Selasa, 15 Januari 2013

[cerpen] Ziarah




Oleh: Redia Yosianto


Tak ada yang mencoba membuka percakapan. Sepi. Sepi sekali. Keduanya masih juga berdiri di situ. Di sebuah padang yang sedikit lebih tinggi dari sekitar. Mematung. Memandang pada satu titik yang sama. Di depan, sawah hijau menghampar. Begitu menenangkan perasaan. Angin pagi sesekali menampar-nampar. Begitu kencangnya. Menerpa anak-anak rambut yang kian acak-acakan. Matahari belumlah terlalu panas. Lamat-lamat di kejauhan tampak serombongan burung belibis yang melintas. Warna putihnya begitu anggun. Begitu memesona.
            “Tak ada yang berubah dari tempat ini, Maria.”
            Sepi lagi.
            “Semuanya.” Wira melanjutkan kalimat yang tidak mendapat tanggapan tadi. “Kau, aku, sawah, burung, angin, juga segala yang kita rasakan sekarang. Barangkali jika memang ada yang berubah, itu adalah kita yang semakin dewasa, semakin tua.” Tambah Wira. Tanpa menoleh.
            “Aku pulang membawa rindu yang menggunung,” sahut Maria, sedikit serak dan bergetar, “tapi bukan untuk bapak. Buatku, bapak sudah lama mati. Aku tidak punya bapak. Aku tidak ingin punya bapak seperti orang itu.” Air mata itu akhirnya tumpah. Mengalir dengan perlahan.
            Wira meraih lengan Maria, mengajaknya duduk. Runcing ilalang segera menyambut. Seperti tadi, angin sesekali masih datang, mengacak-acak segala yang tersentuh. Rambut, dedaunan, mungkin juga perasaan. Sejuknya begitu terasa.
            “Dulu, dua belas tahun yang lalu, kita sering duduk di sini. Suasana masih juga seperti sekarang. Kau menangis. Selalu menangis. Kau tunjukkan bekas rotan yang menjalar di kakimu, di lenganmu, malah kadang juga di pinggangmu. Kau tunjukkan semua sambil menangis.”
            Maria mulai sesenggukan. Satu demi satu kisah kelam masa lalu melintas di hadapannya. Tentang ibunya yang sekalipun tak pernah dia lihat. Tak pernah dia peluk. Tentang bapaknya yang terlalu sayang dengan kakaknya, Marini. Tentang bapaknya yang begitu seringnya memukul. Marini yang selalu dimanja, disayang. Dirinya yang selalu dibentak dan dirotan. Semua kini hadir sebagai sebuah cerita yang begitu celaka. Begitu tak pantas sebenarnya untuk diceritakan lagi. Sakit. Teramat sakit jika harus mengenangnya kembali. Rotan itu seperti masih melekat di kakinya, di lengannya, juga di pinggangnya. Dan ini membuatnya semakin tak ingin pulang.
            “Aku terpaksa memintamu pulang, Maria.”
            “Mungkin akan lebih baik jika Mas Wira tidak pernah mengabariku sama sekali soal ini. Percuma saja, Mas. Aku toh tetap tidak bisa memaafkan perbuatan bapak.”
            Wira menarik napas sejenak, “Kamu tahu, mengapa dulu bapakmu begitu keras kepadamu?”
            Maria menggeleng. Air matanya masih mengalir. Dia hanya mampu membatin, tentu saja alasannya cuma satu: bapak tidak sayang kepadanya. Apa lagi? Kalau bapak sayang kepadanya, tentu bapak tak akan memukulinya setiap kali dia membuat sedikit kesalahan yang sebenarnya masih sangat wajar dilakukan oleh seorang bocah. Memecahkan gelas misalnya. Atau menghanyutkan sikat cucian di sungai. Tapi bapak tidak garang terhadap Marini, kakaknya itu. Bapak tidak pernah memukul Marini setiap kali kakaknya itu berbuat salah. Marini pernah memecahkan piring, bapak diam saja. Marini pernah menghanyutkan baju, bapak juga diam saja. Marini sering pulang lewat dari jam sembilan malam, bapak tak pernah menegur.
            “Dengar, Maria. Akan aku ceritakan sesuatu yang kamu belum sempat tahu.” Wira membenarkan letak duduknya. Diliriknya Maria sejenak. Gadis itu masih juga meneteskan air mata.
            Perlahan Maria mengusap matanya yang basah.
“Aku kenal dengan bapakmu, jauh sebelum kamu lahir. Tadinya yang aku dengar dari orang-orang, salah satu dari orang tuamu itu ada yang mandul. Entahlah, Maria. Waktu itu aku sendiri tidak tahu arti kata mandul itu apa. Sampai pada akhirnya, orang tuamu punya bayi. Kata orang-orang lagi, bayi itu adalah bayi adopsi. Sama seperti mandul tadi, waktu itu aku juga tidak tahu arti kata adopsi itu apa. Yang aku tahu, bayi itu diberi nama Marini, kakakmu itu.
            Lantas, seiring berjalannya waktu, perut ibumu membesar. Mengandung kata orang. Aku ingat betul, ibumu melahirkanmu persis bersamaan dengan hari pertamaku masuk sekolah dasar. Aku memakai seragam baruku ketika aku diajak ibu berkunjung ke rumahmu. Aku ingat benar ketika itu. Kau menangis kencang sekali. Dimataku, kau begitu lucu.” Wira menghela napas panjang.
“Hanya saja sesuatu yang tidak baik menimpa ibumu. Beliau meninggal setelah kamu lahir.” Wira melanjutkan ceritanya dengan wajah sedikit tertunduk.
            Maria mendengarkan cerita Wira dengan mata yang semakin berlinang. Tak sedikitpun terlintas dipikirannya untuk memenggal cerita yang sama sekali tak diketahuinya ini.
            “Perihal mengapa bapakmu begitu keras terhadapmu, itu karena kamulah anak kandung beliau. Bapakmu tidak pernah memukul Marini sebab bapakmu merasa tidak punya hak untuk memukulnya. Percayalah, Maria, setiap orang tua memiliki cara sendiri-sendiri dalam mendidik anaknya.”
            Tangis Maria kian pecah.
            “Bapakmu pergi sebelum sempat menjelaskan semua ini kepadamu. Surat dari beliau tak kau balas. Telponnya pun tak pernah kau angkat. Pernah suatu hari bapakmu memutuskan untuk pergi menyusulmu. Bapak ingin membawamu pulang katanya. Tapi sayang, sakitnya itu yang menghambat segala niatnya. Dan ketika akhirnya kamu pulang, semua sudah terlambat. Bapakmu sudah pergi untuk selama-lamanya.”
            Sepi sejenak.
            “Mas, tolong antarkan aku ke makam bapak.” Ucap Maria diantara sesenggukannya.
“Barangkali akulah yang seharusnya meminta maaf.” Maria beranjak dari duduknya. Nyeri di dadanya kian perih oleh rasa bersalah yang sangat.
            Matahari kian meninggi. Udara kian menjadi panas. Sementara sesal di dada Maria kian menggumpal tak tercairkan.



Kota Baru, Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kakanda Redi; Resa dilukis

Kakanda Redi; Resa dilukis
Anak Papito udah gede. Tambah cantik :-*

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi - Dinda Risti - Rhein Reisyaristie
Pulang dari Pantai Kinjil, Ketapang

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie

Kakanda Redi; Rhein Reisyaristie
Ada kucing kesayangan Resa nih.

Kakanda Redi; Resa

Kakanda Redi; Resa
Resa di ruang kerja Mr. Obama

Pondok Es Krim RESA Mempawah

Pondok Es Krim RESA Mempawah
Di-launching tanggal 12 Juni 2017

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Pondok Es Krim Resa Mempawah

Pondok Es Krim Resa Mempawah
Kami menawarkan tempat nongkrong lesehan yang Insyaallah nyaman dan santai. Mari berkunjung di pondok kami. Jalan Bahagia Komp. Ruko 8 Pintu, Mempawah.

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Istri Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Dinda Risti turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA

Anak Kakanda Redi: SAYA INDONESIA SAYA PANCASILA
Rhein Reisyaristie turut memperingati Hari Lahir Pancasila 01 Juni 2017

Mas Redi dan De' Yun

Mas Redi dan De' Yun
Lagi jalan-jalan di Wisata Nusantara Mempawah