Jumat, 06 Mei 2011

Ada Bintang Malam Ini


           “Kamu suka lihat bintang?” tanya Mas Nino, suatu malam saat kami sama-sama tidak bisa tidur. Ini suatu kebetulan yang bagus. Mas Nino adalah orang yang sibuk. Beda dengan aku yang sama sekali tidak pernah bekerja dengan serius. Orang seperti aku memang selalu punya waktu luang yang lebih saat siang untuk istirahat. Lain seperti Mas Nino. Sibuknya saat siang itu kadang-kadang selalu menyita waktu seusai makan malamnya, untuk sekedar ngobrol sekalipun. Ia akan langsung menuju kamar dan tak lama kemudian tertidur. Makanya tadi aku bilang ini adalah suatu kebetulan yang bagus. Jarang-jarang Mas Nino bisa nemenin aku menikmati malam yang semakin menua ini.
            Ditanya seperti tadi, aku harus berpikir dulu untuk menjawab. Aku tidak suka bintang. Aku lebih suka bulan. Sayang, aku jarang bisa lihat bulan. Bulan muncul hanya kadang-kadang. Tidak sepeti bintang yang setiap malam selalu ada, asal tidak hujan.
            Kulihat Mas Nino masih menengadah. Matanya takjub menatapi bintang yang berkedip manja. Ia tersenyum.
            ”Kalau Mas sangat suka melihat bintang seperti ini, ” katanya lagi, padahal aku saja belum menjawab pertanyaan yang tadi ia ajukan.
            ”Kalau Trisna lebih suka bulan. Sayang aja malam ini ia gak keluar. Coba kalau malam ini ada bulan, wah, kita bisa tanding siapa yang lebih terang, ” selorohku.
            Mas Nino tersenyum lagi. Yang kulihat kali ini senyumnya lebih untuk aku, bukan untuk bintang pujaannya. ”Jadi itu alasan kamu lebih suka bulan dari pada bintang? ”
            Aku mengangguk serius, berharap dengan argumenku barusan, Mas Nino akan pindah haluan lantas kemudian akan menyukai bulan sama seperti aku. ”Kalau Mas Nino, kenapa suka bintang? Apa alasannya? ” Mas Nino mengubah posisi duduknya. Ia memeluk lutut, sedikit agak merapat kepadaku.
            ”Bintang itu terlihat kecil, karena ia sangat jauh. Padahal kalau ada yang sanggup mengukur, sebenarnya bintang itu juga besarnya sama dengan bulan, bahkan dengan matahari sekalipun. ” Mas Nino menatapku, yang hanya mengangguk-angguk mencoba memahami arti kalimatnya barusan, ”Yang kamu harus tahu, meski bintang itu cahayanya lebih redup daripada bulan, tapi bintang punya cahaya sendiri. Beda dengan bulan yang cahayanya dapet dari matahari. Bulan hanya memantulkan cahaya dari matahari. Itu artinya bulan tidak punya cahaya sendiri. Gak asyik dong kalau gitu.  ”
            Aku menggeleng, kali ini bener-bener kurang mengerti arti dari ’gak asyik dong’nya barusan.
            ”Iya, ” Mas Nino menjelaskan, ”ibarat kita pegang uang banyak, tapi itu bukan uang kita. Enak apa enggak? ”
            Kembali aku mengangguk-anggukkan kepala, kali ini aku ngerti. Ah, Mas Nino memang pinter, pujiku dalam hati.
***
            Namanya Morino Setiawan. Ibu membiasakan aku memanggil anak dari kakaknya itu dengan sebutan Mas Nino. Kami adalah sepupu yang sangat dekat. Bahkan jika ada kesempatan menjemputku saat pulang sekolah, teman-temanku sering menggodaku sedang berpacaran dengan pegawai Bank. Aku hanya tersenyum, sebab memang tak banyak yang tahu kalau Mas Nino itu adalah kakak sepupuku.
            Aku, Ade Trisna Santika, seorang anak tunggal. Jujur, aku tak pernah merasa kesepian, karena sejak Mas Nino SMP, ia sudah tinggal bersama kami. Ia adalah kakak sekaligus teman yang sabar. Aku lebih senang mengadu kepadanya daripada ke ibu atau ke ayah. Barangkali perbedaan usia kami yang hanya terpaut tujuh tahunlah yang membuat Mas Nino lebih bisa memahami perasaan remaja sepertiku ketimbang ibu atau ayah.
            Malam ini, kembali aku duduk di genting atap rumahku. Tak susah melakukan ini. Tinggal loncat dari jendela kamar, kemudian merayap pelan-pelan mencari tempat yang agak datar didekat antena parabola. Tempat kesukaanku saat aku ingin menikmati malam. Sesekali saja ditemani Mas Nino. Seperti semalam. Barangkali tidak untuk malam ini.
            Tapi, dugaanku meleset. Tak lama setelahku, Mas Nino datang menyusul. Aku senang tak kepalang.
            “Kalau kamu begini terus, lama-lama kamu bisa sakit, “ kata Mas Nino begitu ia duduk disebelahku. Aku tersenyum kemudian melirik jam yang ada di pergelangan tangan kiriku. Pukul dua puluh tiga lebih delapan belas menit.
            “Gak tiap malam kok Mas. Kadang-kadang saja kalau lagi suntuk, ” jawabku mencoba sedikit bercanda.
            ”Kalau begitu saat ini kamu lagi suntuk dong, ”
            ”Iya, ” jawabku lagi, kali ini kuiringi dengan mengangguk.
            ”Mau cerita? ”
            Pasti, kataku dalam hati. Aku pasti cerita. Memang itu yang ingin aku lakukan kalau saja Mas Nino punya waktu luang. Dan sepertinya malam ini adalah waktu yang tepat itu.
            ”Tadi siang di sekolah ada dua temenku yang berantem. Andre dan Dido. Mas tau kenapa? “
            “Rebutan kamu? “
            “Mas loh ya yang bilang. Nanti kalau yang bilang aku, dikira aku ge er lagi. ” mendengar ini, Mas Nino tertawa.
            ”Lantas, tindakan kamu apa? ”
            ”Itu dia masalahnya, Mas, aku gak tau harus ngapain. Dua-duanya ngotot mau jadi pacarku. Berantem segala lagi. “ aku diam. Bingung. “Apa aku harus pilih salah satu? Atau dua-duanya sekalian biar adil? Atau gak usah semuanya? ”
            ”Ikut kata hatimu saja. ”
            ”Loh, maksud Mas apa? ”
            ”Kamu kan yang satu sekolah dengan mereka, jadi kamu lebih tau sifat mereka. Nah, coba tanyakan ke kata hatimu, sebenarnya kamu lebih berat yang mana.kamu gak boleh milih salah satu atas dasar kasihan atau karena ia lebih tampan misalnya. Karena ini masalah perasaan, bukan main-main. Kalau kamu salah, kamu juga yang akan sakit. ”
            Benar juga. Wah, kenapa ya aku kok gak mikir ini dari kemarin? Hmmm.. Mas Nino memang bijaksana. Bangga rasanya aku punya saudara seperti dia, meski bukan kandung. Rasanya semakin sayang aku dengan Mas Nino.jauh disana, dilubuk hatiku yang paling dalam, aku berharap Mas Nino akan selalu ada, baik saat aku senang, maupun saat aku ingin mengadu.
            ”Trisna, ”
            Aku tersentak. Lamunanku buyar oleh sapaan Mas Nino barusan. Bukan karena aku terkejut, melainkan aku merasakan sapaan kali ini terasa berat dan aneh. Aku tidak biasa merasakan ini. Ya Tuhan, ada apa ini?
            ”Tiga hari lagi Mas akan berangkat ke luar kota. Gak lama kok, cuma lima hari. Perusahaan tempat Mas bekerja mengutus Mas untuk menghadiri pertemuan yang sedianya Pimpinan Unit lah yang menghadiri. Tapi beliau berhalangan. ”
            Hfff...aku menghembuskan napas perlahan. Lega. Toh cuma lima hari. Gak lama kan? Tapi biarpun demikian, aku akan tetap merindukannya. Pasti.
            ”Trisna, ” Mas Nino menggeser duduknya kesisiku, ”kamu mau nitip apa? Mumpung Mas ke luar kota nih. Sekalian sebagai kado tahun baru dari Mas. ” tanyanya disertai senyum.
            Aku tengadah, memandang ke langit. Ada banyak bintang di sana, berkedip manja. Sejak semalam, aku sudah mulai jatuh hati kepada bintang. Aku jadi ingat aku harus minta apa. Aku tersenyum, ”Bawakan Trisna bintang yang bisa nyala buat pajangan di kamar. Bisa gak? ”
            ”Sudah jatuh hati sama bintang rupanya. ” sekali lagi ia tersenyum, ”Baik, nanti mas bawakan bintang yang bisa nyala dan bisa dipajang di kamar. Tapi sebelum Mas datang, kamu bisa lihat bintang yang disana, ” Mas Nino menunjuk salah satu sudut langit yang paling gelap, tapi justru disitulah ada bintang yang paling terang. ”Bintang yang itu sangat jauh, tapi masih bisa kamu lihat lewat cahayanya. Kalau kamu kangen sama Mas, Mas akan datang lewat bintang itu. Meski Mas jauh, Mas akan selalu ada buat kamu. ”
            Aku senang bukan main. Di dalam hati aku bilang, biarlah Mas Nino pulang gak bawa pajangan bintang yang bisa nyala, asal dia pulang saja aku sudah suka.
***
            Satu Januari. Iya, ini sudah tahun baru. Tadi pagi Mas Nino berangkat. Aku hanya bisa menduga-duga bahwa pesawat yang melintas di atas rumah barusan itulah yang ditumpangi Mas Dito. Tanpa sadar aku melambaikan tangan. Mataku terus mengikuti perjalanan pesawat hingga akhirnya ia menjadi titik yang kecil kemudian lenyap. Lima hari lagi barulah Mas Nino pulang. Itupun kalau urusannya lancar. Ah, semoga saja semua urusan Mas Nino beres.
            Hari ini aku tidak ingin mengerjakan apa-apa. Aku ingin bersantai saja. Sampai siang aku mengurung diri di kamar. Kusiapkan segelas jus mangga kesukaanku, sepiring roti cokelat lapis keju tipis, dan sepiring brownies sisa semalam. Kubuat suasana hari ini menjadi senyaman mungkin.
            Oiya, inikan tahun baru. Aku ingat kalau aku belum ngucapinn selamat tahun baru ke teman-temanku. Hmmm, baru aku sadar betapa telatnya aku ini. Padahal teman-teman yang lain sudah pada sms-an sejak pergantian hari semalam. Beberapa malah ada yang masuk ke hp-ku. Tapi tak apalah. Toh hari ini masih tanggal satu.
            Teman yang kupilih pertama yang ingin kukirimi sms adalah Anggi, temanku sebangku di sekolah.

            Woiii met tahun baru
ya neng ^_^ sori bgt aku telat.
Btw apa nich make a wish
di thn ini?
<send to : anggie cute>

            Rasanya belum sempat aku menelan jus yang baru saja kuteguk, sms Anggi sudah masuk. Sungguh, aku kagum dengan kecepatan dia mengetik sms.

            Sama2. gak aneh2
kok make a wishnya.
Yang penting aku selamet.
Kasian loh, saat seneng
gini malah ada yang sedih.
<sender : anggie cute>

Aku bingung dengan jawaban sms anggi yang menurut aku sama sekali gak nyambung ini. Segera aku balas.

Maksudnya apa?
<send to : anggie cute>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah