Jumat, 14 Juni 2013

[25] Gerimis di luar sana…



 Segalanya kini telah selesai. Telah terbongkar. Asmawi telah mengakui segala perbuatannya. Dialah yang membunuh Sumi. Dia juga yang mengubur Sumi di semak-semak, di belakang vila. Karenanya, ketika Mas Handoyo memintanya untuk membersihkan rumput di sekitar vila menjelang kedatangan Re dan kawan-kawan tempo hari, Asmawi memang sengaja tidak memangkas rumput di sudut kanan belakang vila itu.
 Kini jasad Sumi sudah digali, sudah dipindahkan ke tempat yang semestinya. Di sebuah pemakaman kecil, tulang-belulang Sumi dipindahkan. Upacara pemakaman yang berlangsung khidmat itu dihadiri oleh hampir seluruh penduduk. Kebanyakan dari mereka sungguh tidak menyangka jika Asmawi yang dipandang sebagai pemuda yang kalem, santun, dan rajin, tega berbuat bejat seperti itu. Semua geleng-geleng. Tak habis pikir. Beberapa ibu dan tetangga yang mengenal Sumi malah ada yang sampai meneteskan air mata.
Yesi yang turut menghadiri upacara pemindahan jasad Sumi mulai sadar apa yang sebenarnya telah terjadi. Semalam dia pingsan dan baru siuman saat hari menjelang pagi. Tampilannya kusut. Acak-acakan. Matanya sayu dan sembab. Sesekali dia tampak menyandarkan kepala ke pundak Tetty.
“Semua udah kelar. Kamu tenang aja,” Tetty menguatkan sahabatnya itu dengan pelukan.
Yesi mengangguk sekali, “Kenapa mesti aku sih yang dipilih Ranti?” ucapnya pelan, nyaris tak terdengar. Suaranya sudah mulai pulih sedikit demi sedikit.
“Kata Mbok War, mungkin itu karena ulang tahunmu sama persis dengan ulang tahun Sumi. Makanya kamu yang dipilih,” sahut Leli yang juga ada di sebelah Yesi.
Pemindahan jasad sudah selesai. Orang-orang telah meninggalkan pemakaman satu demi satu. Lambat laun pemakaman ini kian sepi saja. Yang tersisa hanya segelintir orang yang memang punya kepentingan. Mbok War, Yesi, Ajeng, Re, Mas Handoyo, Tetty, Ayu, dan Leli. Pakdhe Warno dan Budhe Lasmi memilih untuk meninggalkan pemakaman lebih dulu.
Perlahan, langit tampak gelap. Mendung berarak pelan, menutupi dusun dengan nuansa pekat. Angin berhembus sedikit lebih kencang dari biasanya.
“Mbok, sebaiknya kita pulang. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Lihat, langit sudah gelap.” Ajeng merengkuh pundak Mbok War yang masih sesenggukan di nisan Sumi.
Meski kelihatan sangat berat, perempuan tua itu berdiri juga seraya menyeka air mata yang masih menetes. Diusapnya nisan anaknya itu sekali lagi, “Tidur yang nyenyak ya, Nduk. Emak akan sering-sering kesini, menjenguk kamu. Kamu jangan nakal lagi ya, Nduk. Masalahmu sudah selesai sekarang.”
Re memalingkan wajah. Re tampak sedikit salah tingkah. Dia merasa bahwa dia kuat, dia tegar. Tapi toh pada akhirnya dia sadar kalau dia salah. Pelan-pelan air matanya menetes juga. Mati-matian disembunyikannya air mata itu. Dia tak ingin terlihat menangis. Tapi bagaimanapun juga, apa yang sedang tersaji di hadapannya kini memang sungguh menyentuh perasaan. Dadanya bergetar hebat. jika tidak ingat malu, ingin rasanya dia menangis meraung-raung saat ini juga. Betapa tidak? Mbok War tiba-tiba sesenggukan lagi, berlutut dan menciumi nisan Sumi, dan ini terjadi persis di depan matanya. Re sadar bahwa hatinya tidak terbuat dari batu. Betapa Re iri dengan teman-teman yang lain, yang dengan mudahnya sesenggukan tanpa rasa sungkan sedikitpun.
“Kita pulang ya, Mbok.”
Gerimis kian membuat hari jadi muram.

***

Siang, pukul 13.15 WIB.
Re memasukkan tas terakhir ke bak Strada Silver Metalik kesayangannya. Tutup bak segera dirapatkan setelahnya mengingat hujan masih turun rintik-rintik. Kemudian dia bergegas ke beranda rumah. Disana, di beranda itu, sudah berkumpul teman-teman Re, Ajeng, Pakdhe Warno, Bude Lasmi, Mas Handoyo, dan Mbok War.
“Kami harus segera berangkat, Pakdhe. Betapapun ngototnya saya mencegah Yesi agar menunda kepulangan, tetap tidak berhasil. Yesi minta pulang hari ini juga. Teman-teman yang lain meluluskan permintaan Yesi. Jadi rasanya saya pun harus demikian,” ujar Re pelan. Di hadapannya, Pakdhe Warno hanya bisa mengangguk pasrah.
“Tidak apa-apa. Mungkin itu lebih baik. Kita harus menjaga hal-hal yang tidak kita inginkan agar jangan terjadi lagi. Yesi sedang terguncang batin dan jiwanya. Jika dia terlalu lama disini, mungkin itu tidaklah bagus buatnya.”
“Saya juga berpikir seperti itu, Pakdhe.”
“Baiklah, hati-hati bawa mobil. Pelan-pelan saja. Doa kami selalu menyertai dari sini.”
Re segera mencium punggung tangan Pakdhenya itu. Lalu pindah ke Budhe Lasmi dan Ajeng. Di hadapan Mas Handoyo, Re tersenyum, “Senang sekali bisa menghabiskan waktu liburan bersama Mas. Saya harap suatu saat kita bisa berkumpul lagi seperti ini,” ujar Re lirih.
“Iya, Re. kamu dan teman-teman juga, jika tidak sibuk, sering-seringlah berkunjung ke rumah pakdhe, ke dusun kita ini. Kami akan selalu merindukan kalian.”
Sejenak kemudian, tubuh Re sudah melekat dengan tubuh Mas Handoyo. Mereka berpelukan erat. Terakhir, Re mencium punggung tangan Mbok War yang tampak berkaca-kaca. “Saya pamit ya, Mbok. Mbok jangan sedih lagi. Sumi sudah tidur dengan damai. Semua sudah selesai.” Ujar Re nyaris berbisik.
Mbok War hanya mengangguk-angguk,  tak sanggup lagi berkata-kata. Air matanya sudah bercucuran sejak tadi.
Sampai pada giliran Yesi, tiba-tiba Mbok War meraung. Tangisnya meledak. Didekapnya tubuh Yesi dengan erat, seperti tak ingin dia lepaskan lagi. “Mbok akan selalu merindukanmu, Nak. Terima kasih karena sudah membantu Ranti,” ujar Mbok War disela sesenggukannya.
Yesi mengangguk lemah, “Iya Mbok.” Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Yesi. Selebihnya, dia pun sesenggukan. Air matanya tumpah sudah.
Re menatap satu persatu orang-orang di hadapannya. Teman-temannya berdiri di belakang. “Kami mohon pamit. Kami minta maaf jika selama tinggal disini kami sudah banyak buat salah. Banyak bikin onar. Mohon kami dimaafkan.”
Pakdhe Warno hanya mengangguk sambil tersenyum sekilas.
Setengah berlari, Re menuju pintu mobil, diikuti oleh Tetty, Leli, Ayu, dan Yesi. Mereka duduk di posisi yang sama dengan posisi ketika berangkat dulu.
Re mengusap kepalanya yang sedikit basah oleh gerimis. Ditolehnya sejenak Tetty yang duduk di sebelah kirinya, lalu pandangan matanya pindah ke belakang, ke Leli yang duduk di sebelah kanan, Yesi di tengah, dan Ayu yang merapat ke sebelah kiri.
Mesin mobil sudah dihidupkan. Mobil bergetar pelan. Kedua tangan Re sudah melekat di setir mobil. Re menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Liburan yang hanya beberapa hari, tapi meninggalkan sebuah kesan yang dalam.
Semua yang ada di dalam mobil terdiam. Sementara gerimis di luar sana kian menderas, kian membuat suasana jadi kelam.
“Kita berdoa dulu,” ucap Re dengan suara yang berat.
Re membunyikan klakson dua kali, seiring mobil yang mulai bergerak perlahan. Re melambaikan tangan. Tetty, Leli, dan Ayu juga melakukan hal yang sama. Kecuali Yesi. Dia hanya tersenyum. Senyum yang sungguh kentara dipaksakan.
Mobil kian menjauh, meninggalkan pekarangan rumah Pakdhe Warno, meninggalkan dusun yang tenang, meninggalkan kehidupan yang damai, meninggalkan semuanya yang beberapa saat lagi akan mereka sebut dengan sebutan ‘sebuah kenangan manis’. Entah kapan lagi mereka akan berkunjung ke dusun ini.
Yesi melemparkan tatap ke luar jendela. Tak begitu jauh dari jalan, di atas sebuah bukit yang tak terlalu tinggi, tampak olehnya vila yang berdiri dengan gagahnya. Yesi tersenyum. Di sana, di depan vila, berdiri seorang gadis yang tersenyum manis. Sangat manis. Gadis itu mengenakan kebaya berwarna hijau muda dipadu dengan kain batik di bagian bawah. Sungguh pantas dan terkesan anggun. Rambut panjangnya tergerai tertiup angin. Gadis itu melambai ke Yesi. Senyumnya masih mengembang.
Yesi menundukkan wajah, berusaha melihat gadis itu dengan jelas. Bibirnya tersenyum. Yesi segera membalas lambaian gadis di depan vila itu. Mobil yang berjalan tak terlalu laju membuat keduanya, Yesi dan gadis itu, bisa saling melambai dengan sedikit lebih lama.
Leli yang kali ini bisa sedikit lebih tahan dari serangan mabok kendaraan, merasa bingung dengan sikap Yesi ini. Matanya mencoba mengikuti arah tatapan mata Yesi. Leli yakin dengan pasti jika tatapan mata Yesi saat ini sedang tertuju ke Vila. Tapi yang membuatnya heran adalah: tak ada siapa-siapa di sana, di sekeliling vila itu. Leli tak menemukan siapa-siapa, seorangpun. Alis Leli bertaut.
“Kamu lagi senyum-senyum sama siapa sih, Yesi?” Leli mulai menyelidiki, sementara yang ditanya malah melambai-lambaikan tangan lebih sering.
Tetty menoleh ke belakang. Begitu tau kalau Yesi bertingkah aneh, sontak tatapan mata Tetty juga mengikuti arah tatapan mata Yesi. Kening Tetty langsung berkerut. Bener aja kalo Leli bingung. Tetty jga gak nemuin siapa-siapa di sekeliling vila itu.
Tetty berkata sedikit membentak, “Jangan bilang kalo kamu sekarang sedang tersenyum sama…”
“Ranti,” Yesi memenggal kalimat Tetty sekenanya, “di depan vila ada Ranti. Dia melambai ke arah kita. Dia tersenyum, manis sekali.”



Mempawah, 10 Februari 2013
19.49 WIB

[24] Malam penghabisan




Api unggun di halaman menyala benderang. Apinya meliuk-liuk ditiup angin, menciptakan binar yang sesekali meredup. Di langit, gemintang bertaburan mengelilingi bulan yang cerah. Malam begitu tenang. Malam begitu menyenangkan. Malam seolah ingin memberi salam perpisahan yang sangat manis dan tak terlupakan.
            Mas Handoyo yang memberi ide agar mereka singgah ke vila untuk kali penghabisan. Setidaknya ada yang mereka kerjakan di vila malam ini meskipun gak harus bermalam. Ajeng menawarkan acara bakar jagung saja, yang langsung disetujui oleh Mas Handoyo dan tentu saja Ayu. Tadinya Tetty dan Yesi mati-matian menolak. Mereka udah terlanjur ilfil sama yang namanya malam-malam di vila. Tapi setelah Mas Handoyo memberi garansi rasa aman dan iming-iming beberapa ekor ikan nila segar, Yesi dan Tetty sepertinya gak punya banyak pilihan selain mengiyakan.
            Yesi dan Leli memilih duduk-duduk di dekat api unggun. Sementara Ayu, Tetty, dan Ajeng berinisiatif mengupas jagung-jagung yang mereka petik tadi sore. Re sendiri tampak sibuk mondar-mandir. Sebentar gabung sama Yesi dan Leli. Sebentar kemudian nimbrung sama kelompok pengupas jagung di dapur. Mas Handoyo belum kelihatan.
            “Kok Mas Handoyo belum muncul ya?” Ayu yang sibuk mengupas kulit jagung bergumam, yang segera disambut dengan cemooh sinis dari Tetty dan Ajeng.
“Tau deh yang besok mau pisahan. Bercucuran air mata tuh kayaknya.” Tetty menggoda.
Ayu cuma mesem sekilas. Gak nyahut apa-apa. Tangannya mulai terampil mengupas kulit jagung.
Di luar, malam kian gelap. Angin juga sesekali mengirim dingin yang sangat. Hembusannya mempermainkan nyala api. Yesi dengan cekatan melemparkan beberapa potong kayu bakar begitu nyala api kelihatan meredup.
“Yes, bukannya hari ini kamu ulang tahun? Bener gak sih?”
Yesi yang lagi ngelihat bulan dan sesekali melemparkan ranting ke kobaran api, seketika noleh ke Leli, “Ini tanggal berapa sih? Kok aku lupa?”
“Tanggal dua puluh sembilan. Kamu ulang tahun kan?”
Yesi memukul jidatnya sendiri, “Buset, kok aku bisa lupa gini ya?” kemudian dia tersenyum sendiri. “Gila! Aku ulang tahun di dusun ini. Pengalaman banget nih. Gak bakal aku lupain deh pokoknya.”
“Harus dirayain nih kayaknya. Ngggggg, pake apa ya? Tepung gak ada. Telur gak ada juga. Masa iya sih ngerayainnya pake ditabokin?”
“Leli, jangan aneh-aneh ya. Awas aja. Udah malem nih. Aku ogah kalo harus mandi lagi. Dingin.”
“Ada apa sih?” Ayu muncul dengan tiba-tiba. Tangannya menenteng sebakul jagung muda yang sudah dikupas kulitnya.
“Yesi ulang tahun,” Leli nyahut dengan antusias. Senyum licik mekar di sudut bibirnya, “Bikin acara dong. Apa kek gitu. Temen kita ulang tahun nih. Masa didiemin kayak gini?”
“DIRAYAIN PAKE INI AJAAAAAAAAAA…”
Kelar teriak gitu, Tetty menyiramkan seember air yang udah dicampuri dengan kulit jagung ke badan Yesi. Leli langsung mencelat lantaran ogah ikut-ikutan basah kuyup. Yesi sendiri pastinya gak bisa ngelak. Air yang dinginnya minta ampun itu sukses bikin dia menggigil malam ini.
Semua cekakakan. Semua ketawa. Semua tepuk tangan. Malam yang belum terlalu jauh seketika riuh membahana. Gegap gempita.
“Kalian… aaaaaah, dingin tauuuuuuu!!!” Yesi mengibas-ngibaskan sisa air yang masih ngalir di badannya. Malam yang memang udah dingin kian dingin saja rasanya.
“Sukurin, siapa suruh ulang tahun di tempat terpencil seperti ini?”
“Gak bisa! Gak bisaaaaa! Pokoknya gitu nyampe Pontianak, aku minta kadoooooooooooo! Awas aja kalo gak ada kado. Awasss!!!”
Semua, kecuali Yesi tentunya, ketawa-ketawa lagi.
Satu persatu, dimulai dari Leli, memeluk Yesi dengan penuh khidmat, “Selamat ulang tahun ya, Kriting. Semoga kamu tambah dewasa dalam menyikapi setiap permasalahan,” ucap Leli seraya nempelin pipinya ke pipi Yesi.
Tetty menyusul, “Selamat ulang tahun yaaaaa,” keduanya berpelukan, “Sehat selalu dan semoga cepet dapat jodoh, hihihihihihihihihi…”
“Aku juga mau mengucapkan selamat ulang tahun,” Ajeng maju memeluk Yesi, “Mudah-mudahan Mbak Yesi bahagia, panjang usia, dan mudah-mudahan sudi main lagi ke dusun saya yang sepi ini.” Ajeng mundur setelahnya, memberi jalan kepada Ayu yang udah bersiap-siap.
Re cepet-cepet mendahului Ayu yang pengen ngucapin selamat. Re udah merentangkan tangan sambil monyongin bibir.
Yesi yang tanggap akan datangnya marabahaya, segera aja berinisiatif ngambil batang kayu bakar yang cukup besar, “Reee, awas ya. Jangan macem-macem! Berani maju selangkah lagi aku gampar pake ini nih,” Yesi ngacungin kayu bakar yang tergenggam erat di tangan.
Re nyengir, “Ya elah, cuma pengen ngucapin met ultah doang, udah mau kena gampar aja,”
“Gak perlu pake monyong-monyongin bibir kali…”
Re ngakak seraya ngulurin tangan kanan ke Yesi, “Met ulang tahun ya sahabatku. Semoga apa yang belom sempet kamu dapet di usia yang kemaren, akan dapet di usia yang sekarang ini,”  Re menjabat tangan Yesi dengan jabat yang erat.
Ayu memutuskan tangan yang saling berjabat erat itu dengan paksa lalu menghambur ke pelukan Yesi, “Hepi besdei ya Sist, mudah-mudahan kamu sehat, panjang umur, dimudahkan dalam mencari rezeki, dan semoga persahabatan kita ini akan kekal abadi, kalo diibaratkan seperti ngompol di celana. Orang laen cuma bisa ngelihat basahnya, tapi cuma kita sendiri yang bisa ngerasain kehangatannya.”
Re, Leli, dan Tetty seketika tepuk tangan begitu Ayu menyelesaikan kalimatnya yang sangat bagus itu. Leli sampe terharu. Matanya berkaca-kaca. Tetty mengerjap-ngerjapkan mata. Re sendiri malah meringis, cengar-cengir minta digampar.
“Loh, ada apa ini? Kok pakai peluk-pelukan segala? Acara perpisahannya sudah dimulai ya? Wah, curang ini. Kok ndak nunggu saya sih?” Tiba-tiba saja Mas Handoyo muncul. Tangannya menenteng beberapa ekor ikan nila yang masih menggelepar sesekali. Sementara di belakangnya mengekor seorang perempuan tua yang membawa bakul dalam keadaan tertutup. Perempuan itu tersenyum ramah kepada semua yang ada di halaman, di dekat api unggun.
“Mbok Warsini?” Yesi memekik begitu tau siapa yang datang bersama Mas Handoyo barusan.
Perempuan tua itu mengangguk takzim, “Wah, Anak ini masih ingat sama saya rupanya. Mbok senang sekali. Mbok merasa sangat dihargai,” perempuan tua yang ternyata adalah Mbok Warsini itu sekali lagi mengangguk.
“O iya, perkenalkan, ini Mbok Warsini, yang saya ceritakan kemarin malam,” Mas Handoyo memperkenalkan Mbok Warsini kepada semua, “Mbok War rupanya tau kalau teman-teman semua berencana akan pulang ke Pontianak besok pagi. Maka dari itu, Mbok War tadi bertandang ke rumah Pakdhe Warno, mengira teman-teman semua ada disana. Kebetulan sekali saya singgah dulu ke rumah pakdhe untuk meminjam pisau. Makanya, sekalian saja Mbok War saya ajak kemari.”
Mbok War tersenyum ramah, senyum khas perempuan dusun yang penuh santun dan kasih sayang, “Saya cuma mau kasih ini,” Mbok War membuka tutup bakul yang dia bawa, “Cuma singkong rebus dicampur gula aren. Maaf, saya ndak bisa kasih apa-apa. Mudah-mudahan Anak semua suka dan doyan,” ucap Mbok War pelan. Bibir itu masih juga menyunggingkan senyum.
“Waaaaaaaaah, pas bener ini. Singkong rebus campur gula aren. Dingin-dingin gini makan singkong hangat. Cocok.” Re segera menyambar bakul yang sejenak lalu masih ada di tangan Mbok War.
“Kamu apa-apaan sih, Re?” Leli menepis tangan Re yang udah nyentuh dikit pinggiran bakul, “Yang sopan dikit napa?”
Re mundur dua langkah, Habisnya, kalian malah pada bengong. Kan kasian Mbok War kelamaan nenteng bakul. Berat tuh,”
“Halah, alesan aja kamu. Bilang aja kamu udah ngiler duluan,” sergah Leli lagi.
Tiba-tiba Ayu bertepuk tangan sekali, seperti ingat akan sesuatu, “Naaaaah, gimana kalo ulang tahun Yesi dirayain pake singkong ini aja? Sebagai ganti cake ulang tahun lah. Seru kan?”
“APAAAA??? NAK YESI ULANG TAHUN???” jika gak segera disambar oleh Re, mungkin bakul di tangan Mbok War udah jatoh dan isinya bakal berserakan. Mbok War sendiri kelihatan sangat kaget. Shock tepatnya. Matanya membelalak. Tangannya gemetaran, meskipun tidak terlihat begitu kentara. Suasana seketika menjadi senyap.
“Mbok kenapa?” Leli mengguncang pundak Mbok War perlahan.
Ayu menimpali sambil sesekali mengurut dada, “Iya, kami sampai kaget. Apa ada yang salah?”
Mbok War seperti mendapatkan kesadarannya kembali. Napasnya sedikit tersengal. Tapi itu sebentar saja. Matanya kembali teduh. Tangannya tak lagi gemetar. “Oh, ndak, ndak ada apa-apa kok. Mbok cuma kaget saja. Kaget anu, nggg… ah, sudahlah, ndak usah dibicarakan lagi. Monggo, singkongnya dinikmati.”
Semua menarik napas lega.
“Eh, Mbok lupa. Selamat ulang tahun untuk Nak Yesi. Semoga panjang umur dan sehat selalu ya, Nduk. Jika ada waktu, sering-seringlah berkunjung ke dusun ini, berkunjung ke rumah Mbok juga boleh.” Mbok War maju menghampiri Yesi yang mulai menggigil. Tiba-tiba saja Mbok War meraih bahu Yesi, membawanya ke dalam pelukan. Dan sesuatu yang tak diduga tiba-tiba terjadi. Mbok War sesenggukan. Mbok War menangis.
Yesi yang tak siap diperlakukan seperti ini tentu saja gak bisa berbuat banyak selain membiarkan tubuhnya di dekap oleh perempuan tua ini. Tapi sekali lagi, suatu keanehan terjadi. kali ini hanya Yesi yang mengalaminya. Tubuhnya yang kedinginan lantaran tadi disiram sama Tetty, mendadak jadi hangat begitu kulitnya bersentuhan dengan kulit Mbok War. Gak cukup cuma itu. Tiba-tiba saja Yesi ngerasain ketenangan yang luar biasa menyenangkan. Ada rasa damai yang menyelimutinya. Rasa damai yang sepertinya tak mungkin dia dapatkan dalam situasi dan kondisi seperti apapun. Hanya saat ini. Hanya saat dipeluk seperti ini. Anehnya lagi, dipeluk oleh perempuan yang baru saja dia kenal tak lebih dari seminggu yang lalu. Yesi memejamkan mata, seolah larut oleh isak tangis Mbok War yang belum reda. Kian lama rasa hangat itu kian terasa, kian enggan rasanya untuk melepaskan pelukan ini. Yesi ngerasa sangat bahagia saat ini.
“Oh, maaf Nak Yesi. Mbok terlalu terbawa perasaan. Sekali lagi maaf,” Mbok War melepaskan pelukan seiring dengan Yesi yang membuka mata.
“Tidak apa-apa, Mbok. Yesi seneng kok dipeluk sama Mbok War, didoain sama Mbok War. Terima kasih ya, Mbok.”
Mbok War menganggukkan kepala dua kali. Meskipun masih ada sisa-sisa air mata, senyum kembali mekar di bibirnya.
“Mbok, saya permisi dulu, mau ganti baju. Dingin rasanya. Tadi saya disiram sama Tetty.” Yesi pamit ke Mbok War. “Eh monyong, anterin aku ganti baju. Enak aja. Tanggung jawab dong!” kali ini tatapan mata Yesi udah pindah ke Tetty yang seketika langsung cengar-cengir.
Yesi berjalan beriringan dengan Tetty menuju vila. Untung aja beberapa pakaian mereka belum dikemaskan dan masih ada beberapa helai di kamar.
“Kok tadi Mbok War mendramatisir banget deh. Heran aku. Gitu aja sampe nangis,” Tetty membuka percakapan begitu mereka menjauh dari temen-temen yang laen. Tetty memang ngerasa ada yang janggal, terutama saat Mbok War teriak kaget begitu tau kalo hari ini Yesi ulang tahun.
“Sudahlah, namanya juga orang tua,” sahut Yesi, “Tapi tau gak, tadi aku tuh ngerasa gimanaaaaa gitu, kok rasanya enak banget saat dipeluk Mbok War. Menenangkan. Padahal sumpah, mama aku aja gak pernah meluk aku sampe sehangat itu,” mereka udah sampe di depan pintu kamar.
“Aku nunggu disini aja,”
Yesi segera masuk ke dalam, menyiapkan setelan kaus warna putih kesayangannya dan celana denim tiga perempat. Rasanya pas aja di acara bakar ikan malem-malem gini pake celana pendek tiga perempat, pikirnya.
Yesi segera bergegas keluar. Di dalam kamar cahayanya tidak begitu menyenangkan. Sebenarnya di luar juga gitu. Tapi paling tidak kan ada Tetty. Ada yang diajak ngomong. Gak sendirian kayak gini.
Tapi Yesi kaget begitu keluar, Tetty udah gak ada di depan pintu kamar. Yesi mulai gusar.
“Tettyyyyyyy, udah deeeeeeh! Gak lucu, tau gak??? ini bukan waktu yang pas buat becanda!!!”
Sepi. Gak ada sahutan. Yesi mulai bimbang dan sedikit geram sama Tetty. Dalam hati dia bersumpah, kalo dia udah kelar ganti baju dan ketemu sama Tetty, bakal dia tabok. Lihat aja nanti, pikirnya.
“TETTYYYYY!!!” Yesi mulai teriak. Tapi hasilnya juga sama, gak ada yang nyahut. Yesi bener-bener jengkel. Gak mau buang-buang waktu, dia mutusin untuk ganti baju sendiri. Gak perlu mandi atau apalah namanya. Cukup ganti baju aja.
Tapi, kulit jagung sialan itu memang bikin gatel. Gak ada cara lain. Kalo mau gak gatel, memang harus mandi. Harus. Yesi gak punya pilihan. Dia merayap menuju kamar mandi. Di dapur ada lampu minyak. Diraihnya lampu minyak itu, dia besarkan sumbunya sampe pol. Ruangan lumayan terang. Yesi segera bergegas menuju pintu kamar mandi. Lebih cepet  kan emang lebih baik, batinnya. Gak enak banget sendirian di dapur yang nuansanya udah kayak diawasi oleh sepuluh ribu roh-roh jahat dan menyeramkan. Membayangkan itu semua, Yesi bergidik sendiri.
Baru saja Yesi memegang gagang pintu kamar mandi, tiba-tiba sesuatu berdering dengan kerasnya. Yesi hapal benar dengan suara itu. Itu suara Hp-nya. Itu tanda SMS masuk. Some One Like You-nya Adelle meraung-raung dengan lantang ditengah kesunyian seperti saat ini. Padahal sumpah, Hp itu sendiri bahkan dalam keadaan non-aktif saat ini. Yesi ingat benar.
Yesi urung membuka pintu kamar mandi. Logikanya mulai bekerja. Gak ada yang dia pikirkan selain dua hal. Yang pertama, arwah sialan yang sering mengerjainya belakangan ini. Siapa lagi? Bukankah di dusun ini gak ada sinyal? Boro-boro deh sinyal, bahkan listrik pun gak ada. Yang kedua, paling-paling ini kerjaannya Tetty. Pasti dia sengaja ngumpet tadi. Dan sekarang dia mau nakut-nakutin. Ah, trik yang udah basi, batin Yesi kesal. Tapi toh sedikit banyak dia ngerasa takut juga.
Meskipun ngeri dan takut luar biasa, tapi Yesi berusaha untuk kuat dan gak teriak. Yesi udah berniat untuk gak peduli sama dering Hp itu. Ketimbang ngurusin arwah yang iseng, kan lebih baik mandi, batinnya. Gatel di badannya udah bener-bener minta digosok. Pake sabut kelapa kalo perlu.
Pintu kamar mandi udah kebuka. Yesi udah masuk. Namun pas pintu mau ditutup, sesuatu yang paling gak dia pengen terjadi juga. Telinganya menangkap suara yang sungguh gak nyenengin. Suara rintihan perempuan yang seperti menahan sakit. Suara perempuan yang seperti menderita. Menyayat dan begitu mengiris perasaan. Bulu kuduk Yesi merinding. Leher bagian belakangnya seketika menjadi dingin dan terasa begitu tebal. Yesi ingin teriak tapi suaranya seolah gak mau keluar. Lututnya mulai gemetar, makin lama makin kuat.
Yesiiiiiiiiiiiiihhhhhh, sakkkkkiiiittttt… sakit sekaliiiii… Toloooongggg… tolong aku Yesiiiiiiiihhhhh… Semak-semak Yesiiiiiiiiihhhhhhh… semak-semaaaaaaaakkkhhhhhhhh…..
Begitu terus menerus. Makin lama rintihan itu makin nyaring, makin memilukan, tidak tidak, makin menyeramkan tepatnya. Seperti rintihan dari alam kubur. Seperti bisikan dari alam kematian yang penuh dengan roh-roh yang berterbangan.
Yesi mulai menggigil. Matanya terpejam rapat. Dia ingin pingsan saja kalau bisa. Mungkin itu lebih baik. Tapi suara-suara itu tetap saja masuk ke gendang telinganya. Membuatnya kaku. Membuatnya tak bisa berbuat apa-apa.
Yesi kaget luar biasa begitu dia membuka mata. Tiba-tiba saja nyala api pelita di tangannya terombang-ambing. Seperti ada yang meniup. Sebentar-sebentar nyala pelita itu meredup. Sebentar-sebentar terang seperti semula. Mata Yesi sendiri lekat-lekat memandang nyala api di depannya. Mulutnya menganga. Bahkan kini, lehernya sendiri yang menjadi sejuk, seperti ditiup dengan perlahan.
Yesi memutar kepala. Begitu matanya menatap ke arah bak mandi, seorang perempuan dengan pakaian yang berantakan berdiri mematung. Mata perempuan itu tajam memandangnya. Sempat juga Yesi melihat ada darah yang terus menerus mengalir di beberapa tempat. Di bibir, di sudut mata, di lengan,  dan di…
Yessiiiiiiiihhhhh… Tolong akkkuuuuuu…
TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKK!!!
Blap!!!
Nyala pelita padam disusul dengan robohnya tubuh Yesi ke lantai.

***

Re yang sedang berbincang dengan Mbok War di halaman memang sudah merasakan ada sesuatu yang janggal sejak kepergian Yesi dengan Tetty tadi. Sudah hampir setengah jam, tapi dua temannya itu belum juga menampakkan batang hidung. Kejanggalan itu bermula dengan nyala api unggun yang lekas benar meredup. Padahal sudah beberapa kali Re melemparkan batang-batang kayu bakar dan ranting-ranting kering. Selain itu, Re tak merasakan adanya angin yang berhembus, tapi nyala api unggun terus saja meliuk-liuk, seperti tersapu angin yang cukup kencang.
Re memperhatikan sekeliling. Bulan lenyap di balik awan. Bintang memudar satu-persatu. Re mulai merasakan suasana yang tidak nyaman. Telapak tangannya basah, padahal dia tak sedikitpun menyentuh air. Lagi pula dia tidak dalam keadaan berkeringat. Selain basah, pergelangan tangannya terasa bergegar.
Tiba-tiba Re menangkap suara teriakan dari dalam vila. Re bangkit dan menajamkan pendengaran. Sepi. Yang terdengar hanya suara-suara binatang malam yang saling bersahutan, juga suara teman-temannya yang masih ngobrol di sini.
“Ada apa, Re?” Ajeng memandang Re dengan tatapan bingung.
“Barusan Mbak denger suara teriakan gak sih?” Re menjawab tanpa mengalihkan tatapan dari pintu vila, “Rasanya itu tadi suara Yesi deh,”
“Iya, mandi kok lama banget ya? Jangan-jangan…” Leli memenggal kalimatnya sendiri. Yang lain tak ada yang bersuara setelahnya.
Tak ada yang bergerak. Semua sibuk dengan seribu ‘jangan-jangan’ di benak masing-masing. Jangan-jangan Yesi kehabisan baju. Jangan-jangan Yesi gak jadi mandi. Jangan-jangan air di bak mandi habis. Jangan-jangan…
Re beranjak dari tempatnya. Setengah berlari dia menuju vila.
“Mau kemana, Re?” Mas Handoyo berteriak. Re sudah menjauh.
“Nyusul Yesi sama Tetty, Mas. Perasaanku gak enak!” Re berlari lagi.
Di belakang, seperti mendapat komando, semua bangkit dan bergegas membuntuti Re. Mbok War yang udah gak bisa lari terpaksa jalan pelan-pelan sambil dituntun oleh Leli dan Ajeng.
Re menerobos pintu vila yang sedikit terbuka. Begitu dia masuk, yang pertama dia temukan adalah Tetty yang terbaring di sofa. Matanya terpejam. Posisi tidurnya membelakangi pintu vila.
“Kak… Woi, bangun. Bangun…” Re mengguncang-guncang pundak Tetty.
Tetty menggeliat seiring Mas Handoyo dan Ayu yang masuk ke vila nyaris bersamaan. “Ada apa ini? Kok kalian ngerubungin aku kayak gini sih?”
“Yesi mana?” Re mengacuhkan pertanyaan Tetty barusan.
Tetty mengedarkan tatapan, “Lah, tadi dia bilang, dia gak jadi mandi. Aku diajaknya duduk di sofa ini. Dia ngantuk katanya. Dia pengen tidur aja di sini. Ya udah, aku pun ikut tidur juga. Sekarang gak tau dia dimana.”
Re mengalihkan tatapan ke Mas Handoyo, “Gimana ini, Mas? Sepertinya…”
Mas Handoyo mengangguk sekali, “Saya tau apa yang kamu pikirkan. Kita berdoa saja, semoga pikiran itu salah. Sekarang, mari kita cari Yesi sama-sama,”
Semua bergerak. Tetty yang masih sedikit bingung terpaksa mengekor. Dia gak atau apa sebenarnya yang udah terjadi. semua sibuk mencari Yesi. Padahal kan, plis deh, Yesi kan mungkin lagi mandi. Ngapain juga kalut ngurusin orang yang lagi mandi?
“YESIIIIIIII… KAMU DIMANAAAAAAA???” Re berteriak memecah sunyi. Suaranya menggelegar ke penjuru ruangan. Semua kamar sudah diperiksa satu-persatu. Ruang tamu. Dapur. Hasilnya nihil. Yesi tetep gak ditemukan.
“Tinggal kamar mandi yang belom kita periksa,” ujar Leli yang mulai panik.
Tanpa banyak bicara, Re bergegas menuju kamar mandi. Pintu pertama udah dibuka. Kosong. Tinggal kamar mandi yang satunya lagi. Re menarik napas panjang. Gagang pintu sudah dia pegang. Saat akan dibuka, daun pintu gak bergerak sedikitpun.
Re memandangi teman-temannya satu-persatu, “Kayaknya dikunci dari dalam deh,” ujarnya kemudian, seperti orang yang mulai putus asa.
Ayu memberi usul, “Dobrak aja. Pasti Yesi ada di dalam,”
“Iya, dobrak aja.”
Re mundur tiga langkah. Posisinya udah seperti orang yang ngambil ancang-ancang untuk mendobrak. Sementara yang lain memberi jarak agar Re bisa dengan leluasa mendobrak pintu.
Begitu Re udah mulai bergerak, tiba-tiba dia memalingkan muka ke Mas Handoyo, “Mas aja deh yang dobrak. Lututku lemes, Mas. Gak kuat deh kayaknya,”
“Ya elah, kirain…” dalam gelap, Tetty masih aja sempet mencibir.
Mas Handoyo pindah ke posisi Re tadi. Dia mulai ancang-ancang. Selang sepersekian detik, tubuhnya melesat. Kakinya menghantam daun pintu dengan keras. Dengan sekali hentak, daun pintu di hadapannya sudah menganga lebar.
Di dalam kamar mandi, Yesi tergeletak tak sadarkan diri. Pelita yang sudah padam juga tergeletak di lantai, agak jauh dari kepala Yesi. Minyaknya tumpah dan membanjiri lantai kamar mandi.
Semua yang ada di luar kamar mandi segera berebutan untuk masuk. Re dan Tetty yang lebih dulu. Re segera mengangkat kepala Yesi, menepuk pipinya beberapa kali. Sementara Tetty mengusap wajah Yesi dengan kaus putih yang sedianya akan dipakai oleh Yesi ketika dia kelar mandi nanti.
“Yes, kamu kenapa? Sadar dong,” suara Tetty tercekat di leher. Kondisi sahabatnya sungguh memprihatinkan. Acak-acakan. Tetty sungguh ngerasa bersalah. Kalo tadi dia gak nyiram Yesi dengan air yang dicampur dengan kulit jagung, mungkin gak bakal kayak gini kejadiannya.
“Apa ndak sebaiknya kita bawa keluar dulu? Dibaringkan di sofa gitu,” Ajeng memberi saran yang sangat bagus. Dia sendiri segera membantu membopong Yesi keluar dari kamar mandi.
Tapi, belum sempat tubuh Yesi diangkat, tiba-tiba badannya menggelepar seperti sedang disulut dengan bara api. Mata Yesi seketika terbuka lebar, melotot, menampakkan biji mata yang seperti akan meloncat keluar dari kelopaknya. Yesi mengerang beberapa kali. Tangan dan kakinya tiba-tiba menjadi kaku. Tetty dan Re yang posisinya paling dekat langsung mencelat, ngerasa gak kuat untuk menahan tubuh yang terus-menerus meronta itu.
“AAAAARRRRRRGGGGHHHHHH… AKU BUNNNNNNNNNNNNNNUUUHHH KKKKAAUUU!!!”
Yesi mengeluarkan suara yang melengking. Tapi sungguh, suara itu bukan suara Yesi. Sama sekali bukan. Suara melengking itu terdengar sedikit serak dan penuh dendam. Penuh amarah.
Tubuh Yesi membalik dengan cepat dan tangkas. Kini posisinya seperti kucing yang sedang berjalan. Tangan kanan Yesi terjulur ke arah Mas Handoyo. Sementara dari mulutnya terus menerus mengeluarkan desis, seperti ada puluhan ular berbisa di dalamnya.
“KUBUNNNNNUHHH… AKU BUNNNUHHHHH KAUUUUU!!!”
“Ranti, Ranti… ini Emak, Nduk. Ini Emak.” Mbok War cepat menangkap tubuh Yesi yang hampir jatuh terbaring. Entah dapat kekuatan dari mana perempuan tua itu. Leli yang sejenak tadi masih memegang lengannya, kini tinggal berdiri mematung sendirian.
Yesi yang kini ada di pelukan Mbok War, masih juga mendesis. Tangannya terus terjulur ke arah Mas Handoyo. Beberapa kali dia menyeringai.
“Kamu pulang saja ke alammu ya, Nduk. Wes to lah, ndak usah balas dendam lagi. Emak sudah ikhlas kamu pergi.” Mbok War tersedu. Matanya basah oleh air bening yang segera menetes ke kening dan pipi Yesi. Seketika tubuh Yesi tak lagi meronta. Lamat-lamat, terdengar Yesi sesenggukan.
“Kamu pulang ya, Nduk. Pulang ya,”
Isak tangis Yesi terhenti. Keluar suara desis dari mulutnya lagi. Desis yang penuh kemarahan dan dendam, “Diaahhhhh hhhhhaaarrrussssshhhh mmmmaaattttiii, Maaaaaak… Haarrrussssss!!!”
“Dia itu siapa to, Nduk? Siapa yang sudah membuatmu jadi seperti ini?”
“Diiiaaaaaa…” tangan Yesi terulur, mengarah persis ke Mas Handoyo.
Mas Handoyo yang tampak tegang, kini berubah jadi gusar dan gugup, “Apa??? Tidak, kamu salah, Sumi. Aku tidak tau apa-apa. Kamu salah. Bukan aku yang membunuhmu!”
“Sssssssssssshhhhhhhh… Kamu tidak mencegahhhhhh, kamu tidak mencegaaaaaahhhhhhhhh!!!”
Mbok War memandang Mas Handoyo dengan tatapan miris, yang dengan cara itu seolah dia minta  penjelasan saat ini juga.
Mas Handoyo semakin gelagapan. Kini bukan hanya Mbok War yang memandangnya dengan tatapan penuh selidik, tapi semua yang ada di dekat kamar mandi ini. Re, Ajeng, Tetty, Leli, dan Ayu.
“Waktu itu,” Mas Handoyo menyerah, dia tidak punya pilihan apa-apa lagi selain memang harus bercerita, “waktu itu saya sedang memandikan kerbau di sungai. Belum, belum memandikan. Baru akan memandikan tepatnya. Ketika saya akan menuntun kerbau saya masuk sungai, tiba-tiba Sumi datang membawa bakul. Saya tau kalau sumi akan mencuci. Makanya saya memutuskan untuk memandikan kerbau saya di sebelah bawah sungai saja, supaya air yang akan dipakai Sumi mencuci pakaian tidak terkena kotoran kerbau. Sumi tidak melihat saya waktu itu karena jarak kami memang agak jauh.. Saya, entah mengapa, bisa lupa tidak membawa sabut untuk menggosok badan kerbau.
Saya memutuskan untuk mencari sesuatu yang bisa saya pakai memandikan kerbau. Kerbau sudah saya ikat di sebuah pohon, tak jauh dari tepi sungai. Saya lihat dari kejauhan, Sumi sudah mulai mencuci.
Waktu saya sibuk mengumpulkan potongan karung bekas untuk gosok, tiba-tiba saya mendengar sebuah teriakan. Saya tau kalau itu adalah teriakan Sumi. Saya bergegas menuju ke tempat Sumi mencuci. Ternyata di sana sudah ada seseorang yang sedang berusaha menggagahi Sumi. Orang itu membawa sebilah sabit yang ditempelkan ke leher Sumi. Saya takut sekali waktu itu. Takut seandainya saya mendekat, orang itu benar-benar membunuh Sumi dan bahkan mungkin akan membunuh saya juga.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengintai terlebih dahulu. Ternyata keputusan saya salah. Sumi benar-benar dibunuh dengan cara dibekap hidungnya. Tubuh sumi mengejang. Sebelum dia menghembuskan napas terakhir, tatapan mata kami sempat beradu. Sumi sempat melihat saya sedang bersembunyi di balik batu besar. Tubuh Sumi sudah babak belur. Waktu itu saya tidak tau harus berbuat apa. Sampai akhirnya mayat Sumi dipanggul oleh orang tadi, dibawa ke suatu tempat. Saya tak berani mengikuti sebab tak ada lagi pepohonan untuk mengendap-endap. Di sisi lain, saya memang tak bisa lagi bergerak. Terlalu ngeri rasanya menyaksikan seseorang yang saya kenal dibunuh di depan mata saya sendiri.”
“Ssssssssssshhhhhh… kaaaaammmuuuuu tidakkk mencegahhhhh…”
“Maafkan saya, Sumi. Saya terlalu takut waktu itu.”
“Kamuuuuu harrrruuusssshhhhhhh matttttiiiiiiiihhhhhhhhhh…” selesai berkata begitu, tubuh Yesi melesat, lepas dari pelukan Mbok War, menghambur ke arah Mas Handoyo yang sama sekali tidak siap menerima serangan.
Sejenak kemudian, Mas Handoyo sudahpun bertarung dengan Yesi yang terus saja mendesis dan berteriak sesekali. Tangan Yesi berhasil mencekik leher Mas Handoyo. Keduanya roboh ke lantai. Yang satu ingin menghabisi yang lain, sementara satunya ingin mempertahankan diri.
Re yang mulai ngeh dengan apa yang terjadi, seketika melompat ke arena pertarungan, mencoba menarik tubuh Yesi dengan sisa kekuatan yang ada, namun gagal. Justru tubuh Re yang kemudian mencelat cukup jauh.
“CUKUUUUP!!!”
Di tengah suasana yang kalang kabut dan mengerikan ini, tiba-tiba muncul beberapa orang yang segera menyeruak ke arena. Mereka adalah Pakdhe Warno, Budhe Lasmi, dan Asmawi. Asmawi lah yang berteriak lantang barusan.
“Sumi, jangan libatkan orang lain. Urusanmu dengan aku,” Asmawi maju ke tempat dimana Yesi masih mencekik Mas Handoyo.
Mendengar suara Asmawi, cekikan di leher Mas Handoyo seketika mengendur. Mata Yesi masih seperti yang tadi, nyalang, membara penuh dendam, kini beralih menatap Asmawi.
“Kaaauuuuuuuuuuuu… AAAARRRGGGGGHHHHHHHH… AKU BUNUHHHHHHHHH…”
Asmawi dengan sigap menyambut serangan yang dilancarkan oleh Yesi. Keduanya beguling dilantai, saling serang, saling mencengkram.
“Akkkhh.. aku mengaku salah, Sumi. Akkkkhhh akkku minta maaf,”
“SSSSSSSSSSHHHHH… BUNUHHHHHH AKUUU BUNNNUHHHHH KAUUUUU!!!”
“Rantiiii, dengarkan Emak, Nduk. Emak mohon, jangan kamu berbuat seperti ini. Emak sudah ikhlas kamu pergi. Lagi pula orang yang membunuhmu sudah meminta maaf.” Mbok War menangis sesenggukan lagi. Jemarinya terjulur ke arah Yesi yang masih juga mencekik Asmawi.
“AAAAARRRRGGGGGGHHHHHH...”
“RANTIII…” Mbok War mengerahkan segenap kemampuan yang masih tersisa untuk sekedar berteriak seperti barusan. Usahanya ini tidaklah sia-sia. Yesi mengendurkan cekikan di leher Asmawi, kemudian berbalik dan menghampiri Mbok War dengan wajah tertunduk.
“Emak… Ranti pulang. Ranti ingin tidur di tempat yang semestinya. Pindahkan Ranti. Pindahkan Ranti. Pindahkan Ranti. Ranti sayang Emak.” Tubuh Yesi lemas dan terkulai persis di pelukan Mbok War. Matanya terkatup rapat. Napasnya pelan-pelan mulai teratur.
Mbok War sendiri masih juga menangis seraya memeluk tubuh Yesi dengan erat. Bahunya berguncang. Air matanya tak terkatakan lagi. Deras, berlinang-linang. “Kamu akan tidur di tempat yang semestinya, Nduk. Kamu akan tidur di tempat yang semestinya. Emak akan memindahkanmu. Emak janji.”
Di luar, malam semakin menua. Udara kian jadi dingin. Api unggun telah kehilangan cahayanya. Padam. Gelap. Tinggal binatang malam yang menyanyi, saling bersahutan, menambah syahdunya malam. Sebuah malam penghabisan.

***

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah