Sabtu, 30 November 2013

Ffate': Perantau Gagal


Ffate'



“Emak… Bapak…! Doakan anakmu ini cepat dapat panggilan…!” bisik hatiku tiap akan memasukkan berkas lamaran ke dalam amplop coklat.
                Ini lamaran kedua puluh tiga, segera kutandai buku kecil, tempat mencatat nama-nama perusahaan yang telah kukirimi lamaran.
Sulitnya mendapat pekerjaan. Walau telah tersandang gelar sarjana di belakang namaku. Meski telah berjejak kakiku di kota yang super sibuk, Jakarta, kota metropolitan. Kota yang menjanjikan mimpi-mimpi indah bagi perantau seperti aku.
Kemarin, genap empat bulan aku di Jakarta. Lebih dari  lima belas perusahaan yang langsung kudatangi, selebihnya kupercayakan pada pak pos mengantar lamaran-lamaran  ke perusahaan yang kumaksud. Berdasarkan lowongan yang kutemukan di harian-harian ibu kota. Namun hingga kini, tak satupun panggilan yang kuterima.
Apa yang salah? Apa terlalu banyak saingan? Jumlah pencari kerja dan lapangan pekerjaan memang tak sebanding. Tiap tiga bulan pasti bakal bertambah angka wisudawan dan wisudawati yang bersiap memasuki gerbang pengangguran. Apalagi sarjana seperti aku! Dengan nilai pas-pasan… duh!
Atau karena belum berpengalaman? Bagaimana bisa dapat pengalaman kalau tak diberi kesempatan bekerja? Sedangkan tiap perusahaan mengutamakan tenaga yang berpengalaman… huh!
Uang di saku telah lama menipis, apa masih bisa bertahan hingga bulan depan?
Padahal, matang rencanaku dulu. Memutuskan keluar dari rumah famili, tinggal di rumah kost murah untuk hidup mandiri. Malu berlama-lama menumpang dalam status pengangguran.
Ya… mau tak mau, setelah tiga bulan jadi parasit, aku hengkang dengan alasan lebih leluasa mencari kerja.
Tapi… apa yang berlaku sekarang? Lebih dari sebulan belum dapat kuberi kabar ke orang tua… kalau aku telah bekerja. Malah uang yang mereka kirimi kian menyusut buat bayar kost dan melamar kesana-kemari.
Buat makan, terpaksa kucekik leher dan kuterikkan ikat pinggang, agar bisa tersambung nyawaku hingga esok hari. Emak pasti menangis melihat tubuhku yang kurus kian tipis. Sabarlah, Mak… anakmu ini masih harus lebih berusaha!
Masih terasa basah tanganku, mengusap linangan air mata Emak saat dulu melepas kenekatanku merantau ke Ibukota.
“Di sini masih banyak lapangan pekerjaan! Mengapa mesti jauh-jauh menyeberang pulau ke kota yang asing?” Emak sangat tak setuju mendengar keinginanku untuk mengadu untung ke Jakarta.
”Tapi aku ingin cari pengalaman Mak! Sebelum aku terikat, aku mau melihat negeri orang, aku masih ingin memandang dunia luar,” jawabku berusaha meyakinkan Emak.
“Mengapa jauh-jauh kalau hanya untuk mencari makan? Kau tak kasihan melihat orang tuamu yang sudah bau tanah?” mata Bapak berkaca-kaca melihat aku mulai mengemasi pakaian ke dalam ransel.
“Pak… Ini semua demi Bapak, Emak dan adik-adik! Aku ingin hidup kita lebih baik. Kalau aku dapat pekerjaan bagus dan gaji tinggi, tentu Bapak dan emak tak banting tulang lagi buat makan dan biaya sekolah mereka,” jawabku yakin, berusaha mengalahkan perih hati melihat kecemasan yang terpancar dari mata dan suara mereka.
“Iya kalau kau berhasil dapat pekerjaan baik, kalau tidak? Terkatung-katung di kota besar! Jakarta itu kejam! Banyak godaan. Sekali kau terperosok ke lubang sesat… susah keluar!” cetus abangku tiba-tiba, berusaha mementahkan kembali rencanaku.
“Abang harus percaya aku! Imanku masih kuat! Walau perempuan, aku tak selemah pikiran abang. Aku punya gelar, kemauan, semangat dan harapan, Bang! Pokoknya beri aku kesempatan!” ucapku mantap. Mereka saling berpandangan putus asa.
Lambaian mereka pada saat kapal membawa tubuhku menjauh dari pelabuhan, seakan membuka aliran anak sungai dari mataku. Aku menangis. Terharu dan bahagia. Langkah awal telah kumulai. Aku mulai berjalan kearah mimpi-mimpi yang telah sekian lama kupendam… merantau ke negeri orang… dengan sejuta harapan!
Tapi kini? Mana semangat itu? Harapan mulai pudar! Malu aku tiap mereka menelpon melalui pesawat telepon pemilik kost. Jawaban apa yang bisa kuberi… selain kata-kata “Masih menunggu panggilan! Tak lama lagi! Doakan agar anakmu ini diterima!” Duh!
Sampai pernah abangku menelepon agar aku pulang saja!
Pulang? Satu kata yang segera kuhapus dari benakku. Tak akan! Kalau belum mampu kuraih mimpiku!
Lebih tepatnya “malu!”. Hampir semua kerabat dan sahabat tahu kalau empat bulan yang lalu aku berangkat, hendak bertarung mengadu nasib dan janjiku akan segera membuat mereka bangga.
Setelah mengeposkan lamaran, kembali kuburu koran Sabtu dan Minggu yang bertabur lowongan pekerjaan. Menilik satu demi satu iklan baris yang mencantumkan kualifikasi yang bisa aku penuhi.
Setiap yang kurasa cocok, segera kulingkari dengan tinta merah.
Beda dengan bulan pertama dan kedua, aku masih memilah-milih lowongan yang sesuai dengan minat dan bidangku.
Memasuki bulan keempat, tiap lowongan yang mencantumkan persyaratan-persyaratan yang bisa kupenuhi, kutindaklanjuti juga walau sama sekali tak kuminati. Tapi sampai bulan kelima ini, tetap tak kunjung datang panggilan.
Padahal posisi yang kuharapkan tak muluk-muluk. Bahkan kualifikasi minimal sekolah menengah pun  aku tanggapi. Tapi sekali lagi… mereka mengutamakan pengalaman!
“Mbak, sementara menunggu panggilan, ikut aku saja. Kerja harian di pabrik,” tawaran teman sebelah kamarku pun jadi pertimbangan.
Aku memang perlu duit! Buat bertahan sebelum mendapat pekerjaan. Dompet mulai tak berpenghuni, berharap kiriman orang tua? Aku malu!
Maka, untuk tetap makan, aku ikut juga jadi buruh harian di pabrik yang letaknya tak jauh dari kostku.
Untuk menjadi tenaga harian di sebuah pabrik kecil, mereka tak meminta banyak persyaratan. Aku langsung diterima dengan upah di bawah UMR. Kupikir cukuplah buat makan sehari-hari.
Tapi, aku tercengang dengan peran yang harus kulakoni. Lebih dari dua belas jam sehari, aku harus berdiri di antara mesin-mesin pabrik, di dalam ruangan pengap bertabur debu dan cairan kimia, demi mendapatkan dua piring nasi dan sedikit cicilan buat membayar kost. Tanpa jaminan kesehatan pula.
Sakitnya anakmu, Mak! Jerit hatiku tiap berangkat kerja dan pulang membawa tubuh lelah buat beristirahat dan bersiap di hari esok.
Belum juga dapat panggilan kerja!
Minggu pertama, aku mengeluh di dalam hati sambil terbatuk-batuk, terlalu banyak menghirup udara berdebu yang mengendap di dalam jantung.
Minggu kedua, aku menangis di dalam hati, saat mendapat shift malam. Di saat orang-orang lena dan bermimpi dalam selubung malam, aku dan teman senasib tetap bekerja sambil
menahan berat mata dan kepala hingga sang surya kembali menjalankan kewajibannya menerangi bumi.
Sedihnya anakmu, Pak! Tangis hatiku pilu tiap mendapat teguran dari pengawas, demi melihat konsentrasi kerjaku yang terganggu karena keseringan batuk dan merasa pusing. Mereka bilang kinerjaku buruk!
Tetap belum ada panggilan, meski setiap minggu aku masih setia menyetor lamaran ke kantor pos.
Minggu ketiga. Aku benar-benar mengeluh, ketika tanganku cedera, tertumpah cairan kimia. Rasa terbakar dan membekas di telapak tangan. Namun pihak pabrik tak mau tahu. Aku benar-benar menangis ketika bangun di pagi hari, tubuhku meriang dan terasa lumpuh.
Minggu keempat aku mengundurkan diri dari pabrik. Setelah berpamitan dengan teman-teman senasib yang sebagian besar hanya sempat mengecap bangku sekolah dasar.
Mereka tak punya pilihan untuk mencari pekerjaan lain. Wajah-wajah lelah mereka terus mengiringi langkahku keluar dari gerbang pabrik.
Masih belum ada panggilan!
Hampir satu minggu aku terbaring di kamar kost yang sempit. Sesak nafas dan batukku mereda, namun uang hasil kerjaku habis buat makan dan membeli obat. Sengaja tak kukabari kedaan burukku pada orang tua, lebih lagi saudara Bapakku di timur Jakarta.
Tak ada panggilan yang datang!
Aku mulai putus asa!
Kurang dari seminggu, aku harus membayar kost! Kalau tak mau keluar dari kamar yang hampir dua bulan kutempati. Padahal uangku hanya cukup makan sampai minggu ini!
Aku ketakutan. Aku harus cepat mendapat kerja! Kerja apapun boleh  asal halal!
Aku nekat datang ke pusat-pusat perdagangan, menawarkan diri sebagai penjaga toko atau yang sejenisnya. Namun, hampir sepuluh tempat yang kudatangi, selalu saja yang punya toko bilang “Tak ada lowongan!” selebihnya menolak setelah melihat penampilanku. Apa yang salah?
Aku pulang. Berkaca! Yang mereka butuhkan adalah pramuniaga berpenampilan menarik. Sedangkan aku?
Tubuh kurus yang kian ceking. Wajah pucat dengan mata cekung. Selama merantau giziku buruk, makan sepiring sehari sudah sangat bersyukur, tapi tak kusangka begitu mempengaruhi penampilanku. Satu lagi, mereka selalu memperhatikan cacat di telapak tanganku.
Bagaimana, Mak? Pak? Otakku buntu buat berpikir. Terlalu lama mengganggur membuat krisis percaya diri dan merasa bodoh.
Panggilan tak datang-datang!
Malam terakhir sisa kostku, aku merenung semalaman. Apa yang harus kulakukan? Air mata telah tak ada. Habis.
Tepat tiga kali pukulan tiang listrik oleh penjaga malam, aku telah mengambil keputusan. Aku menyerah!
Pagi, kulangkahkan kaki berat menuju toko emas, berat pula kulepas cincin emasku yang tak berat. Cukuplah buat tiket kapal dan sedikit oleh-oleh.
Matahari mulai tergelincir ke dalam laut, saat kapal membawa tubuhku berlayar meninggalkan pelabuhan Tanjung Priok. Tak ada lambaian, hanya lampu-lampu kian hilang mengucap salam perpisahan. Aku pulang!
Kuacungkan dua jempol jari tanganku pada kalian yang berhasil menaklukkan Jakarta. Sayang, aku tak seberuntung kalian! Cukuplah  lewat setengah tahun kurasakan getirnya jadi perantau yang gagal. Entah nanti.


Ciledug, 08 Juli 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah