Jumat, 29 Mei 2015

Sebentuk Hati dan Sebuah Mimpi



Sebentuk Hati dan Sebuah Mimpi   

Malam hampir selesai. Gelap perlahan-lahan mulai lenyap. Di kejauhan terdengar suara kokok ayam jantan yang menandakan bahwa pagi akan segera datang.
Pak Sabar membuka mata. Hari dengan harapan baru sudah di mulai. Semua orang siap larut dalam sebuah rutinitas kerja. Termasuk Pak Sabar.
Lelaki paruh baya ini hanya seorang pemulung. Tinggal di sebuah gubuk kecil persis di sebelah tumpukan barang-barang bekas hasil memulung beberapa hari. Barang-barang loak itu dikumpulkan terlebih dahulu, baru kemudian di jual jika sudah terkumpul banyak. Uangnya cukup untuk makan barang satu atau dua hari saja. Jika tidak bekerja, Pak Sabar dan anaknya yang masih berumur enam tahun tentu tidak akan bisa makan. Sedang istri Pak Sabar sudah tak ada lagi. Istrinya meninggal sesaat setelah melahirkan Maman, anak semata wayang mereka.
Kian hari Pak Sabar kian merasa letih. Badannya mulai sakit-sakitan. Namun, untuk berhenti memulung rasanya tidak mungkin juga. Kasihan Maman, pikir Pak Sabar. Maman masih kecil, masih belum paham akan kerasnya hidup.
Mengenang nasib Maman, Pak Sabar hanya bisa menguat-nguatkan raga. Sakit tak lagi dirasa. Tak ada lagi istilah mengeluh. Yang ada hanya kerja, kerja, dan kerja.
Pak Sabar bersiap-siap untuk hari ini. Tak lupa dia menyiapkan alat-alat kerja. Karung kosong dan tongkat pengait, itulah peralatan kerja Pak Sabar. Maman sendiri masih sibuk dengan obil-mobilan usang yang dia temukan di tempat pembuangan sampah. Mobil itu sudah jelek benar. Ban yang tersisa hanya satu, bagian depan sebelah kanan. Meski jelek, Maman senang benar dengan mainannya itu. Pak Sabar hanya bisa mengurut dada tanda trenyuh dan sedih lantaran tak mampu memberikan Maman mainan yang layak.
“Hari ini kita kerja dimana lagi, Pak?” Tanya Maman kepada bapaknya.
“Kamu di rumah saja. Hari ini kamu tidak usah ikut. Bapak mau mulung di tempat sampah yang jauh, di kampung yang paling ujung sana. Kalau kamu ikut, nanti kamu capek,” jawab sang bapak yang melihat wajah anaknya seperti tak tega.
“Aku nggak mau di rumah sendirian, aku mau ikut Bapak kerja,” jawab Maman terus memaksa.
“Kan ada mainan, jadi kamu ada teman. Main saja sama mobil itu. Nanti Bapak carikan mainan lagi. Gimana?” jawab bapak sambil tersenyum.
“Ogah. Aku ikut. Nanti mainan ini aku bawa saja,” jawab Maman lagi sambil memegang mainan mobil bututnya.
Pak Sabar mengalah. Maman memang keras kepala. Jika dia bilang ingin ikut, Pak Sabar tak pernah bisa menolaknya. Untungnya Maman adalah anak yang tidak pernah merepotkan. Selagi Pak Sabar bekerja, biasanya Maman akan mencari tempat yang teduh, menunggu sambil bermain apa saja yang bisa dia mainkan.
            Siang mulai menyengat. Ramai orang yang lalu lalang, sibuk dengan kesibukan mereka masing-masing. Ada yang sibuk teriak-teriak jualan koran. Ada yang sibuk mengangkut barang yang baru turun dari truk. Ada juga yang sibuk mondar-mandir tak jelas.
Pak Sabar sedang beristirahat. Botol bekas air mineral yang dia bawa dari rumah tadi tinggal menyisakan sedikit air lagi. Diberikannya air itu ke Maman walau sebenarnya dia juga haus bukan kepalang.
 “Pak, aku kepingin makan di situ,” ucap Maman sambil menunjuk ke sebuah restoran. Segala sesuatu yang tersaji di balik kaca restoran itu sungguh mengundang selera. Pak Sabar menelan air liurnya demi melihat beberapa ekor ayam yang sudah dipanggang lengkap dengan bumbunya yang kuning kecoklatan. Benar-benar mimpi bisa makan di situ.
“Sabar ya Man, Bapak kerja dulu. Nanti kalau Bapak sudah punya uang, kita makan di situ. Kamu yang sabar ya,” kata sang bapak penuh senyum.
Maman mengangguk senang.
            Pak Sabar mengusap kepala Maman dengan hati yang sangat perih. Di dalam hati, tak henti-hentinya Pak Sabar berdoa kepada Tuhan Maha Pemberi Hidup agar dia dan Maman segera diangkat dari kehidupan yang serba susah ini.
            Pak Sabar tak ingin larut dalam kesedihan. Dia harus bekerja lagi. Pada saat dia akan bangkit dari duduknya, tanpa sengaja mata Pak Sabar tertuju pada sebuah tas yang sebenarnya tak layak ada di onggokan sampah. Pak Sabar menghampiri tas tersebut. Tak banyak yang dia pikirkan. Barangkali jika tas itu masih bagus, tentu akan bisa dia berikan pada Maman. Hanya itu saja yang terlintas.
Namun, begitu tas tersebut sudah di depan mata, Pak Sabar mendapati tas tersebut penuh dengan sesuatu yang menggumpal. Rasa penasaran Pak Sabar tak bisa ditahan lagi. Segera saja Pak Sabar membuka tas yang sudah dia pegang tersebut.
Saat menyadari isi dari tas itu, mata Pak Sabar terbelalak bukan kepalang. Yang dia pegang saat ini adalah gepokan uang pecahan seratus ribu rupiah yang sangat banyak. Tangan Pak Sabar seketika bergegar. Degup jantungnya kian berpacu. Pak Sabar segera menutup tas itu lagi. Dengan langkah yang dibuat sebiasa mungkin, Pak Sabar kembali ke tempat dimana tadi dia duduk. Masih ada Maman di situ.
Hati Pak Sabar kian berkecamuk. Uang sebanyak itu, jangankan untuk makan di restoran, untuk mengontrak rumah yang layak dan membeli kendaraan roda dua saja tentu masih sisa banyak. Maka dengan begitu, hidup Pak Sabar dan Maman tidak akan susah lagi. Maman akan sekolah dan Pak Sabar tidak akan memulung sampah lagi. Ah, sungguh senangnya hidup enak, pikir Pak Sabar dengan penuh rasa bimbang.
Tapi, sisi baik hati Pak Sabar juga turut berbicara. Tentu sangat kasihan orang yang kehilangan uang ini. Uang sebanyak ini tentu tak mudah mengumpulkannya. Hanya dengan sekejap mata saja, uang sebanyak ini hilang entah dimana. Tentu yang punya akan seih sekali jika dia gagal menemukan tas beserta uangnya ini.
Pak Sabar hanya duduk melamun. Tas itu masih ada di pangkuannya. Saat ini sedang terjadi perang yang hebat di dalam diri Pak Sabar. Antara sebentuk hati yang jujur dan sebuah mimpi akan hidup yang enak sedang bertarung menentukan siapa yang akan menang pada akhirnya nanti.
Pak Sabar menggelengkan kepalanya dua kali. Pikirannya mengatakan bahwa dia harus mengembalikan uang itu. Harus.
Pak Sabar segera mengajak Maman pergi ke kantor polisi. Sesampainya di sana, Pak Sabar menjelaskan bahwa dia telah menemukan tas yang berisi uang yang sangat banyak. Pak Sabar bermaksud mengembalikannya.
Pihak kepolisian menjelaskan, nantinya akan disebarkan berita tentang penemuan tas dan uang ini. Jika dalam tempo enam bulan tak juga ada yang mengakui uang tersebut, maka uang sebanyak tujuh puluh juta rupiah itu bisa menjadi milik Pak Sabar sebagai pihak yang menemukannya pertama kali.
Pak Sabar hanya mengangguk saat mendengarkan penjelasan itu. Dengan hati yang lapang, Pak Sabar mengajak Maman pulang.
“Kok uangnya di kasih ke pak polisi sih, Pak? Kok Bapak tidak ngajak Maman makan di restoran? Kan tadi Bapak sudah punya uang,” tanya Maman saat mereka berjalan menuju gubuk.
“Nak, itu uang orang. Bukan milik kita. Kasihan yang kehilangan uang itu. Pasti dia sedih sekali. Maman kalau mobil ini hilang, Maman sedih nggak?”
Maman mengangguk. Mobil-mobilan butut yang hanya memiliki satu ban itu makin didekapnya.
Pak Sabar mengusap kepala Maman dengan penuh kasih sayang.
“Nak, lebih baik kita makan singkong tapi halal ketimbang makan di resoran tadi tapi uangnya tidak jelas uang siapa. Tidak akan berkah. Maman ngerti?”
Maman mengangguk lagi, “Ngerti, Pak.”
***
Enam bulan sudah berlalu. Pak Sabar yang oleh polisi diminta untuk menghadap pada hari yang telah di tentukan telahpun memenuhi panggilan polisi. Pak Sabar datang bersama Maman. Di kantor polisi, Pak Sabar dipertemukan dengan seorang ibu muda yang terus-menerus meneteskan air mata.
“Pak Sabar, ini Ibu Nidia. Beliau inilah pemilik sah dari uang yang Pak Sabar temukan beberapa bulan yang lalu. Setelah kami sebarkan berita soal penemuan uang ini, Ibu Nidia datang ke kantor polisi. Ciri-ciri tas dan jumlah uang yang disebutkan oleh Ibu Nidia sama persis dengan tas dan uang yang sudah Pak Sabar temukan. Itu artinya, Ibu Nidia ini memang benar pemilik uang yang Pak Sabar temukan.”
Pak Sabar mengangguk dengan penuh santun. Ibu Nidia sendiri segera menyalami Pak Sabar dengan penuh rasa haru.
“Entah apa yang terjadi jika uang ini yang menemukan bukan Bapak. Mungkin saya bisa gila. Uang ini adalah hasil kerja keras saya bertahun-tahun. Saya simpan di dalam tas yang sedianya akan segera sata tabungkan ke bank. Namun, entah bagaimana, tas itu tiba-tiba saja lenyap. Seisi rumah tak ada yang tau. Rupanya, anak saya yang masih kecil telah memasukkan tas itu ke keranjang sampah. Pembantu kami mengerjakan tugasnya seperti biasa, membuang sampah jika keranjang sampah sudah penuh. Tentu hilangnya tas ini bukan kesalahan pembantu saya. Sayalah yang salah. Saya teledor. Terima kasih banyak, Pak Sabar. Terima kasih banyak.”
Pak Sabar mengangguk lagi. Senyum mengembang di bibirnya.
“Sebagai ucapan terima kasih, Bu Nidia memberi hadiah buat Pak Sabar. Ini hadiahnya,” pak polisi mengangsurkan amplop berwarna cokelat kepada Pak Sabar. Pak Sabar sendiri menerima amplop itu dengan heran.
“Apa ini, Bu?”
Bu Nidia tersenyum, “Itu buat Bapak. Hadiah atas kejujuran dan ketulusan hati Bapak. Tak banyak orang yang tulus di dunia ini. Bapak adalah orang yang istimewa. Terimalah, Pak. Saya ikhlas.”
Pak Sabar membuka amplop tersebut yang rupanya berisi uang pecahan seratus ribu rupiah yang sangat banyak.
“Ini… ini buat saya???”
Bu Nidia mengangguk, “Iya, buat Bapak. Mohon diterima. Jumlahnya lima juta rupiah. Semoga cukup sebagai imbalan.”
“Nggg… aduh… ini bukan hanya cukup. Ini… ini banyak sekali. Aduh… tangan saya sampai bergegar. Tapi… tapi… benar ini buat saya???”
Pak polisi dan Bu Nidia mengangguk dan tersenyum.
Pak Sabar segera menjatuhkan diri. Sujud syukur dia lakukan atas hikmah yang terjadi hari ini. Uang lima juta rupiah, uang yang banyak dan tentu saja halal. Betapa Pak Sabar behagia bukan kepalang.
Dipeluknya Maman yang terdiam tak paham.
“Nak, kamu mau makan di restoran itu kan? Ayo, kita makan. Kali ini kita akan pesan satu ekor ayam panggang utuh. Tak lagi mimpi. Tak lagi khawatir tidak halal. Ini nyata dan ini halal, Nak. Ayo, bilang terima kasih ke Ibu Nidia dan pak polisi,”
Maman mengucapkan terima kasih dengan lugu. Yang ada di pikirannya saat ini adalah, dia dan bapaknya sebentar lagi akan makan enak. Dan ini sungguh menyenangkan.


Kandasan – Mempawah
Maret 2013
Mas Danu & Kakanda Redi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah