Jumat, 06 Mei 2011

Kakak Masuk Tv


            “Astrid, yang masuk tv kemaren itu bener papamu ya?”
            Yang ditanya tersenyum. Cukup dengan itu saja, senyum saja maksudku, maka semua sudah tahu kalau Astrid sudah menjawab pertanyaan barusan. Tak perlu lagi dia berkomentar apa-apa. Sebenarnya sih begitu.
            Halte semakin sepi.
            “Iya. Papaku hebat kan?” Nah. Toh akhirnya dia berkomentar juga, membanggakan ayahnya tercinta, seolah ayahnya itu adalah Shah Rukh Khan. Aku bahkan tidak mengenal yang namanya Shah Rukh Khan dengan baik.
            Mereka diam. Beberapa anak yang kebetulan ada di situ maksudku. Astrid –yang papanya sedang jadi bahan pembicaraan-, Wulan, Ayu, Ratna, dan tentu saja aku.
            “Sebentar lagi nih, papaku bakal bikin iklan lagi. Untuk ngucapin Selamat Hari Raya Idul Adha. Dan tau gak? Iklan kedua nanti, rencananya kami sekeluarga yang akan jadi bintangnya.” lagi, Astrid berkoar.
            Mereka terbelalak.  Aku sendiri tidak sama sekali. Entahlah. Mungkin aku iri. Sedikit iri maksudku. Tapi aku tidak mencibir atau apa. Aku berusaha bersikap biasa saja.
            “Wah, keren!” Ayu menimpali.
            “Berarti, kamu bakal masuk tv dong, Trid?”
            Astrid tersenyum lagi. Meski tidak kentara, aku tahu dia tengah membusungkan dada sekarang ini. Sementara aku sendiri semakin mengecil, semakin tenggelam,  semakin tak terlihat. Iri yang sedikit tadi mendadak bertambah menjadi banyak.
            “Sepertinya sih, gitu.” calon artis dadakan kembali berkoar. Aku muak. “Makanya aku bingung nih, nanti mau pake baju apa ya?” hah, perutku semakin kram. Tentu saja dia, calon artis dadakan itu, berpikir seperti itu. Nanti mau pake baju apa ya? Olala, bahkan aku belum sampai kesana. Yang ada dipikiranku sekarang bukan masalah nanti mau pake baju apa, tapi kapan aku dan kakakku bisa masuk tv. Aku iri lagi.
            “Kok bingung sih?” Ratna menyambar, “Nanti kan kalian akan diurus sama tim make up. Mulai dari tata rias sampai kostum. Lengkap deh.”
            Astrid bengong, “Gitu ya?” aku tersenyum. Cuma dalam hati. Anak kemaruk ini bisa juga kelihatan goblok, pikirku senang.
            “Iya,” Ratna meyakinkan, “tempo hari kan kami juga gitu.”
            Mulai lagi. Penting ya, ngomongin iklan yang sudah basi? Oke! Siapa sih yang gak tau tentang hal ini? Ayah Ratna yang pejabat di Dinas Keuangan itu pernah bikin iklan tentang rencana redenominasi Rupiah. Di iklan itu, seorang pria dewasa sedang memberikan sosialisasi tentang redenominasi Rupiah. Pria itu adalah ayah Ratna tentunya. Sementara yang menjadi partisipannya? Tentu saja Ratna sekeluarga. Siapa lagi? Huffff… jelas saja ini menggemparkan sekali. Satu sekolah mendadak mengenal Ratna. Mungkin satu kota, mungkin lagi seluruh Indonesia Raya, akan segera mengenal Ratna dengan baik kalo saja iklan itu ditayangkan sedikit lebih lama. Ratna sendiri mendadak populer teramat sangat. Jalannya mendadak berubah menjadi sangat anggun waktu itu, seolah dia baru saja memenangkan kontes ratu kecantikan tingkat dunia. Ketika itu aku sama sekali gak memusingkan perihal Ratna yang masuk tv. Yang aku tanyakan ke Wulan ketika itu adalah ‘arti redenominasi itu apa sih, Lan?’ Wulan menjawabnya dengan terbata. Aku ingat benar. Tapi aku kagum padanya. Pada Wulan maksudku, bukan pada Ratna.
            Belum reda demam Ratna, kini mulai mekar mewangi wabah Astrid, calon artis dadakan, sang idola baru. Ayahnya yang ketua dewan pimpinan cabang salah satu partai politik besar itu juga ikut-ikutan bikin iklan. Momennya sendiri sangat tepat. Aku mengakuinya. Partai berbasis Islam, membuat iklan berdurasi dua menit sekian detik, di bulan haji. Bahkan rencananya akan ada iklan kedua! Dadaku tiba-tiba saja sesak.
            “Gita, kok kamu diem aja sih?” aku tersentak, tentu saja. Sodokan siku Wulan dilenganku lumayan mengejutkan. “Kamu kenapa?” Wulan masih memandangiku.
Wulan temanku sejak kelas satu SD. Wulan pintar. Kami selalu sekelas. Mungkin kebetulan. Sekelasnya maksudku, bukan pintarnya Wulan yang kebetulan. Setiap ada pe er, Wulan selalu mengajariku. Pe er apapun itu. Aku sering bertanya ke Wulan tentang arti kosakata baru yang aku tidak tahu artinya. Wulan selalu menerangkan meski aku tahu penjelasannya tidak selalu tepat. Tapi setidaknya dia tahu dibanding aku. Sekali lagi kukatakan aku kagum padanya.
“Eh, memangnya aku kenapa? Gak apa-apa kan? Kelihatannya gimana?” Wulan mengerutkan kening. Aku melihatnya dengan jelas. “Percayalah, aku cuma lemes aja kok.”
            “Lemes? Kenapa?”
            Kenapa? Hallooooo…. Apa aku harus bilang kalo aku iri setengah mati dengan kehidupan yang dimiliki oleh Astrid dan Ratna? Itu sama saja dengan mengumumkan ke seluruh penjuru dunia kalo aku adalah bocah paling bodoh dan tidak pernah sekalipun makan pizza hut yang bentuknya pun hanya bisa aku lihat di tv. Tv? Hei, bahkan tv pun aku gak punya. Jujur, akulah yang paling belakangan tahu kalo Ratna sekeluarga sedang ramai dibicarakan oleh manusia satu sekolahan karna dia membintangi iklan di tv.
            “Ya udah deh, aku balik aja dulu.” Astrid menyelamatkanku. Aku tak perlu lagi menjawab pertanyaan Wulan barusan. Hufff… kelar juga pembicaraan yang sama sekali gak penting ini.
            Halte ini sudah benar-benar sepi. Kakakku belum datang juga. Hah! Bahkan untuk pulang dan pergi sekolah pun aku bisa sangat menderita seperti ini.
            “Tapi beneran kan, aku sekeluarga gak perlu nyiapin kostum untuk syuting iklan nanti?” calon artis dadakan itu membalikkan badan tiba-tiba. Perutku mendadak kram lagi. Sungguh, ingin rasanya aku menghilang dari peredaran untuk selama-lamanya.
***
Tentu saja senang sekali andai saja pagi ini aku bisa seperti teman-temanku yang lain. Hari minggu yang cerah, duduk manis di depan meja tv. Nonton Doraemon dan menyiapkan sendiri segelas coklat panas lengkap dengan sepiring biskuit strawberi. Tapi apa? Aku hanyalah seorang Anggita Dwipa Ratri, bocah dua belas tahun yang malang dan sama sekali tidak pernah tahu bagaimana wajah kedua orangtuaku. Kakakku bilang, orangtua kami tinggal di desa. Aku lupa nama desanya. Tadinya aku percaya. Tapi sekarang tidak. Sedikit demi sedikit aku belajar memahami keadaan yang sebenarnya. Tentang orangtuaku tentu saja. Entahlah, apa aku masih punya orangtua atau tidak.
            Kulihat kakakku yang terbaring di dipannya. Aku marah kepadanya beberapa hari ini. Benar-benar marah. Aku hanya minta dibelikan tv. Itu saja. Tapi jawabannya sungguh membuatku sesak napas.
            “Tv? Untuk apa sih tv?”
            Oh Tuhan. Kupikir kakak akan lebih pintar dari bocah dua belas tahun ini. Tv untuk apa? Untuk nimpuk kucing, untuk dihantam palu kalo aku lagi kesal, untuk memelihara ikan mas koki, untuk main mobil-mobilan dangan cara tv itu dikasi ban dan ditarik dengan tali, untuk…
            “Ya untuk ditonton dong, Kak!” teriakku kesal.
            “Tempo hari kamu sudah minta dibelikan handphone. Sekarang tv. Anggita, nyari duit itu susah. Kita bisa makan dengan teratur saja sudah bagus. Gak perlu tv-tv-an lah.”
            Setelahnya aku benar-benar marah. Aku jadi tidak punya selera makan. Juga selera untuk beres-beres rumah. Bukan rumah kami. Aku ingat, bahkan rumahpun kami masih menyewa. Rupanya kakakku menyadarinya. Menyadari kalau aku marah padanya. Yang aku rasakan setelah insiden aku marah dan mogok makan, kakakku jadi jarang pulang tepat waktu. Aku pernah bertanya, mengapa dia semakin jarang pulang tepat waktu. Kakakku cuma senyum. Aku sama sekali gak ngerti maksudnya apa.
            Kakakku cantik. Sangat cantik. Jika besar nanti, aku ingin seperti dia yang pintar merias diri. Mematut-matut diri di depan kaca yang tidak terlalu besar, tentu menyenangkan. Memakai rok mini dan kaus yang sedikit terik. Kakakku sungguh pintar memadu busana. Entahlah, busananya yang serasi dan mahal atau tubuh kakakku yang bagus. Kakakku tinggi. Kulitnya putih. Wajahnya oval. Rambut panjang sebahu dan sedikit ikal. Kulihat dadanya penuh. Lain dengan dadaku. Sungguh aku ingin seperti kakakku jika aku besar nanti.
            “Nanti sore kita ke pasar, Git. Kakak akan membelikanmu tv.”
            Pukul aku, barangkali aku salah dengar atau hanya berhalusinasi. Kakak akan membelikanku tv? Yang benar saja? Bukannya bisa makan teratur saja sudah bagus? Tapi…
            “Kamu suka, Git?” tanyanya disela-sela kegiatannya memoles bibir dengan lipstick merah muda. Aku masih belum mengatakan apa-apa. “Kamu jangan sedih lagi. Kakak tidak ingin adik kakak sedih. Kakak sayang sama kamu, Git.”
            Dadaku naik turun. Aku bahagia. Meski kakakku tidak pernah masuk tv seperti ayahnya Astrid atau keluarganya Ratna, aku tetap sayang padanya. Dan tv itu? Tentu saja bukan alasan satu-satunya. Itu hanya kebetulan saja.
            Aku hendak mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba handphone kakakku berbunyi. Tangannya sigap meraih benda mungil itu.
            “Iya Om? Oke, oke, delapan pagi di tempat biasa. Iya, saya meluncur sekarang.”
            Kakakku kian tergesa merias wajahnya. Aku semakin bangga padanya. Dia terampil dan lincah.
            “Jam empat nanti kakak pulang, Git. Kita ke pasar, beli tv. Oke?” kakak mengecup keningku. Hangat sekali rasanya. Dikecup kakak rasanya sungguh bahagia. Aku semakin sayang pada kakakku itu. Aku berjanji, tv ini adalah yang terakhir. Setelah ini, aku gak akan minta apa-apa lagi.
***
            Sudah seminggu aku punya tv. Kakak benar-benar menepati janjinya. Kapan hari itu aku benar-benar diajak ke pasar. Kakak membelikanku tv. Bahkan aku sendiri yang memilih model dan warnanya, meski ukurannya tetap empat belas inch. Dadaku meledak-ledak rasanya. Aku senang, aku bahagia. Entah dengan cara apa aku mengatakannya.
            Tentu saja Wulan adalah orang pertama yang aku kabari. Aku punya tv. Wulan juga senang mendengarnya. Wajahnya berseri.
            Minggu sore aku mengundangnya ke rumah. Wulan tentu saja. Aku mengajaknya belajar bersama di rumahku. Tentu saja nanti akan ada sesi nonton tv. Aku senang sekali. Mungkin Wulan juga. Kami akan membahas masalah pelajaran sekolah. Itu yang penting. Lalu? Tentu saja iklan Astrid yang, ah… aku iri lagi. Dia benar-benar masuk tv. Dia cantik sekali dengan busana muslim hijau mudanya. Kali ini aku bisa puas memelototi layar tv, memerhatikan iklan Astrid lekat-lekat. Meski Astrid tidak bicara apa-apa di iklan itu, toh intinya dia benar-benar masuk tv. Aku? Sudahlah…
            “Astrid cantik ya, Git. Wajahnya berubah.” Komentar Wulan dengan mata berbinar sekaligus semakin menenggelamkan hati dan perasaanku ke Laut Cina Selatan. Aku cuma mengangguk lemah. Percuma saja pura-pura senyum. Toh ini di rumahku. Gak akan ada yang peduli misal aku membanting vas bunga sekalipun.
            “Sudahlah, kita belajar saja.” putusku kemudian. Wulan setuju. “Kita belajar bahasa Indonesia dulu ya.” Lagi, aku memutuskan. Aku ingat minggu lalu, guru bahasa Indonesia kami memberi tugas menuliskan kembali berita yang berasal dari berbagai media. Salah satunya tv. Nah, untung kan, punya tv sendiri? Aku tersenyum.
            Seperti biasa, aku akan bertanya macam-macam dan Wulan selalu menjelaskan dengan sedikit terbata. Aku tau kalau dia sendiri belum begitu paham dengan pertanyaan yang aku ajukan. Tapi aku kagum dengan cara dia menjelaskan. Dia mau berusaha mengingat-ingat, kemudian menyampaikannya dengan kalimat yang sedikit kacau. Menurutku si begitu. Tapi aku ngerti kok. Kami selalu mendiskusikan banyak hal. Tentang pelajaran sekolah tentunya. Diskusi kami menyenangkan meski akulah yang sering bertanya daripada menjawab pertanyaan.
            Tv masih menyala dengan volume paling kecil. Kami menunggu siaran berita. Sungguh, menunggu siaran berita, bukan menunggu jeda iklan. Kami berjanji akan nonton sinetron lagi kalau tugas kami sudah selesai. Dan benar saja. Kami benar-benar melakukannya. Bersiap dengan buku dan pulpen, lantas duduk manis di depan tv. Kami menyimak setiap berita yang ditampilkan.
            “Kakakmu kemana, Git?” tanya Wulan. Matanya sibuk memelototi layar tv. Aku yakin, setelah berita,  dia pasti sedang menunggu iklannya Astrid lagi. Huh…
            “Kerja.” Itu saja. Aku benci jika Wulan kagum dengan iklannya Astrid.
            “Kita kapan ya Git, bisa masuk tv? Pasti menyenangkan. Orang akan kenal dengan kita.” mata Wulan berbinar saat mengatakan kalimat bodoh itu. Menyenangkan? Tentu saja menyenangkan. Apalagi kalau kamu punya orangtua pejabat dan tentu saja kaya raya. Kamu akan merasa seluruh gedung sekolah adalah milikmu.
            “Eh, Git,” Wulan menatapku. Aku senang. Maksudku, aku senang Wulan tidak sedang menunggu iklan yang bisa menyebabkan otakku kesemutan itu. “lusa kan lebaran Idul Adha. Kamu sama Kak Riana jalan-jalan kemana?” Wulan masih menatapku.
            Kakakku, Anggriana Eka Rasti, belum mengatakan apa-apa tentang rencana liburan lusa nanti. Bisa jadi dia lupa kalau lusa itu libur. Belakangan dia sibuk sekali kerja. Aku sungguh merasa bersalah. Tv itu, ah… “Entahlah, Lan. Mungkin aku akan main ke rumahmu saja. Entah kalau kakakku.” Kataku kemudian. Kulihat Wulan mengalihkan tatapannya. Ia kembali ke tv. Mudah-mudahan dia lupa dengan iklan itu.
            “Git, lihat. Berita bagus. Sepertinya momennya tepat deh.” Wulan berseru dengan spontan. Spontan juga mataku fokus ke layar tv.
            Ah, berita tentang penutupan sejumlah tempat hiburan yang bahkan siang hari pun masih beroperasi. Tentu saja momennya tepat. Sebentar lagi umat Muslim akan merayakan hari raya kurban atau Idul Adha.
            “Git, beritanya di kota kita loh!” aku tersentak. Benar saja. Pembaca beritanya menyebutkan nama kota tempat kami tinggal saat ini. Aku semakin serius menyimak berita ini. Tentu saja tujuanku satu, ingin dapat nilai yang bagus untuk tugas bahasa Indonesia nanti.
            Aku dan Wulan tak bersuara. Mata kami lekat memandang layar tv. Disana, di layar tv, ditampilkan gambar beberapa polisi sedang menggiring perempuan-perempuan yang terjaring razia. Jumlahnya tidak terlalu banyak. Perempuan-perempuan itu maksudku. Pembaca berita menyebutnya dengan istilah PSK.
            Aku masih belum kehilangan konsentrasi ketika di layar tv kulihat perempuan yang memakai kaus sedikit terik dipadu dengan celana jins yang sedikit terik juga, tubuhnya yang bagus, posturnya tinggi, kulitnya putih, wajahnya oval, rambut panjang sebahu dan sedikit ikal, dan terakhir kulihat dadanya penuh. Seketika dadaku bergetar hebat. Aku tak bisa bergerak saat kulihat perempuan itu juga ikut dinaikkan ke mobil polisi. Aku kenal dengan perempuan itu meski saat digiring tadi dia menundukkan kepala dan berusaha menyembunyikan wajahnya dari kamera. Leherku tercekat. Perempuan itu kakakku. Kakakku masuk tv. Tapi rasanya aku ingin teriak saat ini juga. Mataku terasa sangat pedih. Leherku berat. Hidungku mulai sumbat.
            “Lan,” suaraku mulai bergetar, “PSK itu singkatan apa sih?”
            Tidak seperti biasanya. Kali ini Wulan menjawab pertanyaanku dengan mantap.


Idul Adha, 17 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah