Rabu, 27 Mei 2015

Membaca Bapak



Membaca Bapak

            Surat kabar terbitan dua hari yang lalu masih aku genggam. Entah sudah berapa puluh kali aku membaca berita di halaman utamanya. Surat kabar itu sendiri sudah sangat lusuh. Nyaris terkoyak karena sering dilipat dan dibuka kembali. Setiap kali membacanya, air mataku selalu jatuh. Sadar atau tidak. Selalu saja begitu. bahkan untuk saat ini juga. Aku membaca lagi berita di halaman utamanya, di surat kabar yang lusuh ini. Dan, aku menangis lagi.
            Di luar, gerimis belum juga reda. Biasanya kalau gerimis begini, Mas Aji selalu saja membuat dua gelas cokelat hangat dan mengajakku duduk di ruang keluarga sembari menghadap ke kaca yang basah oleh tempias. Kami menikmati titik-titik air yang jatuh dari genting, berdua saja.  Menikmati sejuk yang sesekali dikirim angin lewat celah-celah ventilasi di atas jendela. Kami baru bangkit dari duduk jika cokelat panas di gelas kami sudah habis.
            Sayang sekali, gerimis kali ini Mas Aji tidak di rumah. Tak ada cokelat panas. Tidak ada acara duduk berdua di ruang keluarga. Yang ada kali ini hanyalah aku dan Tita yang sedang sibuk dengan buku abjad-nya. Tita sedang belajar membaca. Kalau sudah begini, aku jadi ingat lagi, Mas Aji lah yang paling telaten mengajari anak kami mengeja huruf demi huruf, merangkainya menjadi sebuah kata. Tita akan bertepuk tangan jika dia sudah bisa membaca sebuah kata dengan tepat dan lancar. Mas Aji selalu menyemangatinya. Sering kali Mas Aji menghadiahi Tita dengan sebungkus permen jika Tita berhasil membaca sebuah kata dengan tepat dan lancar. Tita senang sekali diperlakukan seperti itu.
            “Bapak kok belum pulang juga ya, Bu? Tita sudah kangen sama bapak. Bapak kan sudah janji mau membelikan Tita boneka.”
            Aku tersentak. Meski cuma sedikit, kupikir air mata ini mengganggu juga. Tita tak boleh melihatku menangis seperti ini. Tak boleh.
            Pertanyaan Tita barusan belum kujawab. Kupikir aku memang tak perlu menjawab pertanyaan itu sekarang. Itu karena sekarang Tita masih sibuk mengeja. Sama seperti surat kabar yang aku pegang, buku abjad milik Tita juga tak kalah lusuh.
            Waktu Mas Aji akan berangkat seminggu yang lalu, Mas Aji memang sempat berdialog dengan Tita. Perkara Mas Aji yang berjanji akan membelikan Tita boneka sepulang liputan nanti, itu memang benar adanya.
            “Ajarin Tita membaca lagi dong, Pak. Kemarin baru sampai huruf ‘r’. Setelah huruf ‘r’, huruf apalagi, Pak?”
            Aku masih ingat, waktu itu Tita mengatakan kalimat barusan di pangkuan bapaknya yang sedang sibuk membersihkan lensa kamera. Bapaknya hanya tersenyum waktu itu.
            “Bapak jangan pergi dong. Di rumah saja. Ajarin Tita membaca saja. Ya Pak ya...”
            “Bapak kan harus kerja, Sayang. Bapak harus cari duit. Kalau bapak punya duit, nanti Tita Bapak belikan buku membaca lagi. Tita suka dibelikan buku lagi?” Mas Aji meletakkan kamera yang dia pegang. Aku ingat benar, setelahnya Mas Aji mengusap-usap rambut Tita dengan lembut sambil sesekali mengerlingkan mata ke arahku.
            “Tita mau boneka saja, Pak. Buku Tita sudah banyak.”
            Mas Aji tersenyum lagi, “Boneka? Boneka apa?” dipeluknya Tita erat-erat setelahnya.
            “Boneka beruang beruang, Pak, yang besar.”
            Kulihat, pelukan Mas Aji bertambah erat, “Baiklah, untuk anak Bapak yang pintar dan cantik ini, Bapak berjanji akan membelikan Tita boneka beruang yang besaaaaaaar sekali. Bapak Janji.” Lantas, Tita tertawa terbahak-bahak karena sesekali Mas Aji menggelitiki perut Tita.
            Itu adalah kalimat terakhir sebelum Mas Aji kepada Tita sebelum dia pergi. Kamera sudah dia masukkan ke dalam tas. Dikecupnya pipi Tita kiri dan kanan. Keningku setelahnya. “Jaga Tita baik-baik. Kalau pekerjaan sudah beres, aku akan segera pulang.” Bisik Mas Aji ke telingaku. Aku mengangguk saja waktu itu.
            “Cepat pulang ya, Pak.” Tita yang berpesan, “Bonekanya jangan lupa. Yang besaaaaaar.”
            Mengenang itu semua, mau tidak mau aku menangis lagi. Air mata ini mengalir lagi. Mati-matian kutahan isak tangisku. Aku tak ingin Tita mendengar, terlebih lagi melihat aku menangis.
            “Bu, coba dengar. Tita sudah bisa mengeja nama Ibu.”
            Aku mengangguk saja. Cepat kuusap air mata ketika Tita menunduk dan mulai konsentrasi dengan buku abjad-nya.
            “En – u – NU, er – i – RI. NURI. A – em – a – ma, AMA. En – i – ni, en – a – na. NINA. NURI AMANINA.”
            Aku bertepuk tangan, keras sekali. Perasaanku sungguh membuncah penuh dengan kebahagiaan. Tita sudah bisa mengeja namaku. Tita sudah bisa membaca setiap kata yang dituliskan Mas Aji di buku abjad-nya. “Tita pintar sekali. Kalau bapak lihat, pasti bapak senang sekali.” Kulihat Tita tersenyum ceria.
            “Bu, nama bapak yang lengkap siapa sih? Tita ingin membacanya. Nanti akan Tita pamerkan kalau bapak sudah pulang.”
            Aku tertegun. Bingung bercampur iba. Entah bagaimana aku menjelaskan kepada putri kecilku ini. Berpikir seribu kali lebih keras pun aku belum juga menemukan cara yang tepat. Malah, air mataku rasanya akan jatuh lagi. Tita masih memandangiku.
            Telat. Tita sudah melihatnya. Melihat aku menangis.
            “Kok Ibu nangis sih? Kenapa?”
            Aku menggeleng lemah, “Ibu terharu melihat Tita yang memiliki semangat belajar yang keras. Kelak, Tita pasti jadi orang yang sukses.” Kataku pelan. Tentu saja aku berbohong. Bukan soal Tita yang akan menjadi orang yang sukses itu, tapi alasan mengapa aku sampai menangis.
            Tita tersenyum. Cantik sekali.
            Aku cepat-cepat mengusap air mataku. Kubuka surat kabar yang masih juga aku genggam sejak tadi. Kubentangkan di hadapan Tita. Aku tunjukkan ke Tita daftar nama yang termuat di surat kabar itu. Jariku persis menunjuk angka tujuh. “Ini nama lengkap bapak. Bacalah.”
            Tita tersenyum lagi. Kali ini lebih lebar. aku sendiri? Air mataku malah kian deras saja. Aku membayangkan jika Tita berhasil membaca nama yang aku tunjukkan itu, pasti dia ingin segera memamerkan ke bapaknya.
            “Ini huruf apa, Bu?”
            Kepalaku terjulur, “Itu huruf ‘s’. Setelah huruf ‘r’ ya huruf ‘s’.” Jelasku, dengan suara yang bergetar.
            “Es – a – sa - en – SAN, de – i – DI. SANDI. Em – u – mu, el – i – a, MULIA. A – je – i – ji, AJI. SANDI MULIA AJI.”
            Aku mendekap tubuh mungil Tita. Tangisku pecah sudah. Aku tak peduli. Aku tak kuat lagi menahan kesedihan yang aku rasakan. Tita, anakku, sudah bisa membaca nama lengkap bapaknya dengan benar. Aku bahagia. Sayang, kebahagiaan yang aku rasakan hanya sebentar. Tita tak akan pernah bisa memamerkan apa yang sudah dia lakukan barusan ke bapaknya. Tak bisa.
            Ku lirik surat kabar yang masih terbentang. Nama lengkap bapak Tita ada di urutan ketujuh dari tiga puluh delapan daftar korban kecelakaan pesawat yang jatuh dan menabrak tebing. Tak ada korban yang selamat. Tak ada. Termasuk Mas Aji, bapaknya Tita.
            “Nanti kalau bapak pulang, Tita akan bilang ke bapak bahwa ibu yang memberi tahu kalau setelah huruf ‘r’ itu ya huruf ‘s’. Nama bapak kan huruf pertamanya huruf ‘s’ ya, Bu?”
            Aku mengangguk. Masih kudekap tubuh Tita. Air mataku juga masih mengalir dengan derasnya.


Mempawah
Mei 2012
Kakanda Redi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah