Sabtu, 30 November 2013

Herlina Kirei: Menunggu Adit


Herlina


Siang itu, pukul 14.00, aku berada di lantai dua sebuah mal, tepatnya di KFC. Aku memilih duduk di meja samping kaca. Satu porsi twis, segelas mocca float, dan satu buah buku fiksi menemaniku. Di luar, hujan belum juga reda. Dari kaca kulihat orang-orang berhamburan ke tepian jalan untuk berteduh dan ada yang singgah hanya untuk memasang mantel. Jalan tampak lengang. Sementara ingatanku kembali pada hujan sepekan yang lalu. Waktu itu, dengan lebatnya hujan mengguyur kota Pontianak. Ia turun tanpa kompromi tanpa mengenal musim. Kerenanya aku terperangkap di sini. Mata dan raga yang sudah cukup lelah setelah seharian bercinta dengan buku dan menatap layar komputer demi revisi rancangan penelitianku. Sekarang hujan menahanku pula. Di sebuah Perpustakaan Daerah yang terletak di Jalan Sutoyo.
Dari lantai dua kulihat seorang pria berkaca mata turun, mengenakan kaos merah berlengan panjang dan ransel hitam di punggungnya. Tanpa basa-basi ia duduk di sampingku.
“Hey.” Katanya pria berkaca mata itu.
“Hei juga,” balasku.
“Nunggu siapa?” Katanya.
Aku tersenyum “Hujan.” Kataku lagi.
“Kenapa menunggu hujan?” Katanya lagi.
Modus, pikirku. Orang-orang seperti ini hanya mencari modus untuk berkenalan dengan seorang wanita. Dan aku hanya punya satu kata untuk orang seperti ini: malas. Ya, aku malas meladeni orang yang gelagatnya hanya cari-cari modus dan berbasa-basi.
“Nunggu hujan reda,” tambahku lagi.
“Ooo, aku pikir kamu akan dijemput sama hujan,” katanya sambil tertawa.
Dan kali ini aku hanya diam.
“Siapa namamu?” Dia menatapku dan mata itu.
“Hana.”
“Kau tak ingin tahu namaku?” Katanya seraya tersenyum.
Aku tak menjawab, tak juga bertanya. Aku menghela nafas dan menatapnya.
“Adit.” Katanya, “Radit Panyangga.” Lengkapnya.
Aku tersenyum dan dia juga ikut tersenyum. Akhirnya kami sama-sama tersenyum. Hujan pikiran-pikiran negatif dari pikiranku telah mereda, tapi hujan di luar tak juga berhenti. Sekarang ditambah hujan dialog antara kami. Dialog antara kami terjadi seperti pewawancara dengan narasumber. Sepeti dua sahabat lama yang baru bertemu kembali setelah sekian tahun berpisah.
Hujan berangsur-angsur mereda. Tinggal rinainya perlahan-lahan turun seperti embun.
“Sudah reda,” kataku hendak berpamitan.
“Tunggu saja sebentar lagi. Jika rumahmu jauh, maka kau akan tetap basah setibamu di rumah.”
“Baiklah.” Kataku patuh. 
“Oh, iya, kita boleh bertukar kontak atau kartu nama?” Pintanya.
“Kontak saja, sebab aku tak punya kartu nama.”
 Setelah menyimpan kontaknya aku segera berpamitan.
“Sampai ketemu lagi.” Kataku seraya berdiri.
Be carefull.” Jawabnya. Aku pun melangkah menuju pintu dan meninggalkan Adit di ruang tunggu perpustakaan itu.
***
Dari balik kaca jendela kutatap wajah langit yang murung. Air masih menggenangi tanah cekung. Hujan baru saja reda, menyisakan rinainya. Orang-orang yang lalu lalang di jalan ada yang masih mengenakan mantel. Aku tetap memilih duduk di samping kaca dan bedanya dengan sekarang adalah aku duduk di lesehan.
“Bistik ikan plus jus sirsak.” Masih dengan menu yang sama seperti biasanya. Hanya kali ini aku ditemani pria berkaca mata yang kutemui di perpustakaan daerah tempo hari.
“Ale-ale daging tumis mercon plus es jeruk besar”
Setelah mencatat pesanan, waiters meninggalkan meja kami. Suasana hening.
“Cerita dong,” Adit membuka suara.
“Cerita apa?” Kataku.
“Apa saja, tentang kamu.” Jawabnya tersenyum seraya menyalakan rokoknya.
“Aku hanya bisa memulai cerita dengan adanya sebuah pertanyaan.” Jawabku.
“Hmm. Baik. Kamu sudah punya pacar?” Matanya menatap lurus ke arahku.
Kami duduk berhadapan. Mata kami saling bertatapan. Aku membenarkan posisi dudukku yang memang sebenarnya sudah benar.
“Aku sudah punya pacar,” katanya lagi.
Aku semakin kehilangan kata-kata dengan pernyataan pria ini. Aku tak hanya membenarkan posisi dudukku yang sudah benar. Aku juga merapikan poniku yang memang sudah rapi. Mungkin karena aku tak mau memulai cerita, maka ia yang bercerita.
“Pacarku di Jogja,” Lanjutnya, “dia kuliah di sana dan komunikasi diantara kami berlajan lancar.”
Dan aku belum punya kalimat tanggapan untuk itu. kalimat-kalimat di kepalaku masih acak.
“Kami selalu bertukar cerita. Apa yang aku alami kemarin, hari ini, dan termasuk aku bertemu denganmu.” Katanya lagi.
Aku menyimak dengan saksama.
“Terus terang, sejak pertama kali aku melihatmu, aku suka kamu.” Katanya.
Jujur aku kaget setengah mati. Belum lima menit ia bercerita bahawa ia sudah punya pacar, lalu ia bilang suka padaku. Aku diterpa rasa gelisah. Kutarik lengan kemeja panjangku yang seharusnya tak perlu disingsingkan. Aku mulai salah tingkah. Aku tak tahu harus berekspresi apa. Aku belum hendak menanggapi sebab kulihat masih ada kalimat yang hendak ia sampaikan.
“Ini hanya tahap suka, bukan cinta,” katanya. Kemudian ia menghisap rokoknya sampai kedua pipinya terlihat cekung.
Meskipun dalam keadaan nervous, aku memberanikan diri menatap mata pria ini. Mencari sesuatu yang ia maksud di sana.
“Bagaimana denganmu?” Lanjutnya lagi.
Aku menghela nafas dan memasang benteng pertahan di hatiku. “Hmm . . . .”
“Mungkin terlalu cepat bagimu, tapi ini bukan rayuan. Ini hanya kejujuran dariku. Aku bukan pria yang suka menggoda.”
Setelah menyusun kalimat-kalimat di kepalaku, aku pun segera meluncurkannya. “Suka adalah hak setiap orang. Siapa pun itu, termasuk kamu.” Tegasku. “Dan rasaku belum bisa sama dengan rasamu, tapi kita masih bisa berteman.” Lanjutku.
Ia tertawa mendengar jawabanku. “Iya, aku juga tidak memaksamu, tapi siapa tahu seiring pertemuan kita akan tumbuh rasa yang sama darimu.” Katanya lalu menghembuskan asap rokoknya ke udara.
“Aku hanya akan menanam bibit di kebun yang kosong, bukan di lahan yang sudah tumbuh bibit lain.”
“Wow, analogi yang cerdas! Aku semakin suka kamu.”
Aku hanya menjawabnya dengan senyum. Hatiku seakan berkata lain dengan yang terucap.
“Tapi hati-hati, sekarang tak gampang mencari lahan kosong. Adapun tinggal yang gersang. Siapa tahu bibitmu tak akan tumbuh subur di sana.” Ucapnya disusul dengan tawanya.
“Biar saja, kelak bibitku akan menjadi sesuatu yang langka. Sesuatu yang langka akan mempunyai nilai komersial yang tinggi.” Kataku tetap tak mau kalah.
“Jangan terlalu pasang harga jual tinggi, nanti tak laku.” Balasnya.
Semacam ada godam yang menghentak di dadaku mendengar kata-kata itu. Sejujurnya aku juga suka kamu, tetapi tak mungkin aku katakan. Sekali lagi, aku tak mungkin menabur benih di lahan milik orang lain.
“Apakah kau sudah punya pacar?” Tanyanya kembali.
Aku bingung untuk menjawabnya, bahkan ini semacam soal MID atau UAS yang take home, sebab soal take home lebih susah ditemukan jawabannya. Bahkan dalam buku pun tak akan kau temukan jawabannya, sebab biasanya soal semacam itu perlu pemikiranmu sendiri untuk menjawabnya.
“Di mana dia sekarang?” Dia menghantamku dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
“A… aku belum punya pacar.”
“Kenapa?”
Aku terus ditodong dengan pertanyaan seputar pacar.
“Aku merasa lebih enjoy sendiri.”
“Apa yang kamu harapkan dari seorang pacar?”
“Melengkapi dan membuatku merasa nyaman,” Kataku tak menatap ke arahnya. Aku menatap sisa hujan yang menyerupai embun yang hinggap di daun bunga barongsai di dekat parkiran itu. Seolah di sana aku menemukan rasa nyaman itu.
“Aku setuju denganmu.” Katanya seraya menggenggam jemariku. Mata kami betemu. Aku mendadak kaku. Darah rasanya membeku. Dan bibit itu terjatuh di lahan milik orang lain.
“Eh, ayo makan.” Katanya mencairkan darahku yang sejenak membeku.
Kami mulai menyantap makanan yang sedari tadi sudah ada di meja. Sembari makan, kami pun sempat bercerita tentang hal-hal yang menjadi favorit kami. Mulai dari makanan, tempat, buku, dan hobby kami yang lainnya. Sungguh aku merasa teduh di lahan yang penuh pohon ini. Salahkah?
Selesai makan, ia kembali menyalakan sebatang rokok. Aku melihatnya menghisap rokok itu begitu nikmat dan menghembuskan asapnnya.
“Ayo, kita pulang, sebelum aku benar-benar jatuh cinta padamu.” Katanya antara serius dan bercanda.
“Ayo.” Balasku tanpa mengindahkan kata-katanya itu.
***
Semingu setelah pertemuan kami di Pondok Ale-ale itu, tak pernah lagi Adit menghubungiku. Hatiku setengah mati membantah bahwa aku sedang mencari-carinya. Aku berusaha berpikir secara rasional. Tapi rasa tak sepakat dengan logika. Bibir bisa saja berkata tidak, tapi hati tetap berkata iya.
“Mas, mocca float-nya satu lagi dong.” Pintaku pada seorang pelayang di KFC itu. Dan sementara menunggu mocca float datang, aku mengeluarkan selembar kertas dan atas namakan rasa, di sana penaku mulai menari.
Andai saja kamu adalah sebuah lahan kosong, tanpa ragu aku akan menjatuhkan bibitku di sana. Berharap ia tumbuh subur, tanpa mengganggu dan terganggu oleh tanaman yang lain. Dan kamu tahu, sekarang bibit yang tak ingin aku semai itu terjatuh di lahanmu. Ia tumbuh, aku tak tahu kelak ia akan mejadi apa. Yang aku tahu, ia tetap tumbuh sampai kelak waktulah yang akan membunuhnya.
Hana
Mocca Float—nya Mbak.” Kata pelayan itu.
“Terima kasih.” Kataku.
“Mas, bisa tolong jagain bentar tas saya, mau ke toilet nih.” Kataku pada Mas pelayan tadi.
“Oh, iya, boleh.” Katanya ramah.
Segera aku melangkah ke toilet dan meninggalkan semua barang-barangku. Dan sekembaliku dari toilet, kulihat Mas itu senyum-senyum.
“Ada apa, Mas?” Tanyaku penasaran.
“Nggak, Mbak.” Katanya semacam takut.
Aku mengerutkan dahi tanda heran. Dan ia tersenyum.
“Mbak jangan marah ya.” Katanya.
Aku semakin heran.
“Mbak lagi jatuh cinta diam-diam, ya?”
Wajahku segera memanas menahan malu.
“Kalo boleh saran sih, Mbak bilang aja, masalah orangnya suka juga apa nggak, ya itu urusan nanti.”
“Kalau dia sudah punya kekasih?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja. Semacam curhat curian.
 “Itu urusan nanti, Mbak, yang penting jujur dulu.” Jawabnya enteng. “Permisi Mbak, saya dipanggil.” Kata pelayan itu.
Sejenak aku berpikir, mungkin ada baiknya aku berkata jujur. Membuang jauh rasa gengsiku yang terlalu tinggi. Ke mana dia selama sepekan ini? Mengapa dia tak pernah menghubungiku? Apakah dia masih suka aku? Begitu banyak pertanyaan di pikiranku.
Aku segera mengemas barangku dari atas meja dan meninggalkan KFC dengan langkah ragu. Aku bergegas menuju perpusatakaan daerah. Aku masuki setiap ruang mencari Adit. Tak juga aku temukan dia. Masih tak puas, aku cek namanya di daftar buku pengunjung, tetapi tak juga kutemukan namanya di sana.
Sepekan terakhir ini, aku selalu menjadi pengunjung setia perpustakaan daerah. Bukan untuk menjadi kutu buku atau mengerjakan penelitianku, melainkan untuk mencari Adit. Namun, tetap tak aku temukan dia. Sere itu, dengan langkah gontai aku meninggalkan perpustakaan. Matic-ku melaju, aku baru sampai di jalan Veteran, lagi-lagi Pontianak diguyur hujan. Aku menepi di sebuah ruko di dekat gedung bimbel Ganesha Operation. Di sana tampak sepasang kekasih sedang berteduh. Kulihat lelakinya membuka jaket dan mengenakan pada perempuannya. Sempat iri melihat adegan itu, tetapi cepat-cepat kutepis. Di samping pasangan itu, kulihat seorang lelaki, posturnya tinggi, bercelana pendek, tas ransel di punggung dengan jaket berwarna hitam, ia tampak memperhatikanku. Aku turun dari motor dan berlari ke arah mereka. Dan aku berdiri di samping lelaki itu.
Hujan turun dengan lebatnya. Udara begitu dingin. Aku memasukkan jari ke dalam saku jaketku dan terus menunduk. Pikiranku terus mencari Adit.
“Hey, nunggu hujan, ya?” Kata lelaki di sampingku itu.
Suara itu, walau bercampur diantara pekikan hujan, tetapi sangat jelas. Sungguh suara yang aku kenal. Aku masih menunduk, aku takut terlalu banyak berharap pada suara yang baru saja aku dengar. Aku berusaha mengangkat wajah pada sumber suara yang aku dengar dan itu adalah Adit. Seketika aku kaku.
“A… Adit???”
Dia hanya tersenyum.
“Ke mana kau selama ini?” Kataku lagi.
“Aku menunggu kau mencariku. Aku ingin tahu apakah kau akan mencariku? Apakah kau rindu aku?”
Aku semacam bertemu penjahat yang membawa pisau tajam dan siap menodongku.
“Aku tak mungkin mencari apalagi merindukanmu.”
“Kenapa?”
“Pacarmu. Dan aku tak ingin…”
“Oh, itu?” Adit memotong jawabanku, “Aku memang punya pacar di Jogja, tapi dulu. Dua tahun yang lalu. Sekarang kami sudah putus. Mengenai hubungan kami sampai saat ini, masih baik-baik saja. Komunikasi kami masih berjalan lancar.”
Aku masih terdiam. Otakku berusaha mencerna apa yang barus saja aku dengar. Benarkah demikian?
“Kami beda tujuan, tentu jalan yang kami tempuh juga berbeda, maka kami harus berpisah.”
Hujan semakin lebat. Air mengalir dari badan jalan hingga membanjiri depan ruko tempat kami berteduh. Kaki kami basah. Cuaca bertambah dingin. Aku mempererat genggaman tanganku dalam saku jaket. Adit melakukan hal yang sama seperti pasangan di sampingku itu. Adit membuka jaketnya dan mengenakannya padaku. Sesuatu terasa hangat di dadaku.
“Sekarang, aku tak lagi menyukaimu,” kata pria berkaca mata itu. Dadaku yang tadi menghangat kembali seperti terseram air hujan.
“Tetapi aku telah jatuh cinta padamu. Maukah kau memulainya denganku?” Lanjutnya, membuat jantungku hendak meloncat dari tempatnya. Kuberanikan diri menatap matanya mencari kebenaran di sana. Akhirnya jawabanku hanya dengan satu anggukan saja. Tiba-tiba lengannya telah berada di pundakku.
“Kau menunggu hujan?” Katamu.
“Tidak, aku menunggumu.” Jawabku yakin.
Lalu aku sandarkan kepala di dadamu sampai aku mendengar detak jantungmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah