Selasa, 17 September 2013

Aku, Dia, dan Gunung


Oleh: Fatmawati




 “Perempuan baiknya berada di rumah, dandan, merangkai bunga atau belajar masak, jangan mikir macam-macam dan berkeinginan aneh-anehlah!” tajam tapi pelan ucapannya kini.
Aku tak ingin menatapnya, kini kualihkan pandangan kearah kakiku. Saat ini, kurasa kakiku jauh lebih menarik daripada wajah yang selama ini kurindukan. Aku diam, bingung memilih kata-kata ajaib yang mampu membuatnya mengerti.
“Cukuplah yang dulu-dulu petualanganmu, sebelum bertemu aku, sekarang jadilah yang sebenar-benarnya perempuan!” kembali dia menekan kalimatnya, walau pelan tapi terasa menusuk hati.
Kuperhatikan sosok laki-laki yang beberapa bulan lalu telah berjanji akan mencoba memahami dan mengerti keterbatasan atau kelebihanku. Tetapi, ini kesekian kalinya dia mengabaikan ikrarnya bahkan berusaha mementahkan aku dan diriku.
“Aku hanya ingin ke Semeru!” kembali kuulangi kalimatku beberapa minggu yang lalu, sebelum pertemuan kami terhambat oleh tugasnya keluar kota.
“Kenapa harus Semeru? Kenapa perempuan harus naik gunung?” dan kembali juga dia mengulang pertanyaan-pertanyaannya beberapa hari yang lalu melalui telepon, saat kami memutuskan bertemu sore ini.
Aku menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya dengan berat, bosan menemukan pertanyaan serupa ini. Namun harus tetap kujawab, “Naiklah bersama kami, maka kau akan tahu mengapa!” ucapku pelan sambil menahan hati.
Dia mengeleng cepat, “Masih banyak hal berguna yang bisa kita lakukan, dari pada buang-buang waktu dan biaya, melakukan perjalanan mengantarkan nyawa ke maut. Seperti orang yang tidak menghargai hidup!”
“Justru karena itu, aku sangat menghargai hidup. Inilah salah satu caraku agar hidup menjadi berharga untuk tidak begitu saja dilewatkan. Begitu indah dan ajaibnya alam ciptaan yang Maha Kuasa, saat diberikan daya dan kesempatan, aku akan menurutkan hati untuk menikmati dan menakjubinya langsung,”  jawabku meminta pengertiannya.
“Terlalu berlebih-lebihan, ingin jadi pengembara? Seperti orang-orang yang tak punya kerjaan dan hidupnya hanya menantang bahaya. Sadarilah takdirmu sebagai seorang perempuan!” kata-katanya semakin meledek.
“Seandainya bisa, aku akan memilih menjadi sebenar-benarnya pengembara. Tetapi aku menerima takdir sebagai seorang pendidik yang harus membagi ilmu pada anak-anak didikku, takdir sebagai seorang anak  yang harus membuat tenang hati orang tua dan saudara-saudraku. Menurutku penggembara bukannya tak punya kerjaan, merekalah orang-orang berani, bahagia dan sesungguhnya sangat berutung, karena benar-benar bebas menikmati hidup. Aku pun menyadari takdirku sebagai perempuan, tapi apakah perempuan tak boleh melakukan perjalanan? Aku tak meminta banyak, hanya kali ini… biarkan aku kembali menyatukan diri dengan keindahan alam,” tukasku kembali memohon pengertiannya.
“Terus…takdirmu sebagai perempuanku?” pertanyaannya membuat hatiku tiba-tiba merasa sangat tak nyaman. Seakan-akan ada belenggu di tangan dan kaki, lebih-lebih di leherku, aku merasa mulai tercekik.
“Oleh sebab itu, aku mulai belajar untuk meminta izin padamu. Biarkan aku tetap menjadi diriku,” ucapku pelan dan  cepat, seakan tergesa-gesa mengendurkan buhul yang tadinya mulai menjerat dan membuat sesak.
“Ok lah, tunggu libur kantorku. Terserah ke Bali atau Bunaken asal jangan naik gunung, kita ikut paket wisata!” katanya lembut membujuk.
Kalimat terakhirnya tiba-tiba menyadarkanku akan perbedaan besar antara aku dan dia.
Ah…bukannya sok petualang atau sejenisnya lah… tapi sungguh, melakukan perjalanan seperti yang disebutkannya tadi…bukan mimpiku. Aku ingin ke Bali dan Bunaken, tapi lebih ingin ke Semeru dan tanpa paket wisata. 
Aku memang makhluk penuh dengan mimpi, mungkin mimpi-mimpi ini membuatku terlihat berbeda dari makhluk-makhluk sejenisku… tapi sungguh, sebenarnya jauh di dalam lubuk hati aku menentang itu… aku sama seperti mereka, aku perempuan biasa walau dengan mimpi berbeda.
“Aku ingin naik gunung, aku ingin melakukan pendakian! Aku ingin kembali menghirup segarnya rimba dan mereguk sari petualangan. Aku ingin melarikan diri dari kebisingan dan penatnya rutinitas sehari-hari, untuk beberapa saat,” sahutku cepat dan pelan.
 “Kamu egois!” ucapannya mulai ketus.
“Ini bukan bentuk keegoisan diri, tapi jauh lebih dalam lagi… ini pemaknaan hidup!” sanggahku tak terima akan tuduhannya.
Tiba-tiba wajahnya berubah dingin. “Apa gunanya perempuan di gunung, kalian hanya jadi penghangat laki-laki!”
Plakkk…
Refleks tanganku mendarat di pipinya, ini kesekian kali aku menangkap pandangan sinisnya terhadap kaumku yang disalahpahami oleh pikiran mereka yang dangkal. Kali ini aku tak bisa menahan hati lagi.
Dia tercengang, terkejut kurasa. Mungkin tak percaya dengan reaksiku tadi. Kulihat wajahnya memerah karena bekas lima jariku bercampur rona kemarahannya
Telapak tanganku pedas dan panas, aku gemetar menahan sakit, marah, sedih dan kecewa, kukira dia beda.
“Bagi kalian, petualangan hanya milik laki-laki, perempuan hanya pengembira atau pelengkap derita. Tapi kami juga hidup…kami juga punya perjalanan, kami punya mata, kami punya rasa, kami punya hati dan kami punya mimpi yang sama dengan laki-laki!” jeritku tertahan menahan sakit hati dan panas di mata.
“Mungkin yang ada di pikiran kalian, kaumku hanya jadi penghangat di perjalanan, tapi tidak dengan teman-teman seperjalananku. Merekalah laki-laki yang benar-benar menjaga dan menghargai perempuan. Kami mendaki gunung, tempat yang punya kesakralan terkait dengan legenda yang menyelimutinya, pendakian ke gunung adalah perjalanan suci, jika melakukan perbuatan yang salah, maka besar kemungkinan kami tak akan kembali dalam keadaan selamat,” sambungku menegar-negarkan suara.
Dia terdiam, entah menyesal atau menahan geram karena mungkin merasa kelaki-lakiannya kucabik, tapi sungguh… aku juga sangat menyesal.
Beberapa lama kami terdiam, sama-sama terkejut dengan reaksi yang saling dan sebab akibat tadi. Tiba-tiba aku merasa dia tak lucu dan menarik lagi. Dia tak membuatku merasa nyaman dan damai lagi. Seketika membentang jarak yang memisahkan aku dan dia, walau sesungguhnya dia masih tetap duduk di depanku, diam bergeming
Aku segera berinisiatif berdiri, “Maaf!” Hanya satu kata ini yang bisa kutinggalkan dan langkah segera membawa tubuhku menjauh darinya.
Dia tetap mematung, mungkin hatinya berperang untuk menahan langkahku atau membalas reaksiku tadi.
Aku tak peduli, mulai kini…aku akan berjuang mengeluarkannya dari hati, bisikku membatin, semakin jauh meninggalkan sore dan kantin tempat pertama kali kami bertemu, ternyata juga menjadi tempat pertemuan kami yang terakhir. Aku sudah tak bisa mengerti hatinya dan sama… dia tak ingin lagi mencoba mengertiku
Cinta dapat menyatukan dua perbedaan, itu kata mereka dan sering kulihat di status teman-teman dalam jejaring sosial Twitter dan Facebook. Tapi sepertinya saat ini cinta tak berdaya menyatukan perbedaan aku dan dia, tidak saat ini.
Kini aku sadar… aku lebih cinta gunung dari pada dia. Dan cintaku yang kesekian kalinya ini harus dikalahkan gunung lagi… fiuhhh.

Sungai Kakap, Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah