Jumat, 06 Mei 2011

Valentine Air Mata


            Rhein mendengarnya lagi.
            Entahlah, ini untuk kali keberapa. Rhein bahkan sampai lupa, tepatnya sudah bosan untuk sekedar menghitungnya.
            “Kamu yang gak becus. Seharusnya untuk hal sepele kayak gini, aku sudah gak perlu ngajari kamu lagi. Aku capek tiap malam ribut terus sama kamu… “
            Rhein mematung dibalik pintu kamar orang tuanya. Dadanya bergetar hebat saat Ia mendengar Papa membentak Mama dengan suara tinggi. Tapi sungguh, Ia masih terlalu dini untuk ikut campur. Mamanya sendiri yang kerap mengatakan ini.
            ”Ia, kamu capek seharian kerja. Sok-sok lembur lah, banyak kerjaan lah, apa lah. Kamu pikir aku goblok, he? Aku ngerti kamu ada main dengan Taskia kan? Iya kan? ”
            ”Mulai lagi, mulai lagi. Taskia lagi. Kamu tuh ya, cemburuan kamu tuh kok gak habis-habis. Malu sama umur. ”
            ”Pinter bener kamu muterin keadaan? Kamu yang seharusnya malu sama umur. Sudah tua masih aja jelalatan, gak bisa lihat perempuan cantik sedikit, maunya langsung nyosor. ”
            ”Nanda!!! ”
            ”Apa? Mau ngaku kalau apa yang aku bilang barusan bener? ”
            PLAKKK!!!
            Rhein memejamkan mata. Ada sesuatu yang terasa begitu hangat mengalir dari pelupuk matanya.
            ”Rhein? ”
            Sumpah, Rhein terkejut sekali. Ia sama sekali tak menduga kalau Mamanya keluar kamar dengan tiba-tiba begitu.
            ”Kamu nguping lagi? ”
            Rhein menatap wanita didepannya dengan mata yang basah. Begitu jelas kalau wanita didepannya juga menangis, sama seperti dirinya. Tapi entahlah, apakah makna air mata ini akan sama atau sama sekali lain. Rhein tak pernah tau itu.
            ”Rhein, jawab pertanyaan Mama, kamu nguping lagi? ”
            Rhein menggeleng, ”Ini, ” diangsurkannya secarik kertas yang terlipat rapi kepada Mamanya. ”Rhein cuma mau kasih ini ke Mama, ”
            ”Apa itu? Surat panggilan dari sekolah lagi? Kamu bikin masalah lagi? Ah... ”
            ”Ma, percayalah, ini hanya undangan rapat kesepakatan biaya belajar dari sekolah. Semua orang tua siswa diundang, kok. Mama atau Papa bisa datang, kan? ”
            ”Rhein, ” wanita itu mengusap wajahnya yang masih basah oleh air mata, ”datang atau tidak kami ke rapat itu, toh sama saja, tidak akan merubah apa-apa. Biaya belajar kamu tetap tinggi. Lagi pula kamu kan juga ngerti, Mama dan Papa mesti kerja, nyari uang buat bayar semua biaya belajar yang mau dirapatkan itu. Sudahlah, Rhein, lupakan saja undangan itu. ”
            ”Sudah beberapa kali Mama atau Papa tidak hadir saat sekolah mengundang orang tua siswa. Apa untuk yang ini akan tidak hadir lagi? ”
            ”Kami sibuk, Sayang. Kamu juga harus ngerti. Sekolahmu tidak akan sudi dibayar dengan selembar kertas undangan ditanganmu itu. ” Wanita itu mengusap wajahnya lagi. ”Ah, Rhein, kamu masih terlalu kecil untuk mengerti ini. Kamu baru kelas tiga es em pe. Belum waktunya Mama memberikan penjelasan tentang masalah kehidupan berumah tangga. ”
            ”Tapi, Ma, ”
            ”Sudahlah, Rhein. Mungkin lebih baik kamu tidur. Ini sudah malam. ”
            ”Jadi Mama tidak akan datang? Papa? Tidak datang juga? ”
            Wanita itu menggeleng. ”Tidak akan ada gunanya, Rhein. Sudahlah. ”
            ”Setidaknya dengan datangnya Mama atau Papa nanti, bisa membuktikan kepada teman-temanku bahwa aku juga masih punya orang tua. Selamat malam, Ma. ” Rhein meninggalkan Mamanya dengan perasaan galau. Air matanya menetes lagi. Kali ini benar-benar perih. Sakit sekali.  
            Wanita yang masih mematung di depan pintu kamar itu mengiringi kepergian Rhein dengan air mata yang kembali menetes. Ada perasaan bersalah dari setiap hela nafasnya saat ini. Kenapa harus Rhein yang jadi korban? Sesibuk apapun Ia, seharusnya kepentingan Rhein adalah tetap yang utama. Untuk siapa Ia bekerja jika bukan untuk Rhein? Tapi keadaan memang berkata lain.
***
            Pukul dua puluh tiga lebih lima belas menit. Hampir tengah malam. Udara begitu panas. Gerah berkuasa dibeberapa rumah yang tidak memasang AC. Kipas angin saja rasanya tidak mampu memerangi gerah yang semakin menjadi-jadi ini.
            Rhein bersyukur mempunyai sifat yang rajin mengisi botol-botol air yang kosong di dalam kulkas. Jadi kalau panas seperti sekarang ini, ia tak susah lagi mencari air dingin. Tinggal keluar kamar sebentar, minum sepuasnya, dan...
            “Coba saja kamu gak aneh-aneh dengan Taskia, kan gak seperti ini jadinya, “
            “Taskia lagi. Sudahlah, Nanda. Jangan bawa-bawa dia. Dia itu tidak salah apa-apa. Kamu aja yang kelewat cemburuan. “
            “Kalau bukan karna Taskia, kamu gak akan jadi gini, Mas. Kamu sudah mengabaikan keluargamu sendiri. Anak kamu. Aku juga. Apa salah kalau aku bawa-bawa Taskia? Wajar toh kalau aku cemburu? Kamu suamiku. ”
            ”Maksud kamu apa? ”
            ”Kemarin sekolah Rhein kirim undangan rapat kesepakatan biaya belajar. Seharusnya kamu yang datang. Tapi kamu malah sama sekali tidak peduli. Sibuk ngurusin Taskia.  ”
            ”Lah, kamu kan bisa menghadirinya. Kamu tau sendiri kalau aku kerja. Untuk siapa? Untuk kamu juga, kan? Untuk biaya sekolah Rhein juga, kan? ”
            ”Untuk Taskia juga, Kan? ”
            PLAKKKK!!!
            ”Terus, Mas. Terus pukul aku...” sepi sejenak, ” Kalau bukan karena Rhein, sudah lama aku minta cerai. Kamu suami yang gak punya tanggung jawab. ”
            ”Apa kamu bilang? Gak punya tanggung jawab? Aku capek-capek kerja itu untuk kamu dan Rhein. Bisa-bisanya kamu bilang begitu? ”
            ”Mas, andai gaji kamu gak kemana-kemana, tentu aku akan merasa cukup dan aku juga tidak perlu ikut-ikutan kerja. Pasti aku juga bisa mewakili kamu untuk menghadiri rapat di sekolah Rhein. Tapi kenyataannya apa? ”
            Rhein mendengarnya lagi.
            Sungguh, ingin rasanya Rhein menarik waktu agar berputar lebih cepat dan mendewasakannya sesegera mungkin, agar sedikit banyak Ia bisa ikut campur dalam masalah ini.
Betapa tidak enak menjadi sosok yang terus-terusan dianggap kecil dan belum pantas untuk ikut memikirkan apa sebenarnya yang telah terjadi. Mamanya selalu berkata demikian. Selalu. Dimata Mamanya, Rhein adalah anak kemarin sore yang bahkan untuk sekedar makanpun harus disuapi. Sosok seperti ini masih belum layak diajak diskusi masalah gaji yang tidak mencukupi, masalah alasan kenapa Mama juga ikut bekerja dan ikut menanggung kebutuhan sehari-hari, masalah kenapa Papa selalu pulang larut malam, masalah Taskia yang sering disebut-sebut oleh Mama, masalah...
Mungkin benar apa kata Mama bahwa Rhein memang masih terlalu kecil untuk ikut merasakan masalah seperti ini. Rhein belum tahu apa-apa.
            Lantas, mengapa sekarang Rhein menangis? 
***
            Rhein membuka matanya. Didapatinya keadaan sekeliling yang berwarna putih bersih. Aroma obat-obatan begitu terasa menyengat. Juga dirasakannya udara yang begitu dingin. Tubuhnya begitu lemah, tak bisa apa-apa. Bahkan untuk memalingkan wajah pun Ia harus bersusah payah.
            ”Ups, jangan terlalu banyak gerak dulu, Rhein. Kondisi kamu masih sangat lemah. ”
            Rhein berusaha mencari sosok yang barusan bersuara, ”Indri? ” perlahan ia mulai mampu mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan, ”Mira? Dinda? ”
            ”Tenang Rhein, kamu baik-baik saja, kok. Istirahat saja dulu. ” kali ini Dinda yang bersuara.
            ”Kok aku bisa di sini? Mama sama Papa mana? “
            Dinda menghembuskan nafas panjang, “Tito yang bawa kamu kesini. Katanya, dia menemukan kamu tergeletak di pinggir trotoar dekat Terminal Timur, semalam jam sepuluh. Kamu kabur dari rumah, ya? “
            Rhein mulai bisa menguasai keadaan. Ingatan dikepalanya berangsur pulih dan berhasil membimbingnya untuk kembali mengingat kejadian semalam.
Rhein mendengarnya lagi. Papa yang penuh amarah memukul Mama yang terus menangis sambil menyebut-nyebut nama Taskia. Bahkan kali ini Rhein juga mendengar seuatu yang sepertinya sengaja dibanting. Hancur berantakan. Mungkin begitu juga dengan hatinya. Sayang, Mama dan Papa tak pernah mau tahu akan hal ini.
Rhein bimbang. Rumahnya tak lagi memberikan kenyamanan. Diturutkannya langkah kaki yang tanpa sadar telah membawanya keluar rumah, berlari membelah malam yang pekat diantara dera gerimis yang kian menambah miris hatinya. Ia menangis. Tapi sungguh, tak ada yang tahu itu. Ia berheti di trotoar yang sepi. Kantuknya mulai datang. Lalu ia lupa akan segalanya.
”Rhein, kamu nangis lagi? ”
Rhein mengusap air matanya. ”Mama sama Papa aku mana? Apa mereka tahu aku ada disini? ”
”Sebentar lagi mereka datang, Rhein. Kamu gak usah terlalu banyak pikiran dulu. Istirahat ya, ”
”Iya Rhein, ” Mira menambahkan kalimat Dinda barusan, ”kamu cepat sembuh ya. Kamu ingat kan, kalau dua hari lagi tuh hari kasih sayang. Valentine, Rhein. Kita kan sudah janji mau tukaran kado. Aku sudah siapkan kado yang bagus buat kamu. ” lanjut Mira mencoba menghibur.
Rhein terpaku. Valentine? Hari kasih sayang? Ah... mengapa justru disaat seperti ini Ia malah merasa tidak ada yang menyayanginya? Mama, Papa, mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan untuk sekedar datang menghadiri undangan sekolah pun mereka tidak sempat. Apakah hari kasih sayang memang harus dirayakan? Jika iya, betapa sedihnya aku. Rhein membatin.
”Kapan aku boleh keluar dari ruangan ini? ” Rhein bertanya.
”Secepatnya, Rhein. Mungkin besok. Paling lama lusa, lah. ”
Rhein menghembuskan nafas perlahan. ”Kalian teman-temanku yang baik. Seharusnya Mama sama Papa yang ada disini sekarang. Ternyata kalian. Terima kasih untuk sebuah persahabatan yang indah ini. ” Rhein tersenyum. ”O iya, nanti kalau Valentine, kita tukeran kado setelah kelas bubar ya. Kita akan merayakan hari kasih sayang berempat. Gimana? ”
”Mama tidak diajak serta? ”
Semua yang ada di ruangan itu serentak menoleh kearah datangnya suara. Seorang wanita menyeruak masuk dengan berurai air mata.
”Mama? ”
”Rhein...”
Tak ada yang lebih berkuasa selain perasaan haru dan lirih suara isak tangis yang menyayat hati. Rhein mendekap erat-erat tubuh Mamanya, begitu juga sebaliknya. Tak hendak mereka bersuara. Tak ingin pula mereka melepaskan pelukan itu. Lebih lagi Rhein. Ia sudah lupa kapan terakhir kali ia dipeluk Mama sehangat ini.
”Rhein, mungkin ini terlalu naif. Tapi bagaimanapun juga, Mama harus minta maaf sama kamu. Iya, Mama salah. Begitu juga dengan Papa. Kami seolah lupa kalau kamu punya sesuatu yang lebih berharga dari itu semua. Kamu, Rhein. ”
”Benar, Rhein. ”
Rhein tersentak, ”Papa? ”
”Andai Papa bisa mengembalikan waktu yang terlewat kemarin, Papa akan berusaha membuat kamu bahagia. Selama ini Papa memang salah. Maafkan Papa, Rhein...”
Rhein tersenyum. ”Mama kok bisa datang kesini? Tidak kerja? ”
Wanita yang dipanggil mama itu menggeleng, ”Mama sudah memutuskan untuk berhenti bekerja. Mama akan menjadi seorang mama yang baik buat kamu. Mama janji. ”
”Apa itu artinya Mama bisa hadir pada saat rapat kesepakatan biaya belajar di sekolah nanti? ”
”O iya, hampir Mama lupa. Kapan rapat itu dilaksanakan? ”
”Lusa, Ma. Tanggal empat belas Februari. Mama mau datang? ”
Wanita dihadapan Rhein mengangguk mantap.
Sekali lagi Rhein mendekap erat Mamanya. Kali ini Papanya juga. Ia bahagia, ternyata Ia masih punya orang tua sang sangat sayang kepadanya. Kemelut ini telah berakhir.
Rhein meneteskan air matanya lagi. Gemuruh rasa bahagia meledak didadanya. Tak perlu menunggu Valentine untuk sekedar mendapatkan kasih sayang dari orang-orang yang ia sayangi. Bukankah kasih sayang itu harus ditunjukkan setiap hari? Tidak harus menunggu setahun sekali, kan?
Sungguh, hari ini Rhein benar-benar bahagia.



Pontianak,
Februari yang manis, 2009





























































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah