Selasa, 17 September 2013

Anjing Bernama Popi



Redia Yosianto
(dalam Hujan Bulan Juni)


Gun menarik napas panjang. Sesekali tangannya erat menggenggam gelas kopi yang tersedia tak jauh dari tempat dia duduk. Pikirannya kacau. Sungguh kacau. Sebentar ini saja Gun sudah menghabiskan sedikitnya tujuh batang rokok. Sekarang di sela bibirnya terselip rokok yang kedelapan. Napasnya sesekali memburu, giginya bergemeretakan menahan marah.
            Layar komputer baru menampilkan beberapa kalimat saja. Ceritanya tak kunjung berlanjut. Ide di kepalanya datang dan pergi dengan sangat cepat, silih berganti, begitu seterusnya. Gun menggebrak meja. Rokok di bibirnya terlempar, jatuh bebas ke lantai. Gun segera memungutnya lagi, menghisapnya hingga kedua pipinya tampak cekung. Tembakau yang terbakar memunculkan suara yang khas. Asap segera berhamburan dari bibir Gun yang meruncing.
Saat imajinasi Gun mulai muncul dengan liar, seorang perempuan melintas di depan pintu kamarnya. Tak menoleh sedikitpun. Tak bersuara. Gun menggebrak meja sekali lagi. Hidungnya mengendus aroma wangi yang tak biasa. Wangi yang jahat. Wangi yang menyimpan sesuatu yang menyebalkan.
“Mau kemana kamu, Neng?” Gun tak beranjak, hanya berteriak dari kursinya. Mukanya merah padam menahan marah. Tangan kirinya mengepal. Sementara tangan kanannya menjepit rokok yang hampir habis.
Perempuan yang dipanggil ‘Neng’ menampakkan diri di ambang pintu, sama sekali tak berniat untuk masuk, “Ya kerja. Memangnya mau kemana lagi? Ini sudah jam delapan, jamnya berangkat kerja.”
“Biar aku antar,”
“Tak usah. Aku bisa berangkat sendiri. Abang selesaikan saja kerjaan Abang itu. Setelah itu siapkan makan siang untuk anak-anak.”
Neng berlalu, meninggalkan sebilah belati yang menancap sempurna di hati dan perasaan Gun. Belakangan ini harga dirinya sebagai seorang suami terasa diinjak-injak. Dia seperti bukan seorang suami, tapi seekor anjing yang bodoh dan gampang untuk dibohongi.
Tak ayal lagi, tangan kiri yang sudah mengepal sejak tadi segera menemukan sasaran yang tepat. Meja komputer dihantam dengan telak. Gelas kopi jatuh terbanting, pecah berkeping-keping. “Laki-laki muda itu lagi?” Gun menggeram. Bibirnya mendesis. Di kepalanya melintas sosok pemuda yang belakangan kerap membuatnya galau.
Gun ingin pergi. Kemana saja. Asal tidak berada di dalam rumah jahanam ini. Tapi hal itu urung dia lakukan. Tiba-tiba imajinasinya kembali. Liar. Mengaduk-aduk emosi. Memaksanya untuk duduk kembali dan segera menuangkannya manjadi sebuah cerita. Gun mulai menata peristiwa di dalam kepala. Sejenak dia memejamkan mata.
***
Seekor anjing perempuan bernama Popi. Bulunya coklat, sedikit gelap. Raut mukanya sayu. Kulit pipinya mulai menggelambir. Matanya tak begitu tajam, pertanda dia adalah betina yang tak terlalu cerdas. Lidahnya terus-menerus terjulur dan meneteskan air liur. Tipikal anjing yang selalu kelaparan.
Di sebelah Popi, seekor anjing pejantan yang tak terlalu gemuk. Bulunya hitam belang coklat. Telinganya menjuntai. Bola matanya merah, sesekali basah oleh kelopak mata yang jarang berkedip. Bibirnya kehitaman dan napasnya berbau sedikit busuk. Namanya Bruno, pejantan yang sedang depresi sebab Popi tak juga semangat saat diajak berkencan seperti biasanya.
Keduanya terdiam. Sibuk memandangi senja yang hampir habis. Popi dengan lidah yang terus menjulur, sementara Bruno dengan tatapan yang penuh dengan rasa pilu.
“Apa kita akan begini saja terus? Tidakkah kau ingin memiliki beberapa anak anjing lagi? Anak-anak anjing yang sangat lucu. Berkejaran di sekeliling kita sambil menggonggong kecil dan memainkan ekor kita. Oh, betapa indah rasanya Popi,” Bruno bersuara, namun tak sedikitpun menoleh kepada Popi.
Popi sendiri tak hendak berkomentar apa-apa. Hubungannya dengan Bruno sudah membuahkan dua ekor anak anjing yang tidak begitu lucu menurutnya. Dia ingin lebih. Lebih lucu, lebih cerdas, lebih nyaring saat menggonggong. Tapi bukan dengan Bruno, pejantan kurus dan bau ini. Popi menarik lidahnya, lantas mengecap-ngecapkan bibir beberapa kali. Tak lama, lidah itu terjulur lagi, meneteskan liur lagi.
Bruno yang tak mendapat perhatian mulai gerah. Angin sore tak juga membuat pikirannya tenang. Popi sudah berubah. Popi sudah tak lagi peduli padanya.
Bruno menyingkir, meninggalkan Popi yang tak juga bergerak. Bruno hanya berharap satu hal, Popi memanggilnya saat ini dan mereka akan berkencan seperti yang sudah-sudah. Malang, Popi tak melakukannya.
Bruno berjalan dengan gontai. Pikirannya mulai meraba dan menerka-nerka sebab mengapa betinanya berubah. Banyak hal yang luput dari pengawasannya. Di antara yang sedikit yang sempat dia ingat, Bruno terkenang akan Sam, pejantan tampan dan selalu dikelilingi Betina. Sepertinya Popi mulai tertarik pada pejantan yang masih muda dan kemungkinan pejantan itu adalah Sam.
Bruno menggonggong dua kali. Darahnya mulai mendidih. Dia ingin segera bertemu dengan Sam, pejantan sialan itu. Bruno berlari menembus pekatnya malam. Tak dihiraukannya udara yang semakin dingin. Dia sadar, anjing memang bersahabat dengan malam, juga dengan dingin dan segala macam kejahatan yang muncul saat malam datang.
Bruno sudah sampai di depan rumah Sam. Dia menggonggong dua kali, meneriaki nama Sam. Sam tampak mengintip dari balik tirai. Sejenak kemudian, Sam keluar menghampiri Bruno.
“Siapa kamu? Ada apa malam-malam begini berkunjung ke rumahku. Dan, apa kita sudah kenal sebelumnya?”
“Aku ingin bicara padamu, Sam. Itu pun kalau kau punya waktu malam ini.”
Sam tersenyum, “Aku selalu punya waktu untuk tamu yang datang malam hari sepertimu. Masuklah, akan kubuatkan secangkir teh hangat. Aku tau, kau kedinginan saat ini,”
Bruno mengekor di belakang Sam. Pikirannya masih kacau. Dia ingin sekali menerkam Sam saat ini. Tapi apa kata hewan-hewan lain nanti? Hati kecilnya mengatakan bahwa belum tentu juga Sam punya hubungan khusus dengan Popi, betinanya yang mulai berubah. Tapi rasa cemburu buta sudah terlanjur menguasai. Pantang untuk mundur sebelum Bruno mendapat apa yang dia inginkan.
“Minumlah,” Sam menghidangkan secangkir teh hangat di hadapan tamunya itu, “Hei, aku bahkan belum tau siapa namamu. Kau kenal aku, tapi aku tak kenal siapa kau. Ini sungguh tidak adil,” tatapan mata Sam mulai menyelidik.
“Aku Bruno,” Bruno menggonggong dua kali, seperti ingin menunjukkan bahwa dia sedang marah saat ini, “Aku pejantannya Popi.”
Sam masih tampak anteng, “Oke, sekarang ceritakan apa keperluanmu, Bruno? Aku merasa kalau kau sedang tidak enak hati. Kau sedang marah. Ada apa ini?”
“Sam, jawab pertanyaanku dengan jujur. Aku tak ingin kau menyembunyikan apapun. Kita ini laki-laki. Aku harap tak ada yang berbohong di antara kita,”
Sam mengangguk. Alisnya bertaut, merasa masih belum menemukan maksud dari ucapan Bruno barusan.
“Sam, ada hubungan apa kau dengan Popi?” Bruno mengalihkan tatapan, “Belakangan Popi berubah. Dia tak lagi peduli padaku. Setiap kami duduk memandang senja, dia selalu diam saja. Tak pernah lagi kini Popi berbincang denganku. Tolong kau jawab, Sam.”
Sam mengangkat wajah. Dagunya kini persis mengarah ke muka Bruno, “Apa alasanmu mengintrogasiku? Kau bahkan tak punya hak bertanya seperti itu. Kau tak punya sopan santun. Kita bahkan baru kenal beberapa detik yang lalu,” Sam mulai terpancing emosi.
“Apakah kau menyembunyikan sesuatu dariku saat ini?”
“Soal apa?” Sam balik bertanya.
“Soal Popi tentu saja. Aku tau kau adalah pejantan yang begitu kerap dikelilingi betina. Kau pandai mengambil hati. Mungkin Popi juga melakukannya, dia mendekatimu, tanpa sepengetahuanku. Aku tak suka jika apa yang aku duga ini akan menjadi kenyataan sebentar lagi. Jawab, Sam!”
Sam tertawa terbahak-bahak, “Ayolah, kawan. Ada apa denganmu ini? Kau ini seperti anjing yang tak pernah belajar pada alam,” Sam tertawa lagi, “Perihal dikelilingi betina dan pandai mengambil hati, kau tak salah sama sekali kawan. Tapi soal Popi? Ah, lelucon apa lagi ini? Sekarang pulanglah, lihat betinamu baik-baik. Dia sudah tua. Dia juga bukan betina yang cerdas. Tak pantas rasanya aku mengencani anjing tua dan bodoh sepeti itu. Dan, hei, kau bahkan lupa, kau dan Popi adalah anjing. Sementara aku? Aku ini kucing. Lihat baik-baik. Kalau kau menuduhku memikat Popi, tentu kau salah alamat, kawan.”
Bruno geram. Giginya bergemeletukan, “TAPI KAU PERNAH MENCIUM POPI. Aku melihatnya sendiri, kau mencium betinaku!”
“Aku? Mencium seekor anjing betina yang bodoh dan sudah tua? Oh, selain bodoh, rupanya matamu juga sudah rabun. Kapan waktunya aku dekat dengan betinamu itu? Ayolah kawan, kau terlalu mengada-ada. Lupakan kekonyolan ini. Pulanglah, tanyakan pada betinamu, siapa sebenarnya yang sedang dia inginkan.”
“Kau takut mengatakan yang sebenarnya, Sam!”
Sam makin melebarkan senyum, “Pakailah logikamu, Bruno. Jika benar aku mencium betinamu, di depan matamu sendiri, lantas kau hanya diam saja, tak berbuat apa-apa dan hanya menjulurkan lidah, oh, betapa dungunya, pejantan macam apa kau?”
“Sam, kau…”
“Sekarang pulanglah, aku mulai muak dengan omong kosongmu ini. Baik, biar aku tegaskan sekali lagi, aku adalah pejantan yang baik dan aku adalah kucing. Kedudukanku lebih terhormat dari kalian bangsa anjing, terlebih anjing yang tak pernah belajar pada alam sepertimu. Pulanglah. Betina dan anak-anakku mulai kedinginan. Aku perlu menghangatkan mereka!”
Bruno bangkit dari duduknya. Perlahan ditinggalkannya rumah Sam. Dia tidak mendapat apa-apa. Jujur, di dalam hati, dia membenarkan semua yang dikatakan Sam tadi. Tak mungkin rasanya Sam mengencani Popi, apalagi Sam adalah bangsa kucing.
Bruno berjalan gontai. Kepalanya tertunduk. Sepanjang jalan, dia menggonggong sesekali. Dia ingin melepaskan semua beban yang menghimpit dadanya. Segalanya hampir hancur. Popi sudah berubah. Ini sungguh tidak menyenangkan.
Bruno sudah di ambang pintu rumahnya sendiri. Belum sempat dia masuk, telinganya menangkap suara yang janggal. Suara rintihan seekor anjing betina. Suara yang muncul dari bibir yang mengatup rapat. Bruno menggeram. Kukunya seketika meruncing. Itu suara Popi. Popi selalu bersuara seperti itu ketika sedang berkencan dengannya.
Bruno mendobrak pintu. Popi melolong, terkejut dan tak percaya. Di sebelah Popi terbaring seekor pejantan yang masih muda. Bulunya acak-acakan.
“Bull, lariiiiii…” teriak Popi pada anjing pejantan yang bernama Bull itu.
Seperti mendapat kekuatan baru, Bull berlari ke arah jendela. Dia meloncat dan berlari sekencang-kencangnya lalu menghilang di pekat malam.
Bruno yang seperti tersadar dari sihir jahat, segera menggonggong. Tak cuma sekali. Sambil menggeram, dia memutar tubuh, melesat dan menghilang di kegelapan. Yang ada dipikirannya hanya satu, jika bukan Bull yang mati, maka Popi yang akan mati. Lihat saja nanti!!!
***
Neng pulang dengan wangi yang sama seperti wangi yang tercium tadi pagi. Wangi yang penuh dengan kebohongan dan penghianatan. Tapi Neng tak peduli. Apa yang dia lakukan tentu saja masih sangat aman dari jangkauan radar suaminya.
Neng tak mendapati siapa-siapa di ruang tamu. Anak-anaknya sibuk bermain robot-robotan di kamarnya sendiri. Neng bergegas menuju kamar. Sampai di ambang pintu, didapatinya suaminya tertidur dengan pulas. Ada pecahan gelas di bawah meja komputer. Neng geleng-geleng kepala. Satu hal yang membuat dia berpaling, terjadi lagi siang ini.
Neng duduk di depan layar komputer yang masih menyala. Neng menggerakkan mouse. Pelan-pelan Neng membaca tulisan suaminya yang masih terpampang di layar. Dicermatinya kalimat demi kalimat. Neng tertegun.
Cerita yang dibuat suaminya benar-benar menyentuh. Atau karena…
“Sudah pulang kamu, Neng?” Gun bangkit. Dia terbangun beberapa saat yang lalu. Begitu Gun membuka mata, didapatinya Neng tengah duduk di kursi kerjanya. “Sudah selesai membacanya?”
Neng mengangguk.
Gun mulai menciumi leher Neng. Gun merasakan, dalam diam sebenarnya Neng memberontak. Hembusan napasnya tak sehangat dulu lagi. Bibirnya tak semanis dulu lagi.
Neng memutar tubuhnya, berusaha melepaskan diri dari pelukan Gun, “Ceritamu belum selesai. Selesaikanlah dulu,”
“Oh, kurasa kau sudah tau ending-nya. Tak perlulah kuselesaikan sekarang. Mari kita bersenang-senang dulu. Aku sudah sangat rindu dengan suasana seperti ini!” ujar Gun seraya melepas satu demi satu kancing baju Neng.
Neng mulai jengah, “Apakah akan kau bikin mati si pejantan bernama Bull itu?”
Gun tersenyum. Matanya tajam seperti pedang yang siap menghujam, “Tentu saja. Ahaaa, ternyata kau masih juga menyisakan sedikit kecerdasanmu. Kukira kau ini perempuan yang payah dan pendusta.”
“Bang, kenapa dengan kau ini?”
“Dengar Neng, aku tak suka anjing seperti Popi. Tak dapat mengejar Bull, Bruno akan membunuh Popi. Kau tau kan? Aku tak pernah main-main dalam menghasilkan karya. Mungkin mulai saat ini tak cuma pada karya saja, tapi terhadap kamu juga. Jika bukan Syamsul yang mati, maka kau yang akan mati. Lihat saja nanti!!!”
Jantung Neng seperti berhenti berdetak. Suaminya baru saja menyebutkan nama lelaki yang sedang dekat dengannya. Ini, oh, ini adalah bencana. Bencana untuknya sendiri, juga bencana untuk Syamsul, lelakinya itu.


Mempawah, 22 Februari 2013

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah