Minggu, 19 Mei 2013

[cerpen] Percakapan Menjelang Malam





            Di depan, laut menghampar tenang. Permukaannya yang tertimpa sinar matahari senja tampak berkilauan. Sesekali riak-riak kecil mesra mencumbui bibir pantai yang kering. Pasir putih yang terhampar, tampak sesekali basah dan sedikit berbusa.
            Ketenangan ini memang begitu melenakan. Tak ada suara debur ombak yang pecah setelah menghantam karang. Tak ada jerit anak-anak yang biasanya berlarian dan ribut memperebutkan bola. Tak ada juga suara tangis bocah yang tidak suka bila istana pasir yang ia bangun dengan susah payah, dirusak begitu saja oleh kakak atau abangnya yang usil. Semua tampak senyap. Sesenyap camar yang melenggang tanpa suara. Sesenyap perahu-perahu yang terikat diam dalam temaram.
            Desah kecil terhembus begitu saja dari bibir Alan, lelaki yang sejak tadi tak henti mengamati kesunyian laut dihadapannya itu. Kerindangan pohon kelapa cukup membuatnya merasa nyaman dan sejuk. Sesekali kantuk datang menyergap. Tapi cepat-cepat ia usir dengan paksa. Ia tak boleh tertidur, pikirnya. Sebab kali ini ia tidak sedang berlibur bersama Lisa, putrinya yang berumur lima tahun, dan Mira, mantan istrinya.
            Mira?
            Alan selalu menarik napas dalam-dalam setiap kali nama itu muncul dikepalanya. Sudah sebulan ini ia melakukan hal itu. Perceraiannya dengan Mira begitu membuatnya terpukul. Tidak, bukan dia saja yang menderita. Lisa juga. Meski ia sendiri tak bisa menutupi dan membohongi perasaannya bahwa ia sebenarnya belum siap kehilangan istrinya secepat ini. Betapa ia ingin teriak sekuat tenaga sekarang ini. Meneriaki laut yang diam tanpa ombak, meneriaki pantai yang sepi tanpa tingkah anak-anak. Ia ingin melepaskan semua beban. Bukankah itu sesuatu yang wajar, pikirnya. Air mata bukan hanya milik perempuan saja. Bukankah laki-laki juga boleh menangis?
            Alan melirik jam dipergelangan tangan kirinya. Enam belas lebih tiga puluh delapan menit, desisnya pelan. Sejenak kemudian ia sudah berdiri tegak, menyapu sekeliling dengan tatapannya yang tajam. Puas ia mencari, tak ada tanda-tanda seseorang yang ia tunggu akan segera datang. Ia menghempaskan diri kembali ke tempat semula. Diputuskannya untuk menunggu setengah jam lagi.
            ”Mas Alan,” seseorang menyapanya pelan.
            Alan berdiri dan mencoba bersikap biasa saja. Sayang, ia gagal. Matanya sama sekali tidak tertuju kepada orang yang menyapanya barusan, melainkan lebih kepada Strada silver yang terparkir tak jauh dari tempatnya menunggu sekarang ini. Mata itu semakin jalang ketika mendapati sosok lelaki keluar dari Strada silver tadi dengan penuh ketenangan, setenang laut saat senja kali ini. Lelaki itu menghampiri mereka, ia dan mantan istrinya.
            Alan berusaha mempelajari laki-laki yang sudah berdiri dihadapannya kini. Perawakannya tegap, bagus untuk ukuran laki-laki yang masih terlihat muda. Ditaksirnya, laki-laki di depanya ini belum sampai tiga puluh lima.
            ”Mas Alan sudah lama menunggu?” Mira mencoba mencairkan ketegangan yang sempat ia baca dari wajah Alan barusan ini. Ia paham Alan belum siap untuk bertemu dengan Sonny secepat ini.
            ”Sejak pukul enam belas tadi,” sahut Alan sekenanya, sambil matanya tak lepas dari sosok yang kini ada diantara mereka, sekali lagi, ia dan mantan istrinya.
            Mira segera tanggap dengan suasana yang kurang nyaman ini. Cepat ia bertindak menyelamatkan harmoni yang hampir tercipta. ”O iya, kenalkan, dia Mas Sonny, yang begitu ingin Mas kenal,” katanya ramah kepada Alan, ”Dan dia Mas Alan, yang kemarin Mira ceritakan pada Mas,” lanjutnya lagi, kali ini matanya tertuju kepada Sonny.
            Sonny mengulurkan tangan lebih dahulu. Senyum tipisnya mengembang, ”Sonny,” sebutnya singkat.
            ”Alan,” Alan menyebut namanya, sambil sebelumnya menyambut jabat tangan yang diulurkan Sonny. ”Satu perusahaan dengan Mira?” lanjut Alan sejenak setelah mereka melepaskan jabat tangan perkenalan di senja yang cerah ini.
            ”Iya, Mas Alan. Saya dan Mira satu kantor. Saya dibagian Public Relation, sedang Mira, yah... Mas Alan juga sudah tahu lah.” jelas Sonny dengan ramah dan bersahabat.
            Alan mengulum senyum. Tak ada yang ingin ia ucapkan setelahnya. Hanya saja hati kecilnya yang menahan perih segera memberi kesimpulan yang menyakitkan, ”pantas saja...”
”Sendirian saja, Mas?” Sonny mencoba membuka wacana baru. Jujur, ia sedikit tidak enak dengan ketegangan yang belum juga mencair ini.
“Berdua dengan Lisa, putri saya yang tercinta.” jawab Alan tegas, sengaja dengan memberi sedikit penakanan saat menyebutkan kata ’tercinta’ tadi. Ia tak ingin menoleh pada Mira, sungguhpun ia tahu seketika itu juga Mira membuang tatapan ke arah lain. “Masih punya waktu untuk berbicara sebentar?” katanya lagi kepada Sonny.
“Oh, tentu saja, Mas.”
Alan memandang Mira yang belum juga berusaha mengalihkan tatapan. Ditepuknya pundak Mira perlahan, “Kami ingin bicara sedikit, bedua saja. Kamu tunggu sebentar.” Katanya pelan. “O iya, kalau kamu rindu pada Lisa, temui saja dia. Sekarang Lisa di tempat biasa, tempat kesukaannya saat belibur kesini bersamamu.”
Mira menganggap ini bukan sebagai saran, melainkan sebagai keharusan. Baguslah, pikirnya. Toh ia pun sudah sangat rindu pada Lisa, putrinya yang tercinta, batinnya lagi. Kali ini ada sedikit pedih yang menyertai langkahnya.
Sonny merasa tak nyaman dengan kalimat Alan barusan. Meski Alan mengucapkan dengan intonasi yang pelan dan terkesan sendu, tapi ada makna yang dalam menyertai kalimat itu. Sonny mulai mengerti bagaimana bahagianya keluarga yang sudah terpecah ini. Tapi itu dulu. Entah untuk saat ini.
”Sudah lama dekat dengan Mira?” Alan membuka percakapan, saat ia sudah merasa yakin sekarang ini mereka tinggal berdua saja.
Sonny mendesah pelan, ”Sejak saya sekantor dengan dia, Mas. Kira-kira setahun yang lalu.”
”Saya adalah suami kedua Mira,” Alan bercerita lagi, ”Dengan suami pertamanya, Mira tidak bisa memiliki keturunan. Bukan karena salah satu dari mereka mandul atau apa. Yang jelas, menjelang tahun kedua pernikahan mereka, Mira menggugat cerai suaminya. Suaminya bersedia mengabulkan permintaan Mira dengan satu syarat, dia ingin mengenal siapa lelaki yang berhasil menggoyahkan perahu rumah tangga mereka. Lantas saya memberanikan diri untuk masuk lebih jauh ke dalam kehidupan mereka. Saya mulai kenal dengan suaminya. Sejatinya dia orang baik. Sering kali ia menasehati saya tentang banyak hal, termasuk tentang Mira.” Alan mengusap mukanya sendiri dengan telapak tangan.
”Lantas Mira bercerai dan menikah dengan Mas Alan?” tanya Sonny dengan begitu hati-hati.
Alan mengangguk, ”Lisa adalah bukti cinta kami. Sayang, hanya enam tahun saya bisa mempertahankan bahtera rumah tangga kami. Perahu kami karam oleh sebab yang tidak jelas. Mira meminta cerai dari saya.” alun suara Alan terdengar kian lirih. Ada sedikit serak menyertai suaranya. Alan menatap Sonny yang tampak salah tingkah. “Kamu jangan menyalahkan dirimu sendiri. Bukan kamu yang menyebabkan rumah tangga kami hancur. Lagi pula, setelah resmi bercerai, hubunganku dengan Mira tidak begitu buruk. Sesekali ia masih menjenguk Lisa.”
“Saya jadi tidak enak, Mas.”
“Sudahlah, Son. Tidak usah memelihara perasaan itu. Sekarang yang perlu kamu lakukan, jaga Mira jika kamu memang mencintai dia. Sudah setahun lebih kami berpisah. Tentu sekarang ini ia sudah mulai merindukan seseorang yang bisa melindungi dia.”
Sonny mengangguk pelan beberapa kali.
Alan sendiri merasakan risau yang amat sangat, yang ia gambarkan pada wajahnya yang mendadak ragu untuk mengatakan sesuatu. Ingin sekali ia katakan saat ini juga, tapi justru hatinya sendiri yang begitu kuat melarangnya.
”Sudah sore, Mas. Kalau tidak ada apa-apa lagi, baiknya kita pulang.” Sonny mencoba memberikan ide yang baik, yang segera disetujui oleh Alan dengan dua kali anggukan.
”Kamu ambil ini,” Alan mengangsurkan selembar kartu namanya sendiri pada Sonny, ”Saya yakin kamu akan mencari saya dan akan menceritakan sesuatu. Tentu tidak dalam waktu yang dekat ini.”
Sonny menerima kartu nama Alan dengan sedikit rasa heran. Tapi sudahlah. Apa susahnya sih menyimpan selembar kartu nama, pikinya kemudian.
Langit tampak kian jingga. Keheningan semakin berkuasa. Begitu juga dengan gelap yang sedikit demi sedikit menebar pekat dan kelam. Hitamnya mulai menyelimuti laut. Di langit, tak ada lagi camar yang hilir mudik. Yang tertinggal hanya jingga yang menghampar, awan putih yang tinggal beberapa saja, dan semilir angin yang sejuk menampar.
Alan mendesah, mencoba menenangkan diri. Matanya sayu mengiringi langkah Sonny yang kian menjauh dari hadapannya, menuju Strada silver yang menunggu dengan gagahnya.
Tampak Mira disana, disebelah Strada silver itu. Ia tersenyum, melambai ke arah Alan beberapa kali. Alan membalasnya, dengan senyum pula. Senyum yang begitu terpaksa dan ada gurat kepedihan yang menyerta. Alan memejamkan mata.
***
            Lisa, sudah delapan tahun kini. Ia tumbuh sebagai gadis kecil yang lincah dan riang. Wajahnya cantik sekali. Matanya tajam. Selalu tanggap akan segala sesuatu yang tidak mengena dengan pikiran kanak-kanaknya. Tentu, kecerdasannya yang membuat ia demikian.
            Alan merapikan buku-buku Lisa menjelang ia berangkat sekolah. Sudah tiga tahun hal seperti ini ia lakukan, sendiri saja. Tak pernah ia mengeluh sebab ia merasakan pekerjaan yang seperti ini kelewat mudah.
            ”Nanti Papa gak usah jemput Lisa. Soalnya kemarin Lisa sudah buat janji dengan Mama. Hari ini Mama yang jemput Lisa.” ucap gadis kecil itu seraya memasang sepatunya.
            Alan tak menanggapi. Memang, sejak Lisa masuk sekolah dasar, masalah antar jemput bukan tanggung jawabnya sendiri. Mira menghendaki ia juga dilibatkan dalam hal ini. Alan tak keberatan akan hal itu. Toh tak ada yang merasa dirugikan.
            ”Papa tahu arti kata afiliasi?” Lisa berbicara lagi, setelah usai mengikat tali sapatunya.
            Alan mengernyitkan dahi. Seketika di dalam hatinya memuji sekolah tempat anaknya belajar. Bagaimana tidak? Untuk anak kelas tiga es-de saja sudah diberi pekerjaan rumah seberat ini, menghapalkan arti kosakata yang lebih pantas dihapalkan oleh anak setingkat SMP atau di atasnya lagi. Alan tersenyum, ”Memangnya gurumu sudah memberikan tugas seperti itu?”
            Lisa menggeleng, ”Tidak!”
            ”Lantas?”
            ”Tadi pagi Lisa nonton tivi, berita tentang SMA apa gitu, berafiliasi dengan SMA ternama lainnya. Maksudnya berafiliasi itu apa sih, Pa?”
            Alan tersenyum lagi. Ah, Lisa...cerdas sekali kamu. Andai saja kamu ini...
”Papa ditanya kok malah senyum-senyum sendiri? Jangan-jangan Papa juga tidak tahu arti kata afiliasi!”
”Afiliasi itu artinya bergabung dengan, atau lebih tepatnya menginduk. Contohnya ya seperti berita yang kamu tonton tadi. Ada SMA yang baru saja didirikan, belum berprestasi apa-apa, belum maju, berafiliasi dengan SMA yang sudah maju dan memiliki banyak prestasi. Ngerti?”
”O...” Lisa mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali.
”Oke, kita berangkat sekarang. Sebentar lagi pukul tujuh. Mudah-mudahan tidak macet seperti tempo hari.”
***
            Di depan, laut bergemuruh dengan dahsyat. Ombaknya garang menghantam karang. Memporak-porandakan barisan perahu yang tertambat pasrah tak berdaya. Menghempas tubuh bocah-bocah yang berlarian ditepi pantainya. Angin tak henti menampar apa saja yang kebetulan dilalui. Sementara di langit, tak ada sepotongpun awan putih. Warna biru begitu angkuh menguasai angkasa.
            Kali ini Alan memandang laut sendirian. Lisa lebih memilih ikut bersama mamanya berbelanja ke butik langganan.
            Bukan tanpa sebab Alan berdiri di sini, sendirian pula. Ia tengah menunggu seseorang yang dua hari lalu memintanya untuk bertemu di tempat ini. Ada hal yang penting yang ingin ia ceritakan, katanya lewat telepon.
            “Sudah lama menunggu, Mas?”
            Alan menoleh ke arah datangnya suara. Sonny sudah berdiri dibelakangnya, entah sejak kapan. “Saya juga belum lama datang.” Jawab Alan sedikit berdiplomasi.
            Keduanya terlihat akrab menceritakan kabar masing-masing, apa saja yang sudah mereka perbuat sejak pertemuan yang terakhir, keadaan keluarga, dan sedikit masalah pekerjaan. Sesekali tawa ringan menghiasi pembicaraan yang sama ringannya itu. Tak ada ketegangan di sana.
            “Saya ingin bercerita sedikit, Mas. Tentang Mira.”
Alan hanya mengangguk. Tak ada lagi senyum dibibirnya.
            “Mira meminta saya menceraikan dia, Mas.”
            Alan terbelalak. “Bukankah kalian sudah punya anak?”
            ”Mas tentu tidak tahu bahwa Indri bukan anak kandung kami. Kami mengadopsi Indri ketika pernikahan kami menginjak usia satu tahun.”
            Alan tercekat, tak tahu mesti berkata apa. Ia seperti mendapati dirinya sendiri delapan tahun yang lalu.
            ”Dulu Mas Alan pernah bilang bahwa suatu saat saya akan datang mencari Mas dan saya akan menceritakan sesuatu kepada Mas.” Sonny mengusap rambutnya sendiri, ”Rupanya ini yang Mas Alan maksud dulu. Saya baru paham sekarang.”
            Alan menghela napas panjang. Entah mengapa dulu dia begitu yakin bahwa kelak Sonny akan datang untuk menemuinya. Cepat atau lambat. Dan hal itu benar terjadi. Saat ini. Disini, di tempat yang sama saat dulu dia berkenalan dengan Sonny.
            ”Kamu menyesal menikahi Mira?”
            Sonny melempar tatapan jauh ke laut. ”Posisi kita sama, Mas. Kita adalah laki-laki yang sebenarnya tersakiti namun tak ingin mengatakannya pada siapapun. Aku sudah merasakan apa yang Mas Alan rasakan dulu, saat kita baru pertama kali bertemu disini. Aku pikir tak ada lagi yang perlu Mas Alan tanyakan padaku, bukan?”
            Alan mengangguk membenarkan. Ditolehnya Sonny kemudian. ”Aku sangat sayang pada Lisa. Aku harap begitu juga kamu pada Indri. Bukankah posisi kita sama?”
            ”Tentu Mas, tentu. Aku sangat sayang pada Indri, meski Indri bukan anak kandungku.”
            Sepi menguasai. Tak ada percakapan beberapa jenak kemudian.
            ”Sudah hampir malam. Sebaiknya kita pulang.” Alan yang lebih dulu memecah kesunyian. Sementara tak banyak yang dilakukan Sonny selain mengikuti Alan yang mulai beranjak.
            ”O iya,” Alan menghentikan langkah, ”apa kamu sudah bertemu dengan calon suami Mira?”
            Sonny tersenyum. ”Minggu depan, Mira akan membawanya menemuiku disini, di tepi pantai ini. Mungkin saat senja seperti ini juga, Mas.” lagi, Sonny menyunggingkan senyum. Ada perih menyerta di sana, di senyum itu. Alan sangat paham. Bukankah itu juga yang dirasakannya dulu?
            ”Kira-kira apa yang akan kamu lakukan?”
            ”Sama seperti apa yang Mas Alan lakukan dulu saat pertama kali kita bertemu dulu.” sahut Sonny dengan sangat yakin.
            Keduanya tersenyum, lelaki yang tersakiti itu. Alan dan Sonny.
            Entahlah. Nanti, saat senja seperti ini, mungkin akan ada lagi yang tersenyum. Perih. Senyum dari laki-laki yang sebenarnya tersakiti namun tak ingin mengatakannya pada siapapun.

31 Januari 2011
23.13 WIB










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah