Jumat, 29 Mei 2015

Bincang-bincang Saat Senja dan Tentang Sebuah Album Foto



Bincang-bincang Saat Senja dan Tentang Sebuah Album Foto


Entah mengapa, aku sangat senang membuka-buka album foto milik keluarga kami. Satu-satunya. Cuma satu album itu. Cuma sembilan belas foto yang sudah mulai kabur warnanya itu. Aku begitu takjub dengan gambar yang tertangkap di dalam lembar-lembar besejarah yang ada di album kumal itu. Tentang bagaimana emak duduk sembari memangku bayi yang bola matanya terbuka lebar. Tentang bagaimana bayi yang dipangku oleh emak tadi merangkak di lantai kayu yang berwarna hitam pekat. Tentang mainan kuda-kudaan yang berdiri tegak persis di sebelah bayi tadi. Tentang emak yang mencium kening si bayi yang lucu. Dan beberapa pose lagi yang kerap membuat aku senyum-senyum sendiri.
Suatu hari, saat langit megah oleh cahaya senja, aku berbincang dengan bapak dan emak di tepi ladang milik kami. Bapak sedang mencangkul tanah, membuat gundukan tinggi dan panjang. Kata emak, gundukan itu untuk menanam batang-batang ketela. Bapak hanya menyahut sekali-sekali celotehanku yang terus bertanya tentang bermacam hal.
Aku ceritakan juga kepada emak kalau aku dapat tugas dari guru bahasa Indonesia membuat karangan yang berdasarkan sebuah gambar. Gambarnya bebas. Boleh dari foto atau dari sobekan kalender yang biasanya bergambar pemandangan. Aku memilih untuk membuat cerita dari foto saja.
“Waluyo membuat karangan dari kertas kalender, Mak. Dia mau bikin cerita tentang masjid.” Kataku. Tanganku terus membolak-balik lembar-lembar album foto kumal yang aku pegang.
“Lha, terus kamu mau bikin cerita tentang apa? Di rumah kita kan ndak punya kalender yang ada gambarnya. Ada juga kalender dari toko Koh Aliong itu. Kalender yang tiap hari harus di sobek. Tiap hari ganti angka. Ndak ada gambarnya.” Sahut bapak sembari meneruskan kerjaannya.
Aku ingat kalau kalender di rumahku ya seperti itu. Cuma angka. Angkanya besar-besar. Setiap pagi bapak atau emak menyobek lembar yang angkanya adalah tanggal kemarin. Setiap ada perayaan hari besar, angka tampil agak mengecil sebab di halaman tersebut akan muncul gambar sesuai dengan hari besar yang dirayakan. Misalnya hari lebaran idul fitri. Gambar yang muncul adalah gambar ketupat dan masjid.
“Saya mau bikin cerita dari foto kita saja Mak, cerita tentang keluarga kita.” Sahutku agak bungah.
“Halah. Bagian yang mana yang mau kamu ceritakan? Lha wong keluarga kita ini ndak punya kisah apa-apa yang layak diketahui oleh orang.”
Aku tertegun. Buatku kalimat emak barusan memang ada benarnya juga. Tak ada kisah yang enak untuk diceritakan dari keluargaku. Kami hanyalah keluarga kecil yang teramat sederhana. Di rumah, jangan kata pesawat televisi, radio saja baru bisa kami dengarkan saat tetangga sebelah rumah menyalakannya saat malam dan membuka daun jendela. Jika tidak begitu, kami tidak akan pernah mendengarkan suara siaran berita dari radio atau lagu-lagu dangdut yang mengalun merdu menjelang malam.
“Tak mengapa. Saya akan membuat cerita yang bahagia. Namanya juga mengarang. Benar kan, Pak?” kataku minta persetujuan bapak.
Bapak menghentikan pekerjaannya, memandangku, lantas bapak mengangkat capingnya dan tersenyum. Senyum bapak teduh sekali. Menenangkan. Aku jadi terpikir untuk membuat cerita tentang keluarga kecil kami dan bapaklah yang jadi tokoh utama. Aku tersenyum.
Kubolak-balik lagi halaman-halaman album foto yang aku bawa ke gubuk di ladang ini. Mataku memicing. Sungguh. Aku tak menemukan gambar bapak di album kumal ini. Satupun.
“Kenapa kok bapak ndak ada di foto-foto ini, Mak?”
Emak mengusap kepalaku. Emak lalu tersenyum. Senyum emak juga teduh.
“Itulah hebatnya seorang bapak. Bapakmu rela meminjam tustel ke pamanmu. Bapak beli rol film. Bapak mengambil gambar kita. Wajah bapak ndak ada di hasil foto karena alasan sederhana: bapakmu lah yang pegang tustel. Bapakmu orang yang baik. Bahkan separuh dari rol film yang bapak beli, tidak dipakainya, melainkan bapak berikan ke pamanmu. Sebagai imbalan atas kebaikan pamanmu yang telah meminjamkan tustelnya. Kalau tidak begitu, mungkin kamu sekarang ndak akan pernah tahu bagaimana kamu waktu masih bayi.”
Aku tertegun. Aku… aku kagum, semakin kagum pada bapak.
Seketika aku ingin segera pulang. Aku ingin segera memulai menulis karanganku berdasarkan selembar foto dari album kumal yang aku pegang. Aku akan bercerita tentang bapak. Tentang mengapa bapak tidak ada di setiap foto yang ada di album kumal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah