Rabu, 27 Mei 2015

PHP



PHP

Dika termenung di atas bukit memandang luasnya kota. Di bawah sana berjejer gedung-gedung tinggi dan rendah, besar dan kecil, semua tersusun dengan begitu rapi. Sore itu begitu terang. Semua tampak indah sebelum terbenamnya cahaya. Tapi segalanya tampak biasa, tampak kosong di mata Dika. Sepertinya masalah yang Ia hadapi belum terselesaikan juga.
                Tadi siang, Dika bertengkar hebat dengan kekasihnya. Hanya karena masalah yang sepele saja sebenarnya. Ratna, pacar Dika, minta jemput sepulang dari kampus. Tapi Dika tak sempat menjemput lantaran sudah ada janji main futsal dengan teman-temannya. Ratna marah. Sungguh berlebihan memang. Klimaksnya, Ratna minta putus. Dan tanpa pikir panang, Dika langsung mengiyakan saja. Dika sendiri juga sudah capek sebenarnya. Ratna terlalu kekanak-kanakan, pikir Dika. Apa yang dimau Ratna, harus dipenuhi saat itu juga. Dika sungguh kesal dengan sifat Ratna yang satu itu.
***
                Semakin hari, Dika kian tampak murung di kampus. Dika sering melewatkan hari di kampus, meskipun sedang tidak ada mata kuliah. Dika kerap terlihat nongkrong di parkiran sendirian. Tak ada kawan yang duduk menemani. Hanya sebungkus rokok dan sebotol air mineral saja yang setia menemani. Dika sungguh terlihat frustasi. Putusnya dengan Ratna rupanya sedikit banyak telah mengguncang hati Dika. Tak bisa dipungkiri, Dika sesekali juga merasa menyesal. Bagaimanapun, Dika masih sayang dengan Ratna.
“Dik, udah mau malam nih. Kita pulang yuk,” kata seseorang yang tiba-tiba saja menepuk pundak Dika. Dika tersentak kaget. Ditolehnya ke belakang. Rupanya Suci, temen sekelas Dika di kampus. Suci mengajak Dika pulang.
“Eh, Suci. Kok kamu ada di sini?” sahut Dika sedikit tergeragap.
 Suci tersenyum, “Iya, tadi aku sama temen-temen ke kampus. Jalan-jalan sore aja, sambil liat senja.” Sahutnya pelan, “Boleh aku duduk di sini?”
“Oh, kamu suka senja?” Dika tersenyum. Dia menggeser tempatnya duduk, memberi ruang kepada Suci agar bisa ikut duduk.
“Ngapain coba kamu tersenyum? Apakah orang suka dengan senja itu aneh?”
“Gak kok. Bagus malah. Aku juga suka senja.” Jelas Dika seraya menghisap rokoknya, “Oh iya, temen kamu kemana. Kok ga ada?”
“Mereka udah aku suruh pulang duluan,”
“Lah, kok pulang duluan? Terus, kamu pulang sama siapa ntar?”
Suci tersenyum, “Ya sama kamu lah. Masa iya sih kamu gak mau nganterin aku pulang? Tega bener. Secara kan kita temen sekelas,”
Dika menepuk jidatnya sendiri, “Oh, iya. Aku lupa kalau aku juga lagi sendiri,” Dika terbahak, “Oke lah, jangan khawatir. Kamu akan aku antar pulang, selamat sampai depan rumah. aku janji,” Dika mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya sambil menyunggingkan senyum menggoda.
“Dika… Apa-apaan sih? Biasa aja lagi. Norak banget deh,” Suci menepuk pundak Dika yang tawanya kian nyaring.
Sepi.
Mereka berdua masih memandang senja yang kian memudar sambil membisu. Keduanya diam sejenak, tak hendak berkata apa-apa.
“Dik,”
“Hmmmm…”
“Kalo aku nanya, kamu jangan marah ya,”
Dika membakar rokok lagi, “Mau nanya apa?”
“Ngggg…” Suci terlihat ragu, “Apa bener kamu udah putus sama Ratna?”
Dika seketika menoleh pada Suci. Suci terlihat sangat gugup dan merasa bersalah.
“Aduuuuh, sori loh, Dik. Aku gak ada maksud kepo kok. Aku denger kabar gak enak ini dari temen-temennya Ratna yang kebetulan temenku juga. Kata mereka…”
“Iya, bener kok. Aku udah putus sama Ratna.” Jawab Dika yang memenggal kalimat Suci sekenanya. “Tapi aku nyesel udah mengiyakan permintaan Ratna itu. Nyesel banget, Ci.”
“Aku turut sedih, Dik. Kamu yang sabar ya. Percaya aja deh, pasti ada hikmah dibalik setiap peristiwa yang kita alami. Tungu aja.”
Dika mengangguk, “Tengkyu, Ci. Kamu baek bener. Gak banyak temen yang peduli sama aku. Pas aku lagi sedih gini, gak nyangka aja kamu hadir. Aku bener-bener terhibur, Ci.”
Sepi lagi. Masing-masing dari keduanya sedang berkutat dengan pikiran di kepala.
“Ci, udah hampir malem nih. Yok, aku anter pulang,”
“Ayok.”
“Nggggg… kalo kapan-kapan aku ngajak jalan, mau gak?”
Suci tersenyum, “Kalo aku gak sibuk, tentu aja mau. Kasih kabar aja dulu ya ntar,”
Dika mengangguk. Bibirnya tersenyum.
***
Sampai di rumah, Dika merasakan ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang sungguh menyenangkan. Kesenangan yang luar biasa lantaran Suci yang telah menghibur hatinya, Suci yang memberi semangat hidupnya. Tak kunjung selesai Ia memikirkan Suci. Senyum Suci yang menawan kerap berkelebat di kepala Dika.
Ah, gak mungkin secepat ini aku jatuh cinta lagi. Aku baru aja putus dari Ratna. Rasanya tidak manusiawi sekali jika aku langsung mencari pengganti Ratna. Aku gak mungkin jadian dengan Suci secepat ini. Selain tidak manusiawi, Suci juga adalah sahabat Ratna meski gak terlalu dekat.
Dan, apakah Suci juga memiliki pikiran yang sama? Ngggg… rasanya tidak. Tapi… tapi kok dia tiba-tiba saja menghampiriku tadi? Membahas soal putusnya aku dan Ratna pula. Apa maksudnya? Jika bukan karena sesuatu yang ganjil, tak mungkin Suci datang menghampiriku, duduk di sebelahku, minta dianterin pulang pula. Ah… Suci. Entah kenapa tiba-tiba saja aku jadi kepikiran kamu terus…
Pikiran Dika terus bergejolak. Antara terus maju dan ragu-ragu. Antara jatuh cinta yang begitu cepat dan bimbang. Tapi, bukankah rasa cinta itu tidak pernah bohong? Cinta tidak pernah salah. Cinta bisa saja datang tanpa diduga atau diundang sebelumnya. Jadi, tak ada yang salah dengan perasaan ini, pikir Dika lagi.
Malam ini, Dika tidur dengan sejuta mimpi tentang Suci.
***
Sebuah sore yang cerah. Dika dan Suci begitu asyik menikmati senja, sesuatu yang pada akhirnya membuat mereka terlihat sama. Sama-sama suka dengan senja. Dika kian kerap terlihat jalan bareng Suci. Bahkan beberapa teman mulai kasak-kusuk, bergunjing soal kedekatan Dika dan Suci ini. Malah, ada dari mereka yang mulai menyebar gosip bahwa Dika dan Suci sudah jadian.
Mulanya Suci terlihat sangat risih dengan pemberitaan ini. Tapi lama-kelamaan, keduanya tampak biasa saja. Bukankah ini sebuah kewajaran mengingat mereka adalah kawan satu angkatan? Tak ada yang aneh jika pada akhirnya mereka kerap pulang sama-sama.
Dika sendiri bukan tidak merasakan ada hal yang janggal. Meskipun terlihat kalem dan santai, pikiran dan degup jantung Dika sejatinya berkata lain. Ada yang beda setiap kali dia jalan bareng Suci. Ada kebanggaan tersendiri dan tentu saja rasa cinta yang diam-diam kian membuncah.
Kesimpulannya, Dika sudah jatuh cinta beneran dengan Suci.
Suci sendiri sepertinya enjoy-enjoy saja. Setidaknya begitu yang dirasain Dika. Suci sepertinya tidak pernah ada masalah dengan kedekatan ini. Yang seperti ini tentu saja kian membuat Dika tak sabar. Dika sudah mulai merancang-rancang perjumpaan yang pas. Dika ingin segera menyatakan cintanya pada Suci. Ini harus, pikir Dika.
Dan, hari yang di tunggu-tunggu pun tiba. Tiga bulan sudah Dika menanti waktu yang pas ini. Waktu yang indah di tepi sebuah pantai yang tenang. Senja memancar terang. Suasana kian lengang. Tapi tidak dengan degup jantung Dika.
“Suci, kamu cantik sekali hari ini. Aku kagum.”
Suci menyunggingkan senyum, “Ah, kamu bisa aja,” Suci melempar tatapan jauh ke seberang lautan. Entah apa yang dia pikirkan.
“Tapi aku serius, Ci. Selain cantik, kamu juga manis sekali hari ini. Serius ini, Ci.”
“Gombal banget sih kamu ini?” kali ini Suci tertawa.
Dika tersenyum. Meski terlihat tenang, Dika sungguh sibuk menenangkan detak jantungnya yang seperti menampilkan konser musik dengan sound yang super power.
“Di sini seru ya,” Suci mengalihkan pembicaraan.
“Iya seru, di sini tuh seru dan indah karena ada kamu,”
“Ah, kaaaaan, kamu gombal lagi,” Suci tersenyum tipis.
Dika melihat senyumnya Suci yang penuh kedamaian, keindahan, dan nuansa cantik yang  jadi satu di situ. Di senyum itu. Bibirnya yang halus menipis. Rambut sedikit panjang terurai terkena tiupan angin. Hidung mancung yang Dika lihat dari samping. Suci sangatlah wanita sempurna bagi Dika.
“Suci…” dika memanggil dengan nada pelan.
“Iya Dika. Ada apa?” Suci menoleh.
“Ada hal aneh yang aku rasakan saat ini. Ada yang janggal yang aku rasakan sekarang. Aku mulai menemukan kebahagian dan kesempurnaan hidup kalau bersamamu,” Dika menatap mata Suci.
“Ngggg… maksudnya?” Suci seolah bingung.
“Aku merasakan kenyamanan di saat berdua denganmu, merasakan lebih indah jika ada kamu, tak kan ada kekosongan lagi di hati aku. Sepertinya aku mulai mencintaimu, Suci.” Dika masih menatapnya.
Suci menatap kembali pemandangan tadi. Tatapan matanya kembali terlempar ke laut lepas. Suci diam, seakan dia kebingungan harus bilang apa.
“Gimana, Ci? Sampai kapanpun, aku akan selalu menunggu jawabanmu.
 “Aku… aku gak bisa jawab sekarang. Soalnya… soalnya…”
“Soalnya apa, Ci?” Dika meraih tangan Suci dan menggenggamnya, “Sekian lama kita jalan bareng, kupikir kamu juga suka sama aku. Kamu tak pernah menolak saat aku ajak keluar. Kita makan, kita jalan-jalan, kita menikmati senja berdua. Kamu selalu ada buatku selama berbulan-bulan. Selama itu, aku semakin jatuh cinta sama kamu. Plis Suci, jangan katakan tidak. Setidaknya, kasih aku kesempatan dulu.”
Suci terdiam. Rambutnya masih berderai disapu angin yang sesekali lewat.
“Ci, katakan sesuatu. Apapun itu,”
Suci menatap wajah Dika, “Dik, cinta memang bisa datang. Cinta memang bisa memilih. Cinta juga bisa pergi begitu saja. Tapi, satu hal yang kamu juga harus tau, cinta tak pernah bisa menunggu.”
“Maksud kamu???”
“Aku… aku udah jadian dengan Cahyo, Dik. Belum lama. Sekitar seminggu yang lalu. Jadi maaf, aku tak bisa menerimamu.”
Dika melepaskan genggamannya. Ada sesuatu yang terasa perih di dada. Sesuatu yang pecah berderai. Sesuatu yang hancur berantakan. Hanya karena waktu, cintanya lepas. Dan ini sungguh menyakitkan. Sangat menyakitkan.
“Suci, ayo kuantar pulang. Sudah hampir malam,”
Dika berjalan gontai. Di belakangnya, Suci mengekor tak bersuara.


Kandasan
Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah