Selasa, 27 Agustus 2013

Air Mata Menjelang Imsak



Redia Yosianto

            Ramadhan hari kedua puluh satu, tahun 2005. Seperti biasa. Sahur kujalani sendirian di kamar kost yang sepi dan gelap. Aku benar-benar sendirian. Beberapa sahabat yang tinggal satu kost denganku sudah pada mudik ke kampung halaman masing-masing. Aku sendiri berencana untuk mudik sekitar sehari atau dua hari lagi.
Aku tidak sadar sejak kapan kamarku gelap begini. Aku ingat ketika aku merebahkan diri, lampu masih menyala. Sekarang, ketika aku bangun untuk makan sahur, kamar sudah gelap. Kuintip keadaan di luar lewat celah jendela kamarku. Ternyata gelap juga. Mati lampu total. Mungkin sedang ada pemadaman listrik bergilir.
Aku berusaha menemukan sesuatu di sebelah bantalku. Yang pertama kali kupegang adalah Hp, karena memang benda mungil inilah yang membangunkanku barusan. Dengan cahaya redupnya, kucoba mencari lilin. Aku ingat aku masih menyimpan sebatang lilin di pojokan dekat lemari pakaian. Lumayanlah. Meski tidak terang, dapat juga aku makan sahur tanpa harus meraba-raba.
Rice cooker kubuka. Betapa kagetnya aku ketika aku mencium bau yang tidak sedap dari dalam rice cooker di hadapanku ini. Aku mulai curiga dan sedikit harap-harap cemas. Curiga jangan-jangan nasi bungkus untuk sahur hari ini basi. Harap-harap cemas semoga hal itu tidak sampai terjadi.
Aku keluarkan bungkusan nasi dari dalam rice cooker. Dingin. Sama sekali tidak ada hangat-hangatnya. Berarti lampu padam sudah cukup lama. Seketika kecurigaanku perlahan-lahan mendekati kenyataan ketika sedikit demi sedikit bungkusan nasi kubuka. Dan, benar saja. Nasi berikut sepotong tempe dan sebutir telur mata sapi yang sudah tersiram kuah ini basi. Aku memang terbiasa seperti ini. Bukan terbiasa makan nasi basi maksudku, tapi terbiasa membeli nasi bungkus lengkap dengan sayur dan lauknya sekalian. Sejauh ini aman-aman saja. Nasi untuk sahur tidak pernah basi selama listrik tidak mati. Tapi sahur kali ini sungguh membuatku sedih. Benar-benar sedih. Sudah tidak ada apa-apa lagi yang bisa dimakan. Mie instan sudah habis dua hari yang lalu. Minuman sereal saset, ada, tinggal sebungkus. Tapi tentu saja percuma. Aku tidak bisa memasak air panas. Ceret pemanas air milikku tentu saja tidak akan berguna jika listrik mati seperti sekarang ini. Memakan sereal itu mentah-mentah? Kupikir akulah orang aneh yang melakukannya pertama kali andai itu benar aku lakukan. Atau, beli makanan lagi saja? Nasi bungkus dengan lauk telur mata sapi dan sepotong tempe tidaklah terlalu mahal. Tapi tidak untuk kali ini. Aku ingat uangku tinggal lima puluh ribu. Sangat pas-pasan untuk ongkos bis kalau aku mudik nanti. Dan kalaupun aku nekat beli makan sekarang, tentu saja waktunya tidak akan cukup lagi. Aku tidak punya motor. Berjalan kaki menuju kedai makan terdekat sekalipun sudah barang tentu akan menghabiskan banyak waktu.
Kulirik jam yang tertera di layar Hp. Pukul tiga lebih empat puluh enam menit. Sebentar lagi imsak. Akhirnya kuputuskan untuk memakan apa yang ada saja. Nasi bungkus dihadapanku aku kais-kais, kucari bongkahan nasi yang belum tersiram kuah. Lumayan. Ada beberapa bongkah nasi yang masih bisa aku makan. Sungguh, rasanya sangat aneh. Kupaksakan juga agar nasi yang aku kunyah itu tertelan dan segera masuk ke perutku. Entah sejak kapan air mataku menetes. Yang aku tahu, tiba-tiba pipiku terasa hangat. Ada yang mengalir di sana. Aku bukanlah laki-laki yang cengeng. Aku tidak pernah menangis. Tapi entah mengapa, kali ini rasanya lain sekali.
Sepi ini terkoyak oleh Hp di sebelahku yang tiba-tiba berbunyi. Kulihat di layar, Ibuku memanggil. Aku menarik napas. Aku tidak ingin terdengar sedang atau baru saja menangis.
“Halo, Mak, Assalamualaikum,” ucapku senatural mungkin.
“Waalaikum salam. Sudah sahur, Mas?”
Ibuku memang biasa memanggilku ‘Mas’ karena aku adalah anak tertua, “Iya, baru saja, Mak. Di rumah lauknya apa?”
“Sayur nangka sama tahu goreng. Mas tadi sahur lauk apa?”
Seketika kerongkonganku tercekat. Tuhan, kuatkan hamba. “Lauk tempe sama telur.” Aku tidak bohong, kan? Memang itulah laukku meski tidak aku makan.
“Wah, enak itu, Mas. Hemat-hemat loh ya.”
Aku cuma bisa mengangguk. Tentu saja ibuku tidak bisa melihat anggukanku barusan. Sedapat mungkin aku tidak memperdengarkan suara yang mencurigakan. Susah sekali rasanya berbicara sambil menahan isak tangis. Begini rasanya jika jauh dari orang tua. Hal-hal yang tidak terduga seperti yang aku alami ini sungguh tidak enak. Tapi aku sadar. Allah sedang berbicara denganku. Allah sedang mengujiku. Aku sadar akan hal itu.

Pontianak, 2012
Mengenang Ramadhan tujuh tahun yang lalu.

#dimuat dalam buku antologi Ramadhan di Rantau
  diterbitkan oleh penerbit Harfeey

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah