Minggu, 25 Juni 2017

Cinta Tak Pernah Tepat Waktu; Novel Masterpiece Rasa Buku Harian



 


Novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu adalah satu-satunya novel karya Puthut EA. Setidaknya begitulah informasi yang saya dapat dari kata pengantar yang ada di novel ini. Sebagai satu-satunya karya yang berupa novel, tentu novel ini bisa disebut masterpiece dari Puthut. Abaikan beberapa buku kumpulan cerita pendek yang juga sudah dia terbitkan. Nah, sebagai karya masterpiece, saya sebagai pembaca awam yang memang mencari sebuah kesenangan setiap membaca karya sastra, justru lumayan kecewa dengan konten novel ini. Saya sudah membaca dua kumpulan crita pendek Puthut lainnya; Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali dan Kupu-kupu Bersayap Gelap. Dua kumpulan cerpen tersebut sangat bagus menurut saya. Saya begitu kagum dengan Puthut mengolah setiap cerita yang ada di dua buku tersebut. Saya berharap ketika membaca buku Puthut yang lain, yang bentuknya novel, tentu akan lebih bagus lagi lantaran banyak ruang di dalam novel yang bisa diisi dengan adegan-adegan menyenangkan tanpa harus takut dibatasi oleh tebal halaman. Ternyata, harapan saya tidak terkabul di novel ini.

Buku ini saya beli sekitar tahun 2016 dan baru saya baca bulan Juni 2017. Buku yang saya pegang adalah cetakan kelima. Cetakan pertama buku ini diterbitkan oleh penerbit Oracle tahun 2005. Menemukan nama Eka Kurniawan di posisi penyunting sebenarnya sudah menjadi jaminan bahwa kelak novel ini bakal menyenangkan sebab Eka adalah novelis yang beberapa bukunya sudah saya baca dan berhasil membuat saya berdecak kagum. Begitu juga testimoni singkat yang ada di sampul belakang novel. Oh iya, baru saya sadar begitu kuatnya pengaruh testimoni terhadap keputusan yang akan diambil oleh calon pembeli buku; beli atau tidak!

Novel ini dibuka dengan sebuah prolog. Berlembar-lembar yang hanya berbentuk narasi. Berkisah soal segala macam kesialan si aku, kegalauan si aku, dan segala macam dosa masa lalu si aku. Biasanya nih, sekali lagi biasanya, kalau saya menemukan bab awal seperti ini, saya tidak akan membaca buku tersebut sampai habis. Banyak novel saya di rumah yang numpuk begitu saja tanpa saya baca lantaran merasa kecewa dengan pembukaan bab yang remeh. Tapi, untuk karya Puthut, saya bertekad harus baca sampai habis. Saya berpikir, di bab 1 ini Puthut belum ‘panas’.

Tapi, sampai pada akhir bab 6, saya belum menemukan apa-apa. Saya mulai uring-uringan. Kenapa bisa begini? Saya terus merangsang rasa penasaran di dalam diri saya sendiri. Harus selesai. Harus sampai selesai. Ingat, di bab 2 sudah mulai enak. Sudah banyak dialog di bab tersebut. Bahkan situasi sudah mulai tegang. Tapi kok balik lagi ke buku harian. Ah...

Bab 7 adalah bab yang membuat dorongan kuat pada diri saya untuk tidak menyelesaikan membaca buku ini. Meskipun pada akhirnya saya baca juga. Butuh beberapa hari untuk menyelesaikan membaca satu bab saja. Bayangkan!

Bab 7 berkisah tentang cerita-cerita si aku tentang kamu yang pada akhir bab ternyata kamu itu ya si aku sendiri. Berlembar-lembar dihabiskan cuma untuk mengobral kisah-kisah narsis dan pedenya si aku. Saya berharap bahwa si aku itu bukan Puthut. Saya berharap Puthut cuma menceritakan orang lain. Jujur, saya sangat tidak nyaman membaca bab ini. Begitu banyak kisah heroik si aku yang sepertinya ingin ditampilkan dan berusaha untuk meluruskan sejarah yang ,barangkali, memang bengkok. Celakanya, segala macam kebosanan ini diulangi lagi di bab 10, bab 11, dan bab 15. Aaarrrgggghhhh...!

O iya,  di bab 14 saya menemukan kisah hancurnya si aku yang justru saya tangkap sebagai kisah yang lebai. Pada halaman 214, si aku berkunjung ke rumah Tante Wijang dan menceritakan semua hal yang membuat dia hancur, tidak tidur berhari-hari, dan kehilangan semangat hidup. Alasannya sederhana; ketemu dia. KETEMU DIA. Saya beri tahu, dia itu adalah mantan si aku. Coba kalian bandingkan dengan kisah heroik si aku yang cetar dan bergelora di bab 7. Si aku yang merupakan figur hebat, menjadi panutan, seorang pemimpin, disegani oleh kalangan atas, bla... bla... bla... bisa hancur sedemikian rupa cuma karena ketemu mantan??? Hahaha...!!!

Sebelum membaca bab terakhir novel ini, saya merasakan banyak adegan yang terus diulang-ulang. Klise. Sebutlah si aku ini selalu begitu; bangun tidur, menyalakan Hp, menjerang air, cuci muka, gosok gigi, bikin kopi, ke warnet, makan, belanja, pulang. Begituuuuuuuuu terus. Adegan seperti itu terjadi hampir di semua bab. Klise. Mirip dengan penggunaan kalimat ‘pada zaman dahulu...’ untuk memulai membacakan sebuah dongeng. Puthut mengisahkan si aku mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Seperti sedang menulis buku harian ketika mendapat tugas dari guru Bahasa Indonesia saat SD dulu.

Bab 15 adalah bab terakhir sebelum epilog. Ini adalah bab yang paling saya sukai. Peristiwa yang dibangun di bab ini terasa ringan dan cair. Khas Puthut. Seperti yang dia pakai di buku Para Bajingan yang Menyenangkan.

Di bab 15 saya menemukan tokoh Eka Kurniawan dan Puthut EA juga ikut berdialog. Artinya? Iya. Si aku ternyata bukan Puthut. Syukurlah.

Bab epilog. Bab penutup. Kisah yang sudah bisa saya tebak begitu adegan kereta dimainkan. Dan... tebakan saja 100% jitu. Tepat.

Okelah. Pada akhirnya, saya harus jujur soal novel ini. Saya tidak menemukan kesan yang dalam begitu saya berhasil menyelesaikan membaca novel ini dengan susah payah. Satu hal yang harus saya puji, tentang diri saya sendiri, bukan tentang novel ini, bahwa ternyata saya bisa menyelesaikan membaca buku yang sedari awal sudah tidak menggugah minat saya.

Saya bergarap Puthut EA menulis lagi. Bikin karya masterpiece lagi dan semoga tidak seperti buku harian lagi.

Gaes, ini bukan resensi. Bukan juga kritik. Saya bukan resensator dan sama sekali tidak punya kapasitas sebagai tukang kritik. Ini adalah rasa yang saya rasakan ketika membaca sebuah karya sastra. Saya pembaca awam yang tak terlalu paham soal kritik sastra. Saya hanya mencari kesenangan. Ketika saya senang, saya akan puji. Ketika tidak senang, saya akan tinggalkan. Simpel. Jujur, novel ini tidak saya senangi tapi berhasil saya baca sampai habis. Heheheheheee... maaf ya Mas Puthut.

Ketapang, 21 Juni 2017
13.42 Wib
Kakanda Redi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah