Sabtu, 27 Juli 2013

Yang terasa, yang dipikirkan, yang ditulis… [sedikit uneg-uneg dari dalam hati]




Sangat menyenangkan jika ada kesempatan untuk nongkrong bersama para karib di kedai kopi. Menikmati kesibukan dan hiruk-pikuk orang-orang sekitar seraya menyulut sebatang rokok dan menghembuskan asapnya perlahan. Secangkir kopi di hadapan menunggu giliran untuk dinikmati juga. Sementara para karib sibuk mengaduk teh atau secangkir cappuccino di hadapan mereka masing-masing seraya bersiap-siap melemparkan kalimat sebagai pembuka wacana. Sungguh menyenangkan.
Banyak hal yang bisa dibincangkan di kedai kopi bersama para karib tadi. Yang paling sering jadi topik terhangat adalah keberadaan para penulis lokal dan apa saja karya-karya yang sudah mereka buat. Dari sekian banyak nama yang kami sebutkan, tentu saja lambat laun akan mengerucut pada nama yang itu-itu juga dan karya yang begitu-begitu saja. Si A yang berani menulis karya yang mendobrak segala macam hal-hal yang dianggap tabu. Si B yang karya-karyanya berbau sufisme. Si C yang tulisan-tulisannya sangat dangkal. Si D yang begini begini begini…
Aneh saja rasanya jika kami terpaksa harus diposisikan seperti komentator sepak bola. Komentator-komentator itu biasanya cenderung bebicara saja tanpa paham sedikitpun bagaimana sulitnya menggiring bola di lapangan dan harus menciptakan gol.
Kami? Kami mengomentari namun juga berbuat. Kami tidak diam saja. Kami juga punya karya yang bisa (sedikit) dibanggakan.
Yang sedikit belum bisa saya terima adalah, jika ada ‘komentator’ yang sedikit mengarahkan bahwa karya yang bagus itu seperti ini, maka menulislah seperti ini. Oh, itu terlalu membebani. Terlebih bagi seorang penulis pemula seperti saya.
Sedikit mengutip pendapat Pram, bahwa semua harus ditulis. Apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna (Pramoedya Ananta Toer, Menggelinding I, 2004). Pelan-pelan saya mulai menunaikan titah Pram tadi. Menulis. Apa pun. Saya yakin, suatu saat pasti berguna.
Saya senang membaca karya-karya penulis hebat. tentu saja sebagai penulis saya juga ingin seperti mereka. Ingin sama hebatnya. Ingin punya nama hebat dan dikenang sebagai penulis yang hebat. Tapi, dari segi teknik kepenulisan dan hasil karya, biarlah saya menemukan jati diri saya sendiri tanpa harus dipaksakan sama dengan penulis-penulis yang punya karya hebat tadi.
Dalam berkarya, saya cenderung menuliskan apa yang saya rasakan dan apa yang sedang saya pikirkan. Intinya, saya menulis jika perasaan saya nyaman. Nyaman dalam arti tanpa ada tekanan atau paksaan harus menulis seperti ini atau seperti itu. Bebas. Perkara nanti hasilnya memuaskan atau tidak, biarlah pembaca yang menilai.
Dalam berkarya, saya juga memiliki keyakinan bahwa pembaca itu cenderung senang dengan bahan bacaan yang sejatinya mereka pahami. Sederhana saja. Pembaca yang seperti itu adalah pembaca yang membutuhkan bahan bacaan sebagai hiburan, bukan bahan bacaan untuk diteliti dan sebagainya. Jadi, biarlah mereka mendapatkan dan menikmati karya-karya yang bisa menghibur mereka. Dengan demikian, tentu saja karya-karya seperti itu akan ada gunanya juga. Dan, bagi merekalah tulisan-tulisan saya yang sederhana ini saya persembahkan.
Saya masih ingat kutipan dari buku Teori Sastra karangan Austin Warren dan Renne Welleck. Di dalam buku itu tertulis bahwa karya sastra adalah karya yang mengandung unsur keindahan dan kebergunaan. Keindahan tentu saja berkaitan dengan nilai estetika sebuah karya sastra. Saya sebagai penulis jelas tidak bisa memaksakan kepada pembaca untuk mengatakan bahwa karya saya itu indah. Ini (indah atau tidaknya sebuah karya) sudah menjadi urusan pembaca dan ini soal selera. Jika pembaca suka, kebergunaan sebuah karya sastra akan muncul dengan sendirinya, sesederhana apapun itu. Sekurang-kurangnya, karya saya akan menghibur mereka.
Pada akhirnya, saya tinggal berharap saja semoga buku kumpulan cerita pendek Hujan Bulan Juni ini memang memiliki unsur estetika dan semoga saja buku ini ada gunanya buat para pembaca.

Mempawah, penghujung Mei yang tenang, 2013
Salam,
Redia Yosianto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah