Jumat, 14 Juni 2013

[25] Gerimis di luar sana…



 Segalanya kini telah selesai. Telah terbongkar. Asmawi telah mengakui segala perbuatannya. Dialah yang membunuh Sumi. Dia juga yang mengubur Sumi di semak-semak, di belakang vila. Karenanya, ketika Mas Handoyo memintanya untuk membersihkan rumput di sekitar vila menjelang kedatangan Re dan kawan-kawan tempo hari, Asmawi memang sengaja tidak memangkas rumput di sudut kanan belakang vila itu.
 Kini jasad Sumi sudah digali, sudah dipindahkan ke tempat yang semestinya. Di sebuah pemakaman kecil, tulang-belulang Sumi dipindahkan. Upacara pemakaman yang berlangsung khidmat itu dihadiri oleh hampir seluruh penduduk. Kebanyakan dari mereka sungguh tidak menyangka jika Asmawi yang dipandang sebagai pemuda yang kalem, santun, dan rajin, tega berbuat bejat seperti itu. Semua geleng-geleng. Tak habis pikir. Beberapa ibu dan tetangga yang mengenal Sumi malah ada yang sampai meneteskan air mata.
Yesi yang turut menghadiri upacara pemindahan jasad Sumi mulai sadar apa yang sebenarnya telah terjadi. Semalam dia pingsan dan baru siuman saat hari menjelang pagi. Tampilannya kusut. Acak-acakan. Matanya sayu dan sembab. Sesekali dia tampak menyandarkan kepala ke pundak Tetty.
“Semua udah kelar. Kamu tenang aja,” Tetty menguatkan sahabatnya itu dengan pelukan.
Yesi mengangguk sekali, “Kenapa mesti aku sih yang dipilih Ranti?” ucapnya pelan, nyaris tak terdengar. Suaranya sudah mulai pulih sedikit demi sedikit.
“Kata Mbok War, mungkin itu karena ulang tahunmu sama persis dengan ulang tahun Sumi. Makanya kamu yang dipilih,” sahut Leli yang juga ada di sebelah Yesi.
Pemindahan jasad sudah selesai. Orang-orang telah meninggalkan pemakaman satu demi satu. Lambat laun pemakaman ini kian sepi saja. Yang tersisa hanya segelintir orang yang memang punya kepentingan. Mbok War, Yesi, Ajeng, Re, Mas Handoyo, Tetty, Ayu, dan Leli. Pakdhe Warno dan Budhe Lasmi memilih untuk meninggalkan pemakaman lebih dulu.
Perlahan, langit tampak gelap. Mendung berarak pelan, menutupi dusun dengan nuansa pekat. Angin berhembus sedikit lebih kencang dari biasanya.
“Mbok, sebaiknya kita pulang. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Lihat, langit sudah gelap.” Ajeng merengkuh pundak Mbok War yang masih sesenggukan di nisan Sumi.
Meski kelihatan sangat berat, perempuan tua itu berdiri juga seraya menyeka air mata yang masih menetes. Diusapnya nisan anaknya itu sekali lagi, “Tidur yang nyenyak ya, Nduk. Emak akan sering-sering kesini, menjenguk kamu. Kamu jangan nakal lagi ya, Nduk. Masalahmu sudah selesai sekarang.”
Re memalingkan wajah. Re tampak sedikit salah tingkah. Dia merasa bahwa dia kuat, dia tegar. Tapi toh pada akhirnya dia sadar kalau dia salah. Pelan-pelan air matanya menetes juga. Mati-matian disembunyikannya air mata itu. Dia tak ingin terlihat menangis. Tapi bagaimanapun juga, apa yang sedang tersaji di hadapannya kini memang sungguh menyentuh perasaan. Dadanya bergetar hebat. jika tidak ingat malu, ingin rasanya dia menangis meraung-raung saat ini juga. Betapa tidak? Mbok War tiba-tiba sesenggukan lagi, berlutut dan menciumi nisan Sumi, dan ini terjadi persis di depan matanya. Re sadar bahwa hatinya tidak terbuat dari batu. Betapa Re iri dengan teman-teman yang lain, yang dengan mudahnya sesenggukan tanpa rasa sungkan sedikitpun.
“Kita pulang ya, Mbok.”
Gerimis kian membuat hari jadi muram.

***

Siang, pukul 13.15 WIB.
Re memasukkan tas terakhir ke bak Strada Silver Metalik kesayangannya. Tutup bak segera dirapatkan setelahnya mengingat hujan masih turun rintik-rintik. Kemudian dia bergegas ke beranda rumah. Disana, di beranda itu, sudah berkumpul teman-teman Re, Ajeng, Pakdhe Warno, Bude Lasmi, Mas Handoyo, dan Mbok War.
“Kami harus segera berangkat, Pakdhe. Betapapun ngototnya saya mencegah Yesi agar menunda kepulangan, tetap tidak berhasil. Yesi minta pulang hari ini juga. Teman-teman yang lain meluluskan permintaan Yesi. Jadi rasanya saya pun harus demikian,” ujar Re pelan. Di hadapannya, Pakdhe Warno hanya bisa mengangguk pasrah.
“Tidak apa-apa. Mungkin itu lebih baik. Kita harus menjaga hal-hal yang tidak kita inginkan agar jangan terjadi lagi. Yesi sedang terguncang batin dan jiwanya. Jika dia terlalu lama disini, mungkin itu tidaklah bagus buatnya.”
“Saya juga berpikir seperti itu, Pakdhe.”
“Baiklah, hati-hati bawa mobil. Pelan-pelan saja. Doa kami selalu menyertai dari sini.”
Re segera mencium punggung tangan Pakdhenya itu. Lalu pindah ke Budhe Lasmi dan Ajeng. Di hadapan Mas Handoyo, Re tersenyum, “Senang sekali bisa menghabiskan waktu liburan bersama Mas. Saya harap suatu saat kita bisa berkumpul lagi seperti ini,” ujar Re lirih.
“Iya, Re. kamu dan teman-teman juga, jika tidak sibuk, sering-seringlah berkunjung ke rumah pakdhe, ke dusun kita ini. Kami akan selalu merindukan kalian.”
Sejenak kemudian, tubuh Re sudah melekat dengan tubuh Mas Handoyo. Mereka berpelukan erat. Terakhir, Re mencium punggung tangan Mbok War yang tampak berkaca-kaca. “Saya pamit ya, Mbok. Mbok jangan sedih lagi. Sumi sudah tidur dengan damai. Semua sudah selesai.” Ujar Re nyaris berbisik.
Mbok War hanya mengangguk-angguk,  tak sanggup lagi berkata-kata. Air matanya sudah bercucuran sejak tadi.
Sampai pada giliran Yesi, tiba-tiba Mbok War meraung. Tangisnya meledak. Didekapnya tubuh Yesi dengan erat, seperti tak ingin dia lepaskan lagi. “Mbok akan selalu merindukanmu, Nak. Terima kasih karena sudah membantu Ranti,” ujar Mbok War disela sesenggukannya.
Yesi mengangguk lemah, “Iya Mbok.” Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Yesi. Selebihnya, dia pun sesenggukan. Air matanya tumpah sudah.
Re menatap satu persatu orang-orang di hadapannya. Teman-temannya berdiri di belakang. “Kami mohon pamit. Kami minta maaf jika selama tinggal disini kami sudah banyak buat salah. Banyak bikin onar. Mohon kami dimaafkan.”
Pakdhe Warno hanya mengangguk sambil tersenyum sekilas.
Setengah berlari, Re menuju pintu mobil, diikuti oleh Tetty, Leli, Ayu, dan Yesi. Mereka duduk di posisi yang sama dengan posisi ketika berangkat dulu.
Re mengusap kepalanya yang sedikit basah oleh gerimis. Ditolehnya sejenak Tetty yang duduk di sebelah kirinya, lalu pandangan matanya pindah ke belakang, ke Leli yang duduk di sebelah kanan, Yesi di tengah, dan Ayu yang merapat ke sebelah kiri.
Mesin mobil sudah dihidupkan. Mobil bergetar pelan. Kedua tangan Re sudah melekat di setir mobil. Re menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Liburan yang hanya beberapa hari, tapi meninggalkan sebuah kesan yang dalam.
Semua yang ada di dalam mobil terdiam. Sementara gerimis di luar sana kian menderas, kian membuat suasana jadi kelam.
“Kita berdoa dulu,” ucap Re dengan suara yang berat.
Re membunyikan klakson dua kali, seiring mobil yang mulai bergerak perlahan. Re melambaikan tangan. Tetty, Leli, dan Ayu juga melakukan hal yang sama. Kecuali Yesi. Dia hanya tersenyum. Senyum yang sungguh kentara dipaksakan.
Mobil kian menjauh, meninggalkan pekarangan rumah Pakdhe Warno, meninggalkan dusun yang tenang, meninggalkan kehidupan yang damai, meninggalkan semuanya yang beberapa saat lagi akan mereka sebut dengan sebutan ‘sebuah kenangan manis’. Entah kapan lagi mereka akan berkunjung ke dusun ini.
Yesi melemparkan tatap ke luar jendela. Tak begitu jauh dari jalan, di atas sebuah bukit yang tak terlalu tinggi, tampak olehnya vila yang berdiri dengan gagahnya. Yesi tersenyum. Di sana, di depan vila, berdiri seorang gadis yang tersenyum manis. Sangat manis. Gadis itu mengenakan kebaya berwarna hijau muda dipadu dengan kain batik di bagian bawah. Sungguh pantas dan terkesan anggun. Rambut panjangnya tergerai tertiup angin. Gadis itu melambai ke Yesi. Senyumnya masih mengembang.
Yesi menundukkan wajah, berusaha melihat gadis itu dengan jelas. Bibirnya tersenyum. Yesi segera membalas lambaian gadis di depan vila itu. Mobil yang berjalan tak terlalu laju membuat keduanya, Yesi dan gadis itu, bisa saling melambai dengan sedikit lebih lama.
Leli yang kali ini bisa sedikit lebih tahan dari serangan mabok kendaraan, merasa bingung dengan sikap Yesi ini. Matanya mencoba mengikuti arah tatapan mata Yesi. Leli yakin dengan pasti jika tatapan mata Yesi saat ini sedang tertuju ke Vila. Tapi yang membuatnya heran adalah: tak ada siapa-siapa di sana, di sekeliling vila itu. Leli tak menemukan siapa-siapa, seorangpun. Alis Leli bertaut.
“Kamu lagi senyum-senyum sama siapa sih, Yesi?” Leli mulai menyelidiki, sementara yang ditanya malah melambai-lambaikan tangan lebih sering.
Tetty menoleh ke belakang. Begitu tau kalau Yesi bertingkah aneh, sontak tatapan mata Tetty juga mengikuti arah tatapan mata Yesi. Kening Tetty langsung berkerut. Bener aja kalo Leli bingung. Tetty jga gak nemuin siapa-siapa di sekeliling vila itu.
Tetty berkata sedikit membentak, “Jangan bilang kalo kamu sekarang sedang tersenyum sama…”
“Ranti,” Yesi memenggal kalimat Tetty sekenanya, “di depan vila ada Ranti. Dia melambai ke arah kita. Dia tersenyum, manis sekali.”



Mempawah, 10 Februari 2013
19.49 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah