Sabtu, 06 April 2013

[10] Segala sesuatunya itu selalu memiliki kemungkinan untuk terjadi, meskipun beberapa diantaranya memang sangat tipis



Re termenung di belakang kemudi mobilnya. Tatapan matanya lurus menghujam ke depan. Sesekali kosong. Kedua telapak tangannya erat menggenggam setir. Sesekali terdengar dia menghela napas perlahan, lalu menghembuskannya perlahan pula.
Mobil masih terparkir dengan gagahnya di pelataran rumah Re. Keberangkatan tinggal menunggu detik saja. Begitu kontak diputar, mobil akan melesat meninggalkan Pontianak untuk beberapa waktu lamanya. Sanggau Ledo adalah tujuan yang pasti. Tapi yang terjadi adalah, mobil masih juga mematung. Diam. Tak bergerak. Tak bersuara. Sepi.
Duduk di sebelah Re adalah Tetty. Dia juga diam. Sedikit gelisah. Sesekali salah tingkah. Rasa bersalah begitu kentara disana, di wajah dan juga gelagatnya. Tatapan matanya lebih sering bermain di dasbor, namun sesekali juga terlempar ke luar.
Di belakang Tetty, Ayu menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok mobil. Kelihatan banget dia nyoba untuk rileks, namun usahanya gagal. Yang tampak justru sebuah ketegangan yang sangat. Sesekali pandangan matanya beradu dengan Tetty lewat kaca di atas dasbor. Cukup dengan saling tatap saja. Tak ada yang berinisiatif untuk membuka cerita atau sekedar menyunggingkan senyum.
Leli sendiri tampak sangat gugup. Dia tak ingin melihat siapa-siapa untuk saat ini. Tangannya begitu tegang dan sedikit berkeringat. Duduknya gelisah. Selalu berubah posisi setiap tiga menit sekali. Dan selama berubah posisi itu matanya tak juga terbuka. Sungguh mengagumkan melihatnya berganti posisi dengan memejamkan mata.
Tetty menyentuh pundak Re yang masih juga mematung. Pelan namun pasti, tatapannya kini beralih ke wajah Re yang masih juga termenung.
“Kalo diam kamu ini memang benar karena mobil, aku sungguh-sungguh minta maaf,” ucap Tetty dengan intonasi yang penuh penyesalan, “Bukan mauku jika pada akhirnya semua ini harus terjadi. Aku mengira kalo mobil itu memang milikku. Rupanya aku salah. Mobil itu memang diperuntukkan buatku. Tapi toh tetap saja belinya pake duit mama. So, jelas aja kalo mama masih punya kuasa atas mobil itu. Dan begitulah nasib si anak bungsu, selalu saja dimenangkan tanpa harus mempertimbangkan siapa yang lebih punya kepentingan.”
Re mengangguk-anggukan kepalanya. Tatapan matanya masih belum beranjak dari fokus semula. Rasanya dia sudah cukup maklum dengan kejadian semacam ini. Bukan sekali dua Elsa menggagalkan kesempatan Tetty untuk membawa mobil. Dan tentu saja untuk urusan yang satu ini, Re benar-benar gak bisa ikut campur apalagi memaksa.
“Kumohon, maafin aku.”
Untuk pertama kalinya di pagi ini Re menyunggingkan senyum, “Aku gak mempermasalahkan mobil kok.” kata Re akhirnya, “Malah lebih bagus kalo kita berangkat pake mobilku saja. Mobil Kakak gak akan cukup untuk menampung barang bawaanku yang udah kayak bantuan kemanusiaan untuk korban perang di Gaza ini.”
Tetty menarik napas lega, “Trus, barusan manyun ngapain dong?”
“Tau nih,” sahut Leli dari belakang, masih dengan terpejam, “Plis lah, kita ini cuma mau ke Sanggau Ledo aja kok, mau liburan. Gak lebih. Kok merenungnya khusyu banget, udah kayak mau dikirim ke medan perang aja.”
Re menautkan alis. Sontak matanya melirik Leli yang terkapar di jok belakang lewat kaca di atas dasbor. Aje gile!!! Sambil merem aja bisa sesadis itu kalo ngomong. Apalagi kalo melek coba? Terus… terus kok dia bisa tau aku barusan khusyu banget? Dia kan lagi merem. Wah… Re hanya bisa membatin.
“Ngaku deh, Abang pasti lagi mikirin Yesi, kan?”
Re tersentak pelan. Apa yang disampein sama Ayu barusan memang benar adanya. Mau tidak mau dia harus mengangguk membenarkan.
“Kalo gitu, sama dong.”
“Kasian dia,” kata Re perlahan, “harusnya dia di sini bareng kita.”
“Iya, Bang. Dari tadi aku juga mikirnya gitu. Kasian dia. Kurang lebih sekitar enam jam lagi kita akan senang-senang di Sanggau Ledo. Sementara dia pasti lagi manyun sekarang.”
“Lagian mamanya sih ada-ada aja. Yang punya tamu kan beliau. Ngapain juga pake nyeret-nyeret Yesi segala?” tambah Leli, masih juga dengan memejamkan mata.
Re mendesah, “Kalian ingat gak kejadian tiga tahun yang lalu? Waktu itu kita dapet libur tanggal merah dua hari dan kita memutuskan untuk pergi ke Singkawang, ke Taman Pasir Panjang Indah. Karena suatu hal waktu itu aku gak bisa ikut. Kalian udah mati-matian membujukku. Aku ingat benar waktu itu. Akhirnya Yesi mengambil keputusan agar kalian gak pergi aja semuanya. Atas nama solidaritas, kesetiakawanan, kebersamaan, atau apalah namanya. Yang jelas, waktu itu aku ngerasa kalo kalian adalah bener-bener sahabat sejati yang pernah aku punya. Aku terharu. Kalian bener-bener gak berangkat padahal aku udah merelakan andai aja waktu itu kalian beneran pergi.”
Tetty diam. Ayu dan Leli juga. Ketiganya dipaksa untuk kembali ke suatu dimensi waktu, dimana ketika itu mereka memang akhirnya gak jadi berangkat ke Singkawang dan memilih liburan ke A Yani Mega Mal aja meskipun memang membosankan. Tapi atas nama kebersamaan, yang membosankan itu terasa lebih indah ketimbang yang menyenangkan tapi harus ada yang ditinggalkan.
“Setelah kupikir-pikir, hari ini kita udah jahat banget sama Yesi,” Re berucap lagi, kali ini sambil tertunduk, “Bukan kita sih, tapi aku. Kemaren Ayu udah ngasih usul yang bagus banget sebenernya. Sebaiknya kita batalin aja rencana liburan kali ini. Demi Yesi. Demi sebuah kebersamaan. Tapi, tapi…”
“Udahlah, gak usah terlalu dipikirkan.” Tetty memenggal kalimat Re sekenanya, “Kita juga ngerasain hal yang sama. Kita juga mikir, andai aja liburan kali ini gak melibatkan orang lain seperti pakdhe sekeluarga yang di Sanggau Ledo, udah pasti kita lebih milih gak berangkat. Tapi pakdhe sekeluarga di Sanggau Ledo pasti udah bikin persiapan buat nyambut kita. Misal kita bilang kalo kita batal datang di saat persiapan itu udah kelar, pasti mereka kecewa.”
Ayu hanya menganggukkan kepala demi membenarkan apa yang barusan dikatakan Tetty.
“Iya, bener. Aku setuju.” Leli menyahut lagi, “Kita udah kenal Yesi dangan sangat baik. Yesi pasti sangat kecewa, tapi toh nanti bisa kita bujuk. Nah, kalo yang kecewa pakdhe-nya Re kan susah. Boro-boro membujuk, kenal aja belum.”
Akhirnya tak ada lagi yang bersuara. Masing-masing berkutat dengan pikirannya.
Ayu meraih kantong plastik berisi snack yang dia simpan di dekat kaki. Dibukanya sebungkus Potato rasa sapi panggang. Diambilnya beberapa potong lalu dikunyahnya pelan-pelan.
Leli kembali mengubah posisi duduknya. Matanya masih juga terpejam. Entah ada apa dengan dia hari ini. Tingkahnya begitu aneh.
Tetty meremas jemarinya sendiri. Sesekali dia menoleh kebelakang. Tanpa basa-basi dicomotnya beberapa potong kentang berperisa sapi panggang dari tangan Ayu dan dikunyahnya. Pikirannya sedikit tenang kali ini. Entah itu karena potongan kentang yang barusan dia kunyah atau memang sudah waktunya.
Re memejamkan mata. Tangannya menggenggam erat setir. Perlahan, tangan kanannya terulur. Disentuhnya kontak yang sudah menempel. Hampir diputarnya benda itu, namun urung. Satu persatu ditatapnya sahabat-sahabat yang kini ada di dalam mobilnya ini. Tetty, Ayu, Leli juga. Dia sudah membulatkan tekad. Pikirannya sudah mantap.
“Baiklah, kita berdoa dulu. Sebentar lagi kita berangkat.”
Ayu meletakkan snack yang dia pegang lalu mengambil posisi untuk berdoa. Matanya terpejam khusyu. Bibirnya sedikit komat-kamit. Hal yang sama juga dilakukan oleh Tetty, Leli, dan Re sendiri. Sejenak kemudian ritual yang selalu mereka lakukan sebelum pergi jauh pun selesai.
Re memutar kontak. Strada Silver Metalik bergetar dengan lembut. Pelan-pelan mobil mulai keluar dari pelataran rumah dan menapak dengan mantap pada jalan beraspal halus. Sesaat ketika Strada yang gagah itu akan tinggal landas, mendadak sebuah sedan memotong jalan dan melintang persis di depan mobil yang dikemudikan Re.
Menyadari bahwa sedan itu gak juga beranjak minggir, Re yang pada dasarnya memang emosian langsung memencet klakson berkali-kali.
“Ini orang maunya apa sih?” Re sudah akan keluar dari mobil ketika sebelah tangan Tetty berhasil menangkap pergelangan tangannya.
“Tenang Re, gak usah pake emosi gitu lah.”
Re memencet klakson lagi. Kali ini cukup ampuh. Pintu sedan terbuka dan seseorang keluar dari sana. Seorang perempuan yang memakai topi pantai dan kaca mata hitam berjalan menghampiri mobil Re yang masih tak beranjak dari tempat semula.
Perempuan itu membuka topi pantai dan kaca mata hitam yang dia kenakan, “Masih ada tempat duduk gak buat aku?”
“YESIIIIIIIIIIIIIIIIIII???????”
Gak ada yang gak teriak. Re teriak. Tetty teriak. Ayu teriak. Leli membuka matanya, lalu teriak, “KRITIIIINGGGGGG???”
Mereka yang masih di dalam mobil mematung sekian detik. Menganga. Mengucek mata. Mencubit lengan sendiri. Menampar pipi temen terdekat. Seakan tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Sekian detik berikutnya, mereka berempat saling belomba untuk turun dari mobil.
“YESIIIII, ini bener kamu?” Tetty yang paling dulu nyampe di hadapan Yesi langsung memeluknya. Ayu dan Leli segera menyusul.
“Iya lah, ini aku. Emang kalian pikir ada orang yang mirip banget sama aku di Pontianak ini?”
Re merasa takjub dengan kejadian ini. “Kok kamu bisa sih lolos dari lubang jarum di saat yang genting seperti ini?” ah, tentu saja takjub. Bayangin aja. Mobil udah di jalan, mesin udah idup, tinggal injak pedal gas aja maka mobil akan melesat dengan kencangnya. Telat lima menit aja maka ketidakikutsertaan Yesi akan benar-benar menjadi kenyataan.
Yesi meringis, “Kalian juga udah pada tau kan kalo segala sesuatunya tuh selalu memiliki kemungkinan untuk terjadi, meskipun beberapa diantaranya emang sangat tipis dan nyaris gak mungkin. Dalam hal ini, aku ada di posisi yang nyaris gak mungkin itu. Tapi bukan berarti gak bisa, kan?” jawabnya diplomatis.
Mereka semua tertawa lepas. Benar-benar lepas. Tanpa beban. Tanpa kesedihan.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah