Jumat, 14 Juni 2013

[23] Kata yang paling baik saat ini adalah: PULANG!!!



 Ruang tamu begitu sepi. Senyap. Temaram lampu minyak gak banyak membantu. Membantu apapun itu. Penerangan. Menenangkan perasaan. Membunuh rasa takut apalagi. Semua orang mendadak jadi sibuk. Sibuk oleh kekalutan dan perang di hati masing-masing. Sibuk menyembunyikan rasa ngeri. Sibuk meredam detak jantung yang kencang dan jantung itu sendiri seperti akan berloncatan. Sibuk ingin bercerita namun gak tau mesti mulai dari mana.
            “Kalo kita besok pulang saja, gimana?” Leli mengetuk-ngetukkan telunjuk ke meja, menciptakan ritmis yang justru terdengar mengerikan. Diedarkannya tatapan. Yang terlihat adalah wajah-wajah yang penuh rasa ngeri dan takut.
“Terlalu mendadak.” sahut Re pelan. “Kalaupun mau pulang, sebaiknya lusa saja. Setidaknya pakdhe dan budhe tidak merasa ada yang janggal di vila ini. Ya intinya jangan mendadak lah. Kesannya juga gak baik.”
Yesi mengangkat wajah, “Tapi kenyataannya memang ada yang janggal, kan? Dan sialnya lagi, kenapa mesti aku yang kerap dihantui oleh arwah itu? Kenapa mesti aku sih? Bagus banget tempo hari aku dikasih ijin ikut liburan sama mama. Tau gini, mending aku nurut aja sama keputusan awal mama. Tinggal di rumah dan kesepian kayaknya lebih nyenengin ketimbang disini sama kalian tapi terus-terusan dihantui sama arwah gak jelas maunya apa!”
“YESI!!! Jaga mulutmu!”
“Kamu sih enak, Re, kamu gak pernah dihantui. Aku? Tetty? Ajeng? Lihat ini,” Yesi mengeluarkan Hp dari saku celananya. Diotak-atiknya benda mungil yang canggih itu. Betapa dia ingin nunjukin SMS yang terus menerus menerornya sejak malam kemarin. Dan betapa dia ingin bilang kalo dihantui seperti ini rasanya sungguh gak enak.
Tapi betapa kagetnya Yesi manakala SMS yang dia cari udah gak ada lagi di layar Hp-nya. Di inbox juga gak ada. “Kok hilang?” teriak Yesi penuh kekalutan, bukan ke siapa-siapa, melainkan lebih ke dirinya sendiri. Meski udah dipencet-pencet, tetep aja SMS sialan itu gak muncul di layar Hp-nya.
“Apanya?” Ayu yang memang gak tau-menau soal SMS yang meneror Yesi, terang aja jadi penasaran.
“Mbak Yesi dihantui sama SMS aneh. Ndak ada nama dan nomor pengirim, tapi di layar Hp-nya Mbak Yesi selalu muncul kata ‘semak-semak’. Setiap dihapus, muncul lagi. Begitu terus.” Ajeng memberi penjelasan ke semua yang ada di ruang tamu.
Leli tampak kaget. Ayu lebih lagi. Raut ketakutan mulai muncul di wajah keduanya. Sementara Mas Handoyo adalah satu-satunya orang yang terlihat paling tenang. Pembawaannya yang kalem kian tampak begitu ada masalah-masalah yang bikin kalut kayak barusan.
“Sebenarnya ada apa sih ini? Kamu tau soal ini, Jeng?” mata Yesi menatap tepat ke manik mata Ajeng yang sedikit meredup.
Tidak siap diserang dengan pertanyaan blak-blakan seperti barusan, Ajeng gelagapan, “Saya, eh… anu, maksud saya…”
Tetty mengambil alih, “Udah deh, kamu ceritain semuanya. Ada apa sebenarnya ini? Jangan bikin kami terus-terusan menduga-duga. Kami capek ketakutan terus sepanjang malam.” Tetty menghela napas sejenak, “Kamu juga Re, gak usah main rahasia-rahasiaan lagi. Ceritain aja semua sekarang.”
Mas Handoyo berdehem dua kali, “Biar saya saja yang menjelaskan,” katanya perlahan. Gak ada yang mendebat lagi. “Kira-kira dua tahun yang lalu, memang ada anak gadis yang hilang di sekitar Vila ini. Namanya Sumi. Sumi ini…”
“Maaf, aku potong. Kalo boleh tau, nama lengkap sumi ini siapa?” Yesi ngajuin pertanyaan yang sebenarnya gak penting untuk yang lain, tapi sangat penting untuk dirinya sendiri.
“Namanya  Sumi Prawiranti.”
Mata Yesi menyipit. Sepertinya dia ngerasa gak asing dengan nama belakang Sumi. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. “Wiranti? Ranti. Ranti… Apa pernah Sumi dipanggil dengan nama Ranti?”
“Iya, kadang-kadang dipanggil Ranti. Ranti itu nama kesayangan dari ibunya. Sumi ini anaknya Mbok Warsini, yang tinggal di ujung dusun.”
“Yang ladangnya di selatan sungai?” lagi-lagi Yesi memotong. Selain dia memang tau, ini hanya untuk basa-basi aja. Jelasnya, untuk meredam detak jantungnya yang udah gak bisa diajak kompromi dan keringatnya yang mulai ngalir di pelipis. Tiba-tiba saja dia ingat mimpinya saat berdua dengan Ranti, duduk di atas sebuah batu di sungai. Wajah Ranti yang menyeramkan seketika melintas.
Mas Handoyo mengangguk, “Benar. Pernah ketemu?”
“Pernah ngobrol malah.” Suara Yesi mulai gemetar.
Tetty melirik Yesi dengan lirikan kesal, ”Bisa gak sih kamu diem dulu? Motooooong aja kalo ada orang cerita!” cercanya, “Lanjut deh, Mas, gak usah dijawab lagi kalo si Kriting itu nanya!”
“TETTY!!!”
“APA??? Mau marah???”
Yesi geleng-geleng, “Gak papa kok. Lanjut deh ceritanya, Mas.”
Mas Handoyo hanya menanggapi kejadian gak penting kayak barusan dengan senyum, “Saya lanjutkan ceritanya.”
“Iya Mas, lanjutin aja. Kalo ada yang nanya lagi gak usah dijawab.” Komentar Ayu dengan mata berkedip-kedip.
“Waktu itu ceritanya Sumi mau nyuci baju di sungai. Tapi tiba-tiba saja dia menghilang. Misterius. Ndak ada yang tau. Asmawi yang mengaku melihat Sumi ketika hendak turun ke sungai, mendadak juga ndak bisa ditanyai. Dia sering berubah akal. Sebentar-sebentar nangis, sebentar-sebentar ngakak ndak jelas.
Sejak hilangnya Sumi, vila ini dikabarkan berubah jadi angker. Setiap ada yang menyewa, selalu saja menyudahi sebelum waktu sewanya selesai. Ada yang mengaku dihantui oleh arwah perempuan. Ada yang bilang pernah didatangi lewat mimpi. Didengerin suara perempuan menjerit. Yang jelas, semuanya jadi ndak betah berlama-lama di vila ini.
Saya dan Ajeng nekat membersihkan vila ini tentu dengan satu alasan yang jelas. Tadinya Pakdhe Warno melarang kami membersihkan vila ini. Tapi toh kami tetap saja membersihkannya diam-diam. Asmawi kami ajak. Anehnya, dia mau dan tidak kumat gendheng-nya. Tujuan kami adalah ingin melihat apakah kalian akan pergi juga dari vila ini secepat yang sudah-sudah. Dugaan kami, pasti kalian akan ndak betah. Kenyataannya memang iya. Yang buat kami heran, kalian masih mau saja bermalam di vila ini. Padahal beberapa dari kalian sudah mengalami hal-hal yang ndak enak.”
“Eh, sumpah kalo aku sih malam ini adalah malam terakhir nginep disini. Besok malam kalo aku masih harus ada di dusun ini, aku gak mau nginep di vila. Titik!!!”
“Aku juga!” Yesi mendukung pernyataan Tetty dengan semangat juang yang tinggi. “Kamu Yu, Leli? Masih mau nginep disini?” Yesi menatap Ayu dan Leli bergantian.
“Aku sih ikut suara terbanyak aja.”
“Aku sependapat dengan Leli deh, ikut suara terbanyak. Masa iya sih aku mau nginep di vila sementara kalian pada nginep di rumah Ajeng? Ogah banget.”
Ajeng yang sejak tadi diam, tiba-tiba angkat tangan, “Boleh nanya ndak?”
“Ya elah, tinggal nanya aja pake angkat tangan segala. Mau nanya apa sih?” sergah Tetty ngasal.
Ajeng yang tadinya kelihatan sedih, sekarang semakin terlihat sedih dan bimbang. Ada beban berat di wajahnya yang muram, yang begitu kentara ingin segera ditanyakan.
“Mau nanya apa sih, Jeng?”
Ajeng gugup lagi. Ada rasa segan yang sesekali terlihat di wajahnya yang pias. Sesekali juga dia menundukkan wajah. Suasana mendadak jadi semakin terasa hening. Senyap. Tak ada satupun yang mencoba untuk bersuara. Semua seperti menunggu. “Ngggggg… teruuuuussss, mbak-mbak ini jadinya kapan mau pulang ke Pontianak? Bakalan kesini lagi ndak? Kok perasaan saya mbak-mbak ini ndak ada yang mau kesini lagi gara-gara arwah gentayangan itu. Kalau bener begitu, saya akan sangat sedih. Saya seneng sekali ketika Re bilang mau liburan ke dusun dan ngajak temen-temennya. Dan bener saja. Saya seneng ketemu sama mbak-mbak. Tapi kok rasanya cepat sekali. Belum puas kumpul-kumpul, mbak-mbak sudah akan pulang. Padahal waktu liburan masih lama.”
Tetty yang tadinya jutek, ketus, mendadak melunak begitu melihat ketulusan Ajeng saat ngomong panjang lebar barusan. “Kamu jangan sedih gitu dong ah. Kalo ada waktu dan kesempatan yang pas, kami akan berkunjung lagi kok. Kamu jangan khawatir. Kami memang gak bisa janji, tapi kami akan senang jika kelak bisa ketemu kamu lagi. Iya kan, temen-temen?” Tetty mengedarkan tatapan ke Leli, Yesi, dan Ayu, maksudnya mau minta dukungan.
“Bener banget. Kita pasti bakal balik lagi ke dusun ini. Sungguh, dusun ini sangat menyenangkan.” Timpal Ayu sambil lirik-lirik ke Mas Handoyo.
Leli yang paling dulu tanggap langsung mencibir ke Ayu, “Beuhhh, itu sih maunya kamu ajah. Paham kok aku. Gak usah dijelasin lagi deh.”
“Berarti, lusa kalian beneran pulang?” meski temaram, kentara banget kalo raut wajah Ajeng mulai sayu, “Re, kamu kan yang bawa mereka kesini, kamu juga dong yang bisa nahan mereka untuk gak pulang cepet-cepet. Bisa kan, Re?”
Re yang sejak tadi diam, mulai menarik napas panjang dan berat, “Bisa. Mengingat di dusun kita ini ndak ada angkutan umum yang rutin keluar masuk dusun. Bisa saja aku tahan mereka untuk tinggal lebih lama disini. Tapi nanti begitu mereka nyampe Pontianak, gak bakal ada lagi dari mereka yang mau nyapa aku.”
“Paling lama lusa deh kita harus udah pulang. Gak usah ditunda-tunda lagi. Dan penting untuk kamu tau Jeng, kami mau pulang cepat-cepat bukan berarti kami gak seneng tinggal di dusun ini sedikit lebih lama. Kami, terutama aku, gak mau lagi dihantui sama arwahnya Sumi. Ya kamu tau lah yang sudah-sudah.” Ucap Yesi, pelan tapi tegas. Sepertinya ini bakal jadi keputusan bersama dan gak bisa ditawar-tawar lagi.
Ajeng hampir terisak, “Kalau kalian sudah membuat keputusan seperti itu, ya sudahlah. Saya dan Mas Handoyo toh ndak bisa ngelarang-larang lagi. Cuma saya harap suatu saat nanti kalian mau main ke dusun saya ini lagi. Itu saja.”
Tetty yang posisi duduknya paling dekat dengan Ajeng, langsung meraih pundaknya, “Gak usah sedih gitu. Kami masih disini. Setidaknya sampai lusa. Kita akan sama-sama menghabiskan waktu.”
Ajeng mulai terisak.
Diam-diam, Ayu mulai meneteskan air mata.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah