Jumat, 06 Mei 2011

Malaikat Kecil yang Menangis


            Malam masih satu jam lagi, setidaknya begitu jika itu tidaklah terlalu tepat benar. Ini masih sore, tapi udara terlalu cepat menjadi dingin. Distie merapatkan jaket yang membalut tubuhnya. Ada sedikit kehangatan setelah itu. Ia tersenyum sendiri. Tapi itu sebentar saja. Jauh diseberang sana, seorang pemuda terus menerus menatap ke arahnya. Ada sedikit desir halus yang ia rasakan, tapi cepat-cepat ia tepis.
            “Ah, tak mungkin dia, “ pikir Distie alakadarnya. Ia tak mau membebani diri dengan setumpuk lembar catatan masa lalu yang ia buat dengan orang di seberang sana, jika memang ia orangnya. Tapi sungguh, sore ini ia benar-benar merasa tak nyaman. Pandangan pemuda itu terus saja mengawasinya. Perlahan ia memutar duduk, mencoba menghindari adu tatap. Barangkali ini bisa sedikit memberi ketenangan. Tapi ternyata ini salah. Meski tak tampak, Distie bisa merasakan jika sosok pemuda itu kian mendekat, mendekat, dan mendekat. Distie terpaksa membalikkan badan kembali, dan...
            ”Apa kabar? ”
            Distie terlonjak kaget. Sapaan itu sungguh menenangkan. Lembut, teduh, dan sopan tentu saja.
            ”Ah, aku ternyata sangat bodoh. Sore ini kamu tampak segar, sehat, tapi sedikit gugup. Semoga kegugupan itu bukan karena aku. Iya, aku tadi bertanya tentang kabarmu. Aku sudah menjawabnya sendiri. Pasti jawabanku tepat sekali, bukan? ”
            Distie masih diam saja. Lebih karena ia memang tak tahu harus bicara apa.
            ”Waktu delapan tahun ternyata cukup berhasil membuatmu berubah drastis. Kau tidak lagi seperti dulu. Kau bukan Cantik yang ceria, bukan Cantik yang senang tertawa, bukan lagi Cantik yang ramah. Atau, barangkali aku salah orang? ”
            Dalam hati Distie menggeleng. Ia sungguh tidak banyak berubah, batinnya. Percaya atau tidak, siapa lagi di dunia ini yang tulus memanggilnya ’Cantik’ selain dia?
            ”Baik, aku akan mengingatkanmu jika kau memang sudah lupa akan aku. Kamu dengar baik-baik ya, ” pemuda itu duduk persis disebelah Distie, kemudian ia berbicara lagi, ”waktu kita naik kelas dua SMA, ternyata kita sekelas. Aku bangga, Tuhan mengabulkan do’a yang selalu aku panjatkan. Ya, kamu boleh tidak percaya. Tapi ini jujur. Mulai dari kita MOS di SMA, aku sudah suka sama kamu. Aku bahkan pernah berbuat sesuatu yang menurut kamu sangat norak. Aku memanjat tiang bendera yang sedikit miring, lalu aku teriak kencang-kencang bahwa aku suka kamu. Kamu sembunyi karena perbuatanku ini. Malu katamu. Dan kamu tau, aku digiring ke ruang kepala sekolah setelahnya. Aku tidak takut. Aku malah bangga. Aku bangga karena aku berani bilang bahwa aku suka sama kamu. Aku bukan pengecut seperti mereka yang waktu itu juga suka sama kamu.
            Setiap jam pelajaran, pelajaran apapun itu, aku selalu menggambar malaikat kecil bersayap indah dan selalu tersenyum manis. Di bawah gambar malaikat itu selalu aku tulis nama kamu, Selfiana Aufa Pranadistie. Kamu adalah malaikat buatku. Kamu cantik. Kamu juga baik. Apalagi yang bisa menggambarkanmu selain malaikat?
            Bagaimana, kau sudah ingat dengan aku? ”
            Distie menggeleng lemah. Ia tak berbuat apa-apa, bahkan menoleh sekalipun ke arah pemuda yang sudah bercerita panjang lebar barusan. Ia malah merasa tambah dingin saja. Senja hampir kalah oleh gelap.
            ”Aku sungguh tidak percaya. Cepat sekali kamu menjadi lupa. Ada apa denganmu? Aku Heksa, temen sekelasmu dulu. Yang paling sering ganggu kamu. Yang selalu iseng nyebarin gosip kalau kamu yang nembak aku duluan. Tapi toh akhirnya kamu menerima aku juga kan? Kamu sudah ingat? Atau kamu masih lupa? ”
            ”Maaf, ” Distie akhirnya membuka suara juga, ”aku sama sekali tidak kenal kamu. Aku yakin kamu salah orang. Aku bukan orang yang kamu maksud. ”
            ”Apa? ” Heksa mendelik tak percaya, ”Kamu bukan Cantik yang dulu sangat sayang sama aku? Oh, tidak. Kamu jangan bohong. Aku sudah sangat yakin kalau kamu adalah Cantik kekasihku dulu. Kenapa kamu mungkir? Kenapa kamu menghindar? Apa karena aku tidak setegap dulu lagi? Atau...atau kamu masih sakit hati masalah Rika? Oke, biar aku jelaskan. ”
            ”Cukup, aku sudah bilang kalau aku bukan orang kamu maksud. Pergilah, kamu salah orang. Namaku Andini, bukan Selfiana...ah, aku bahkan lupa dengan nama yang kau sebutkan tadi. Jadi sekarang pergilah. Jangan ganggu aku. Aku senang berada disini setiap menjelang gelap. Aku tidak ingin waktu kesenanganku kau sita. ”
            Heksa bangkit dari duduknya, bukan untuk pergi, melainkan lebih mendekatkan diri ke Distie. Ia menatap bibir Distie lekat-lekat.
            ”Kenapa denganmu ini? Apa kau sudah gila? Atau kau perlu aku panggilkan satpam? ”
            ”Cantik, bahkan bibirmu masih semanis yang dulu. Tanpa aku mengecupnya, aku tahu hanya kamu yang memiliki bibir seperti ini. Apa aku masih salah orang? ” Suara Heksa mulai melemah. Matanya mulai menjadi sayu, seperti senja yang mulai ditelan gelap.
            ”Aku sudah bilang, kamu salah orang. ”
            ”Cantik, ”
            ”Pergilah. Aku juga akan segera pulang. ”
            ”Cantik, ” Heksa menatap kepergian Distie yang sama sekali menganggap Heksa bukan siapa-siapa, Heksa seolah-olah tak ada. Dan ini sangat menyakitkan.
***
Dua hari setelahnya, ditempat yang sama...
            ”Apa kabar,  Cantik? ”
            Distie sedikit tersentak. Ia sama sekali tak menduga kedatangan Heksa.
            ”Lama sekali tak kujumpa kau. Saat aku bertanya tentang kabarmu, aku selalu berharap kau jawab ’baik’ sambil tersenyum. Tapi kau tak melakukannya. Kenapa? ”
            Sungguh, yang seperti ini sudah sangat membuat Distie merasa tak nyaman. Kenapa dengan pemuda ini? Distie menggaruk kepala yang sebenarnya memang tak gatal.
            ”Sudahlah, Cantik. Aku yakin kau tak akan suka berpura-pura selama ini. Aku sudah sangat kenal dengan kamu. ” Heksa berbicara dengan intonasi yang mulai merendah dan mulai terasa tak nyaman. Ada getar lembut menyertai suaranya. Getar kekalahan dari sebuah pertemuan yang memang sangat diharapkan. Tapi toh tidak demikian dengan Distie. Dimatanya, Heksa sudah mati. Bahkan kenangannya sekalipun. Tak ada. Hilang.
            ”Cantik, ” Heksa menatap wajah Distie lekat-lekat. ”aku akan pergi jauh dari kamu. Aku gak akan balik lagi kehadapan kamu. Gak akan ganggu kamu. Aku kesini hanya ingin ketemu kamu, mungkin buat kali terakhir. Jadi aku mohon, jangan siksa aku dengan sikap kamu yang seolah-olah tak kenal dengan aku. Aku belum tua benar dan aku tidaklah terlalu bodoh untuk membedakan mana Distie mana bukan. Aku yakin kamu adalah Distie, kekasihku yang aku cintai. ” Heksa mengalihkan pandangannya ke langit senja yang sudah tidak membiaskan cahaya jingga lagi. Senja yang begitu sangat cantik sebenarnya, jika saja Distie tidak bertingkah seperti ini, batin Heksa.
            ”Bukankah aku sudah bilang kalau aku tidak kenal kamu? Aku harus bilang apalagi biar kamu percaya? ” Distie membuka suara, memecahkan sepi yang tercipta begitu saja.
            ”Terserah kamu, Cantik. Aku sudah tidak peduli lagi. Aku hanya ingin kamu beri aku satu alasan kenapa kamu begitu sangat ingin membunuhku dalam pikiranmu. Kamu sama sekali tak ingin ketemu aku lagi. Kamu benar-benar berubah. Aku kehilangan Cantik yang sangat aku cintai dulu, juga sekarang. ”
            ”Alasan apa yang kamu mau? Aku tidak punya alasan apa-apa. Toh aku memang tidak pernah ketemu dengan kamu. Sudahlah, kamu pergi saja. Aku rasa itu lebih baik. Dari pada kamu masih disini, ngomong gak jelas yang gak ada untungnya buat aku juga buat kamu. Buang-buang waktu saja. ”
            Heksa tersentak. Ia tak percaya Cantiknya sanggup berbicara seperti ini terhadapnya. Ia ingin sekali membenturkan kepalanya ke aspal jalanan, berharap ia akan kembali ingat, setidaknya diingatkan bahwa orang yang ada di sebelahnya sekarang ini memang bukan Distie, bukan Cantik yang begitu ingin ia jumpai. 
            “Baik, aku akan pergi. Jika memang kamu bukan Cantik kekasihku dulu, aku minta maaf karna sudah mengganggu waktu kesukaanmu saat menikmati senja yang turun. Tapi jika kamu memang Cantik yang dulu pernah begitu hidup dihatiku, sungguh, aku tak akan pernah memaafkanmu. “  Heksa bangkit meninggalkan bangku taman  yang sudah berhasil melukiskan sepotong kisah menyakitkan dihidupnya. Di bangku taman itu ia sudah diperdaya oleh seseorang yang sejatinya sangat ia cintai.
            Heksa berjalan begitu perlahan. Ingin sekali ia menjemput maut datang lebih cepat dari jadwalnya. Ia ingin cepat pergi dari dunia yang begitu jahat kepadanya ini. Ia tak sanggup. Apa lagi yang ia punya? Ayahnya yang dulu selalu mengajarinya tentang arti sebuah kejujuran, sekarang sudah mengajarinya menghianati arti kejujuran itu. Percaya atau tidak, tak ada yang lebih menyakitkan saat itu selain melihat dengan mata kepala sendiri, ayah yang sangat ia banggakan menggandeng perempuan muda yang sedikit nakal. Lantas ibunya? Tak kuat menahan beban hidup, harus pergi lebih cepat meninggalkannya. Sekarang Cantiknya juga membuangnya, mencampakkan tanpa belas kasihan sedikitpun. Sungguh, orang begitu cepat benar berubah, dalam waktu delapan tahun saja. Sekarang ia sudah tak punya teman untuk berbagi, untuk sekedar menyandarkan kepala sekalipun.
***
            ”Kamu ketemu Heksa lagi? ” Rika mengelus kepala Distie, di suatu malam yang tenang. ”Apa dia ada bercerita tentang aku? ”
            Distie mengangguk, ”Ia tak sampai menceritakannya. Aku sendiri yang memotong ceritanya. “
            “Kenapa begitu? Setidaknya kamu bisa dengar ceritanya. Semoga cocok dengan apa yang aku ceritakan kepadamu. ” Rika merebahkan tubuhnya di atas dipan empuk, di kamarnya sendiri.
            Distie menggeleng lemah. Ia tak ingin menanggapi apa-apa dari cerita Rika barusan. Pikirannya kembali terbang ke beberapa tahun yang lalu, saat mereka masih SMA. Heksa pernah dikabarkan mabuk dan memperkosa Rika. Kabar ini justru kian nyaring terdengar saat Rika tidak masuk sekolah selama setahun. Inilah hal yang semakin menguatkan gosip akan Heksa tadi. Hal ini seolah menjadi benar karna Rika tidak masuk dan diduga malu untuk kembali sekolah.
            Belakangan baru diketahui bahwa semua hanya akal-akalan Danu, cowok yang sangat suka kepada Rika namun harus rela bertepuk sebelah tangan. Ia menyebarkan gosip murahan tepat saat Rika akan berangkat ke Kanada yang diutus sebagai duta pertukaran pelajar. Tak banyak yang tahu akan hal ini. Bahkan Distie sekalipun. Sehingga ia begitu terpukul dan sangat kecewa kepada Heksa.
            ”Ri, menurut kamu, apa Heksa masih mau ketemu aku ya? ” Distie menatap lekat ke arah mata Rika, seolah sangat mengharapkan Rika akan mengatakan ’masih kok’. Meski toh jawaban seperti itu tidak menjamin kalau Heksa memang masih mau ketemu dengannya.
            ”Aku pikir juga begitu, Dis. Soalnya Heksa sayang banget sama kamu. Kamu juga kan? ”
            Distie mengangguk. ”Tapi kemarin dia bilang, dia gak akan maafin aku lagi. Gimana dong? ”
            Diluar, angin bertiup semilir, menghantarkan  suara daun pintu yang diketuk dengan perlahan. Rika bangkit dari rebahnya, berjalan ke arah pintu dan membukanya.
            ”Bagus kamu yang buka pintu, jadi aku gak perlu ketemu dengan Cantikku yang sudah ’mati’ dipikiranku. Aku tau Cantikku ada di dalam. ”
            Rika membelalakkan mata tak percaya. Dilihatnya Heksa sedikit mematung di depannya. Matanya yang sayu, tubuhnya kian kurus seperti tak terawat. Semua itu menggambarkan betapa menderitanya Heksa selama ini. Jahat sekali Distie jika ia harus menambah beban hidup Heksa yang sebenarnya sudah sangat berat ini.
            ”Tolong berikan ini ke Cantik. Sudah sejak delapan tahun yang lalu aku ingin memberikannya. Bahkan saat kami sudah pacaran pun, aku tidak punya keberanian dan kesempatan yang bagus untuk memberikannya. ”
            Rika menerima kertas kumal bekas sobekan buku catatan. Di kertas itu tergambar malaikat kecil bersayap indah yang tersenyum manis. Di bawahnya  tertulis dengan huruf penuh bunga, Selfiana Aufa Pranadistie. Ah, andai Rika adalah Distie, tentu ia sudah menangis saat ini.
            ”Aku pergi, Rika. ” Heksa memutar langkah, perlahan tapi pasti ia meninggalkan Rika yang masih terpaku dalam ketidakmengertian.
            Rika sendiri bingung apa yang harus ia lakukan sekarang. Bukan ia yang harus menyelesaikan masalah ini, tapi kenapa kakinya ikut-ikutan kaku dan susah untuk digerakkan? Dan...
            ”Siapa sih yang kamu temui barusan? ”
            Rika menoleh ke arah Distie. Tepat benar dia datang. Rika menyerahkan kertas kumal ditangannya.
            Distie menyambutnya dengan tangan gemetar. ”Heksa? ”
            Rika mengangguk. ”Kalau kamu cinta dengan dia, sebaiknya kamu kejar dia. Heksa belum pergi jauh. ”
            Tak akan dua kali Rika berkata seperti itu. Dalam hitungan sepersekian detik, Distie sedah melesat berlari membelah malam mengejar Heksa yang kata Rika belum pergi jauh. Dan benar saja. Di depan sana, tampak dimata Distie sosok pemuda yang sangat ingin ia temui malam ini.
            ”Heksa, Heksa tunggu. ” terengah-engah Distie berusaha menyejajari langkah tenang Heksa. Dilihatnya Heksa tak bergeming sedikitpun. ”Heksa, aku minta maaf. Sumpah, aku menyesal udah jahat sama kamu. Delapan tahun aku nunggu kamu datang. Tapi kamu datang justru disaat aku pesimis sama kamu. Heksa, aku mohon, kamu ngomong sesuatu ke aku sekarang. Maafkan aku Heksa, maafkan aku. ”
            ”Maaf, Mbak. Barangkali Mbak salah orang. Saya bukan Heksa. Saya Bahar. Mungkin saya bukan orang yang Mbak maksud tadi. ”
            Terbelalak mata Distie demi mendengar penuturan orang disebelahnya ini. Sama sekali tak terpikir bahwa Heksa akan berkata seperti itu. ”Heksa, kamu mau balas aku ya? Kamu mau pura-pura gak kenal aku, gitu? ”
            ”Ya ampun, kan saya sudah bilang, saya bukan Heksa. Mbak jangan maksa gitu dong. ” Heksa tetap setenang tadi. Tak sedikitpun ia terpengaruh oleh tingkah Distie.
            ”Bagaimana mungkin kamu bukan Heksa? Sepuluh menit yang lalu kamu nyerahin ini ke Rika. Iya kan? ” Distie hampir kehabisan kata-kata. Air matanya mulai menetes satu-satu. ”Kamu Heksa kan? ” runtuh sudah pertahanan yang sejak tadi dibangun oleh Distie. Akhirnya ia menangis juga.
            ”Bukan, saya Bahar. Lebih baik Mbak pergi saja. Saya rasa itu lebih baik. Dari pada Mbak masih disini, ngomong gak jelas yang gak ada untungnya buat saya juga buat Mbak. Buang-buang waktu saja. ”
            Distie kian tersedu. Kalimat terakhir yang diucapkan Heksa adalah kalimat yang pernah ia ucapkan untuk Heksa. Sekarang kalimat itu kembali kepadanya. ”Heksa, baik kalau kamu masih lupa padaku. Biar aku ingatkan, aku ingin cerita tentang masa-masa SMA kita. Kamu dengar baik-baik ya, ” Distie menyeka air matanya. ”Sejak kita MOS dulu, aku juga sadar ada cowok yang terus-terusan menatapku. Tapi jujur, aku gak berani membalas tatapannya. Aku malu. Aku rasa itu wajar. Lantas selama setahun cowok itu terus-terusan seperti itu. Menatapku diam-diam. Sampai saat kita kelas dua, ternyata kita sekelas. Aku suka sekali. Sebab sejak kelas dua itulah, cowok yang ternyata kamu itu mulai berani nakal sama aku. Kamu norak banget waktu itu, manjat tiang bendera yang sedikit miring terus teriak kenceng-kenceng kalau kamu suka sama aku. Aku jelas malu.
            Sampai akhirnya kamu digiring ke ruang kepala sekolah karena berbuat hal yang aneh-aneh. Aku pikir setelah keluar dari ruang kepala sekolah, kamu akan jera. Ternyata aku salah. Kamu semakin nakal sama aku. Kamu nyebar-nyebarin gosip kalau aku yang nembak kamu duluan. Aku marah, tapi jujur aku suka.
            Sesekali juga aku lihat kamu menggambar malaikat kecil bersayap indah dan tersenyum manis. Kamu tulis dibawah gambar itu namaku, Selfiana Aufa Pranadistie. Aku suka sekali. Sekarang gambar itu ada ditanganku, setelah delapan tahun kau sendiri yang menyimpannya. Karena semua kelucuan dan kenakalan itulah akhirnya membuatku benar-benar jatuh cinta sama kamu. Kita pacaran. ” Distie menyeka air matanya lagi, ”Bagaimana, kamu sudah ingat? ”
            Heksa menggeleng, ”Ingat apanya? Kan saya sudah bilang kalau saya bukan Heksa. Apa Mbak kurang jelas? ”
            Distie berhenti mengikuti langkah Heksa. Ia sadar ia salah. Ia juga sadar tak bisa memaksa Heksa untuk mengubah keputusannya. Sekarang Heksa benar-benar pergi, mungkin untuk selamanya.
            Malam kian menua. Distie tak sanggup terus menatap sosok Heksa yang kian mengecil di ujung jalan, yang akhirnya hilang ditelan gelapnya malam. Distie masih menangis tersedu. Hatinya pecah sudah. Keangkuhan yang ia bangun lima hari yang lalu telah menghantam cintanya sendiri. Sekarang ia yang jatuh. Entahlah, Heksa tahu atau tidak. Gambar malaikat bersayap indah dan tersenyum manis yang ada ditangannya kini mulai basah oleh air mata. Sekarang tak ada lagi malaikat kecil yang tersenyum. Yang tersisa hanya kenangan tentang malaikat kecil yang menangis.



Kamar Kost, 07 Desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah