Ffate'
“Emak… Bapak…! Doakan anakmu ini cepat dapat
panggilan…!” bisik hatiku tiap akan memasukkan berkas lamaran ke dalam amplop
coklat.
Ini lamaran kedua puluh
tiga, segera kutandai buku kecil, tempat mencatat nama-nama perusahaan yang
telah kukirimi lamaran.
Sulitnya
mendapat pekerjaan. Walau telah tersandang gelar sarjana di belakang namaku.
Meski telah berjejak kakiku di kota yang super sibuk, Jakarta, kota
metropolitan. Kota yang menjanjikan mimpi-mimpi indah bagi perantau seperti
aku.
Kemarin,
genap empat bulan aku di Jakarta. Lebih dari
lima belas perusahaan yang langsung kudatangi, selebihnya kupercayakan
pada pak pos mengantar lamaran-lamaran
ke perusahaan yang kumaksud. Berdasarkan lowongan yang kutemukan di
harian-harian ibu kota. Namun hingga kini, tak satupun panggilan yang kuterima.
Apa yang
salah? Apa terlalu banyak saingan? Jumlah pencari kerja dan lapangan pekerjaan
memang tak sebanding. Tiap tiga bulan pasti bakal bertambah angka wisudawan dan
wisudawati yang bersiap memasuki gerbang pengangguran. Apalagi sarjana seperti
aku! Dengan nilai pas-pasan… duh!
Atau karena
belum berpengalaman? Bagaimana bisa dapat pengalaman kalau tak diberi
kesempatan bekerja? Sedangkan tiap perusahaan mengutamakan tenaga yang
berpengalaman… huh!
Uang di saku
telah lama menipis, apa masih bisa bertahan hingga bulan depan?
Padahal,
matang rencanaku dulu. Memutuskan keluar dari rumah famili, tinggal di rumah
kost murah untuk hidup mandiri. Malu berlama-lama menumpang dalam status
pengangguran.
Ya… mau tak
mau, setelah tiga bulan jadi parasit, aku hengkang dengan alasan lebih leluasa
mencari kerja.
Tapi… apa
yang berlaku sekarang? Lebih dari sebulan belum dapat kuberi kabar ke orang
tua… kalau aku telah bekerja. Malah uang yang mereka kirimi kian menyusut buat
bayar kost dan melamar kesana-kemari.
Buat makan,
terpaksa kucekik leher dan kuterikkan ikat pinggang, agar bisa tersambung
nyawaku hingga esok hari. Emak pasti menangis melihat tubuhku yang kurus kian
tipis. Sabarlah, Mak… anakmu ini masih harus lebih berusaha!
Masih terasa
basah tanganku, mengusap linangan air mata Emak saat dulu melepas kenekatanku
merantau ke Ibukota.
“Di sini
masih banyak lapangan pekerjaan! Mengapa mesti jauh-jauh menyeberang pulau ke
kota yang asing?” Emak sangat tak setuju mendengar keinginanku untuk mengadu
untung ke Jakarta.
”Tapi aku
ingin cari pengalaman Mak! Sebelum aku terikat, aku mau melihat negeri orang,
aku masih ingin memandang dunia luar,” jawabku berusaha meyakinkan Emak.
“Mengapa
jauh-jauh kalau hanya untuk mencari makan? Kau tak kasihan melihat orang tuamu
yang sudah bau tanah?” mata Bapak berkaca-kaca melihat aku mulai mengemasi
pakaian ke dalam ransel.
“Pak… Ini
semua demi Bapak, Emak dan adik-adik! Aku ingin hidup kita lebih baik. Kalau
aku dapat pekerjaan bagus dan gaji tinggi, tentu Bapak dan emak tak banting
tulang lagi buat makan dan biaya sekolah mereka,” jawabku yakin, berusaha
mengalahkan perih hati melihat kecemasan yang terpancar dari mata dan suara
mereka.
“Iya kalau
kau berhasil dapat pekerjaan baik, kalau tidak? Terkatung-katung di kota besar!
Jakarta itu kejam! Banyak godaan. Sekali kau terperosok ke lubang sesat… susah
keluar!” cetus abangku tiba-tiba, berusaha mementahkan kembali rencanaku.
“Abang harus
percaya aku! Imanku masih kuat! Walau perempuan, aku tak selemah pikiran abang.
Aku punya gelar, kemauan, semangat dan harapan, Bang! Pokoknya beri aku
kesempatan!” ucapku mantap. Mereka saling berpandangan putus asa.
Lambaian
mereka pada saat kapal membawa tubuhku menjauh dari pelabuhan, seakan membuka
aliran anak sungai dari mataku. Aku menangis. Terharu dan bahagia. Langkah awal
telah kumulai. Aku mulai berjalan kearah mimpi-mimpi yang telah sekian lama
kupendam… merantau ke negeri orang… dengan sejuta harapan!
Tapi kini?
Mana semangat itu? Harapan mulai pudar! Malu aku tiap mereka menelpon melalui
pesawat telepon pemilik kost. Jawaban apa yang bisa kuberi… selain kata-kata
“Masih menunggu panggilan! Tak lama lagi! Doakan agar anakmu ini diterima!”
Duh!
Sampai
pernah abangku menelepon agar aku pulang saja!
Pulang? Satu
kata yang segera kuhapus dari benakku. Tak akan! Kalau belum mampu kuraih
mimpiku!
Lebih
tepatnya “malu!”. Hampir semua kerabat dan sahabat tahu kalau empat bulan yang
lalu aku berangkat, hendak bertarung mengadu nasib dan janjiku akan segera
membuat mereka bangga.
Setelah
mengeposkan lamaran, kembali kuburu koran Sabtu dan Minggu yang bertabur
lowongan pekerjaan. Menilik satu demi satu iklan baris yang mencantumkan
kualifikasi yang bisa aku penuhi.
Setiap yang
kurasa cocok, segera kulingkari dengan tinta merah.
Beda dengan
bulan pertama dan kedua, aku masih memilah-milih lowongan yang sesuai dengan
minat dan bidangku.
Memasuki
bulan keempat, tiap lowongan yang mencantumkan persyaratan-persyaratan yang
bisa kupenuhi, kutindaklanjuti juga walau sama sekali tak kuminati. Tapi sampai
bulan kelima ini, tetap tak kunjung datang panggilan.
Padahal
posisi yang kuharapkan tak muluk-muluk. Bahkan kualifikasi minimal sekolah
menengah pun aku tanggapi. Tapi sekali
lagi… mereka mengutamakan pengalaman!
“Mbak,
sementara menunggu panggilan, ikut aku saja. Kerja harian di pabrik,” tawaran
teman sebelah kamarku pun jadi pertimbangan.
Aku memang
perlu duit! Buat bertahan sebelum mendapat pekerjaan. Dompet mulai tak
berpenghuni, berharap kiriman orang tua? Aku malu!
Maka, untuk
tetap makan, aku ikut juga jadi buruh harian di pabrik yang letaknya tak jauh
dari kostku.
Untuk
menjadi tenaga harian di sebuah pabrik kecil, mereka tak meminta banyak
persyaratan. Aku langsung diterima dengan upah di bawah UMR. Kupikir cukuplah
buat makan sehari-hari.
Tapi, aku
tercengang dengan peran yang harus kulakoni. Lebih dari dua belas jam sehari,
aku harus berdiri di antara mesin-mesin pabrik, di dalam ruangan pengap
bertabur debu dan cairan kimia, demi mendapatkan dua piring nasi dan sedikit
cicilan buat membayar kost. Tanpa jaminan kesehatan pula.
Sakitnya
anakmu, Mak! Jerit hatiku tiap berangkat kerja dan pulang membawa tubuh lelah
buat beristirahat dan bersiap di hari esok.
Belum juga
dapat panggilan kerja!
Minggu pertama,
aku mengeluh di dalam hati sambil terbatuk-batuk, terlalu banyak menghirup
udara berdebu yang mengendap di dalam jantung.
Minggu
kedua, aku menangis di dalam hati, saat mendapat shift malam. Di saat orang-orang lena dan bermimpi dalam selubung
malam, aku dan teman senasib tetap bekerja sambil
menahan berat mata dan
kepala hingga sang surya kembali menjalankan kewajibannya menerangi bumi.
Sedihnya
anakmu, Pak! Tangis hatiku pilu tiap mendapat teguran dari pengawas, demi
melihat konsentrasi kerjaku yang terganggu karena keseringan batuk dan merasa
pusing. Mereka bilang kinerjaku buruk!
Tetap belum
ada panggilan, meski setiap minggu aku masih setia menyetor lamaran ke kantor
pos.
Minggu
ketiga. Aku benar-benar mengeluh, ketika tanganku cedera, tertumpah cairan
kimia. Rasa terbakar dan membekas di telapak tangan. Namun pihak pabrik tak mau
tahu. Aku benar-benar menangis ketika bangun di pagi hari, tubuhku meriang dan
terasa lumpuh.
Minggu
keempat aku mengundurkan diri dari pabrik. Setelah berpamitan dengan
teman-teman senasib yang sebagian besar hanya sempat mengecap bangku sekolah
dasar.
Mereka tak
punya pilihan untuk mencari pekerjaan lain. Wajah-wajah lelah mereka terus
mengiringi langkahku keluar dari gerbang pabrik.
Masih belum
ada panggilan!
Hampir satu
minggu aku terbaring di kamar kost yang sempit. Sesak nafas dan batukku mereda,
namun uang hasil kerjaku habis buat makan dan membeli obat. Sengaja tak
kukabari kedaan burukku pada orang tua, lebih lagi saudara Bapakku di timur
Jakarta.
Tak ada panggilan yang datang!
Aku mulai
putus asa!
Kurang dari
seminggu, aku harus membayar kost! Kalau tak mau keluar dari kamar yang hampir
dua bulan kutempati. Padahal uangku hanya cukup makan sampai minggu ini!
Aku
ketakutan. Aku harus cepat mendapat kerja! Kerja apapun boleh asal halal!
Aku nekat
datang ke pusat-pusat perdagangan, menawarkan diri sebagai penjaga toko atau
yang sejenisnya. Namun, hampir sepuluh tempat yang kudatangi, selalu saja yang
punya toko bilang “Tak ada lowongan!” selebihnya menolak setelah melihat
penampilanku. Apa yang salah?
Aku pulang.
Berkaca! Yang mereka butuhkan adalah pramuniaga berpenampilan menarik.
Sedangkan aku?
Tubuh kurus
yang kian ceking. Wajah pucat dengan mata cekung. Selama merantau giziku buruk,
makan sepiring sehari sudah sangat bersyukur, tapi tak kusangka begitu
mempengaruhi penampilanku. Satu lagi, mereka selalu memperhatikan cacat di
telapak tanganku.
Bagaimana,
Mak? Pak? Otakku buntu buat berpikir. Terlalu lama mengganggur membuat krisis percaya diri dan
merasa bodoh.
Panggilan
tak datang-datang!
Malam
terakhir sisa kostku, aku merenung semalaman. Apa yang harus kulakukan? Air
mata telah tak ada. Habis.
Tepat tiga
kali pukulan tiang listrik oleh penjaga malam, aku telah mengambil keputusan.
Aku menyerah!
Pagi,
kulangkahkan kaki berat menuju toko emas, berat pula kulepas cincin emasku yang
tak berat. Cukuplah buat tiket kapal dan sedikit oleh-oleh.
Matahari
mulai tergelincir ke dalam laut, saat kapal membawa tubuhku berlayar
meninggalkan pelabuhan Tanjung Priok. Tak ada lambaian, hanya lampu-lampu kian
hilang mengucap salam perpisahan. Aku pulang!
Kuacungkan
dua jempol jari tanganku pada kalian yang berhasil menaklukkan Jakarta. Sayang,
aku tak seberuntung kalian! Cukuplah
lewat setengah tahun kurasakan getirnya jadi perantau yang gagal. Entah nanti.
Ciledug, 08 Juli 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar