Sabtu, 30 November 2013

Kakanda Redi: Curhat Dewa


Dewi Mustikasari & Kakanda Redi


Malam yang pekat telah melarutkan pikiranku jauh melayang. Aku mengikis sisa-sisa kenangan yang hampir lama pudar. Perasaan yang mungkin lama mati dan terkubur belasan tahun silam. Bahkan tak pernah lagi terlintas dalam benakku untuk mengingat atau mengenang memori itu. 
Namun ternyata aku salah. Aku kini dihadapkan oleh kenangan yang memaksaku menggali lagi kejadian-kejadian lampau tersebut. Tanpa kusadari dan tak pernah kusangka, aku mengingat semuanya dengan cukup baik dan mungkin hampir saja tak ada satupun yang terlupakan olehku. Semua berawal ketika kutemukan dia di sebuah jejaring sosial.
Tanpa sengaja kulihat profilnya muncul di layar laptopku. Jujur, aku takjub kala itu. Kuteliti profilnya dan kuperhatikan gambar-gambar dirinya, hmmmm, banyak perubahan terjadi padanya. Satu diantaranya adalah wajah tirus yang berbeda dari belasan tahun lalu, saat aku diam-diam sering memperhatikannya. Hatiku berkata, wajahnya seperti menyimpan sebuah beban besar dalam hidupnya. Aku tak ingin mengira-ngira. Tapi sungguh itulah yang aku tangkap, yang aku rasakan.
Satu hal yang tak kutemukan: dimana istri dan anaknya??? Tak satupun tampak foto-foto yang menampilkan orang-orang yang dicintainya itu. Hanya ada beberapa gambar dirinya dan beberapa foto yang menurutku tak begitu berpengaruh dalam hidupnya.
Sekelumit tanda tanya menyusup dalam hatiku. Apa yang terjadi padanya? Mungkinkah belum ia temukan pendamping hidupnya? Ah, tapi gak mungkin. Usiaku dan usianya kan gak beda jauh. Hanya terpaut bulan saja. Aku saja sudah punya anak dua. Gak mungkin sekali kalau dia masih membujang. Tapi… tapi di FB-nya kok gak ada foto-foto keluarganya???
Beberapa waktu setelah kutemukan dia di jejaring sosial, aku hanya mendiamkannya saja. Aku tak memiliki keberanian untuk mengomentari keberadaannya. Hingga suatu saat kubaca sebuah puisi yang begitu aku suka di sebuah catatannya. Kuberanikan diri untuk mengomentari catatan tersebut. Tak kusangka juga dia menyapaku dan kami larut dalam obrolan hangat. Yah, meskipun dalam dunia maya, aku merasa kami cukup akrab saat itu. Padahal saat aku dan dia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, tak pernah aku berbicara seakrab itu. Sangat bertolak belakang malah.
Pikiranku berkeliling, memutar, melayang jauh menuju masa lalu. Pada saat aku dan dia masih mengenakan seragam putih abu-abu, sungguh, dia kelihatan begitu cupu, norak, kuper, dan sekian lagi julukan yang menggambarkan betapa sendiriannya dia. Tak punya kawan. Tak pandai bergaul. Tak pernah didekati siapa-siapa. Ada orang yang ingat atau sadar bahwa dia ada saja itu sudah sangat bagus.
Sekali waktu, kuhampiri juga dia. Waktu itu aku hanya kasihan melihatnya selalu duduk sendirian. Sepi dan tak berteman. Kubaca nama lengkap yang terpampang jelas di dada kanan seragam sekolahnya. Ardian Dewa Pamungkas. Oh, sungguh, itu adalah nama yang sangat bagus.
“Hai,” waktu itu dia hanya terperanjat dan menatapku lekat-lekat.
“Kenapa?”
Oh, sinisnya, pikirku. Tapi tak apa. Mungkin belum kenal.
“Maaf, boleh aku duduk di sini?”
Lagi-lagi Dewa menatapku dengan tatapan sengitnya, “Duduk saja. Ini kan bangku sekolahan. Bukan bangkuku. Semua warga sekolah berhak kok duduk di sini. Gak perlu minta ijin dulu.”
Aku terperangah, “Pantas saja kau tak punya teman. Caramu menanggapi perkenalan barusan saja sudah keji begitu. Jadi wajar kan, kalau kawan-kawan tak ada yang mau dekat denganmu?”
“APA PEDULIMU?”
Sekali lagi, aku terperangah. Aku sama sekali tidak menyangka bakal mendapat perlakuan sadis seperti barusan. Sakit. Sakit sekali.
Kubiarkan Dewa pergi meninggalkanku yang masih mematung di dekat bangku taman sekolah. Di dalam hati, aku bersumpah bahwa aku tak akan pernah menyapa manusia bernama Ardian Dewa Pamungkas lagi. Sampai kapanpun.
***
Malam ini aku online lagi. Aku tak ingin menulis status apa-apa. Aku hanya ingin melihat status teman-teman saja. Jika ada yang menurutku bagus, lucu, menyentuh, heboh, maka aku akan menghadiahi status mereka dengan jempol tanda suka. Atau aku akan mengomentari status mereka yang terang-terangan menyeret-nyeret namaku untuk ikut serta terlibat dalam kehebohan status mereka malam ini.
Misalnya, temenku yang punya nama ‘Kanda Yosi’ bikin status: Jangan maen petasan di sebelah kompor gas. Bahaya. Sebab yang punya peluang meledak gak hanya petasannya doang, tapi kompor gas-nya sekalian. Colek temen-temen ah: Sari Mustika Dewi, Alina Kirei, dan Sujarwo Ganteng.
Ah, bener-bener konyol nih bocah. Kalo udah begini, gak cuma jempol yang aku kasih, komentarku yang paling konyol juga bakal aku beri.
Setelah meninggalkan komentar di dinding Kanda Yosi, aku menjelajahi lagi status temen-temen yang lain. Membosankan sih memang. Kebanyakan juga norak. Gimana gak norak, coba? Mau pipis aja pake laporan ke FB. Apa-apaan sih mereka? Minta dicebokin?
Dan, oh… ada yang ngajakin chating. Dewa Pamungkas. Hah??? Dewa ngajakin Chating duluan??? Yang benar saja!
Dewa:
Malem, Sari Mustika. Sibuk?

Aku:
Malem, Dewa. Gak kok. Kalo aku sibuk, aku gak online J

Dewa:
Pengen curhat, tapi gak ada temen. Mau jadi temen curhatku malam ini?

Aku:
Nggg… sepertinya menarik. Oke deh. Soal apa? Aku jadi pendengar aja, kan? Aku ogah loh ya kalo disuruh komentar. Males. Ntar dijutekin lagi kayak SMP dulu :’(

Dewa:
Hahahaaa… semalem aku berkelana loh ke masa-masa itu. Kalo diingat-ingat, aku jahat banget ya waktu itu.

Aku tertegun. Dia mikirin masa-masa SMP dulu? Lah, kok sama sih? Semalem aku juga mikirin hal ini. Malahan aku ingat lagi sama sumpahku. Tapi gara-gara puisi sialan itu aku jadi negur Dewa di FB.

Aku:
Ho-oh… JAHAT BANGET. Aku sampe sebel sama kamu. Aku sampe bersumpah untuk gak negur kamu lagi. Kamu udah bikin aku kayak orang bego dulu itu. Aku menghampirimu, kamu malah ninggalin aku. Sialan.

Dewa:
Tapi akhirnya kamu melanggar sumpah kan? Heheheheheeee….

Aku:
Udah, lupain ajah. Cepetan, mau curhat apa nih? Mumpung belom ngantuk.

Dewa:
Aku lagi naksir cewek. Dia cantik. Masih muda, sangat muda. Usianya terpaut tujuh belas tahun dari usia kita. Tapi aku takut. Cewek yang aku taksir kayaknya marah sama aku. Tiap aku ajak ketemuan, selalu gak mau. Siang malam aku mikirin dia.

Aku:
Takut kenapa? Kurang usaha kali…

Dewa:
Udah, Tika. Malahan pas di hari ulang tahunnya, aku udah bela-belain beli kado yang bagus. Aku mau kasih ke dia. Maksudku, aku mau serahin langsung ke dia. Dan kamu tau dia dimana??? Dia di rumah neneknya. Dia sama sekali gak ngasih aku kesempatan untuk ketemu barang lima menit saja. Dramatis banget deh, Tika. Aku nunggu sambil kehujanan. Aku lalu berteduh di surau deket rumahnya. Berharap cewek itu bakal bilang: tunggu bentar. Tapi gak ada. Dia malah nyuruh aku nitipin kado spesial ini di surau saja. Kebangetan gak tuh?

Jujur, aku sempet berpikir kalau cewek yang ditaksir Dewa ini jahat. Sangat jahat malah. Atau mungkin jutek Dewa semasa SMP dulu belom hilang, jadinya tuh cewek males kalo deket-deket sama Dewa lagi? Atau, karena masih sangat muda, cewek ini jadi gak ngerti artinya pengorbanan? Entahlah.

Aku:
Wa, sori nih ya. Kamu masih jutek kayak waktu SMP dulu yah?

Dewa:
Gak kok, Tika. Aku udah berubah. Malahan kalo kamu ketemu aku langsung, kamu bakal lupa kalo aku pernah jutek dan sinis sama kamu. Hahahaaa… Beneran ini.

Aku:
Berarti cewek itu memang jahat ya, Wa. Kamu yang udah tulus begitu kok gak ditanggepin. Wah, kebangeten tuh cewek.

Sepi. Dewa menghilang. Tapi dia masih online.

Aku:
Wa, kamu masih hidup? Kamu gak minum racun kan, Wa?

Dewa:
Iya, Tika. Aku masih di sini. Nggg… kalo aku curhat yang lebih privasi, kamu mau denger gak?

Aku:
Selama kamu gak keberatan nyeritain hal yang kamu anggap privasi itu, kenapa nggak? Cerita aja.

Dewa:
Tika, sebenarnya… sebenarnya aku sudah… sudah punya istri dan empat orang anak.

Kalo aja saat ini aku pas lagi minum, pasti aku udah kesedak dan aer yang aku minum bakal muncrat kemana-mana.

Aku:
Dan cewek yang kamu taksir itu tau???

Dewa:
Iya, dia tau. Tapi… tapi aku udah bilang kalo aku udah pisahan dengan istriku sejak tujuh bulan yang lalu. Apa aku salah?

Aku:
DASAR LAKI-LAKI SARAP!!!

Aku offline.
Memang sialan si Dewa itu. Gobloknya gak abis-abis. Dulu cupu, kuper, norak, cemen. Sekarang malah ketambahan sarap, stress, bego, tolol.
Ah, aku kok jadi inget sama statusnya Kanda Yosi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah