Sabtu, 09 November 2013

Amrin Zuraidi Rawansyah - Wanita Penjaga Api

WANITA PENJAGA API
Cerpen: Amrin Zuraidi Rawansyah

"Ceritakan padaku tentang wanita dan cahaya,” pinta Muja, seraya memperbaiki posisi duduk, lebih mendekap padaku.

“Kenapa harus wanita dan cahaya?” tanyaku sambil menikmati sejuntai rambut yang menari di pipinya, dipermainkan angin pantai. Kucegah tangannya yang bergerak hendak menyelipkan kembali rambut itu ke belakang telinga. Terus kugenggam tangannya, erat.

“Apa kau tidak menyimpan cerita yang demikian?” ia balik bertanya. Dengan halus ia mencoba melepas genggamanku. Sambil menggeleng pelan, genggamanku semakin kueratkan.



Baiklah, Muja, aku akan bercerita. Cerita ini kudapatkan pertama kali dari almarhumah nenekku, puluhan tahun silam. Saat itu, usiaku beranjak belasan. Aku dan keenam sepupu yang lain, yang kerap pulang kampung saat libur sekolah, selepas Dzuhur, selalu minta didongengkan oleh Nenek. Di tengah ruang ia akan berbaring. Dan kami cucu-cucunya yang kurang lebih berusia sama. Duduk mengelilinginya. Sambil memijat-mijat lengan dan kakinya, memeriksa dan mencabut uban-uban pendeknya. Aku ingat benar kata-kata Nenek saat memulai cerita ini.

"Suatu saat,” katanya dengan mata menerawang, melewati jendela besar ruang tengah, melampaui batang-batang pohon kelapa tepi sungai, menyeberangi Sungai Kapuas yang mengalir tenang, menusuk jauh ke dalam rimba raya hutan seberang, “jika ada di antara kalian yang bertemu wanita dengan mata bercahaya, seakan ada nyala pelita kecil di dalamnyua,” dengan gemetar ia melanjutkan, “menjauhlah…!”

Kami terkesima.



Sore semakin jatuh. Di ufuk barat, semburat tembaga menyepuh parade gundukan awan. Senja yang sungguh menawan. Burung-burung beterbangan mencari jalan pulan, ke bentangan kawat-kawat listrik pusat kota. Lascar kelelawar, berhamburan dari ceruk-ceruk bumi, dalam formasi anaeh, memulai ritual menyongsong datangnya malam. Angin sepoi. Rambut Muja berombak. Dengan latar sunset seperti sekarang, dengan mentari yang tianggal separuh bulat ditelan cakrawala laut nun jauh di sana, rambut Muja yang sesungguhnya gela pekat, seakan menyala. Setiap helai rambutnya yang meri bebas oleh angain, seolah dilapisi cahaya kemilau keemasan.

“Lanjutkan ceritamu.”

“Nghh…sampai di mana tadi?”



Rupanya, Muja, di seberang kampungku, pernah menjadi pemukiman, beratus-ratus tahun silam. Aku ingat, pada liburan cawu berikutnya, saat musim durian, kamiberenam dibawa Kakek dan Nenek melewati daerah itu. Tak jauh dari tebing sungai, pada sebuah tempat darat, Kakek mengais lapisan humus yang cukup tebal. Tampaklah kemudian sisa-sisa tonggak yang terbakar. Kata Kakek, itu adalah kayu belian tiang rumah orang zaman dulu.

“Mereka leluhur kita,” kata Kakek. Selanjutnya, kami juga ditunjukkan sebuah kawasan tebing bersemak, di mana terdapat banyak batu berjejer rapi. Itu kuburan kuno. Kuburan leluhur. Anehnya, Muja, malamnya, sebagian dari kami para cucu, termasuk aku, terserang deman panas yang sangat hebat. Tapi dengan hanya dipercikkan air – tantunya sudah dijampi-jampi nenek, karena nenekku tabib kampung, Muja – kami sembuh. Kata nenek, apa yang kami bertiga alami adalah pertanda dari leluhur.



“Terus?” tanya Muja, mengakhiri sejenak lamunanku setelah bercerita, “apa hubungannya tempat itu dengan wanita yang memiliki mata bercahaya?”

Tapi aku cuma nyengir. Lantas menyeruput habis jus sawo kesukaanku. Sebentar aku memandang berkeliling, ke pondok-pondok kafe yang lain. Beberapa di antaranya sudah kosong. Kembali aku menatap Muja.

“Kenapa memandangku seperti itu?” tanya Muja saat kunikmati indah matanya.

“Matamu bagus.”

“Mataku rusak. Rabun jauh. Kau tau itu,kan?”

“Aku hanya memeriksa, siapa tahu di matamu ada nyala pelita.” “Ooo…begitu?! Nih!...Lihat puas-puas,” katanya dengan mata membelalak.

“Hehe…itu, sih, bukan lagi nyala pelita, malah obor yang menyala…” “Dasar…!” pekiknya kecil seraya menghujaniku dengan cubitan gemas.



Jadi, Muja, di tempat itulah, dahulu kala, pernah berdiam wanita penjaga api. Mereka, atas mandat seluruh warga kampung, bertugas menjaga tiga buah pelita di dalam sebuah gua di belakang kampung. Mereka dipilih oleh alam. Artinya, anak siapapun dia, jika perempuan dan lahir dalam cuaca hujan badai, maka ia adalah wanita penjaga api.

Tentunya kau bertanya, Muja, kenapa harus perempuan? Kenapa harus yang lahir dalam hujan badai? Ada sejarahnya, Muja. Berhubungan erat dengan asal mula berdirinya kampung itu. Sebenarnya, tempat itu bukanlah pilihan kaum leluhurku sebagai tempat bermukim yang baru.

Oh…hampir lupa kuceritakan padamu, Muja. Ketika itu kaum leluhurku meninggalkan pemukiman lama mereka karena bencana alam. Lumrah pada masa itu, orang membuat perkampungan di dalam sungai-sungai kecil. Bukan di tepi sungai besar seperti Kapuas, seperti sekarang. Konon, menurut nenekku, selain untuk keperluan berladang, orang membuat kampung di dalam sungai kecil adalah demi alasan keamanan. Soalnya, pada masa itu, masih kental tradisi mengayau, ritual memenggal kepala untuk menunjukkan kedewasaan, mendapatkan semacam gelar ksatria atau untuk memperolah kesaktian.

Jadi, Muja, suatu ketika, pemukiman lama kaum leluhurku mendapat bencana banjir bandang yang ganas. Kemudian, dengan perahu-perahu sederhana, mereka keluar dari sungai kecil itu. Selain meminta pendapat roh-roh gaib, para sesepuh kaum leluhurku dengan cermat memeriksa setiap lokasi baru. Tetapi, selain tidak layak menurut para sepuh, juga belum mendapat perkenan dri roh-roh gaib.

Mereka terus mudik, mudik, dan mudik melawan arus Kapuas mencari tempat baru. Dalam pencarian itu, Muja, pada sebuah tempat mereka terpaksa merapat. Karena saat itu, angin, bertiup kuat dan langit dipenuhi mendung hitam pekat yang menandakan akan segera turun hujan lebat.
Setelah menyembunyikan perahu di sebuah anak sungai, mereka naik ke daratan. Dengan cepat mereka membuat dangau-dangau. Kebetulan sekali, ketika mencari kayu-kayu dan dedaun untuk ramuan dangau, mereka menemukan sebuah gua besar. Sehingga sebagian besar rombongan berteduh di situ. Kemudian, hujan pun turun dengan lebatnya. Angin menderu-deru. Gemuruh guntur bersahtu-sahutan. Petir sabung-menyabung di langit. Daun-daun berguguran. Ranting dan dedahan berpatahan. Kayu-kayu bertumbangan. Dangau-dangau porak poranda. Sehingga kemudian, terpaksa mereka berjejal semuanya ke dalam gua.

Sementara itu, petir yang sabung-menyabung di langit, entah kenapa, lidah apinya senantiasa menuju ke mulut gua. Pada beberapa tempat di sekeliling mulut gua, sambaran petir berhasil meruntuhkan dinding tebing.

Konon menurut nenek, karena terancam, sebab bisa saja lidah petir melongsorkan bebatuan di atas mulut gua, yang berarti bisa-bisa mereka terkubur hidup-hidup semuanya, salah seorang sepuh yang memiliki kesaktian tinggi, berkelahi dengan petir itu. Benar-benar berkelahi, Muja, berkelahi! Tepat di atas mulut gua ia berdiri. Menyambut setiap lidah api yang datang. Ada yang berhasil ditangkapnya, kemudian ia lemparkan kembali ke celah-celah awan. Selalu terdengar gemuruh ledakan yang maha dahsyat di langit setiap ia berhasil mengirim balik lidah-lidah api itu, yang selalu pula disambut gegap gempita pekik perang seluruh masyarakatnya yang di dalam gua. Mereka semua harap-harap cemas. Siapakah yang bakal menjadi pemenang? Sesepuh mereka? Ataukah petir itu?

Setelah perkelahian berlangsung seperempat hari, hujan mulai mereda. Angin tak lagi kencang. Hujan tinggal gerimis. Beberapa sepuh menyusul keluar, mencari sepuh yang berkelahi dengan petir tadi. Mereka menemukannya bersandar di dinding batu atas gua. Tubuhnya melepuh luka. Tangan kanannya menggenggam erat-erat lidah api yang masih jilat menjilat menyala. Ia dibopong masuk. Dan lidah api itu kemudian di pindahkan pada tiga buah pelita.

Sementara itu, Muja, ketika perkelahian melawan petir sedang berlangsung dengan serunya, salah seorang anggota rombongan yang hamil tua, diriringi gegap gempita pekik peperangan, melahirkan bayi perempuan. Dialah kemudian, atas bisikanroh-raoh gaib yang diterima para sepuh, ditunjuk sebagai wanita penjaga api pertama. Demikianlah, Muja. Tempat itu akhirnya dipilih sebagai tempat bermukim baru leluhurku. Dalam beberapa generasi, perkampungan itu maju pesat. Hasil ladang melimpah. Ikan-ikan di sungai pun bisa didapat dengan mudah. Pemua-pemudanya banyak yang berkelana dan berhasil menjadi orang besar di negeri rantau. Tokoh-tokoh kampung, kerap diundang ke istana kerajaan (sekarang sudah menjadi ibukota kabupaten, Muja) untuk dimintai pendapat mengenai kemajuan negeri. Demikian pula denan para pemusik dan penyanyi, sering mereka dijemput dengan bidar-bidar nan menawan, untuk menghibur raja dan keluarganya serta tetamu dari lain kerajaan.

Semua kemajuan itu, Muja, tak lepas dari peranan wanita-wanita penjaga api. Untuk membakar ladang misalnya – bukan berarti mereka tak mengenal cara membuat api dari batu atau kayu lempung – selalu apinya diambil dari pelita-pelita yang dijaga para wanita itu. Niscaya, hasil panen akan baik. Demikian pula untuk memasak, maka apapun makanannya, saiapa saja yang menyantapnya akan memiliki kewibawaan dan suara yang sangat bagus. Jika ia pria, maka wajahnya akan memancarkan keteguah hati, suaranya lantang serta fasih, sehingga siapa saja akan terdesima menyimak kata demi kata yang diucapkannya. Jika ia perempuan, wajahnya bersinar menawan, gerak tuturknya terpuji mengesankan dan senandungnya akan merdu di pendengaran, sanggup memikat sukma sesiapa saja yang rindu penghiburan.

Tapi nenekku, Muja, tidak tahu dengan persis berapa generasi sebenarnya para wanita penjaga api itu. Tapi yang jelas, jarang melebihi dua orang. Seakan sudah diatur, Muja, jika seorang penjaga api sudah berumur, selalu ada bayi perempuan yang lahir dalam hujan badai, sebagi teman, serta menggantikannya kelak jika ia sudah wafat.



“Ada baiknya kita pulang sekarang,” kataku setelah manghabiskan gelas kedua jus sawo.

“Tapi ceritamu blum selesai!” protesnya sengit.
Ada semacam kebahagiaan aneh menyelinap dalam benakku saat melihat keantusiasan di wajah cantiknya.

“Sudah berapa lama kita pacaran, Muja?”

“Bukankah kita ke sini untuk merayakan tahun ketiga?”

“Dan…kau bukan keturunan wanita penjaga api, kan?”

“Lho…kenapa? Apa selama ini kau pernah melihat mataku bercahaya? Dan kau tahu, kan, keluargaku berasal dari pulau seberang, dari garis keturunan mana aku berhubungan dengan wanita penjaga api itu, lantas, semisal pun iya, aku keturunannya, memangnya kenapa?

Nah…nah…di situlah letak belum selesainya ceritamu. Apa yang kemudain terjadi dengan para wanita penjaga api itu? Kenapa pula akhirnya kampung itu ditinggalkan? Dan kenapa pula kalian disuruh menjauh dari wanita dengan mata bercahaya?”

Diberondong pertanyaan-pertanyaan seperti itu, semakin terasa bahwa aku sangat mencintainya. Segera kurengkuh ia dalam pelukan. Sambil membelai rambutnya yang legam dan panjang, aku berbisik:

“Selain untuk merayakan tiga tahun kebersamaan kita, sebenarnya…aku hendak menyampaikan sesuatu kepadamu…”

“Katakanlah…” ujarnya seraya balas membelai punggungku dengan lembur.

“Mau kuselesaikan dulu ceritaku?”



Untuk menjawab semua pertanyaanmu tadi, Muja, akan kuceritakan apa yang dialami salah seorang sepupuku. Ia adalah salah satu dari kami bertiga yang terserang demam panas setelah mengunjungi kuburan leluhur. Peristiwa itu, kalau aku tak salah ingat, terjadi kira-kira tiga bulan sebelum aku mengenalmu.
Saat itu ia hendak menikah dengan seorang penyanyi kelab malam. Tapi ditentang habis-habisan keluargaku. Bukan karena profesinya, Muja, bukan. Tapi karena penyanyi kelab malam itu adalah keturunan wanita penjaga api, aku menyaksikan sendiri, betapa dari dalam dua bola matanya, memancar cahaya dua nyala pelita. Aku dan beberapa keluarga lelaki lain yang masih lajang, kecuali sepupuku yang hendak menikah itu, seketika berkeringat kepanasan. Sakit sekali rasanya, Muja. Sakit. Seakan sekujur tubuh berada di dalam kobar api.
Tetapi, Muja, sepupuku itu tak mau mendengar. Malam itu juga, mereka pergi meninggalkan kampung. Setiba di kota, esok paginya mereka berangkat ke kota lain. Namun dalam perjalanan itu, bis yang ditumpanginya masuk jurang dan terbakar. Sopir, kernet dan seluruh penumpang tewas dalam keadaan mengenaskan. Gosong oleh api. Kecuali mayat wanita keturunan penjaga api itu, Muja, tubuh dan pakainnya utuh dalam pelukan sepupuku.

Demikianlah, Muja, kenapa kami disuruh menjauh. Dan sebenarnya, Muja, para wanita penjaga api itu tidak memiliki keturunan, karena mereka tidak boleh kawin. Mereka harus suci sampai mati. Kecuali wanita penjag api terakhir, ia menjalin cinta dengan seorang pemuda dan kemudian hamil. Mereka dihukum, diarak telanjang bulat keliling kampung. Setelah itu dibuang ke sungai. Sebelum dicemplungkan ke sungai, wanita penjaga api itu sempat mengucapkan serapah.

Katanya, bukan kehendaknya ia lahir dalam huja badai, bukan keinginannya menjadi wanita penjaga api. Ia hanya ingin menjadi wanita biasa. Tapi warga kampung sudah bulat, mereka harus dihukum. Ia kemudian berjanji, jika ia mati dalam hukuman, arwahnya akan membalas dendam, jika ia selamat, keturunanya akan senantiasa membayangi keturunan seluruh warga kampung dalam terror mematikan.

Beberapa hari setelah proses hukuman itu, Muja, warga kampung menemukan hanya jenazah si pemuda, tanpa wanita penjaga api. Setelah jenazah itu dikebumikan, malamnya, rumah-rumah penduduk terbakar…



“Ihhh…” terbayang ngeri di wajah Muja. Ia semakin tenggelam.

Sambil terus membelai, kuhayati aroma dan hangat tubuhnya. Tubuh kekasihku, calon pendamping hidupku. Aku bersyukur, ia bukan keturunan wanita penjaga api.

“Muja…” bisikku, “maukah kau jadi istriku?” Ia tengadah dan menatapku lekat-lekat.

“Ini sebuah permintaan, Muja, yang bisa kau tolak atau kau terima. Tapi aku sangat berharap, kau menerimanya, Muja.”

“Perkawinan bukan perkara main-main…” ujarnya dengan mata berkaca-kaca. “Kau bersungguh-sungguh?!”

Aku mengangguk mantap.

“Kau mau menerimaku apa adanya?” tanyanya dengan tatapan penuh selidik.

Kuhapus air mata yang mengalir di pipinya.

“Meskipun seandainya aku keturunan wanita penjaga api?”

“Aku yakin bukan,” jawabku balas menatapnya lekat-lekat.

“Aku bersedia,” katanya mengangguk manja dan tersenyum bahagia. Dari bening dua bola matanya yang masih berkaca-kaca, tampak nyala dua pelita…

~SELESAI~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah