Jumat, 29 Mei 2015

Umbul-umbul



Umbul-umbul


            Sebuah sore yang gelap. Hujan mengguyur dusun dengan derasnya. Pepohonan berderak-derak. Kaki-kaki hujan kokoh menghantam atap. Udara begitu dingin. Sepi. Di luar, sesekali terdengar suara guntur yang menggelegar. Halilintar sesekali menyambar. Mencipta terang sekian detik di langit.
            “Mbok, ubinya sudah mateng.”
            Perempuan tua yang dipanggil ‘mbok’ barusan berusaha bangkit dari tidurnya. Selimut kumal masih membalut tubuh. Rambutnya acak-acakan. Tubuhnya sesekali gemetar, menggigil menahan dingin yang menusuk sampai ke tulang.
            “Mbok mau dibuatkan teh hangat?”
            “Memangnya kita masih punya teh?” perempuan tua itu kemudian tertegun seraya memandangi wajah cucunya yang tirus. “Kalau masih ada, bikinlah. Sedapatnya. Semoga cukup untuk kita berdua.” Ucapnya kemudian.
            Laras, bocah diambang tiga belas tahun, membungkuk persis di depan meja. Tangan kecilnya tampak sibuk mengaduk-aduk isi laci yang barusan ditariknya. Matanya lalu membesar. Senyum tersungging di bibirnya.
            “Ada?”
            Laras mengacungkan bungkus teh tubruk ke perempuan tua di hadapannya. Senyumnya masih mengembang, “Sisa sedikit. Tapi cukuplah.”
Laras beranjak dari duduknya. Api di tungku tinggal menyisakan bara. Segera Laras menjejali mulut tungku dengan beberapa potong kayu bakar kering. Ditiupnya berkali-kali bara yang tersisa. Tak lama, usahanya membuahkan hasil. Api segera berkobar memakan ujung kayu bakar yang dijejalkan. Dengan terampil Laras menjerang air.
“Mbok, kita ndak punya gula.” Laras duduk kembali di bangkunya yang tadi. Matanya sayu memandang perempuan tua yang juga duduk di tepi pembaringan. Laras mendapati bibir mbok-nya tersenyum.
“Ah, kamu Nduk, kayak baru pertama kali saja minum teh ndak pakai gula.”
Laras menarik garis bibir. Dia mencoba tersenyum dan memang dia berhasil. Tapi, justru rasa perih yang saat ini mendera di hatinya. Betapa tidak enaknya minum teh tanpa gula. Betapa pahitnya hidup yang harus dia jalani selama ini, berdua dengan mbok-nya.
Membeli gula? Oh, itu hal yang lebih mustahil lagi. Jika memang punya uang, tentu lebih bagus dibelikan beras saja ketimbang untuk beli gula.
Sejenak Laras mematung. Lantas, matanya segera mengitari setiap penjuru rumah yang dia tinggali berdua dengan mboknya ini. Ah, tidak, ini bukan rumah. Ini lebih pantas disebut pondok. Tak ada kamar di sini. Semua aktivitas terjadi di ruangan yang sama. Memasak, makan, tidur, dan berbincang. Iya, semua terjadi di ruangan yang sama. Tak ada sekat. Tak ada rahasia.
Hujan di luar tinggal menyisakan gerimis kecil. Laras hendak merebahkan diri. Namun hal itu urung dia lakukan manakala pintu pondoknya diketuk orang dari luar. Laras bangkit dengan setumpuk rasa malas.
“Mbok-mu ada, Nduk?” kata orang yang menggigil di depan pintu. Bibirnya tampak sesekali bergetar.
“Ada, Pak Latif. Mari, silakan masuk.” Laras mengekor di belakang tamunya yang bergegas masuk demi sedikit mengurangi rasa dingin yang menggigit kulit. “Minta maaf, Pak Latif, kami sudah ndak punya apa-apa lagi untuk disuguhkan. Nggggg… anu…”
“Teh kami sudah habis, Kang. Minta maaf,” sahut mbok sembari membenahi rambutnya yang berantakan.
“Ah, ndak apa-apa, Yu. Yu Darmi dan Laras ndak usah repot-repot. Wong saya juga ndak lamaa kok,” Pak Latif, Ketua RT, nyengir kuda.
Mbok membenarkan letak duduknya, “Lha ini mesti ada apa-apa ini. Kalo ndak, ya ndak mungkin to sampeyan mau repot-repot hujan-hujanan mengunjungi warga satu persatu kayak gini. Ada apa to, Kang?”
Ketua RT nyengir kuda lagi, “Nganu… ngggg… jadi begini Yu, dusun kita ini kan mau dikunjungi sama Pak Bupati. Walaaaaah, kapan lagi dusun terpelosok kayak dusun kita ini dapet kunjungan dari pembesar? Jarang-jarang to?”
“Iyaaaaaaa. Wes, intinya apa?”
“Nganu… saya mau minta tarikan Yu, sumbangan suka rela dari warga. Rencananya uang yang terkumpul mau dibelikan umbul-umbul. Biar jalan di dusun kita ini meriah. Ndak mesti lima tahun sekali to?”
Mbok tertegun, “Suka rela to ini? Bebas mau berapa saja to?”
“Ealaaaaaah, nganu… ndak bebas Yu, ada angkanya. Satu rumah mesti ngasih tarikan sepuluh ribu rupiah. Eh, gini, nganuuuu… kalo Yu Darmi ndak ada uang segitu, ndak apa-apa, tak kurangi jadi lima ribu rupiah saja. Sudah murah to ini?” ketua RT tampak salah tingkah.
Mbok mendengus kesal. Dadanya turun naik, seperti hendak marah yang meledak-ledak.
“Tif, kalo aku punya uang lima ribu, sudah sejak tadi kamu aku suguhi teh manis hangat. Ini boro-boro untuk tarikan, untuk beli beras saja kami mesti ngutang dulu ke warung. Dan, kalo Pak Bupati itu ngerti sama keadaan rakyatnya, kayak aku begini, mestinya dia ndak perlu sambutan apa-apa. Justru dia harusnya yang datang sambil bawa beras. Begitu kan malah hebat. pemimpin yang ngerti sama rakyat itu namanya.”
“Iya, Yu. Aku ngerti. Tapi ini… ini… ini maunya Pak Lurah lho, Yu. Dan…”
“Sudah. Mohon maaf. Kali ini aku ndak nyumbang dulu. Bilang saja begitu kalo Pak Lurah tanya. Darmi ndak punya uang. Beres.”
“Tapi Yu…”
“Apa lagi?”
“Nganu… ndak ada apa-apa. Ya wes, aku pamit dulu. Monggo, Yu.” Ketua RT bergegas keluar rumah. senyumnya singgah sejenak ke Laras yang berdiri mematung. Laras membalasnya dengan anggukan kecil.
Sepeninggal Pak Latif, mbok termenung. Pikirannya mulai mengira-ngira seperti apa rupa jalanan di dusunnya kelak setelah berhias umbul-umbul? Ah, tentu saja tambah meriah dan indah. Tapi, uang tarikan itu? Andai saja saat ini mbok punya uang lima ribu rupiah, sudah barang tentu dia dan Laras tak kebingungan soal teh hangat. Atau mungkin saat ini mereka berdua sudah menikmati mie instan yang lezat.
Tapi begitulah hidup. Kadang kala kepentingan individu yang krusial harus rela dikorbankan demi kepentingan umum yang justru sebenarnya sangat tidak penting. Umbul-umbul itu misalnya.
Mbok merebahkan tubuhnya kembali. Diliriknya Laras juga telah rebah seusai menutup pintu. Di luar, gerimis telah usai.


Kandasan
Februari 2015  
Mas Danu



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah