Redia Yosianto
Langit tampak gelap. Di luar, segala sesuatu
yang tidak terlindung oleh atap tampak basah. Jalanan basah. Dedaunan basah.
Kursi, bunga-bunga di taman sekolah juga basah tersiram sisa gerimis di
penghujung Desember. Hujan memang sudah turun sejak subuh tadi. Hujan
menciptakan sepi. Hujan juga menciptakan dingin yang sempurna dan khas.
Jam pertama di pagi yang
sejuk ini adalah pelajaran menggambar. Ibu guru yang mengajar mata pelajaran
Kesenian di kelas enam tampak sibuk membagikan kertas gambar kepada siswa.
Namanya Ibu Tias. Masih muda dan sangat cekatan. Tak ada siswa yang tak
kebagian kertas. Semua mendapat bagian masing-masing selembar. Khusus hari ini,
kertas gambar memang diseragamkan. Biasanya, siswa menggambar dengan buku
gambar masing-masing.
“Siapa yang tidak
membawa krayon?” Ibu Tias bertanya ke semua siswa seusai membagikan kertas
gambar. Kelas tampak hening. Tak ada yang menyahut. Itu artinya, semua siswa
membawa perlengkapan gambar mereka.
“Kalian perhatikan
sebentar,” Ibu Tias meletakkan sisa kertas gambar di atas meja, “hari ini tema
menggambar kalian adalah ‘Kado buat Ibu’.”
Seseorang mengangkat
tangan.
“Ada apa, Santi?”
“Saya tidak mengerti,
Bu.”
Ibu Tias tersenyum, lalu
kembali menatap seisi ruangan secara bergantian, “Hari ini tanggal berapa,
anak-anak?”
“Seluruh siswa kelas
enam kompak menjawab dengan sedikit berteriak, “Tanggal dua puluh dua,
Buuuuuu!”
“Bagus. Nah, tanggal dua
puluh dua Desember itu hari apa, anak-anak?”
“Hari Ibu, Buuuuu!”
lagi, semua siswa kelas enam kompak menjawab.
Ibu guru tampak senang
dengan jawaban siswa-siswanya.
“Wujudkan cinta kalian
kepada ibu kalian lewat gambar. Silahkan menggambar apa saja. Nanti, lima
gambar terbaik akan kita pajang di kelas. Paham?”
“Paham, Buuuuuu!”
“Nah, kalau paham,
mulailah menggambar dari sekarang.”
Ibu Tias mencermati satu
demi satu wajah siswanya. Ada yang terlihat begitu antusias. Ada yang berpikir
sambil mengetuk-ngetukkan pensil ke kening. Ada yang memejamkan mata. Ada yang
sudah mulai menggoreskan pensil ke kertas gambar. Ada juga yang sudah langsung
menggunakan krayon untuk menggambar tanpa harus membuat sketsa terlebih dahulu.
Dari sekian puluh siswa
yang hadir, hanya satu yang tampak tak begitu bersemangat.
Namanya Naning. Naning
Pramesti lengkapnya. Entah mengapa pagi ini dia tampak tidak bersemangat. Ada
mendung yang bergelayut di wajahnya. Matanya sesekali terpejam. Jika terbuka
sekalipun, rasanya tak ada semangat di mata itu.
Ibu Tias mengerutkan
dahi. Heran. Kelakuan Naning pagi ini sungguh ganjil. Tiba-tiba saja pagi ini dia
jadi pendiam. Biasanya Naning selalu ceria. Masuk anginkah dia? Ah, mungkin
iya. Bajunya sedikit basah di bagian lengan dan kerah. Mungkin tadi tak
tertutup mantel saat berangkat sekolah. Di luar, gerimis masih bergemericik.
Lembut dan melenakan.
Sesekali Ibu Tias
berkeliling. Ditiliknya satu persatu hasil karya siswanya. Beberapa gambar
tampak indah. Beberapa lagi masih berupa coretan-coretan yang mencoba menemukan
bentuk. Ibu Tias tersenyum.
Sampai di meja Naning,
senyum Ibu Tias memudar. Naning, siswanya yang ceria dan selalu antusias setiap
diberi tugas itu kini tampak lemah. Naning selalu berusaha membuat gambar yang
bagus setiap pelajaran Kesenian. Dan hasilnya selalu memuaskan. Tapi sekarang?
Anak perempuan yang manis ini justru belum menggoreskan apa-apa di kertas
gambarnya.
“Naning sakit? Masuk
angin ya?” bisik Ibu Tias pelan, persis di dekat telinga Naning.
Anak diambang dua belas
tahun itu terkejut. Air mukanya seketika berubah. Nyata sekali kalau barusan
tadi Naning melamun. Ditatapnya wajah Ibu Tias yang menyunggingkan senyum.
Naning ikut tersenyum. Senyum yang sungguh tampak dipaksakan. Sebentar
kemudian, tatapan mata Naning berpindah ke kertas gambarnya yang masih kosong.
Bersih. Putih.
“Mau Ibu ambilkan minyak
kayu putih?”
Naning menggeleng,
“Tidak Bu, terima kasih. Saya akan menggambar sekarang,” ucapnya pelan, nyaris
tak terdengar jika saja Ibu Tias tidak mendekatkan telinganya sendiri ke bibir
Naning.
Ibu Tias melirik kertas
gambar Diah, teman sebangku Naning. Di kertas gambarnya, Diah membuat sketsa
perempuan bermata teduh yang sedang menggendong bayi. Sudah selesai. Tinggal
diwarnai saja. Mungkin lima belas menit lagi gambar itu sudah siap untuk
dipresentasikan di depan kelas.
Sementara di kertas
gambar Naning? Ibu Tias tertegun. Kertas gambar itu belum ada apa-apanya.
Ibu Tias menyentuh
pundak Naning pelan, “Naning ingin menggambar apa?”
Naning memejamkan mata,
“Entahlah, Bu. Mungkin bunga mawar. Atau mungkin…” Naning tidak melanjutkan
ucapannya. Matanya masih terpejam. Keningnya tampak berkerut, tanda dia sedang
berpikir keras tentang sesuatu yang akan digambarnya di sisa waktu yang ada.
“Baiklah. Mungkin Naning
sedang tidak enak badan. Jangan dipaksakan jika tidak mampu belajar hari ini.
Kalau Naning mau istirahat ke UKS, biar Ibu antarkan. Bagaimana?”
Naning menggeleng lemah.
“Ya sudah. Kalau ingin
pulang, bilang saja sama Ibu ya,” Ibu Tias meninggalkan Naning dengan sejuta
tanda tanya besar. Ada apa dengan anak itu? Naning yang selalu tersenyum,
Naning yang selalu ramah, Naning yang lincah, Naning yang santun, hari ini
berubah jadi Naning yang pendiam dan sulit ditebak.
Ibu Tias melirik jam di
pergelangan tangan kirinya. Pukul delapan lebih dua puluh menit. Diedarkannya
tatapan menyapu seluruh penjuru kelas. Beberapa anak sudah tampak bersantai.
Sebagian masih sibuk menyapukan pensil warna ke gambar mereka.
“Ada yang ingin
mempresentasikan hasil karya di depan kelas?” Ibu Tias menawarkan kesempatan
kepada siswa-siswanya. Beberapa anak angkat tangan dengan penuh semangat. Diah
salah satunya.
Ibu Tias menatap ke
salah satu siswa yang semangat mengacungkan telunjuknya, “Baik, Ipan dulu yang
maju,”
Ipan maju dengan langkah
yang digagah-gagahkan. Tangannya menggenggam kertas gambar. Senyum dibibirnya
selalu tersungging.
“Saya menggambar kincir
angin,” ucap Ipan dengan suara yang lantang dan penuh percaya diri. Kertas
gambar di depan dadanya memang nyata menunjukkan bahwa itu adalah gambar kincir
angin. Rapi sekali, “kincir angin ini terletak di Amsterdam, Belanda. Suatu
saat nanti, saya akan mengajak ibu saya untuk jalan-jalan ke Negeri Kincir
Angin, Belanda. Mengapa ke Belanda? Itu karena ibu saya suka sama Robin van
Persie. Sekian dan terima kasih.”
Ipan kembali ke
bangkunya dengan diiringi gegap gempita tepuk tangan dari teman-temannya. Selain
memang mahir menggambar, Ipan memang pandai membuat cerita-cerita yang
menyenangkan.
“Sangat bagus. Gambarnya
bagus, cita-citanya juga bagus. Mudah-mudahan Ipan bisa mengajak ibunya
jalan-jalan ke Negeri Kincir Angin, amiiiin.” Seisi kelas turut mengaminkan
ucapan Ibu Tias barusan. Di bangkunya, Ipan senyum-senyum penuh rasa bangga.
“Ada lagi?”
“Saya, Bu…”
“Oh, Adi, silahkan
maju,”
Adi maju dengan kertas
gambar yang sedikit terlipat. Jalannya tak kalah gagah dengan Ipan tadi. Sampai
di depan kelas, Adi tak langsung memperlihatkan gambarnya, melainkan
senyum-senyum terlebih dahulu. Beberapa anak perempuan mendesaknya untuk segera
mempresentasikan gambarnya itu.
Adi membuka kertas
gambarnya. Rupanya dia menggambar sebuah guci yang sangat cantik. Guci itu dilengkapi
dengan ukir-ukiran naga di beberapa bagian. Benar-benar karya yang mengagumkan.
“Guci ini akan saya
berikan kepada ibu. Ibu saya sangat suka dengan guci. Guci ini saya beli dari
pengrajin guci di Tiongkok. Guci ini…”
“Tiongkok itu dimana
sih, Di?”
Adi tertegun. Amel sudah
sembarangan memenggal presentasinya. Dan, Tiongkok? Oh, pertanyaan macam apa
itu? Adi tersenyum simpul.
“Dimana? Tau tidak?”
Amel masih juga mendesak.
Adi terlihat sedikit
gelisah, “Ah, bukan aku tak tau dimana letak Tiongkok, tapi Tiongkoknya kan
tidak penting. Yang penting guci ini adalah lambang cintaku pada ibu.”
“Halah, bilang saja
tidak tau!”
“Sembarangan! Tau kok!”
“Dimana?”
“Sana, di dekat Pasar
Tengah!” jawab Adi dengan yakin.
Seisi kelas tertawa
terbahak-bahak. Adi garuk-garuk kepala. Dilihatnya Ibu Tias. Ibu Tias sendiri
sepetinya mati-matian menahan agar tawanya tak ikut pecah. Adi menautkan alis.
Bingung dengan apa yang sudah terjadi.
“Kok kalian tertawa? Ada
apa memang? Apa ada yang salah? Aku memang pernah baca kok, di dekat Pasar
Tengah ada toko guci yang namanya Guci Tiongkok.” Adi masih tak mau kalah.
“Ya sudah,” Ibu Tias
mencoba meredam tawa anak-anak didiknya, “Lanjutkan presentasi kamu, Adi,”
Adi mengangguk, “Guci
ini akan saya berikan kepada ibu saya yang sangat suka dengan guci. Di rumah
ada beberapa guci dari Tiongkok. Semoga ibu saya suka dengan hadiah ini.
Sekian.”
Adi kembali ke bangkunya
diiringi dengan tatapan teman-temannya yang masih menahan tawa.
Begitulah. Beberapa
siswa silih berganti mempresentasikan hasil karya mereka. Leo yang menggambar
peralatan memasak karena ibunya memang suka masak. Siska yang menggambar
mahkota. Indri yang menggambar bunga dalam vas. Jaka yang menggambar rumah
impian.
Tak ada lagi yang maju
setelah Jaka meskipun Ibu Tias sudah beberapa kali menawarkan kesempatan untuk
maju.
“Baiklah, jika tidak ada
lagi, kumpulkan gambar kalian. Nanti akan Ibu umumkan gambar siapa saja yang
layak dipajang di kelas.”
Ketika sebagian siswa
mulai berdiri untuk mengumpulkan hasil karya mereka, tiba-tiba saja Naning
mengacungkan jari. Dia ingin maju untuk mempresentasikan gambar yang baru saja
dia buat.
Ibu Tias tak mengatakan
apa-apa selain hanya mengangguk pelan seraya tersenyum.
Naning maju dengan
ragu-ragu. Sampai di depan kelas, dia tak langsung bicara. Ditatapnya sekali
lagi gambar hasil karyanya itu. Setelahnya, baru dia tunjukkan kepada
teman-teman.
Naning menggambar
setangkai mawar merah yang berdaun hati berwarna merah muda. Aneh memang. Semua
mata menatap gambar Naning dengan mulut terbungkam rapat.
“Selama ini saya
diantar-jemput oleh ayah,” Naning mengawali presentasinya dengan suara yang
pelan, “Ayah juga yang menyiapkan sarapan buat saya, mencucikan seragam saya, menyetrika
baju-baju saya, menemani saya belajar, mengajari saya kalau ada pekerjaan rumah
yang kurang saya pahami. Ayah adalah pengganti ibu.”
Naning terdiam sesaat.
Air matanya menetes perlahan.
“Kata ayah, ibu saya
bekerja di luar negeri sejak saya kecil. Saat itu saya tidak tau luar negeri
itu dimana. Yang saya tau, ibu tak pernah sekalipun menemani saya tidur sampai
saat ini. Bahkan wajah ibu tak pernah saya lihat secara langsung. Ayah hanya
menunjukkan gambar yang katanya itu adalah ibu saya. Ibu saya sangat cantik. Senyumnya
menyenangkan.”
Naning terisak. Sunyinya
suasana kelas kian membuat isaknya terdengar nyaring. Tatapan matanya tertancap
ke lantai kelas. Sejenak kemudian dia mengangkat wajah.
“liburan yang lalu, ayah
mengajak saya pulang ke kampung halaman. Inilah pertama kalinya saya diajak
liburan ke desa. Saya sangat senang. Rupanya, ayah memberi kejutan yang
menyakitkan. Ayah mengajak saya berziarah ke sebuah makam. Kata nenek, itu
adalah makam ibu saya.”
Ibu Tias tampak
berkaca-kaca. Dipeluknya pundak Naning. Di dalam hati, Ibu Tias sungguh
menyesal sudah memberi tugas menggambar dengan tema yang sngat menyakitkan buat
Naning.
“Gambar ini untuk ibu.
Semoga ibu bahagia di surga dan semoga ibu tambah sayang sama Naning.” Naning
memejamkan mata. Diresapinya dalam-dalam kehangatan dari pelukan yang diberikan
oleh Ibu Tias. Sungguh menyenangkan seandainya ibunya sendiri yang memeluknya
saat ini.
Kota Baru, 29 April 2013
14.38 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar