Minggu, 19 Mei 2013

[16] Ayu: Nama saya Ayu, Lituhayu Handayani




            Mobil kami, maksudku mobilnya Bang Re, udah masuk di pelataran rumah pakdhe-nya. Kulirik jam di pergelangan tangan kiriku, pukul empat belas lewat dua puluh tujuh menit. Masih siang. Berarti tadi kami tidak terlalu laju. Soalnya, kata Bang Re, kalo kami laju, jam dua belas udah nyampe. Gila!!!
            Aku sempet dibuat takjub dengan sambutan yang kami dapat. Semuanya menyambut. Alam nyambut kedatangan kami dengan sejuknya, dengan semilir anginnya, dengan merdu kicau burungnya, dengan bebukitan hijaunya, dengan segala ketentramannya. Kotek ayam yang berebut makanan di pelataran itu sungguh mengajak kami untuk menikmati sajian alam yang tenang ini, yang damai ini. Suara ayam, hanya suara ayam, tak ada suara deru kendaraan yang riuh. Tak ada bising suara yang keluar dari knalpot motor.
Keluarga pakdhe-nya Bang Re nyambut kedatangan kami dengan segala keramahannya. Kulihat, gak ada yang gak senyum. Semua senyum. Pakdhe senyum. Istri pakdhe senyum. Anaknya pakdhe senyum. Dan… pemuda di sebelah anaknya pakdhe juga senyum. Olalaaaaa. Manis sekali senyum pemuda ini. Sungguh, aku kesengsem. Aku suka. Iya, aku suka, jika terlalu dini untuk bilang aku jatuh cinta. Apakah dia keponakan pakdhe? Atau dia ini anaknya pakdhe juga?
            Bang Re tampak takzim sungkem ke pakdhe. Diciumnya tangan pakdhe dan budhe. Kami hanya bisa menebar senyum sebelum sampai giliran kami untuk bersalaman. Kulihat Tetty senyum-senyum sama istri pakdhe. Leli manyun. Sebentar-sebentar memegang pelipis. Yesi senyum-senyum ngelihat Tetty senyum-senyum. Aku? Aku pengen senyum-senyum sama pemuda itu. Tapi kok dia gak lihat ke sini sih? Padahal aku udah berusaha menarik perhatiannya. Mulai dengan pura-pura menjatuhkan bungkus snack, pura-pura berdehem, pura-pura gatel dan garuk-garuk dengkul. Tapi percuma aja. Pemuda itu malah sibuk melototin Bang Re yang sungkeman sama pakdhe. Ah…
            “Mbak Ajeng apa kabar?”
            Bang Re bersalaman dengan anak pakdhe. Aku tau nama anak pakdhe juga dari Bang Re. Ah, aku hanya nunggu Bang Re nyebutin atau manggil nama pemuda itu.
            “Mas Handoyo, apa kabar?”
            Oooooo, namanya Handoyo ya? Aduuuh, kok pipiku jadi panas gini sih? Baru tau kalo jatuh cinta itu selain dari pandangan pertama kali juga ada yang dari mendengar nama saat disebutkan pertama kali. Ini, ini buktinya. Aku mesem. Mudah-mudahan gak ada yang lihat.
            “Ini teman-teman saya, Pakdhe,”
Oke, saatnya tebar pesona. Bang Re udah ngasih jalan yang sangat bagus. Teman-temannya? Oooh, bagus sekali. Dengan begitu kami akan menyebutkan nama masing-masing kayak anak SD lagi di absen.
“Saya Tetty,”
“Yesi, Pakdhe,”
“Saya Laily,”
Siiip, semua udah nyebutin nama sambil mencium tangan pakdhe dan istrinya. Malah mereka juga udah salaman sama Ajeng dan si pemuda tampan juga. Sekarang tentu saja giliran si putri salju. Pemeran utama kan selalu muncul belakangan. Biasanya sih diiringi dengan aktor utama yang tercengang karena kecantikan aktris utama yang muncul belakangan tadi. Aihhh, indahnya. Aku sering lihat yang beginian di sinetron dan film kartun.
 “Nama saya Ayu. Lengkapnya Lituhayu Handayani. Saya temennya Bang Re. Satu kHandoyor, Pakdhe,” ucapku berbasa-basi. Sangat manis dan menawan, bukan? Tapi, tapi kok Tetty dan Yesi senyum-senyum gitu sih? Apa ada yang salah?
“Kalian pasti sangat lelah. Duduklah dulu. Istirahat sejenak. Selonjorkan kaki dulu. Nanti Ajeng akan membuatkan minuman untuk kalian. Setelah itu, kalian bisa mandi dan melanjutkan istirahat.”
Tuh, pakdhe aja gak ada masalah dengan intro perkenalanku tadi. Malah beliau baik banget. Iiiiih, kok Yesi masih senyum-senyum sambil lirik-lirik aku gitu sih? Pake colek-colekan lagi sama Tetty. Lama-lama aku gampar juga itu anak.
“Nggggg, Mas Handoyo ini abangnya Ajeng ya, Pakdhe?” Aaaah, canggih sekali aku ini. Keren, kan? Pinter banget aku membuka percakapan. Biasa laaaah, mencairkan suasana yang kaku aja kok.
“Bukan. Handoyo ini anaknya Pakdhe Seno. Itu rumahnya di sebelah, yang cat rumahnya warna hijau muda. Handoyo ini dari kecil memang sudah kerasan di sini. Dari dia baru belajar jalan. Dari Ajeng belum lahir malah. Makanya itu, banyak yang bilang kalau Handoyo ini abang kandungnya Ajeng. Lha wong yang ngasuh Ajeng ini ya Handoyo. Iya to, Nak Handoyo?”
Ooooh, si tampan itu mengangguk. Sumpah, ngangguknya aja cool banget. Elegan. Ngangguk yang berkelas tuh ya seperti itu. Membenarkan tapi gak terlalu bersemangat. Bikin aku tambah klepek-klepek aja nih anak.
“Pakdhe Seno itu sahabat saya. Dulu kami sama-sama berjuang membebaskan Irian Barat. Setelah Irian Barat jadi bagian dari NKRI, kami memutuskan untuk sama-sama pensiun dari tentara. Malahan, kami juga sama-sama memutuskan untuk mencari penghidupan yang baru di luar Pulau Jawa. Kami ikut transmigrasi. Kalimantan Barat adalah pilihan kami. Akhirnya ya disini ini kami menghabiskan hari tua.” Pakdhe Warno melanjutkan ceritanya. Kisah persahabatan yang sungguh membuat aku takjub.
Ajeng keluar sambil nenteng nampan berisi enam gelas teh panas. “Monggo, sambil diminum. Jangan khawatir dengan teh panas ini. Walaupun panas, tetep enak kok diminum siang-siang gini. Dicoba saja kalau ndak percaya.”
Kami semua tersenyum. Si pemuda tampan itu juga. Huaaaaaaa… kalopun teh yang disuguhin Ajeng barusan itu pahit, aku gak keberatan kok meminumnya. Kupikir, meneguk teh pahit asal sambil ngelihat senyum Mas Handoyo, pasti akan jadi manis. Salting, aku salting sesalting-saltingnya.
“Mbak Laily kenapa to? Kok dari tadi saya perhatikan nunduk terus? Sakit ya?”
Demi Tuhan, teh dalam lamunanku tumpah dan ngalir entah kemana. Teh ini jadi benar-benar pahit rasanya. Pahit sekali. Gelasnya hancur berkeping-keping, seperti perasaanku yang remuk redam. Dari tadi aku emang nungguin Mas Handoyo ngomong. Sekali ngomong, suaranya sungguh merdu. Merduuuuuuuuuuuuu sekali. Tapi, tapi kenapa mesti Leli yang diajak ngomong? Dan, what? Mas Handoyo merhatiin Leli? Sejak tadi? Ooohhh, bahkan Mas Handoyo tau persis Leli yang nunduk terus. Sedang aku? Aku yang pura-pura jatuhin bungkus snack, aku yang pura-pura garuk-garuk dengkul, aku yang… aaaaah, apa semua itu gak kelihatan olehnya? Tuhan, adilkah ini?
“Biasa itu Mas, mabok dia. Tadi saja di jalan sudah dua kali dia muntah. Beuuuhhh.”
Itu barusan Bang Re yang komen. Aku udah gak niat untuk berbasa-basi lagi. Malah kalo bisa, aku pengen pulang aja ke Pontianak. Cintaku udah pupus, udah layu sebelum berkembang.
“Oh, mabok to? Sebentar ya Mbak Laily, saya bikinkan wedhang asem. Nanti setelah Mbak Laily minum wedhang asem buatan saya, pasti langsung seger lagi. Sebentar ya,”
Aku cuma bisa ngiringi perginya Mas Handoyo sambil manyun. Dalam hati aku cuma bisa berdoa, semoga Tuhan menciptakan penyakit mabok ketika ngobrol seperti sekarang dan semoga akulah orang pertama yang mengidap penyakit itu. Hiks… aku juga kepengen dibikinkan apa itu tadi? Wedhang asem ya? Mauuuuuuu…

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah