Jumat, 06 Mei 2011

Undangan


        Bukan karena sebuah keterpaksaan bila akhirnya aku menerima saja ditugaskan disini, disebuah sekolah dasar kecil yang terletak di sebuah dusun yang sepi pula, melainkan karena aku memang sudah siap dengan segala konsekuensi apapun ketika dulu aku memutuskan untuk menjadi seorang guru. Termasuk yang satu ini, ditugaskan di tempat yang lumayan terpencil. Sepi. Jauh dari yang namanya mal, jalan raya, pasar malam, apalagi bioskop. Aku sudah siap dengan itu semua.
Sekolah Dasar Negeri nomor delapan belas Semawing, terletak di dusun Setia Karya, Desa Kamuh, Kecamatan Sanggau Ledo, Kabupaten Bangkayang  Kalimantan Barat. Akses menuju kesini saja memerlukan waktu kurang lebih sembilan jam dari ibu kota provinsi dengan menggunakan jalur darat. Tak ada sungai besar yang melewati daerah ini. Daerahnya begitu sejuk, hijau, dan segar, dikarenakan letaknya memang dikelilingi oleh perbukitan. Sangat nyaman sebenarnya. Hanya saja, jujur, aku belum terbiasa.
Malam semakin menua. Tak ada suara musik yang biasa sangat akrab ditelingaku. Biasanya jam-jam segini aku senang sekali mendengarkan lagu-lagu Peterpan, Ungu, dan sebagainya. Sekarang? Sungguh suatu keadaan yang berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat. Malam yang menuju dini hari ini semakin kental oleh irama-irama gending blambangan khas orang-orang tua jaman dulu. Lembut, tenang, dan mampu mengusir kepenatan akibat bekerja seharian menggarap ladang masing-masing. Mulanya aku merasa sangat aneh dan terus terang terganggu. Tapi entah kenapa, kepenatanku setelah beberapa hari ini berkeliling desa begitu mudah terobati manakala aku meneguk segelas kopi seraya menikmati sepiring jagung rebus, terakhir, diiringi dengan gending blambangan yang semakin akrab ditelingaku. Ah…sepertinya aku semakin suka dengan dusun ini, meski sebenarnya aku baru beberapa minggu disini.
* * *
Sekolah dasar tempatku bertugas ini sungguh sangat memprihatinkan. Keadaannya tak lebih  baik dari bangunan tua tempat menimbun barang-barang rongsokan yang ada disebelah rumah tempatku tinggal di kota dulu. Sebuah kewajaran yang sangat bisa aku maklumi. Ini di desa terpencil. Ada sekolah saja sudah bagus. Paling tidak anak-anak disini tidak sepenuhnya buta aksara. Dan inilah salah satu alasan mengapa aku semakin betah dan semakin ingin mengabdikan diri disini, di tempat yang belum tersentuh pembangunan sama sekali. Aku berdoa, semoga tak ada pembangunan disini. Biarlah tempat ini selalu alami. Aku tidak ingin keramahan disini ditukar dengan angkuhnya kehidupan modern khas masyarakat kota. Tak ada keramahan sedikitpun disana. Tegur sapa adalah sesuatu yang sangat mahal. Sepertinya senyum di kota hanya sebatas pada iklan pasta gigi murahan. Berbeda dengan disini. Apa yang tersaji adalah benar-benar dari sanubari yang paling dalam, tulus dan ikhlas, serta tidak dibuat-buat. Diam-diam aku bangga dengan tekadku saat menerima tawaran mengajar di desa, dulu.
Hari pertamaku mengajar.
Aku kaget ketika menyadari hanya ada enam orang guru yang mengajar disini, termasuk aku. Berarti mulai tahun ajaran baru ini, masing-masing kelas sudah memiliki guru kelas masing-masing. Dulu? Ah...tak dapat kubayangkan bagaimana repotnya jika seorang guru harus menghandle dua kelas sekaligus. Lain dengan di kota. Di kota bahkan ada guru yang santai-santai saja. Potret dari seseorang yang belum terketuk pintu hatinya. Entahlah, kapan mereka akan diperlihatkan keadaan yang seperti ini, disini. Di desa terpencil ini.
”Anak-anakku sekalian, ”
Aku mulai menyimak sambutan yang disampaikan oleh Ibu Wartini, kepala sekolah kami, di hari pertama tahun ajaran baru, saat upacara bendera.
”Ibu mewakili seluruh dewan guru mengucapkan selamat datang buat Ananda sekalian yang tahun ini masuk sebagai siswa kelas satu. Tak banyak yang bisa kami berikan disini. Namun kami benar-benar menaruh kepercayaan yang besar kepada Ananda semuanya, bahwa kelak suatu saat Ananda akan mampu mengharumkan nama sekolah kita ini. Lebih dari itu kami yakin Ananda pasti bisa mengharumkan nama desa kita yang tercinta ini. Kita tidak akan pernah merasakan manisnya kebahagiaan bila kita menjadikan kekurangan sebagai alasan untuk tidak bertindak. Karenanya, belajarlah dengan sungguh-sungguh meski dalam keterbatasan. ”
Bergetar hatiku mendengar kata-kata yang keluar dari pemikiran seorang Ibu Wartini. Semangat seperti ini benar-benar menggugah hatiku untuk segera bertindak dan mengabdi. Ibu Wartini, juga semua guru yang ada, mereka mampu bertahan mendidik anak-anak di sekolah sederhana ini dengan tulus dan ikhlas. Lantas apakah ada alasan yang pas seandainya aku memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat ini dan mengingkari janjiku? Jawabnya, aku adalah manusia yang sangat tak berperasaan jika aku melakukan hal bodoh itu.
”Satu berita gembira untuk kalian, ” kudengar Ibu Wartini melanjutkan sambutannya, ”   tahun ini kita semua boleh bergembira karena pemerintah provinsi mengirimkan satu lagi guru yang akan bertugas disini, di sekolah kita ini. Kalian senang? ”
Kebahagiaanku memuncak manakala kudengar gemuruh suara anak-anak yang bertepuk tangan menyambut kedatanganku. Sebuah sambutan yang sangat mengharukan, sekaligus membahagiakan. Tak pernah akau membayangkan ini sebelumnya.
Tuhan, aku sangat bahagia.
* * *
 Beberapa bulan kemudian.
Aku baru selesai mengajar di kelas enam. Iya, rapat dewan guru memutuskan jatah kelas yang harus aku ajar adalah kelas enam. Pertimbangan ini bukan tanpa alasan. Diantara dewan guru yang lain, hanya aku yang sudah menyelesaikan jenjang S1 dan bertitel Sarjana Pendidikan. Karena ini aku diberi kepercayaan untuk mempersiapkan anak-anak kelas enam menuju jenjang yang lebih tinggi.
Aku duduk di meja yang memang disiapkan untukku. Disebelahku adalah Pak Herman, wali kelas lima. Perawakannya tinggi, baik, ramah, dan ibadahnya sudah tidak diragukan lagi. Pak Herman sering diundang untuk memberi ceramah disetiap acara pengajian dan acara-acara yang sejenis. Lebih dari itu, beliau memang sosok yang mudah bergaul dan mudah akrab dengan siapa saja. Sehinggalah aku sangat senang jika mengobrol dengannya.
Tepat didepanku adalah meja ibu guru muda dan cantik, yang diberi kepercayaan mengajar dan menjadi wali kelas empat. Ibu Samratiana namanya. Bukan salahku jika aku begitu sering menatap matanya, baik saat ia tertunduk atau saat dia menatap ke arah Ibu Kumalasari, yang duduk disebelahnya. Beberapa saat yang lalu, aku beranggapan bahwa aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan jujur, saat ini, aku merasakan bahwa aku benar-benar telah jatuh cinta pada pandangan pertama dulu. Menatap wajahnya, aku merasa sejuk. Bunga-bunga mekar begitu saja di taman hatiku. Lebih jika secara kebetulan mataku dan matanya saling beradu tatap. Aku tak ingin dianggap sedang mencuri tatap. Maka jika ia menatapku secara tak sengaja, senyum yang kuanggap sebagai senyumku yang paling manis kuhadiahkan untuknya. Bunga yang mekar ditaman hatiku semakin beraneka manakala ia membalas senyumku, kemudian sesegera mungkin memalingkan wajah. Ah, semakin cantik saja ibu guru yang satu ini. Seketika lengkaplah alasan kenapa aku semakin mencintai sekolah renta dan sederhana ini.
”Bu Tiana memang cantik, ”
Aku tersentak. Bukan karena Pak Herman yang berbisik persis ditelinga kananku, melainkan atas ketepatannya menebak isi hatiku sekarang. Mendadak aku jadi malu sendiri.
”Sebentar lagi dia akan menikah, ”
Aku tersentak. Hanya saja kali ini benar-benar karena bisikan Pak Herman yang seketika menghadirkan badai yang memporakporandakan taman hatiku yang sedang indah-indahnya.
”Oh ya? Dari mana Pak Herman bisa tahu? ” sahutku yang berusaha kubuat setenang mungkin. Tapi sayang, aku gagal. Suaraku terdengar bergetar. Aku tak ingin hancur secepat ini. Aku baru saja menemukan dermagaku. Aku berharap tak ada perahu yang mendahuluiku menambatkan tali di tepian dermaga itu.
”Ia selalu tersenyum, dan mudah sekali tersenyum. ”
Aku tak percaya itu. Selalu tersenyum atau mudah sekali tersenyum tidak ada sangkut pautnya dengan sudah akan menikah atau tidak. Pak Herman sendiri kulihat mudah sekali tersenyum. Apakah ia akan segera menikah juga? Tidak kan?
”Begitulah Pak Dika, wanita yang akan tunangan, sudah tunangan, apalagi yang sudah menikah, memang memiliki kharisma tersendiri. Ia akan terlihat lebih cantik dari biasanya. Aura yang semacam ini timbul karena mereka pada dasarnya memang sudah dipersiapkan untuk menjadi lebih dewasa dalam jangka waktu beberapa bulan bahkan beberapa tahun kedepan. Mereka akan membhaktikan diri kepada suami. Mereka harus melakukan persiapan untuk itu. Karenanya, mereka akan semakin terlihat berseri-seri dan bercahaya karena semangat dan rasa ikhlas yang keluar bersamaan dengan  energi mereka.”
Aku mengangguk-angguk. Aku sama sekali tidak paham dengan pola pemikiran yang semacam ini. Menurutku, banyak contohnya gadis yang terlihat biasa saja meskipun ia sudah menikah. Beda dengan Bu Tiana. Dia cantik. Aku jatuh cinta padanya. Tapi, benarkah dia akan menikah sebentar lagi? Lantas kalaupun iya, kenapa aku tidak rela? Tuhan, ada apa denganku?
* * *
Aku termenung di teras rumah yang memang dipersiapkan pemerintah provinsi untukku. Mereka menyebut rumah sederhana ini dengan fasilitas. Apalah namanya, yang jelas aku nyaman tinggal disini. Itu kemarin. Tidak untuk beberapa minggu  belakangan sejak kudapat kabar Ibu Tiana akan segera menikah. Aku galau berada disini. Aku ingin sekali bertandang ke rumah Bu Tiana, menanyakan kabarnya, berbincang dengannya sambil minum teh dan makan jagung rebus atau ketela goreng. Sungguh nikmat jika ini menjadi kenyataan.
Aku menikmati semburat jingga dihadapanku. Senja akan segera menjadi gelap. Sebentar lagi malam akan berkuasa. Pikiranku semakin kacau oleh ketakutanku sendiri. Aku takut Bu Tiana benar-benar menikah. Jika itu benar, siapakah pemuda yang sangat beruntung itu? Aku kah? Atau...barangkali aku bisa merubah takdir dan menjadikan Bu Tiana istriku? Aku akan bahagia sekali. Aku akan semakin betah tinggal disini, membangun keluarga yang sakinah bersama Bu Tiana yang sudah menjadi istriku. Jika senja seperti ini, ia akan membuatkan aku secangkir teh hangat. Membuatkan aku cemilan ringan. Ketela goreng, jagung rebus, kerupuk tempe, sambil kuteguk teh hangatku. Ya Allah...indah sekali rasanya.
”Assalamualaikum, ”
Aku terlonjak kaget. Teh hangat di benakku tumpah dan mengalir entah kemana. Kutoleh kearah datangnya salam. Raut wajahku segar ketika sadar siapa yang datang.
”Waalaikum salam, silahkan masuk Bu Kumalasari, ” kupersilahkan masuk gadis yang aku tahu usianya lebih muda tiga tahun dariku itu.
”Maaf mengganggu waktu santai Pak Dika, ”
”Oh, sepertinya akan semakin menyenangkan jika saat santai seperti sekarang ada yang diajak berbincang.” kataku berbasa-basi, ”Tumben, ada apa, Bu?”
”Eh, iya, begini Pak Dika, saya hari Senin besok ada sedikit keperluan yang mengharuskan saya berangkat ke kecamatan. Kebetulan juga hari Senin ini tugas saya menjadi pembina upacara bendera. Saya berhalangan hadir. Kalau Pak Dika tidak keberatan, saya minta digantikan dulu. Nanti giliran Pak Dika biar saya yang gantikan. ” ku dengar Bu Mala menguraikan maksud kedatangannya.
Aku segera mengangguk-angguk. ”Iya, tidak masalah kok. Nanti saya yang bilang ke Ibu Wartini. ”
”Wah, terima kasih sudah mau saya repotin.” ujarnya disertai dengan senyum yang manis sekali, yang aku sendiri baru sadar akan hal ini. ”Kalau begitu saya pamit, sudah mau maghrib nih, ”
Aku melepas kepergian guru muda rekan Bu Tiana ini. Kubawa tubuhku untuk segera masuk ke dalam rumah sejenak setelah Bu Mala mengucapkan salam dan mohon diri. Namun urung kulakukan. Kulihat Bu Mala yang memutar tubuhnya dan kembali menuju teras rumahku. Aku merasakan ada yang aneh.
”Oh iya, hampir saya lupa. Saya mau menyampaikan titipan, ”
Aku berdiri mematung. Bu Mala mengaduk-aduk isi tasnya disertai dengan tatapan heranku. Tak lama kulihat sesuatu yang keluar dari dalam tasnya.
”Undangan untuk Pak Dika, ” katanya lembut.
”Dari siapa? ”
”Keluarga Bapak Rukmana, RT 05, ”
”Oh...iya. terima kasih ya, Bu, ”
”Sama-sama. Mari, saya permisi lagi. ” candanya seraya tersenyum. Aku sedikit terhibur olehnya.
Hmmm...undangan pertama yang aku dapat dari warga disini sejak aku tinggal di desa ini. Baguslah kalau begitu. Aku berpikir, jika tidak ada halangan aku pasti akan datang. Bukan lantaran aku ingin sesuatu yang umum dari sebuah acara, melainkan lebih kepada niatku untuk mengakrabkan diri dengan warga. Aku tidak ingin dikatakan sombong. Itu saja.
Kilau cahaya senja masih cukup membantuku membaca jenis acara apa yang dimaksud di undangan yang aku pegang sekarang. Tak tahan aku dengan sebuah penasaran, segera kusobek plastik pembungkus undangan yang sederhana ini. Tak ada aroma bunga darinya, apalagi tinta emas seperti undangan orang kota. Undangan ini biasa saja. Tapi kesederhanaan ini sungguh membuatku lumpuh. Kubaca berulangkali tulisan yang tertera disana, takut barangkali aku salah baca, atau barangkali senja sudah berubah menjadi gelap gulita. Tapi tidak. Aku yakin aku tidak salah baca. Senja juga masih menyisakan sedikit cahaya. Yang kutakutkan selama ini terjadi sudah. Sekali lagi aku membaca, dan aku yakin aku tidak salah.
MENIKAH, TINO HERMANTO dengan SAMRATIANA
Bu Tiana menikah. Dan pemuda yang beruntung itu adalah Pak Herman.
Senja benar-benar menjadi gelap. Seketika badai menghantamku lewat undangan yang aku pegang sekarang. Perahuku pecah, karam. Taman di hatiku porak poranda sudah. Gelas teh dan piring tempat kutaruh jagung rebus dan ketela goreng di dunua khayalku hancur berantakan. Aku sudah kalah. Aku tidak punya apa-apa lagi. Bahkan mimpi sekalipun.
* * *
”Assalammualaikum, ”
Aku menoleh kearah datangnya suara. Bu Mala.
”Walaikum salam. Silahkan masuk,  Bu Mala, ” ucapku seramah mungkin. ”Teh atau kopi? ”
”Terima kasih, saya tidak ngopi. ” hmmm...jawaban yang cerdas dan diplomatis.
Segera kusiapkan secangkir teh hangat untuknya. Sementara aku masih dengan sisa kopiku tadi.
”Ada apa, Bu, kok tumben pagi-pagi sudah bertandang?”
Kulihat gadis ini tersenyum, entah apa yang ia pikirkan. Aku menyediakan waktu menunggu senyumnya selesai sekaligus menuggu jawabannya.
”Tadinya saya mau ke rumah Mbak Tiana. Sekalinya saya lihat Pak Dika melamun sendirian. Saya jadi kepingin mampir kesini dulu. ”
Aku tersenyum mendengar alasan yang lucu ini.
”O iya, nanti sore ke undangannya Mbak Tiana dengan siapa?”
Aku menatap segerombolan burung pipit yang lewat. Perlahan kurasakan sejuk yang dikirimkan oleh belai angin yang datang dari lambai daun-daun pohon kapas yang tumbuh subur disudut kiri rumahku. Aku merenung, sebelum akhirnya menggeleng, karena aku memang belum punya rencana dengan siapa aku akan menghadiri undangan pernikahan gadis yang sejatinya dulu adalah pujaanku itu.
”Belum ada temen atau tidak mau datang?”
Bu Mala masih mengejarku. Wajar jika ia bertanya demikian, sebab gelenganku tadi memang punya dua makna: belum punya teman atau tidak akan datang. “Belum ada temen nih. Kenapa? Bu Mala mau sama-sama?”
Ia tersenyum lagi. Sementara aku? Aku semakin senang menikmati senyum itu.
“Kalau Pak Dika tidak keberatan, ”
”Oh, jelas tidak. Saya malah senang kalau Bu Mala mau menemani. Kan saya juga masih canggung jika harus datang sendirian. Ini untuk pertama kali loh saya diundang oleh warga disini, ” ujarku berseloroh. Kami sama-sama tertawa.
”Ehmmm...., ” aku mencoba memecah kesunyian yang tercipta sejenak setelah tawa kami reda, ”Bu Tiana saja sudah menikah dengan Pak Herman, ” aku sengaja menggantung kalimatku sekenanya.
”Terus? ”
Tepat. Penasarannya sudah aku dapatkan. ”Kapan mau nyusul? ”
”Nyusul apa? ”
”Apa lagi? Nikah dong. ”
Ia tersenyum lagi. Aku sadar ini bukanlah pandangan pertama. Tapi aku juga sadar aku sudah mulai senang dengan kebersamaan ini. Jauh disana, di dunia khayalku, aku sudah mulai membangun kembali perahu baru yang kemarin hancur berantakan dihantam badai. Semoga dermaga kali ini benar-benar masih sepi.
”Nikah? ” ia mengangkat alisnya, tampak lucu jika ia seperti itu, ”belum ada yang ngajak tuh, ”
”O ya? ” kali ini aku yang dibuatnya penasaran, ”kalau ada yang ngajak memang mau? ”
”Insyaallah, ”jawabnya seraya menatapku dalam-dalam, kali ini tanpa senyum.
Sejujurnya, tanpa ia katakan pun aku sudah dapat memastikan bahwa ia berkenan denganku. Matanya yang bening sudah teramat jujur mengungkapkan semuanya. Dan aku begitu mensyukuri ini.
* * *
Delapan bulan setelahnya.
Aku lelah. Sangat lelah malah. Perjalanan sembilan jam dari ibu kota provinsi yang baru saja kutempuh telah menyita energiku. Tapi ini hanya aku saja yang tahu. Selebihnya hanya melihat betapa wajahku sangat bergembira. Hatiku lebih lagi.
”Dik, kemari sebentar, ”
Pahamlah kiranya siapa yang aku panggil. Iya, Ibu Kumalasari, rekan guru di tempatku mengajar, sekarang adalah calon istriku.
”Lihat apa yang Mas bawa, ” aku menyerahkan setumpuk kertas yang sudah terbalut rapi oleh plastik. Baunya pun sangat harum. Undangan.
”Ya Allah, indahnya. Mas bikin di kota ya? ” aku mengangguk menjawab binar bahagia yang terpancar dari matanya. Lima ratus undangan yang ada ditangannya segera ia cium, ”Wangi ya, Mas. Boleh dibuka satu? Kepingin lihat isinya,  ” aku mengangguk lagi.
MENIKAH, NANDA FRANDIKA dengan KUMALASARI
Tertulis dengan tinta emas dan wangi aroma melati.
Ya Allah, atas ijin-Mu aku akan segera menikah dengan gadis yang Engkau pilihkan untukku. Tak dapat aku meraih apa yang aku mau, sekarang Engkau telah memberikan gantinya. Tak ada yang lebih baik yang bisa dirasakan oleh ummat-Mu selain dari yang telah Engkau berikan. Aku mencintainya, sebagaimana ia mencintai aku. Inilah karunia-Mu yang paling berharga setelah kehidupan.
Terima kasih ya Allah.



Pontianak, 17 April 2007
02.43 WIB
n.b. Cerpen ini dimuat dalam buku kumpulan cerpen Coretan di Langit Kapuas 
yang ditulis oleh beberapa penulis muda Kalimantan Barat
yang tergabung dalam wadah organisasi Lentera Community.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah