Sabtu, 30 November 2013

Kakanda Redi: Naning




 Redia Yosianto

Langit tampak gelap. Di luar, segala sesuatu yang tidak terlindung oleh atap tampak basah. Jalanan basah. Dedaunan basah. Kursi, bunga-bunga di taman sekolah juga basah tersiram sisa gerimis di penghujung Desember. Hujan memang sudah turun sejak subuh tadi. Hujan menciptakan sepi. Hujan juga menciptakan dingin yang sempurna dan khas.
Jam pertama di pagi yang sejuk ini adalah pelajaran menggambar. Ibu guru yang mengajar mata pelajaran Kesenian di kelas enam tampak sibuk membagikan kertas gambar kepada siswa. Namanya Ibu Tias. Masih muda dan sangat cekatan. Tak ada siswa yang tak kebagian kertas. Semua mendapat bagian masing-masing selembar. Khusus hari ini, kertas gambar memang diseragamkan. Biasanya, siswa menggambar dengan buku gambar masing-masing.
“Siapa yang tidak membawa krayon?” Ibu Tias bertanya ke semua siswa seusai membagikan kertas gambar. Kelas tampak hening. Tak ada yang menyahut. Itu artinya, semua siswa membawa perlengkapan gambar mereka.
“Kalian perhatikan sebentar,” Ibu Tias meletakkan sisa kertas gambar di atas meja, “hari ini tema menggambar kalian adalah ‘Kado buat Ibu’.”
Seseorang mengangkat tangan.
“Ada apa, Santi?”
“Saya tidak mengerti, Bu.”
Ibu Tias tersenyum, lalu kembali menatap seisi ruangan secara bergantian, “Hari ini tanggal berapa, anak-anak?”
“Seluruh siswa kelas enam kompak menjawab dengan sedikit berteriak, “Tanggal dua puluh dua, Buuuuuu!”
“Bagus. Nah, tanggal dua puluh dua Desember itu hari apa, anak-anak?”
“Hari Ibu, Buuuuu!” lagi, semua siswa kelas enam kompak menjawab.
Ibu guru tampak senang dengan jawaban siswa-siswanya.
“Wujudkan cinta kalian kepada ibu kalian lewat gambar. Silahkan menggambar apa saja. Nanti, lima gambar terbaik akan kita pajang di kelas. Paham?”
“Paham, Buuuuuu!”
“Nah, kalau paham, mulailah menggambar dari sekarang.”
Ibu Tias mencermati satu demi satu wajah siswanya. Ada yang terlihat begitu antusias. Ada yang berpikir sambil mengetuk-ngetukkan pensil ke kening. Ada yang memejamkan mata. Ada yang sudah mulai menggoreskan pensil ke kertas gambar. Ada juga yang sudah langsung menggunakan krayon untuk menggambar tanpa harus membuat sketsa terlebih dahulu.
Dari sekian puluh siswa yang hadir, hanya satu yang tampak tak begitu bersemangat.
Namanya Naning. Naning Pramesti lengkapnya. Entah mengapa pagi ini dia tampak tidak bersemangat. Ada mendung yang bergelayut di wajahnya. Matanya sesekali terpejam. Jika terbuka sekalipun, rasanya tak ada semangat di mata itu.
Ibu Tias mengerutkan dahi. Heran. Kelakuan Naning pagi ini sungguh ganjil. Tiba-tiba saja pagi ini dia jadi pendiam. Biasanya Naning selalu ceria. Masuk anginkah dia? Ah, mungkin iya. Bajunya sedikit basah di bagian lengan dan kerah. Mungkin tadi tak tertutup mantel saat berangkat sekolah. Di luar, gerimis masih bergemericik. Lembut dan melenakan.
Sesekali Ibu Tias berkeliling. Ditiliknya satu persatu hasil karya siswanya. Beberapa gambar tampak indah. Beberapa lagi masih berupa coretan-coretan yang mencoba menemukan bentuk. Ibu Tias tersenyum.
Sampai di meja Naning, senyum Ibu Tias memudar. Naning, siswanya yang ceria dan selalu antusias setiap diberi tugas itu kini tampak lemah. Naning selalu berusaha membuat gambar yang bagus setiap pelajaran Kesenian. Dan hasilnya selalu memuaskan. Tapi sekarang? Anak perempuan yang manis ini justru belum menggoreskan apa-apa di kertas gambarnya.
“Naning sakit? Masuk angin ya?” bisik Ibu Tias pelan, persis di dekat telinga Naning.
Anak diambang dua belas tahun itu terkejut. Air mukanya seketika berubah. Nyata sekali kalau barusan tadi Naning melamun. Ditatapnya wajah Ibu Tias yang menyunggingkan senyum. Naning ikut tersenyum. Senyum yang sungguh tampak dipaksakan. Sebentar kemudian, tatapan mata Naning berpindah ke kertas gambarnya yang masih kosong. Bersih. Putih.
“Mau Ibu ambilkan minyak kayu putih?”
Naning menggeleng, “Tidak Bu, terima kasih. Saya akan menggambar sekarang,” ucapnya pelan, nyaris tak terdengar jika saja Ibu Tias tidak mendekatkan telinganya sendiri ke bibir Naning.
Ibu Tias melirik kertas gambar Diah, teman sebangku Naning. Di kertas gambarnya, Diah membuat sketsa perempuan bermata teduh yang sedang menggendong bayi. Sudah selesai. Tinggal diwarnai saja. Mungkin lima belas menit lagi gambar itu sudah siap untuk dipresentasikan di depan kelas.
Sementara di kertas gambar Naning? Ibu Tias tertegun. Kertas gambar itu belum ada apa-apanya.
Ibu Tias menyentuh pundak Naning pelan, “Naning ingin menggambar apa?”
Naning memejamkan mata, “Entahlah, Bu. Mungkin bunga mawar. Atau mungkin…” Naning tidak melanjutkan ucapannya. Matanya masih terpejam. Keningnya tampak berkerut, tanda dia sedang berpikir keras tentang sesuatu yang akan digambarnya di sisa waktu yang ada.
“Baiklah. Mungkin Naning sedang tidak enak badan. Jangan dipaksakan jika tidak mampu belajar hari ini. Kalau Naning mau istirahat ke UKS, biar Ibu antarkan. Bagaimana?”
Naning menggeleng lemah.
“Ya sudah. Kalau ingin pulang, bilang saja sama Ibu ya,” Ibu Tias meninggalkan Naning dengan sejuta tanda tanya besar. Ada apa dengan anak itu? Naning yang selalu tersenyum, Naning yang selalu ramah, Naning yang lincah, Naning yang santun, hari ini berubah jadi Naning yang pendiam dan sulit ditebak.
Ibu Tias melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Pukul delapan lebih dua puluh menit. Diedarkannya tatapan menyapu seluruh penjuru kelas. Beberapa anak sudah tampak bersantai. Sebagian masih sibuk menyapukan pensil warna ke gambar mereka.
“Ada yang ingin mempresentasikan hasil karya di depan kelas?” Ibu Tias menawarkan kesempatan kepada siswa-siswanya. Beberapa anak angkat tangan dengan penuh semangat. Diah salah satunya.
Ibu Tias menatap ke salah satu siswa yang semangat mengacungkan telunjuknya, “Baik, Ipan dulu yang maju,”
Ipan maju dengan langkah yang digagah-gagahkan. Tangannya menggenggam kertas gambar. Senyum dibibirnya selalu tersungging.
“Saya menggambar kincir angin,” ucap Ipan dengan suara yang lantang dan penuh percaya diri. Kertas gambar di depan dadanya memang nyata menunjukkan bahwa itu adalah gambar kincir angin. Rapi sekali, “kincir angin ini terletak di Amsterdam, Belanda. Suatu saat nanti, saya akan mengajak ibu saya untuk jalan-jalan ke Negeri Kincir Angin, Belanda. Mengapa ke Belanda? Itu karena ibu saya suka sama Robin van Persie. Sekian dan terima kasih.”
Ipan kembali ke bangkunya dengan diiringi gegap gempita tepuk tangan dari teman-temannya. Selain memang mahir menggambar, Ipan memang pandai membuat cerita-cerita yang menyenangkan.
“Sangat bagus. Gambarnya bagus, cita-citanya juga bagus. Mudah-mudahan Ipan bisa mengajak ibunya jalan-jalan ke Negeri Kincir Angin, amiiiin.” Seisi kelas turut mengaminkan ucapan Ibu Tias barusan. Di bangkunya, Ipan senyum-senyum penuh rasa bangga.
“Ada lagi?”
“Saya, Bu…”
“Oh, Adi, silahkan maju,”
Adi maju dengan kertas gambar yang sedikit terlipat. Jalannya tak kalah gagah dengan Ipan tadi. Sampai di depan kelas, Adi tak langsung memperlihatkan gambarnya, melainkan senyum-senyum terlebih dahulu. Beberapa anak perempuan mendesaknya untuk segera mempresentasikan gambarnya itu.
Adi membuka kertas gambarnya. Rupanya dia menggambar sebuah guci yang sangat cantik. Guci itu dilengkapi dengan ukir-ukiran naga di beberapa bagian. Benar-benar karya yang mengagumkan.
“Guci ini akan saya berikan kepada ibu. Ibu saya sangat suka dengan guci. Guci ini saya beli dari pengrajin guci di Tiongkok. Guci ini…”
“Tiongkok itu dimana sih, Di?”
Adi tertegun. Amel sudah sembarangan memenggal presentasinya. Dan, Tiongkok? Oh, pertanyaan macam apa itu? Adi tersenyum simpul.
“Dimana? Tau tidak?” Amel masih juga mendesak.
Adi terlihat sedikit gelisah, “Ah, bukan aku tak tau dimana letak Tiongkok, tapi Tiongkoknya kan tidak penting. Yang penting guci ini adalah lambang cintaku pada ibu.”
“Halah, bilang saja tidak tau!”
“Sembarangan! Tau kok!”
“Dimana?”
“Sana, di dekat Pasar Tengah!” jawab Adi dengan yakin.
Seisi kelas tertawa terbahak-bahak. Adi garuk-garuk kepala. Dilihatnya Ibu Tias. Ibu Tias sendiri sepetinya mati-matian menahan agar tawanya tak ikut pecah. Adi menautkan alis. Bingung dengan apa yang sudah terjadi.
“Kok kalian tertawa? Ada apa memang? Apa ada yang salah? Aku memang pernah baca kok, di dekat Pasar Tengah ada toko guci yang namanya Guci Tiongkok.” Adi masih tak mau kalah.
“Ya sudah,” Ibu Tias mencoba meredam tawa anak-anak didiknya, “Lanjutkan presentasi kamu, Adi,”
Adi mengangguk, “Guci ini akan saya berikan kepada ibu saya yang sangat suka dengan guci. Di rumah ada beberapa guci dari Tiongkok. Semoga ibu saya suka dengan hadiah ini. Sekian.”
Adi kembali ke bangkunya diiringi dengan tatapan teman-temannya yang masih menahan tawa.
Begitulah. Beberapa siswa silih berganti mempresentasikan hasil karya mereka. Leo yang menggambar peralatan memasak karena ibunya memang suka masak. Siska yang menggambar mahkota. Indri yang menggambar bunga dalam vas. Jaka yang menggambar rumah impian.
Tak ada lagi yang maju setelah Jaka meskipun Ibu Tias sudah beberapa kali menawarkan kesempatan untuk maju.
“Baiklah, jika tidak ada lagi, kumpulkan gambar kalian. Nanti akan Ibu umumkan gambar siapa saja yang layak dipajang di kelas.”
Ketika sebagian siswa mulai berdiri untuk mengumpulkan hasil karya mereka, tiba-tiba saja Naning mengacungkan jari. Dia ingin maju untuk mempresentasikan gambar yang baru saja dia buat.
Ibu Tias tak mengatakan apa-apa selain hanya mengangguk pelan seraya tersenyum.
Naning maju dengan ragu-ragu. Sampai di depan kelas, dia tak langsung bicara. Ditatapnya sekali lagi gambar hasil karyanya itu. Setelahnya, baru dia tunjukkan kepada teman-teman.
Naning menggambar setangkai mawar merah yang berdaun hati berwarna merah muda. Aneh memang. Semua mata menatap gambar Naning dengan mulut terbungkam rapat.
“Selama ini saya diantar-jemput oleh ayah,” Naning mengawali presentasinya dengan suara yang pelan, “Ayah juga yang menyiapkan sarapan buat saya, mencucikan seragam saya, menyetrika baju-baju saya, menemani saya belajar, mengajari saya kalau ada pekerjaan rumah yang kurang saya pahami. Ayah adalah pengganti ibu.”
Naning terdiam sesaat. Air matanya menetes perlahan.
“Kata ayah, ibu saya bekerja di luar negeri sejak saya kecil. Saat itu saya tidak tau luar negeri itu dimana. Yang saya tau, ibu tak pernah sekalipun menemani saya tidur sampai saat ini. Bahkan wajah ibu tak pernah saya lihat secara langsung. Ayah hanya menunjukkan gambar yang katanya itu adalah ibu saya. Ibu saya sangat cantik. Senyumnya menyenangkan.”
Naning terisak. Sunyinya suasana kelas kian membuat isaknya terdengar nyaring. Tatapan matanya tertancap ke lantai kelas. Sejenak kemudian dia mengangkat wajah.
“liburan yang lalu, ayah mengajak saya pulang ke kampung halaman. Inilah pertama kalinya saya diajak liburan ke desa. Saya sangat senang. Rupanya, ayah memberi kejutan yang menyakitkan. Ayah mengajak saya berziarah ke sebuah makam. Kata nenek, itu adalah makam ibu saya.”
Ibu Tias tampak berkaca-kaca. Dipeluknya pundak Naning. Di dalam hati, Ibu Tias sungguh menyesal sudah memberi tugas menggambar dengan tema yang sngat menyakitkan buat Naning.
“Gambar ini untuk ibu. Semoga ibu bahagia di surga dan semoga ibu tambah sayang sama Naning.” Naning memejamkan mata. Diresapinya dalam-dalam kehangatan dari pelukan yang diberikan oleh Ibu Tias. Sungguh menyenangkan seandainya ibunya sendiri yang memeluknya saat ini.


Kota Baru, 29 April 2013
14.38 WIB
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah