Sabtu, 06 April 2013

[7] Kadang-kadang malam memunculkan sebuah ketakutan, bahkan sebelum dia datang sekalipun…





            Warno, laki-laki diambang lima puluh tahun, adalah seorang laki-laki yang penuh dengan senyum. Pembawaannya tenang dan kalem. Tak pernah gegabah sedikitpun dalam bertindak dan membuat sebuah keputusan. Banyak warga yang senang kepadanya. Tua muda, besar kecil, semua membahasakan diri memanggilnya dengan sebutan ‘Pakdhe Warno’. Pakdhe Warno sendiri tidak pernah keberatan dengan sebutan itu. Baginya, sebutaan ‘pakdhe’ adalah anugerah yang sangat pantas dia terima. Usianya sudah tidak muda lagi dan dia sadar betul akan hal ini. Tidak mungkin dia memaksakan warga agar memanggilnya dengan sebutan ‘mas’ misalnya.
            Budhe Lasmi, istri dari Pakdhe Warno, juga seorang yang gampang memberikan senyum. Berbincang dengannya selalu saja memberikan rasa senang dan betah. Budhe Lasmi adalah tipikal ibu rumah tangga yang ideal. Lincah di masyarakat dan terampil jika di rumah. Pendek kata, sepasang suami istri ini adalah panutan bagi masyarakat di dusun yang jauh dari keramaian kota ini.
            Tidak seperti biasanya. Menjelang malam kali ini Pakdhe Warno duduk tepekur menghadap ke langit yang penuh dengan semburat warna senja. Matanya menerawang jauh. Agak lama dia terdiam seperti ini. Kopi dalam gelas di sebelahnya belum disentuh sama sekali. Juga sepiring singkong kukus dengan lelehan gula merah yang masih menyisakan kepul-kepul uap tanda belum lama diangkat dari dandang. Masih utuh. Masih belum disentuh sama sekali.
            “Ada apa to, Pak’e? Ibu perhatikan dari tadi kok Pak’e diam terus. Ndak biasanya Pak’e seperti ini. Kalau ada masalah mbok ya cerita sama Ibu. Siapa tau Ibu bisa bantu-bantu sedikit,”
            Pakdhe Warno belum menunjukkan reaksi apa-apa meskipun dia sadar bahwa istrinya sudah sejak tadi hadir di dekatnya. Tatapannya masih terbuang jauh, menjelajah langit yang sebentar lagi akan jadi gelap.
            “Apa Pak’e sedang memikirkan kedatangan Re dan teman-temannya itu?” Budhe Lasmi mencoba menerka-nerka. Tanpa dia duga, dilihatnya suaminya itu mengangguk.
            “Benar, Bu’e,” Pakdhe Warno menghela napas panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan, “Besok mereka datang. Saya cuma khawatir mereka itu minta nginap di vila. Itu saja.”
            Budhe Lasmi tersenyum, “Kalau masalah itu Pak’e ndak usah khawatir. Vila itu kan dalam keadaan kotor. Perlu waktu untuk membersihkannya. Paling tidak tiga jam waktu yang diperlukan supaya vila itu bisa bersih dan siap untuk dipakai istirahat.”
            “Ah, Bu’e ini kayak ndak tau kelakuan si Re saja. Anak itu kalau sudah punya maksud, tetep nekat. Ndak perduli dia bakal ngepel lantai malam-malam, ya tetep bakal dia kerjakan. Lihat saja nanti kalau Bu’e ndak percaya.”
            Bu Lasmi tertunduk. Dia sadar apa yang dikatakan oleh suaminya barusan memang benar adanya. Re, keponakannya itu, memang luar biasa keras kepala. Paling susah dikasih tau. Kalau sudah maunya begini, bakalan dia kejar sampai dapet baru dia puas.
            “Ajeng sudah menyiapkan tiga kamar untuk tamu. Kita toh bisa maksa Re agar menginap saja di rumah. Kalau Re dan temen-temennya itu kepengen main-main ke vila, sebaiknya siang saja. Malamnya ya tidur di rumah. Bagaimana, Pak’e?”
            Pakdhe Warno menatap istrinya lekat-lekat, “Apa Bu’e yakin Re bakal mau?”
            “Ndak ada salahnya to, dicoba dulu?”
            Keduanya diam. Keduanya sama-sama memikirkan vila yang mereka miliki itu.
            Dulu, vila yang terletak di atas bukit itu sungguh menyenangkan. Tempatnya sangat strategis. Vila itu persis menghadap ke areal persawahan milik warga yang membentang luas. Jika musim tanam tiba, sejauh mata memandang, yang ada hanyalah hamparan hijau yang membentang. Sungguh menyegarkan mata. Namun, jika musim panen tiba, hamparan hijau menyegarkan tadi akan berubah menjadi padang dengan nuansa keemasan. Semilir angin yang berhembus dan keheningan yang tercipta akan ditingkahi oleh suara-suara riuh yang ditimbulkan dari kaleng-kaleng berisi batu kerikil, yang digantung sepanjang sawah. Kaleng-kaleng ini dikendalikan oleh seseorang yang sedang menunggui sawahnya dari serangan burung-burung pemakan bulir padi. Setiap ada sekawanan burung yang hinggap, seketika itu juga kaleng-kaleng ini riuh memecah sepi. Ah, sungguh suasana yang menentramkan hati dan pikiran.
            Di belakang vila, agak menurun sedikit, terdapat anak sungai yang airnya jernih dan berarus sedikit deras. Bebatuan yang bertaburan memudahkan warga yang singgah untuk mencuci, membasuh tubuh, atau mungkin sekedar merendam kaki saja. Anak sungai ini tak pernah sekalipun mengalami kekeringan. Selalu begitu sepanjang hari, bertahun-tahun. Gemericiknya adalah obat yang paling ampuh untuk mengobati lelahnya warga sebab bekerja seharian di sawah dan ladang masing-masing.
            Vila ini sering disewa oleh para peneliti yang datang. Kebanyakan dari mereka berasal dari kota. Biasanya mereka melakukan penelitian tentang varietas padi yang ditanam oleh warga. Ada juga yang meneliti tentang hama. Tidak jarang diantara mereka datang untuk memberikan penyuluhan kepada warga. Semua dari mereka itu lebih senang menyewa vila ketimbang menginap di rumah warga yang sebenarnya gratis. Tentu saja hal ini terjadi karena kenyamanan yang disuguhkan oleh alam tadi.
            Pakdhe Warno sendiri sampai mempekerjakan seorang remaja putus sekolah untuk membersihkan vila. Remaja itu bernama Asmawi. Pakdhe Warno mempekerjakan Asmawi karena menurutnya Asmawi adalah seorang remaja yang baik dan penuh tanggung jawab jika dilimpahi pekerjaan. Menurut Pakdhe, sangat kasihan jika anak sebaik dia harus disia-siakan oleh keadaan. Kemiskinanlah yang membuat dia harus meninggalkan bangku sekolah.
Asmawi inilah yang senantiasa membersihkan kamar-kamar yang ada di vila setiap vila tersebut hendak disewa. Vila tersebut memiliki empat kamar tidur, sebuah ruang tamu yang cukup luas, sebuah dapur yang langsung bisa digunakan sebagai ruang makan, dan dua buah kamar mandi. Setiap ada tamu yang akan menginap di vila ini, Asmawi dengan tekun membersihkan setiap sudutnya. Sebuah penghargaan tersendiri baginya jika tamu yang menyewa vila merasa nyaman dan betah sebab kebersihan vila selalu terjaga dengan baik. Asmawi pula lah yang bertugas menjadi pemandu jalan jika ada para peneliti yang ingin jalan-jalan melihat pemandangan sekitar. Biasanya para peneliti dan sebagian besar pengunjung yang menginap minta diantar ke anak sungai yang ada di belakang vila. Untuk jasa ini, Asmawi sering mendapat upah dari para pengunjung.
            Namun, sesuatu hal yang aneh telah terjadi.
Dua tahun yang lalu, Sumi, anak Mbok Warsini, salah seorang warga dusun, dikabarkan hilang di sekitar vila. Saksi mata yang melihat Sumi terakhir kali adalah Asmawi. Menurut Asmawi yang ketika itu sedang membersihkan rumput yang tumbuh liar di sekitar vila, Sumi tampak berjalan menyusuri jalan setapak menuju anak sungai di belakang vila. Sumi membawa bakul cucian yang berisi kain-kain kotor. Sepertinya Sumi akan mencuci pakaian, kata Asmawi ketika itu.
Namun sejak itu Sumi tak pernah kembali lagi. Sumi lenyap. Hilang tanpa jejak. Warga yang turut serta mencari hanya menemukan beberapa helai pakaian Sumi yang belum sempat dicuci. Kejadian aneh ini jelas saja membuat warga resah. Dusun yang mereka diami selama puluhan tahun ini tak pernah sekalipun mengalami kejadian-kejadian aneh seperti ini.
Warga yang penasaran terus saja mengejar Asmawi dengan berbagai pertanyaan. Menghadapi kenyataan bahwa dirinya adalah target dari warga yang sedang mengorek informasi, seketika membuat Asmawi seperti linglung. Lambat laun tingkahnya berubah. Setiap ditanya soal Sumi, jawaban Asmawi kadang-kadang hanya membentak-bentak, berteriak-teriak, malah sesekali menangis tersedu-sedu.
Benar, tak lama setelah hilangnya Sumi di belakang vila, Asmawi pun manjadi gila. Banyak yang menduga gilanya Asmawi ini karena kerasukan arwah Sumi yang dipercaya sudah meninggal. Namun tidak sedikit juga yang menyangkal. Perdebatan pun terjadi tanpa bisa dicegah. Hilangnya Sumi dan gilanya Asmawi hingga kini masih jadi bahan pergunjingan warga.
Rupanya kasus ini tidak berhenti hanya sampai disini saja. Konon kabarnya, beberapa pengunjung vila yang menginap sering kali diganggu dengan kejadian-kejadian aneh. Ada yang mengaku kalau dirinya dicolek-colek ketika tidur. Ada yang mengatakan tiba-tiba saja gorden jendela bergerak seperti dihembus oleh angin, padahal pengunjung tersebut yakin benar ketika itu jendela dalam keadaan tertutup rapat tanpa menyisakan celah sedikitpun. Ada juga yang mengaku mendengar rintihan yang sangat menyayat hati dan tentu saja mengerikan. Bahkan ada yang bilang kalau mereka pernah melihat penampakan seorang perempuan yang tertunduk dengan rambut terurai acak-acakan.
Hal ini tentu saja membuat popularitas vila semakin melorot. Tak pernah ada lagi pengunjung yang menyewa vila. Para peneliti yang datang kini lebih senang menginap di rumah warga ketimbang harus bertemu dengan hal-hal yang menyeramkan.
Vila yang nyaman itu kini mendapat julukan baru. Vila angker!
“Pak’e,”
Pakdhe Warno tersentak manakala pundaknya disentuh oleh istrinya. Lamunannya tentang kejadian setahun yang lewat seketika lenyap begitu saja.
“Sudah gelap. Sebaiknya kita masuk saja. Ndak baik saat-saat seperti ini kita berada di luar rumah seperti ini.”
Keduanya bangkit dari duduk. Pakdhe Warno membawa gelas kopinya, sementara Budhe Lasmi menenteng piring berisi singkong kukus.
“Besok kalau Re dan teman-temannya datang, tugas Bu’e lah, bagaimana caranya supaya mereka tidak minta menginap di vila. Saya cuma tidak ingin membuat kunjungan mereka jadi berantakan. Saya takut kalau cerita-cerita para pengunjung dulu itu benar adanya.”
Budhe lasmi mengangguk, “Akan Ibu bujuk sebisa Ibu. Pak’e tenang saja.”
Tampak Pakdhe Warno tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Di luar, malam kian menjelma. Kadang-kadang kalau malam seperti ini, ada rasa ketakutan yang muncul dengan tiba-tiba. Ketakutan luar biasa, bahkan ketika sebelum malam itu datang sekalipun, ketakutan sudah lebih dulu mengetuk pintu, sudah lebih dulu datang bertamu.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah