiringi suara bak-buk. Dan, suara melengking tadi terus melemah sampai akhirnya suara kecil itu hilang. Entah apa gerangan yang terjadi di balik tembok itu. Aku hanya terpaku. Pikiranku melayang tak tentu. Lelaki dan orang tua macam apa itu? Apakah ia hantu?
Namun, ketika pagi tiba jarang terdengar suara mereka. Kadang ada, ya, seadanya saja. Biasa-biasa saja. Wajar-wajar saja. Beda ketika malam tiba. Yang ada hanya suara mereka. Luar biasa. Kurang ajar juga iya. Tidak wajar juga, iya. Suara lelaki yang kurang ajar itu. Iya, dia seperti kurang diajar dan kurang dihajar. Dia yang selalu menghajar.
Sering malam-malam aku dengar. Suara hingar-bingar. Malam ini terdengar lagi suara lelaki itu, “Cuci piring dolok, baru boleh tidur, nyaman benar hidup kau tuh?!Entah berdialog pada siapa. Suara yang kuhapal betul adalah suaranya. Suara lelaki yang mungkin sakit jiwa. Lalu, ada lagi suara perempuan dewasa yang aku duga adalah istrinya. Tak ada suara manusia menanggapi dialognya. Tak lama kudengar hanya piring dan sendok yang besuara.
Tiba-tiba, ada suara teriakan lebih nyaring dari biasanya. Teriakan wanita dewasa. Teriakan yang belum jelas lafalnya. Teriakan yang seperti dari beranda rumahnya. Teriakan keduanya. Lama-lama mendekat di telinga. Mendekat. Dekat.
Praaakkk... Suara benturan ke dinding. Ke dinding rumah mereka. Bergetar. Dinding terasa bergetar. Entah karena jaraknya yang dekat hanya sejengkal saja atau…
Praaakkkk…. Getaran ini rasanya sampai ke dada.
Aku terperanjat. Setengah mati. Refleks aku terduduk, yang semula posisiku adalah berbaring.
“Main gila kau ya? Tak ada aku di rumah kurang ajar kau ya?” Lagi-lagi suara lelaki dewasa itu berkusa. Namun, tidak ada jawaban di sana. Hanya isak tangis yang ada. Yang aku duga adalah bukan karena wanita ini tak mau bicara, melainkan karena tak diberi kesempatan buka suara.
Isak tangis yang sekali lagi aku duga karena disiksa. Karena aku hanya bisa menduga.
“Ibu, anak, sama tak becus.Makian. Lagi-lagi makian. Kasihan.
“Apa yang kau buat sama lelaki sialan itu?” Bertubi-tubi tudingan itu.
“Dasar gatal kau! Sadar, kau tuh dah punya suami!”
“Teman, Ko. Dia teman lamaku.” Bagai satu berbanding seratus. Setelah sekian banyak makian hanya satu pembelaan yang mampu diucapkan.
“Istri sialan. Punya anak juga sialan.”
“Pantas kau biarkan Nanda main seharian, supaya kau nyaman berdua-duaan dengan lelaki sialan itu. Gitu kan, hah?” Oh, Nanda rupanya. Yang aku kira adalah anak pertama dari dua bersaudara. Suara tangisan bayi yang biasa aku dengar adalah adik Nanda. Gila. Ini malam, suara tetangga itu lebih hebat dari biasanya. Aku yang tetap setia terjaga. Pendengar setia. Yang lain entah ke mana. Atau mungkin mereka mendengar juga? Entah.
Tak terasa keringat dingin membasahi muka. Mata yang terasa berkaca-kaca.
Jangan-jangan Nanda bukan anak kita.” Ucap lelaki itu lagi, masih dengan suara yang menggelegar.
“Mati kau ya! Mati saja kau ya! Fuiih!!!” Kata-kata itu aku dengar sudah seperti mantra. Kata-kata kasar yang sudah tidak asing di telinga. Dua kali benturan yang aku duga adalah benturan kepala pemilik suara yang mereka panggil mama.
Mama, mamaaa. Mama berdarah.Suara itu milik Nanda.
“Eeh, anak sialan!” Praakkkk. Suara pecahan kaca seolah bersautan dengan isak tangis Nanda.
“Sakittt… Mamaaaa.Masih suara milik Nanda bersama dengan suara lelaki penganiaya. Terus saja dengan kalimat pendek persis mantra.
Mati kau. Mati kau. Mati kau.Sungguh kalapnya dia.
Aku yang tak bisa berbuat ap-apa. Aku yang hanya mendengar suara. Bagai menonton sebuah cinema, melihat tokoh teraniaya aku hanya bersimbah air mata. Terhanyut dalam ceritanya.
Sementara, suara di sebelah sana semakin membahana. Suara mereka bertiga. Tak seperti biasanya. Biasanya, suara yang meraka panggil mama hanya diam kala suara Nanda disiksa. Diam kala dia disiksa. Kini, dia membuka suara. Dalam ke heningan malam dan suara paraunya, “Bangsat, kau! Selalu tuduh aku.”
“Ooo, berani melawan kau ya?! Kau pikir siapa yang kasi makan kau hah?” Lelaki ini semakin naik pitam. “Kubunuh kau! Kubunuh kau!” Seiring itu suara benturan dan teriakan Nanda, serta suara semacam mantra.
“Mamaaa, Mamaa… Mamaaaaaaaaaa…Kali ini membangunkan tetangga lainnya. Tetangga yang rumahnya sederet dengan mereka. Tepatnya satu gang dengan mereka. Riuh suara mereka.
“Astagfirullah…”
“Masya Allah, Ajong.” Suara-suara mereka yang masih asing di telinga. “Ana??? Kau bunuh Ana, Ajong? Kau bunuh istrimu sendiri? Sudah gila kau rupanya!!!” suara tetangga yang lainnya turut bersuara.
“Innalillahi wa inna illaihi rojiun.”
Kalimat terakhir ini membuat jantungku berdebar-debar serasa mau keluar. Hanya mampu menatap nanar ke sudut-sudut kamar.
Baru aku dengar nama mereka disebut-sebut. Tak lama kemudian suara sirene menggema. Ambulans sepertinya mengangkut mereka. Aku yang hanya mampu terdiam dan kembali merebahkan kepala. Kututup selimut di muka. Aku tetap terjaga hingga pagi tiba.
Hari berikutnya. Di atas meja kerja, mataku tertuju pada berita di sebuah media. Kekerasan dalam rumah tangga judulnya jelas terpampang di halaman utama lengkap dengan gambarnya. Aku menatap penuh tanya. Lantas kubaca…
“Lantaran cemburu buta, suami tega aniaya anak-istrinya. Akibatnya, istri meninggal dunia…” Mulutku ternganga. Ingatanku kembali pada peristiwa suara tetangga yang tak pernah kulihat mukanya.
Begitu malang nasibnya. Nasib wanita yang mereka panggil mama. Wanita bernama Ana. Ibu muda beranak dua. Tetangga yang hanya aku dengar suaranya.
 Malam setelah aku membaca berita. Kurebahkan badan ke tilam. Sunyi mencekam. Tiada lagi umpatan. Tiada lagi teriakan. Tiada lagi. Sepi. Sampai akhirnya mataku terpejam.


Tanjung Hulu, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah