Minggu, 19 Mei 2013

[11] Firasat



           Pakdhe warno mematung di depan pintu. Beberapa jam lagi rombongan Re akan sampai. Semakin dekat waktunya, rasanya semakin tidak tenang saja perasaannya. Bermacam-macam ketakutan sesekali menghantui.
            Nun dikejauhan, di atas bukit yang tidak terlalu tinggi, tampak vila milik Pakdhe Warno yang berdiri dengan segala misterinya. Segalanya telah berubah. Kalau dulu vila itu sungguh gagah jika dipandang dari rumahnya ini, tapi tidak untuk sekarang. Sekarang yang ada hanyalah kesan menyeramkan. Angker. Entahlah. Mungkin karena jarang lagi ada yang mau tidur di situ.
            “Pak’e kenapa to?”
Pakdhe Warno tersentak. Sungguh kentara sekali kalau dia memang benar-benar terkejut. Terkejut yang sangat, “Kamu ini Nduk, bikin kaget Bapak saja.”
Ajeng tersenyum, “Ya habis Pak’e dari tadi melamun saja. Tak kirain Pak’e tidur sambil berdiri.”
“Bapak lagi memikirkan vila kita itu,” Pakdhe Warno menunjuk vila dikejauhan sana hanya dengan isyarat tatapan mata, “Bapak khawatir nanti Re dan teman-temannya memaksa untuk menginap di sana.”
“Khawatir kenapa to? Kok Ajeng ndak ngerti dengan maksud Pak’e.”
Pakdhe Warno diam. Perlahan dia beranjak meninggalkan ambang pintu. Direbahkannya tubuhnya ke dipan bambu yang ada di sebelah pintu, yang dia buat memang untuk sekedar leyeh-leyeh.
“Pak’e belum jawab pertanyaan Ajeng,” Ajeng duduk di sebelah bapaknya yang rebahan.
“O iya, kamu sudah menyiapkan kamar, Nduk?”
 Ajeng cemberut karena pertanyaannya malah dijawab dengan pertanyaan balik oleh bapaknya, “Sudah, Pak’e. Kamar sudah siap. Malah vila juga sudah siap. Sudah Ajeng bersihkan.”
“APA???” Pakdhe Warno bangkit dari rebahnya, “Kamu membersihkan vila, Nduk? Sama siapa? Kok Bapak ndak dikasih tau?”
“Bertiga Pak’e, sama Mas Asmawi dan Mas Handoyo. Mas Asmawi yang bersihkan rumput. Mas Handoyo yang bersihkan vila.”
“Terus, kamu sendiri bersihkan apa?”
“Ajeng ya jadi mandornya, Pak’e.” Ajeng cekikikan setelahnya.
Pakdhe Warno geleng-geleng kepala. “Padahal itulah senjata Bapak agar mereka tidak jadi menginap di vila. Bapak sengaja membiarkan vila dalam keadaan kotor. Eeeeh, kok malah kamu sama Handoyo dan Asmawi yang membersihkan.”
“Pak’e marah?”
Pakdhe Warno geleng-geleng kepala.
“Terus kenapa kok Pak’e khawatir?”
Pakdhe Warno mendengus, “Ya soal hantu perempuan itu to, Nduk. Soal apalagi?” Pakdhe Warno merebahkan tubuhnya lagi.
Ajeng tersenyum, “Pak’e terlalu mendramatisir keadaan. Hantu perempuan itu ndak ada, Pak’e. buktinya? Ajeng sama Mas Handoyo ndak ketemu sama siapa-siapa. Mas Asmawi juga. Vila dalam keadaan aman kok. Mungkin cerita itu disebarkan sama orang-orang yang iri saja Pak’e. Tapi ndak tau juga sih.”
Pakdhe Warno mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan, “Kok Asmawi mau kamu ajak membersihkan rumput di sekitar vila? Apa dia ndak kumat, Nduk?”
Lha wong yang ngajak Mas Asmawi itu Mas Handoyo kok, Pak’e. Kalau Ajeng ya ndak berani to. Takut dia kejang-kejang lagi kayak kapan hari itu. Serem banget Pak’e.”
“Terus, kerjaannya rapi?”
Ajeng mengangguk, “Iya Pak’e, rapi banget. Mas Handoyo saja sampai kagum. Kata Mas Handoyo, Mas Asmawi itu kalau lagi kerja kok sepertinya sama sekali ndak mirip orang yang kurang. Kerjanya rajiiiin bener. Bersih lagi. Yaaaaa, ndak semua tempat sih yang dia bersihkan. Rumput di belakang vila yang agak di sebelah kanan itu masih tinggi. Mungkin dia capek.”
Pakdhe Warno termenung beberapa jenak. Tingkah laku Asmawi segera menguasai pikirannya. Apa yang barusan diceritakan oleh anaknya ini memang aneh. Jangankan diajak membersihkan rumput, kadang-kadang jika ditanya soal vila saja dia bisa mengamuk dan kejang-kejang. Lha, ini?
“Ibumu kemana, Nduk?”
“Ke ladang. Tadi sih katanya mau panen cabe. Kemaren waktu Ajeng ke ladang, Ajeng lihat beberapa buah pepaya sudah mulai kuning. Mungkin sekarang sudah bisa dipetik. Jagung muda juga lagi enak-enaknya untuk direbus. Ndak tau kalau ketela pohon. Apakah sudah ada yang bisa digoreng apa belum.”
Lha, yang di belakang gubuk kan ada. Kalau ndak salah Bapak, masih ada sekitar lima atau enam batang ketela yang sudah pas untuk diolah.”
Ajeng meringis, “Eh iya, Ajeng lupa kalau di belakang gubuk ada pohon ketela. Ajeng pikir pohon ketela kita hanya yang di batas lahan itu saja.” Ajeng bangkit dari duduknya, “Ajeng mau nyusul ibu, Pak’e. siapa tau barang bawaan ibu nanti banyak. Kan Ajeng bisa bantu bawa.”
Pakdhe Warno hanya mengangguk seraya tatapan matanya turut mengiringi tubuh Ajeng yang sejenak kemudian hilang di balik rumah. Pikirannya kini kembali ke Asmawi dan vila. Entahlah. Dia yakin benar kalau Re dan teman-temannya ndak akan betah tinggal di vila itu. Apakah yang seperti ini yang sering disebut orang dengan firasat?

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah