Selasa, 17 September 2013

Beruntung


Oleh: FATMAWATI





“Apa lagi yang kau tunggu nona…???”
“Ingat umur!”
“Ingat umur!!”
“Ingat umur!!!”
“Cukuppp!!!!!” teriak Dika sambil berusaha menutup tiga mulut sahabatnya. Tetapi ada satu mulut yang tak berhasil ia bungkam, karena tangannya hanya dua.
“Sadar Nona! Kau telah lebih dari kepala tiga, kapan jadi perempuan normal, menikahlah dan punya anak seperti kami-kami ini?” berondong Suli yang mulutnya luput dari telapak tangan Dika.
Dika hanya mengangkat bahu, menggelengkan kepala dan menarik tangannya, lalu bersedekap.
“Bukan jamannya sekarang jadi orang aneh?” geram Tami sambil menoyor kepala Dika.
Dika telat menghindar, matanya membelalak sambil membetulkan poninya, “Mentang-mentang udah jadi emak-emak, kalian tega menganiaya anak gadis orang!” keluhnya sambil memonyongkan mulut.

Di sebuah cafe, di suatu sore yang tenang, tiga dari empat sahabat sedang tak tenang memikirkan nasib salah seorang dari mereka. Dika, lagi-lagi jadi bulan-bulanan topik kerisauan sahabat-sahabatnya, karena dianggap aneh dan belum beruntung. Di saat ketiga sahabatnya mulai membicarakan tingkah buah hati masing-masing, Dika hanya bisa jadi pendengar yang baik. Menurut mereka, Dika hanya punya cerita tentang pendakian-pendakiannya yang tak ingin mereka dengar secara detail, karena menurut mereka juga, itu hanya kegiatan ekstrem yang membuang waktu dan umur.
“Aku cukup bahagia nyonya-nyonya, aku cukup beruntung!” ucap Dika berusaha menebarkan ketenangan di hati ketiga sahabatnya.
“Beruntung? Kau tetap sendiri Dika!” cemberut Nata
“Perempuan beruntung tak harus segera menemukan laki-laki yang tepat lalu berkembang biak. Mungkin waktuku diberi lebih panjang untuk menikmati hidup melajang, tenang saja teman,” jawab Dika sambil memasang wajah bijaknya
Ketiga sahabatnya saling berpandangan, kompak menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan berat, menahan geram di hati.
“Bukankah sebelum liburan lalu, kau bilang Semeru adalah gunung terakhir yang akan kau daki?” tagih Nata tiba-tiba
“Iya! Janji harus ditepati! Sambung Suli semangat, seakan mendapat tambahan senjata untuk menyerang Dika
“Teman…bukannya ingin mengingkari janji, tapi saat sampai di puncak Semeru, tiba-tiba aku mendengar bisikan…”
“Bisikan? Bisikan apa?” potong Nata ingin tahu.
“Angin membawa bisikan, bisikan yang sampai detik ini masih terngiang-ngiang di telingaku…”
“Apaaa?” desak Suli tak sabar
“Bisikannya berbunyi… mampirlah ke Tambora, lalu Rinjani dan kembalilah ke Mekongga!” ucap Dika serius sambil mengembangkan senyum dan memejamkan matanya.
“Berhenti main-main Dika! Waktu tak mungkin menunggumu, sadarrr!” Tami mengguncang-guncang bahu Dika.
“Serius teman, masih ada tiga gunung yang menungguku, aku tak sanggup mengabaikan panggilan-panggilan ini!” renggek Dika meminta pengertian teman-temannya.
“Ah…kau mengada-ada, Semeru telah kau daki, mengapa masih belum puas?” sungut Suli kesal.
“Kami memang harus ikut campur urusan hidupmu, kau tak boleh dibiarkan begini terus! Kau harus berubah!” cetus Nata tegas.
Dika menggeleng, “Aku akan tetap jadi diriku dan mewujudkan apa yang kuiimpikan. Setiap waktu, mimpi-mimpiku terasa semakin nyata, walau tak selalu seperti yang kuinginkan, setidaknya aku cukup bahagia.”
Suli, Nata dan Tami serempak menggeleng-geleng kepalanya, mulai putus asa.
“Tapi kan niatmu ke Semeru,bukannya akan segera mengakhiri masa lajangmu?” kembali Nata menagih.
Dika mengangguk “Tetapi ada yang tak kubilang tentang niat lain ke Semeru kemarin!” tiba-tiba pelan suara Dika, menandakan kali ini ia mulai serius
“Apa? Jangan cari alasan dan pembenaran! terimalah takdirmu, Nona!”
“Selain janji harus ke Semeru dulu sebelum menikah, aku juga punya janji yang lain.” Dika menarik nafas dalam. “Dulu, aku berniat melakukan pendakian solo. Semeru yang kutuju. Dan… aku ingin berakhir di gunung, tanpa jejak…”
“Orang gila! Berhenti bermain-main dengan malaikat maut!” sergah Suli memotong penjelasan Dika.
“Dengar dulu, aku belum selesai ngomong!” Dika mengguncang bahu Suli, “Itu dulu, waktu aku lagi gamang karena susahnya dirantau dan dia telah tak ada!” tiba-tiba mata Dika berkaca-kaca. Tiba-tiba benaknya melukis raut laki-laki yang sempat menjadi bintang di hatinya.
“Dia meninggal di gunung, bukan berarti kau harus mati juga di gunung!” pekik Suli
“Tolonggg Suli… jangan bilang mati, aku tak rela kata itu digunakan untuknya!!!” tiba-tiba Dika membelalakkan matanya dan mencubit lengan Suli
Suli meringgis menahan sakit, “Sadaaar Dika… dia memang telah ma….”
“Pergunakan diksi lain, kumohon!” potong Dika cepat. “Dia bukan mati… tapi dia telah merengkuh cinta-Nya…dia telah mendahuluiku untuk menyatu dengan alam.”
“Ya ampun Dika, masih saja tetap seperti sepuluh tahun yang lalu, kau belum melupakannya?” tanya Nata khawatir.
Dika menggeleng lemah.
“Apa pun yang telah terjadi padanya, tak pantas juga kau alami,”sambung Nata.
“Iya, itu sudah takdirnya. Dan kau punya takdir sendiri untuk hidup bahagia, tanpa menyia-nyiakan hidupmu.” bujuk Tami.
“Aku bukan ingin menyia-nyiakan hidupku di gunung, Sayaaang! Itu dulu! Duluuu sekali, sepuluh tahun yang lalu!” suara Dika tiba-tiba melemah.
“Sekarang?” Tanya Tami.
“Sekarang, aku justru ketakutan dengan niat itu. Bisa kalian bayangkan, antara bahagia dan takut campur aduk di sini!” jelas Dika sambil menunjuk dadanya.
“Sinting masih teman kita ini!” runggut Suli sambil menarik garis miring dengan jari telunjuknya, tepat di kening.
“Makanya, berhentilah naik gunung! Cukupkan sampai di Semeru!” bujuk Tami lagi.
Dika menggeleng, “Kalian tak bisa merasa apa yang mengangguku setiap saat, sesuatu yang tak bisa kumengerti, rasa sesak… hanya bisa dilegakan dengan perjalanan-perjalanan itu!” jelas Dika memohon pengertian teman-temannya.
“Sampai kapan?” tanya Suli putus asa. 
Dika menggeleng, “Aku tak tahu, tapi bagiku, hidup ini adalah sebuah perjalanan. Aku tak tahu kapan perjalanan hidupku akan selesai. Begitu pula aku tak tahu kapan petualanganku akan berakhir. Yang kutahu, aku masih ingin melanjutkan petualanganku. Masih banyak tempat yang ingin kukunjungi!” ujar Dika mantap.
“Kami tetap tak bisa tenang sebelum perjalananmu ditemani seseorang,” seru Nata khawatir.
“Iya, kau bisa pergi ke tempat yang lebih aman bersama seseorang yang melindungi!” sambung Suli.
Tami tak bicara, hanya menatap Dika tak berkedip.
Dika mengambil tangan sahabat-sahabatnya, kemudian menyatukan dan menggenggamnya, “Terima kasih sahabat-sahabatku. Maaf jika belum mampu mewujudkan keinginan kalian. Jangan khawatir, indah tak menunggu waktu, bahagia tak harus memiliki… yang pasti aku sadar bersyukur dan merasa sangat beruntung dengan apa yang kumiliki saat ini… yaitu kalian, keluarga, dan pendakian-pendakianku. Jika suatu saat ada seseorang yang masuk dalam kehidupanku… itu adalah tambahan keberuntunganku,” ucap Dika menutup perbincangan sore itu.
Mereka berpisah, meninggalkan sore dan cafe, menuju malam dan akan kembali menenggelamkan diri dalam rutinitas dan kewajiban masing-masing. Dika melambaikan tangan dan melepaskan senyum pada ketiga sahabatnya, segera menghidupkan mesin sepeda motor dan melanjutkan perjalanan menuju petualangannya yang lain, di sebuah desa, sekolah, dan rumah dinas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah