Rabu, 27 Mei 2015

Menjenguk Pri



Menjenguk Pri


Priyadi menggeliat. Terasa pundaknya diguncang dengan lembut sembari sebuah suara yang sudah begitu akrab ia kenal memanggil namanya lirih.
“Pri… Pri… bangun Le, ini Bapak. Bapak kangen sama Pri,”
Priyadi membuka mata perlahan sambil sesekali mengucek-ngucek matanya sendiri, “Bapak? Bapaaaak…” Priyadi segera menghambur ke pelukan bapaknya. Ada tawa yang lepas berderai. Renyah. Tawa rindu yang tertahan sekian waktu lamanya. Rindu ingin jumpa. Rindu anak kepada bapak dan sebaliknya.
“Kamu sehat, Pri?” tanya bapak sembari menciumi pipi dan kening Priyadi yang terus saja mengajaknya bergumul sebab rindu.
Priyadi mengangguk. Tawanya masih berderai.
“Bapak kemana saja? Kok lama ndak pulang?”
Bapak segera membawa Pri ke dalam dekapannya, “Lho, kan Bapak sudah bilang sama Pri, Bapak kerja. Mungkin agak lama. Dan sekarang Bapak sudah pulang to?”
“Bapak bawa mainan buat Pri?”
“Oooooohohohohohohooo… ya jelas ada. Pri mau mainan apa?”
Priyadi menggaruk kepalanya, “Mobil-mobilan yang bisa dinaiki. Bawa?”
Bapak mengacak rambut Pri dengan penuh kasih sayang, “Oh, kalau mainan itu ya belum beli. Tapi ndak apa-apa. Sekarang Pri main sapi-sapian saja dulu. Mau ndak?”
“Sapi-sapian?”
“Iya, sapi-sapian. Bapak yang jadi sapinya. Pri naik ke punggung Bapak. Mau ndak?”
Priyadi terbahak lagi, “Mau Pak, mauuuu…” Priyadi segera meloncat ke punggung bapaknya yang sudah dalam posisi merangkak. Sekejap, Pri sudah menunggangi bapaknya. Bapak mengemoh dua kali menirukan suara sapi. Priyadi senang bukan kepalang. Priyadi berpegangan di pundak bapaknya yang terus saja merangkak mengelilingi kamar. Keduanya tertawa terbahak-bahak saat bapak menumbangkan diri persis di kasur tipis yang ada di sudut kamar.
“Bapak capek?”
Bapak tersenyum. Tangannya meraih tubuh kecil Priyadi dan membawanya lagi ke dalam dekapannya, “Ndak kok. Kalau Pri mau, kita main sapi-sapian lagi. Mau?”
Priyadi menggeleng, “Ndak usah Pak. Bapak pasti capek. Pri pijitin ya, Pak.”
Ndak usah, Le. Kamu lanjut tidur saja. Pasti kamu ngantuk. Bapak juga mau istirahat. Besok kita main lagi. Setuju ndak?” tanya bapak.
“Iya Pak, mau.”
“Ya sudah. Kalau begitu, Pri sekarang tidur lagi. Sini, cium Bapak dulu,” bapak menyodorkan pipinya yang segera dicium oleh Pri. Bapak kemudian membalas mengecup kening Pri dengan penuh rasa sayang. Terakhir, bapak mendekap tubuh Pri. Tidak lama. Namun cukup memberikan kehangatan di tubuh Pri. Keduanya lantas tersenyum.
Priyadi merebahkan tubuhnya di kasur tipis yang ada di sudut kamar. Dilihatnya bapak yang berdiri di ambang pintu kamar. Bapak melambaikan tangan lalu menutup pintu. Sebelum terlelap, Priyadi melihat jam dinding. Jarum pendeknya persis di angka tiga. Priyadi menguap. Matanya berangsur-angsur menjadi berat.
***
Priyadi duduk di meja makan. Sendirian. Ibunya masih sibuk di dapur. Sesekali Priyadi menguap panjang. Pelan-pelan dia rebahkan kepalanya ke meja. Matanya terpejam. Priyadi hampir saja tertidur lagi jika tidak dikagetkan oleh suara ibunya yang muncul dari dapur dengan tiba-tiba.
            “Bagusan mandi sana. Biar seger. Selesai mandi, nasi gorengnya pasti sudah mateng. Kita sarapan sama-sama.”
Priyadi tidak membantah. Segera dia beranjak ke kamar mandi. Sepertinya hanya mandilah yang akan membuatnya segar pagi ini.
Tak berapa lama, Priyadi sudah duduk kembali di tempatnya semula. Rambutnya masih basah sebab terlalu sebentar dia usap dengan handuk. Benar kata ibunya tadi. Nasi goreng sudah terhidang di meja. Aromanya sungguh nikmat. Pri sungguh merasa lapar pagi ini.
Ibu muncul dari dapur seraya membawa dua buah gelas ukuran tanggung. Lantas dengan cekatan perempuan itu menyendokkan nasi goreng ke piring yang ada di hadapan Priyadi.
“Segini cukup apa ndak?” tanya ibu ke Priyadi yang sepertinya sangat lapar.
“Sedikit lagi, Bu,” katanya kemudian, “Nah, iya. Segitu.”
Priyadi tak banyak berkata lagi. Segera nasi goreng yang sudah disajikan oleh ibunya barusan dia santap. Nikmat sekali rasanya.
“Bu, bapak sudah berangkat kerja ya?”
Ibu tersenyum, “Iya. Sudah dari tadi. Kamu sih, terlambat bangunnya.”
Priyadi mengangguk-angguk, “Tadi bapak sarapan nasi goreng juga ya, Bu?”
Ibu menggeleng, “Ndak. Tadi pagi bapak sarapan nasi putih dengan telur dadar. Bapak paling suka dengan telur dadar. Kalau lauk telur dadar, bapak lahap makannya.” Sahut ibu dengan suara yang agak lirih.
“Bapak sibuk sekali ya, Bu. Pulangnya selalu larut. Pri kok ya ndak pernah lagi ketemu sama bapak kalau siang. Pri kepingin diajak jalan-jalan sama bapak.”
Ibu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mulutnya masih sibuk mengunyah nasi goreng.
“Iya. Nanti kalau hari libur, Pri boleh minta diajak jalan-jalan sama bapak. Tapi nanti loh ya. Bapak masih sibuk. Mungkin agak lama.”
“Berapa lama?” kejar Priyadi.
“Yaaaaaaa, Ibu sendiri ndak tahu berapa lama. Yang jelas saat ini bapak masih sibuk sekali.”
Priyadi mengunyah lagi nasi goreng dengan lahap. “Bu, minggu depan Pri jadi sekolah TK?” tanya Priyadi dengan mulut sedikit penuh.
Ibu mengangguk.
“Nanti siapa yang antar?”
“Ya Ibu. Memangnya siapa?”
“Kok bukan bapak?”
Ibu menarik napas sejenak, “Bapak kan kerja. Pri lupa ya?”
Priyadi tak hendak menjawab atau bertanya lagi. Dilahapnya sisa nasi goreng yang ada di piringnya. Pikiran kanak-kanaknya saat ini tengah membayangkan betapa menyenangkannya jalan-jalan sore dengan bapak dan ibu. Bermain di taman kecil yang ada di sudut kota. Atau melihat angsa-angsa berenang di telaga yang tak begitu jauh dari rumah. Ah, apapun itu, asal bisa jalan-jalan dengan bapak.
***
Malam. Pundak Priyadi terasa diguncang lagi. Priyadi membuka mata. Bapak tersenyum di sebelahnya.
            “Bapaaaaaaak…” Priyadi segera menghambur ke pelukan bapaknya.
“Halo jagoan kecil. Lelap sekali tidurmu, Le.” Ujar bapak seraya menciumi pipi dan kening Priyadi. “Eh, iya. Katanya Pri minta mainan mobil-mobilan yang bisa dinaiki. Jadi ndak?”
Pri menggeleng, “Ndak jadi, Pak. Pri mau main sapi-sapian saja sama Bapak. Bapak ndak capek, kan?”
“Lhoooooooo… ya jelas ndak capek kalau kamu yang minta, Le. Sip. Ayo kita main sapi-sapian lagi,” selesai berkata seperti itu, bapak segera memosisikan diri seperti orang merangkak. Pri sendiri segera meloncat menunggangi bapaknya. Keduanya lalu terlibat dalam suasana yang penuh tawa. Bapak membawa Pri berputar-putar mengelilingi kamar. Sesekali bapak mengemoh panjang menirukan suara sapi yang sedang melenguh. Pri senang bukan kepalang.
“Pak, sudah Pak. Bapak pasti capek. Turun, Pak.”
Bapak membawa Pri ke tepi kasur tipis. Lalu keduanya rebah bersamaan. Bapak menggelitiki perut Pri yang segera meronta-ronta seraya minta ampun. Pri terengah-engah. Napasnya memburu. Tawa Pri sesekali masih terdengar.
Bapak membopong Pri, membawa ke pangkuannya. Didekapnya tubuh Pri yang basah oleh peluh.
“Pak,”
“Hmmm…”
“Bapak sayang sama Pri?”
Welahdalaaaah… siapa yang bilang kalau Bapak ndak sayang sama Pri? Bapak sayang sekali sama Pri. Bapak mencintai Pri dan ibu lebih dari apa saja.”
Pri tertegun, “Kok Pri ndak pernah diajak jalan-jalan kalau siang? Bapak kerja terus. Pri kan kepingin jalan-jalan sama Bapak, sama ibu juga.”
Bapak terdiam. Tak dapat berkata-kata lagi. Perlahan dikecupnya rambut Pri yang anteng di pangkuannya. Pri tak tahu kalau diam-diam air mata bapaknya meleleh.
Pri, maafkan Bapak. Sebenarnya Bapak tidak kemana-mana, Nak. Bapak ada di sini. Menjagamu. Buat bapak, cinta adalah kamu dan ibumu. Bapak bahagia bisa menjagamu meski tidak selalu dari dekat. Nanti, jika sampai pada waktunya, kamu akan paham kenapa Bapak tidak pernah mengajakmu jalan-jalan saat siang. Nanti, Nak. Kamu akan paham.
“Eh, kamu ndak ngantuk, Pri? Tidur lagi ya, Le. Bapak juga mau istriahat. Besok malam kita main lagi. Mau?”
“Main sapi-sapian lagi, Pak?”
“Iya.”
“Wah, mau Pak, mau. Ya sudah, Pri tidur lagi ya, Pak.”
“Iya. Tapi sebelumnya…” bapak menyodorkan pipi ke Pri, “cium Bapak dulu dong,” kata bapak lagi seraya tersenyum.
Pri mengecup pipi bapaknya dengan mesra.
“Sekarang gantian, sini Bapak cium Pri,” bapak mencium pipi dan kening Pri dengan lembut. Tak lupa, dibawanya tubuh Pri ke dalam pelukannya. Dipeluknya Pri dengan erat. Kali ini agak lama.
“Nah, sekarang Pri tidur ya. Bapak juga mau tidur.”
“Iya, Pak.”
Seperti yang sudah-sudah, bapak berdiri di ambang pintu. Melambai ke arah Pri lantas menutup daun pintu dengan perlahan.
***
Priyadi terbangun oleh suara gaduh di luar kamarnya. Priyadi beranjak dari pembaringan. Begitu dia membuka kamar, orang-orang yang sebagian besar dia kenal lalu-lalang di dalam rumah. orang-orang itu adalah para tetangga yang kerap dia jumpai. Priyadi heran. Bergegas dia cari ibunya ke dapur. Ibu sedang mencuci kelapa yang akan diparut ketika Priyadi sampai ke dapur.
            “Ibu, ini ada apa? Kok ramai orang di rumah kita? Mau ada acara makan-makan lagi?”
            Ibu mendadak jadi murung. Diusapkannya telapak tangan ke kain baju bagian belakang lalu dipeluknya Priyadi yang masih bengong tak paham.
            “Kok Ibu malah nangis? Mau makan-makan kok malah nangis. Harusnya kita senang-senang dong, Bu.”
Ibu mengangguk. Sesekali isaknya terdengar. Perempuan itu bingung harus dengan cara yang bagaimana menjelaskan keadaan ini. Dia hanya tidak ingin menghancurkan perasaan Pri terlalu awal. Dia sadar, cepat atau lambat, Pri akan paham. Tapi itu tidak sekarang pastinya.
Ibu mengusap kepala Pri perlahan. Tangisnya kian pecah manakala tatapan matanya tertuju ke kalender yang tergantung di dinding, persis di sebelah pintu kamar. Sebuah tanggal dia lingkari dengan spidol warna merah. Tanggal hari ini. Ada sedikit catatan di sebelah tanggal yang dilingkari itu: 40 HARI PERGINYA BAPAK.
Pri senyap dalam dekapan ibunya. Tak paham sama sekali apa sebenarnya yang terjadi. Di dalam hati, Pri berniat akan menanyakannya nanti malam ke bapak kalau bapak sudah pulang dari kerja dan menjenguknya lagi.


Siantan
Desember 2014
Kakanda Redi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah