Kakanda Redi
Dodo. Nama lengkapnya Endriartono Widodo.
Mengenai nama panggilan, yang aku dengar sungguh terlalu banyak versi. Pernah kudengar
orang memanggilnya dengan sebutan Pak Bos, Pak Do, Tuan Dodo, Bang Wid, Pak
Wid, Bang Endri, Bang Ton, Pak Tono, dan sekian banyak panggilan lagi.
Entahlah. Aku tak pernah ambil pusing untuk urusan yang satu itu. Aku cukup
nyaman memanggilnya dengan panggilan Pak Do atau Pak Dodo, lantaran usiaku
terpaut tiga belas tahun dengan usianya.
Pak Dodo. Orangnya tinggi. Mungkin seratus
tujuh puluh lima. Kulit sedikit gelap. Tidak gemuk, meski tak juga pantas
dibilang kurus. Sedang-sedang. Matanya sering terlihat sayu namun memiliki
tatapan yang tajam. Kumis yang melintang di atas bibirnya kian menambah kesan
seram jika belum pernah berbincang dengannya.
Perjumpaanku dengan Pak Dodo pertama kali
terjadi sekitar delapan bulan yang lalu di sebuah acara temu sastrawan lokal.
Aku seorang penulis. Pak Dodo juga. Bedanya adalah, Pak Dodo sudah punya sekian
banyak buku. Itu katanya. Sementara aku? Nggggg… aku malu mengakuinya. Aku
belum punya satupun buku karya. Tapi pikiran positif segera hinggap di
kepalaku. Wajar saja, bukan? Pak Dodo ini sudah lama menulis. Ibarat balapan,
Pak Dodo sudah start duluan.
Sementara aku? Aku baru akan ancang-ancang di garis start. Oh, sungguh hatiku sedikit terhibur.
Yang membuatku senang berbincang dengan Pak
Dodo adalah, Pak Dodo pandai benar mengambil hati dan memotivasiku. Dibilangnya
tulisanku sangat bagus. Tinggal poles sedikit maka aku akan jadi penulis yang
tenar. Ya nabiiii… jantungku serasa hendak gugur demi mendengar pujian Pak Dodo
ini. Memang benar kata orang. Pujian itu memang seperti racun. Ia sungguh
memabukkan dan cepat benar bikin orang lupa.
“Tulisan Ente ini Bang, tinggal poles saja.
Ah, tak usah Ente tawarkan tulisan ini ke koran, terbaca saja paragraf pertama,
maka koran-koran goblok itu akan rebutan meminta Ente untuk menerbitkan karya
Ente ini ke koran mereka,” kata Pak Dodo suatu petang di sebuah kedai kopi yang
tak terlalu ramai. Kelar berkata seperti itu, Pak Dodo menyeruput kopi dari
gelasnya lantas mencomot sepotong pisang goreng yang tersaji di meja.
Aku hanya diam tertegun. Pikiranku sudah
mengembara kemana-mana. Aku menghayalkan bahwa tak lama lagi posisiku akan
setara dengan Andrea Hirata, Ayu Utami, Dewi Lestari, atau minimal akan sejajar
dengan Pay Jarot Sujarwo, penulis lokal yang karya-karyanya kerap bikin aku
cemburu dan iri.
“Tak usah Ente melamun macam itu. Tak baik
petang-petang begini melamun. Kesambet nanti. sudahlah, dengar saja kataku. Aku
sudah berpengalaman di dunia tulis-menulis. Tak usah ragu. Ente baru kelas satu
SD saja aku sudah nulis cerpen. Nah, tak ada alasan lagi kan, untuk ragu sama
aku?”
Aku mengangguk. Perasaan senang di hatiku
membuncah-buncah. Jalan untuk jadi penulis sungguhan sudah di depan mata.
“Pak Do mau bantu aku nerbitkan buku?”
“Ooooo… kalau urusan itu, Ente sudah ketemu
sama orang yang tepat. Aku siap bantu Ente. Ente jangan khawatir lah. Ini,
ambil,” Pak Dodo mengeluarkan sesuatu dari dompetnya yang sungguh tebal. Kartu
nama. Dua buah kartu nama.
Kuterima kartu nama yang diangsurkan Pak Dodo
barusan dengan mata menyipit. Aku bingung. Tapi setelah kubaca, aku mulai
paham. Kartu nama yang pertama berisi alamat rumah Pak Dodo. Kukira aku tau
daerah tempat tinggal Pak Dodo ini. Tidak begitu jauh. Mungkin setengah hari
perjalanan akan sampai. Kartu nama yang kedua berisi nama lembaga dan alamat
sebuah penerbitan lokal. Aku pernah dengar nama penerbitan ini sebelumnya. Tapi
itu tidak penting. Yang penting adalah, Pak Dodo punya akses ke penerbitan ini.
Dan ini berarti, peluangku untuk punya buku karya sendiri kian dekat dengan
kenyataan. Oh Tuhan, terima kasih. Aku senang bukan kepalang.
“Pak Dodo kerja di sini?”
Pak Dodo menggeleng. Tangannya mencomot
pisang goreng lagi. Tak perlu waktu lama, pisang goreng itu sudahpun lumat di
dalam mulutnya.
“Tidak. Tapi teman-temanku banyak yang kerja
di situ. Tinggal sebut saja, maka naskah-naskah Ente bakal jadi buku dalam
waktu kurang dari dua minggu.” Jelas Pak Dodo seraya mengunyah pisang goreng
dengan penuh semangat.
“DUA MINGGU???” aku terperangah. Dua minggu
sudah bisa punya buku? Alahmaaak,
ternyata tidak sesulit yang aku pikirkan selama ini.
“Iya, dua minggu. Bagaimana? Menarik, bukan?”
Aku mengangguk. Sekali lagi pikiranku
mengembara. Aku membayangkan Andrea Hirata menyalamiku. Dewi Lestari mengajakku
foto bareng. Ayu Utami mengacungkan dua jempolnya kepadaku. Pay Jarot Sujarwo
minta tanda tanganku. Aiiihhh… sukanyaaaa…
“Tapi Ente harus ingat. Ini adalah penerbit indie. Artinya, segala biaya penerbitan
harus ditanggung sepenuhnya oleh penulis. Penerbit hanya bertugas mencetak buku
saja.”
Aku mengangguk-anggukan kepala, “Urusan layout, edit naskah, cover, bagaimana?” tanyaku kemudian.
“Oh, itu soal gampang. Ada yang bertugas
mengurusi itu. Tapi, sekali lagi, semua perlu biaya. Layout, cover, edit naskah, biayanya di luar biaya cetak.”
Oh… tidak mudah ternyata. Aku mulai
dijangkiti rasa bimbang.
“Ente jangan khawatir. Memang akan mahal.
Tapi, setelah jadi buku, minimal lima puluh eksemplar saja, maka modal Ente
bakal balik dan keuntungannya juga lumayan. Percaya sama aku. Aku ini sudah sangat
berpengalaman di dunia literasi indie semacam ini.” Pak Dodo mencomot pisang
goreng lagi, entah untuk kali keberapa.
Akhirnya, aku memutuskan untuk minta waktu
dulu. Aku harus menimbang masak-masak. Ini jelas soal untung dan rugi. Karyawan
rendahan seperti aku jalas akan sangat sensitif jika berbicara soal penggunaan
uang dalam jumlah yang besar. Pak Dodo setuju akan hal ini. Dia akan menunggu
katanya. Kapanpun, dia siap bantu, katanya lagi.
“Oke lah. Ente pikir-pikir dulu. Jangan
terburu-buru. Aku siap bantu Ente,” Pak Dodo menghabiskan sisa kopi di
gelasnya, “Ini Ente dulu yang bayar ya. Kopi, pisang goreng lima. Kapan-kapan
kita ngopi lagi. Sip?” Pak Dodo mengacungkan jempolnya.
Aku tertegun. Takjub bercampur bingung.
***
Tiga minggu yang lalu, aku sudah membuat
keputusan. Aku akan menerbitkan karya-karyaku di penerbitan tempat teman-teman
Pak Dodo bekerja. Pak Dodo sendiri langsung antusias menyambut keputusanku ini.
Kupikir, segala sesuatunya memang perlu dicoba. Apalagi Pak Dodo sudah
meyakinkanku bahwa keputusan yang aku ambil ini adalah keputusan yang sangat
tepat. Penulis harus punya karya, katanya waktu itu.
Selang sehari setelah kukirimkan naskah, Pak
Dodo menelponku. Katanya, penerbit minta agar biaya cetak segera ditransfer.
Naskah sudah akan naik cetak.
Mendengar kabar itu, tentu saja aku semakin
semangat. Aku semakin menggebu-gebu. Sebentar lagi aku bakal punya buku,
pikirku.
Uang segera aku kirim ke alamat bank yang
di-sms-kan oleh Pak Dodo. Tak tanggung-tanggung. Uang sebanyak dua juta lima
ratus ribu rupiah langsung aku kirim semua. Kata Pak Dodo, uang itu untuk biaya
cetak sekaligus untuk biaya layout,
desain cover, dan suntinng naskah.
Oke, aku percaya.
Tapi… tapi ini sudah tiga minggu lamanya.
Buku karyaku belum juga ada kabarnya. Kata Pak Dodo, buku karyaku ini bakal
kelar kurang dari dua minggu. Ah, pikiranku sudah mulai tak enak. Terlebih lagi
saat kutelpon, nomor Pak Dodo tidak aktif. Kegelisahanku kian menjadi-jadi.
Tak perlu pikir panjang lagi. Hari ini juga
aku putuskan untuk menyambangi rumah Pak Dodo yang tertera di kartu
namanya. Tak sulit mencari rumah Pak
Dodo. Sangat mudah malah.
Yang membuat aku nyaris mati berdiri adalah
sambutan orang rumah yang sangat aneh. Seorang ibu dan seorang anak perempuan
yang tadinya kuduga adalah istri dan anak Pak Dodo, menyambutku dengan tatapan
penuh rasa curiga.
“Abang tak usah cari-cari alasan. Abang mau
maling, kan? Ngaku saja. Saya teriakin nih, biar orang sekampung datang mukulin
Abang. Ayo ngaku!!!”
Aku gugup. Sialan. Apalagi sih ini?
“Sabar dulu, Bu. Saya bukan orang jahat. Saya
mencari orang yang namanya Pak Dodo. Nama lengkapnya Endriartono Widodo. Dia
itu…”
“Tak ada yang namanya Pak Dodo di kampung
ini, Bang. Abang ini pasti mau maling. ganteng-ganteng kok maling.”
Aku hampir kalap. Jika tak ingat ini kampung
orang, ingin rasanya kuhajar mulut perempuan tua yang nyinyir itu. Tatapan
matanya juga, ah… menyebalkan sekali.
“Ini, Ibu lihat ini. Ibu baca baik-baik,”
kusodorkan kartu nama pemberian Pak Dodo tempo hari. Ibu nyinyir itu memicingkan
mata. Tatapannya tertancap ke kartu nama yang masih aku pegang.
“Ini alamat rumahnya bener di sini, Bang.
Tapi tak ada yang namanya Widodo ini di sini. Suami saya namanya Basuki, bukan
Widodo.”
“Ngggg… suami Ibu seorang penulis?” tanyaku
kemudian. Suasana sudah agak tenang. Siapa tau Endriartono Widodo itu adalah
nama pena dari Basuki. Bisa jadi, kan?
“Bukan. Dia tukang panjat kelapa. Kalau lagi
tidak manjat kelapa, kerjaannya ngojek di simpang dekat pasar itu.”
Aku mulai putus asa.
“Abang ini bukan maling ya?”
Aku menggeleng seraya tersenyum, “Bukan lah,
Bu. Saya ini datang dari Bengkayang. Saya mencari orang yang di kartu nama ini.
Saya sudah di tipu sama dia. Uang saya dua juta lima ratus ribu lenyap
dilarikan sama dia.”
“Oh… kasian Abang. Mau masuk dulu?”
“Ah, tidak usah, Bu. Terima kasih. Saya mau
pamit saja. Saya harus segera menemukan orang ini.”
Dalam perjalanan pulang, pikiranku kian
kacau. Tak ada lagi yang bisa aku lacak. Nomor Pak Dodo sudah tidak aktif.
Alamat yang tertera di kartu nama ini juga fiktif. Bahkan, tempo hari sebelum
kuputuskan untuk menyambangi kampung yang tertera di kartu nama ini, aku sudah
lebih dulu menyambangi lembaga penerbitan yang dimaksud oleh Pak Dodo kemaren.
Jawaban orang-orang yang bekerja di sana juga tak kalah membuatku semakin down. Mereka bilang, tak ada naskah yang
masuk atas namaku. Nomer rekening yang di-sms-kan oleh Pak Dodo kemaren juga
bukan nomer rekening salah satu dari mereka yang kerja di situ. Bahkan, yang
lebih mencengangkan lagi, mereka bilang kalau Pak Dodo itu tidak pernah menerbitkan buku di situ.
Ah… kepalaku semakin pusing.
Tapi, rupanya Tuhan masih iba kepadaku.
Ketika bis yang aku naiki sedang beristriahat di sebuah terminal kecil, mataku
menangkap gerak-gerik seorang laki-laki yang begitu mirip dengan Pak Dodo. Aku
yakin itu Pak Dodo, laki-laki bajingan yang sudah melarikan uangku. Tuhan telah
mempertemukan aku dengan Pak Dodo di terminal kecil ini.
Secepat kilat aku turun dari bis. Kuburu
laki-laki yang berjalan membelakangiku itu. Benar saja. Orang ini adalah Pak
Dodo. Tas yang dia pakai sekarang sunguh sama dengan tas yang dia pakai saat
berjumpa denganku tempo hari. Tak salah lagi. Aku akan menghabisi laki-laki
bangsat ini.
“Tuan Dodo!” kucengkram pundak kanan Pak Dodo
dengan erat, khawatir dia akan kabur begitu tau kalau yang mencengkram
pundaknya adalah aku.
Benar saja. Begitu Pak Dodo membalikkan
badan, dia langsung bersiap akan kabur. Tapi sayang. Cengkraman tanganku yang
sudah bercampur dengan sejuta benci dan dendam rupanya sungguh kuat melekat di
pundaknya. Dia hanya bisa berkelit sedikit. Wajahnya yang seketika memucat kian
membuatku yakin bahwa dia telah menipuku.
“Eh, apa-apaan ini??? Kamu siapa, hah???”
“Bangsat!!!” Kulayangkan kepalan tanganku
yang mendarat tepat di pelipis kirinya. Tuan Dodo bajingan itu mengaduh
kesakitan. Beberapa orang berlarian mendekat.
“Ada apa ini? Sudah… sudah…”
Orang-orang yang mengerumuni kami itu mencoba
melerai. Untuk sejenak, Pak Dodo bedebah itu lepas dari cengkramanku. Diusapnya
pelipis kiri yang kuhantam tadi.
“Tuan Dodo, kembalikan uang saya. Kembalikan,
bangsat!!!” Aku meronta, mencoba melepaskan diri dari pegangan orang-orang yang
melerai tadi. Tapi sial, cengkraman mereka sungguh kuat.
“Kamu siapa? Kenapa tiba-tiba menyerang saya?
Apa salah saya? Ohhh… kamu mau menjambret saya ya?”
Sungguh muak aku mendengar ucapan Pak Dodo
barusan. Andai saja aku bisa melepaskan diri dari cengkraman orang-orang sialan
ini, pasti bakal aku habisi mulut si Dodo yang durjana itu.
“Kau yang rampok. Kau yang bajingan. Kau
larikan uangku. Kau tipu aku, bangsat!!!”
“Tipu apa??? Ketemu kamu saja baru sekarang.
Aaaaah, sudah Pak, bawa saja orang mabok ini ke kantor polisi. Mengganggu
ketentraman saya saja. Lagipula, mana mungkin sih, orang serapi dan sesantun
saya ini penipu? Betul tidak?”
Sial. Orang-orang justru lebih percaya
perkataan bedebah itu. Aku diseret entah kemana. Aku terus meronta-ronta. Tuan
Dodo bedebah itu kian menjauh dari cengkramanku. Aku benar-benar murka.
“Dodo, bangsat, bedebah, selamatkan nyawamu.
Andai kita jumpa lagi, jangan berharap kau akan hidup. Ingat bangsat, ingat!!!”
Aku diseret kian menjauh dari si bedebah itu.
Kulihat, senyum licik mengembang di sudut bibirnya. Bangsat!!!
Mempawah, November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar