Sabtu, 30 November 2013

Dewi Mustikasari: Suara Hati



Dewi Mustikasari &  Kakanda Redi

Menyebalkan. Lagi-lagi menyebalkan. Aku sudah lama rindu untuk dapat menghabiskan waktu bersama suamiku. Meskipun hanya sekadar jalan-jalan sore. Keluar rumah sebentar untuk menghirup udara segar tentu tak sulit. Membawa kami keliling-keliling naik motor tentu tak repot. Tetapi suamiku lebih banyak sibuk, banyak capek, dan banyak berkata tidak sempat. Apakah sikapku ini terlalu menuntut? Rasanya tidak. Permintaanku ini sederhana saja, bukan? Aku hanya minta diajak jalan-jalan. Itu pun tidak setiap sore kok. Hanya sekali-sekali. Baik, aku ulangi, hanya sekali-sekali.
“Kapan-kapan saja ya, Wi. Mas capek.” Begitu, selalu begitu jawaban suamiku manakala aku mengajaknya mencari udara segar. Ah…
Jawaban itu yang kadang membuatku harus lebih banyak bersabar. Namun beberapa waktu belakangan ini jengkelku membuncah. Terutama saat Buyung, anak kami, sedang sakit. Sedikit berat  ketika aku harus sendiri tanpa suamiku. Meskipun aku tahu aku tak sendiri di rumah. Ya, kami memang masih menumpang di rumah orang tuaku. Aku akan merasa lebih tenang dan nyaman jika suamiku menemani dalam keadaan seperti ini. Tapi yang sering terjadi adalah suamiku sering sibuk sendiri. Entahlah apa sebenarnya yang dia sibukkan. Yang jelas, aku benar-benar merasa sendirian. Sendirian menjalani hidup, sendirian merawat Buyung, sendirian yang sama sekali tidak jelas. Aku punya suami, tapi rasanya seperti sendiri.
Suatu hari, orang tua dan suamiku harus menghadiri sebuah acara keluarga. Aku dan Buyung  harus tetap tinggal di rumah karena buyung baru sembuh dari demamnya. Ibuku melarangku ikut bersama mereka. Ibu memang sangat protektif kepada cucu semata wayangnya ini.
“Kamu ini masih muda, Siwi, masih belum paham ngurus bayi. Kamu tidak paham tentang anak kecil. Setitik debu saja bisa bikin sakitnya tambah parah. Ngerti?”  Aku tak bisa bilang apa-apa selain hanya mampu mengangguk lemah. Pasrah. Percuma rasanya beradu argumen. Toh pada akhirnya aku selalu ada di pihak yang kalah.
Yang seperti ini harus diperparah lagi dengan kalimat suamiku yang bukannya bikin aku tenang, tapi malah semakin membuat aku terpuruk.
“Benar kata ibu, Wi. Kamu di rumah saja. Lagian, ngapain juga kamu ikut? Nanti di tempat resepsi kamu malah repot kalau Buyung nangis. Bikin malu saja.”
Bah!!! Suami macam apa itu?
“Tapi tenang Wi, nanti kalau kami sudah kembali, kamu aku ajak jalan-jalan keliling kota. Aku janji. Bagaimana?”
Suamiku berbisik di telingaku. Sedikit banyak, aku tersenyum juga, “Hmmmmmm..... ya sudahlah. Tapi janji loh ya, Mas. Kita jalan-jalan keliling kota loh ya. Awas saja kalau bohong lagi.” gumamku datar. Suamiku hanya mengangguk seraya mengerlingkan mata. Entah apa maksudnya.
Diperlakukan seperti itu, senyumku kian mengembang. Aku senang. Aku sudah membayangkan bahwa suatu sore nanti aku akan duduk manis di boncengan motor seraya memangku Buyung. Suamiku akan mengendarai motornya pelan-pelan. Kami akan memperbincangkan segala hal yang indah-indah sambil menikmati semilir angin sore. Ah, sungguh menyenangkan.
Terkadang aku berpikir, aku masih kekanak-kanakkan. Mungkin ini adalah rasa jenuh yang menimpa disela kesendirianku selama ini. Aku terlalu lama merasa sendiri. Merasa tak diperhatikan oleh suamiku. Merasa tak punya teman selain Buyung. Aku ingin ada sesuatu hal dan waktu yang khusus untuk kami: hanya aku, suamiku, dan Si Buyung. Walaupun hanya sekadar keliling kota saja. keliling kota tanpa harus keluar uang toh bisa saja, kan? Aku butuh hiburan. Hiburan. Aku cuma butuh itu. Tak lebih.
Tapi…
Hari ini aku kecewa. Sangat kecewa. Suamiku sudah berjanji akan membawa kami pergi bersama untuk keliling kota. Mencari udara segar. Melihat keramaian yang pastinya bakal menyenangkan. Sungguh senang dalam hatiku membayangkannya. Hanya membayangkannya saja. Dan semua kesenangan imajinerku itu harus padam, harus berantakan saat akhirnya suamiku ingar janji lagi. Alangkah menyakitkan rasanya saat suamiku bilang bahwa dia capek lagi. Malas lagi. Lain kali saja. Haaaaaaah…
“Kapan-kapan saja ya, Wi. Mas capek.”
Aku mengangguk lemah. Aku tak hendak berdebat lagi. Aku tak hendak menuntut lagi. Ah, jangankan berdebat, mengatakan ‘iya’ saja suaraku sudah bergetar. Aku menangis. Aku hanya bisa menangis.
Entahlah, suamiku menyadarinya atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah