Amrin Zuraidi Rawansyah - Wanita Penjaga Api
WANITA PENJAGA API
Cerpen: Amrin Zuraidi Rawansyah
"Ceritakan padaku tentang wanita dan cahaya,” pinta Muja, seraya memperbaiki posisi duduk, lebih mendekap padaku.
“Kenapa harus wanita dan cahaya?” tanyaku sambil menikmati sejuntai
rambut yang menari di pipinya, dipermainkan angin pantai. Kucegah
tangannya yang bergerak hendak menyelipkan kembali rambut itu ke
belakang telinga. Terus kugenggam tangannya, erat.
“Apa kau
tidak menyimpan cerita yang demikian?” ia balik bertanya. Dengan halus
ia mencoba melepas genggamanku. Sambil menggeleng pelan, genggamanku
semakin kueratkan.
…
Baiklah, Muja, aku akan
bercerita. Cerita ini kudapatkan pertama kali dari almarhumah nenekku,
puluhan tahun silam. Saat itu, usiaku beranjak belasan. Aku dan keenam
sepupu yang lain, yang kerap pulang kampung saat libur sekolah, selepas
Dzuhur, selalu minta didongengkan oleh Nenek. Di tengah ruang ia akan
berbaring. Dan kami cucu-cucunya yang kurang lebih berusia sama. Duduk
mengelilinginya. Sambil memijat-mijat lengan dan kakinya, memeriksa dan
mencabut uban-uban pendeknya. Aku ingat benar kata-kata Nenek saat
memulai cerita ini.
"Suatu saat,” katanya dengan mata
menerawang, melewati jendela besar ruang tengah, melampaui batang-batang
pohon kelapa tepi sungai, menyeberangi Sungai Kapuas yang mengalir
tenang, menusuk jauh ke dalam rimba raya hutan seberang, “jika ada di
antara kalian yang bertemu wanita dengan mata bercahaya, seakan ada
nyala pelita kecil di dalamnyua,” dengan gemetar ia melanjutkan,
“menjauhlah…!”
Kami terkesima.
…
Sore semakin
jatuh. Di ufuk barat, semburat tembaga menyepuh parade gundukan awan.
Senja yang sungguh menawan. Burung-burung beterbangan mencari jalan
pulan, ke bentangan kawat-kawat listrik pusat kota. Lascar kelelawar,
berhamburan dari ceruk-ceruk bumi, dalam formasi anaeh, memulai ritual
menyongsong datangnya malam. Angin sepoi. Rambut Muja berombak. Dengan
latar sunset seperti sekarang, dengan mentari yang tianggal separuh
bulat ditelan cakrawala laut nun jauh di sana, rambut Muja yang
sesungguhnya gela pekat, seakan menyala. Setiap helai rambutnya yang
meri bebas oleh angain, seolah dilapisi cahaya kemilau keemasan.
“Lanjutkan ceritamu.”
“Nghh…sampai di mana tadi?”
…
Rupanya, Muja, di seberang kampungku, pernah menjadi pemukiman,
beratus-ratus tahun silam. Aku ingat, pada liburan cawu berikutnya, saat
musim durian, kamiberenam dibawa Kakek dan Nenek melewati daerah itu.
Tak jauh dari tebing sungai, pada sebuah tempat darat, Kakek mengais
lapisan humus yang cukup tebal. Tampaklah kemudian sisa-sisa tonggak
yang terbakar. Kata Kakek, itu adalah kayu belian tiang rumah orang
zaman dulu.
“Mereka leluhur kita,” kata Kakek. Selanjutnya,
kami juga ditunjukkan sebuah kawasan tebing bersemak, di mana terdapat
banyak batu berjejer rapi. Itu kuburan kuno. Kuburan leluhur. Anehnya,
Muja, malamnya, sebagian dari kami para cucu, termasuk aku, terserang
deman panas yang sangat hebat. Tapi dengan hanya dipercikkan air –
tantunya sudah dijampi-jampi nenek, karena nenekku tabib kampung, Muja –
kami sembuh. Kata nenek, apa yang kami bertiga alami adalah pertanda
dari leluhur.
…
“Terus?” tanya Muja, mengakhiri
sejenak lamunanku setelah bercerita, “apa hubungannya tempat itu dengan
wanita yang memiliki mata bercahaya?”
Tapi aku cuma nyengir.
Lantas menyeruput habis jus sawo kesukaanku. Sebentar aku memandang
berkeliling, ke pondok-pondok kafe yang lain. Beberapa di antaranya
sudah kosong. Kembali aku menatap Muja.
“Kenapa memandangku seperti itu?” tanya Muja saat kunikmati indah matanya.
“Matamu bagus.”
“Mataku rusak. Rabun jauh. Kau tau itu,kan?”
“Aku hanya memeriksa, siapa tahu di matamu ada nyala pelita.”
“Ooo…begitu?! Nih!...Lihat puas-puas,” katanya dengan mata membelalak.
“Hehe…itu, sih, bukan lagi nyala pelita, malah obor yang menyala…”
“Dasar…!” pekiknya kecil seraya menghujaniku dengan cubitan gemas.
…
Jadi, Muja, di tempat itulah, dahulu kala, pernah berdiam wanita
penjaga api. Mereka, atas mandat seluruh warga kampung, bertugas menjaga
tiga buah pelita di dalam sebuah gua di belakang kampung. Mereka
dipilih oleh alam. Artinya, anak siapapun dia, jika perempuan dan lahir
dalam cuaca hujan badai, maka ia adalah wanita penjaga api.
Tentunya kau bertanya, Muja, kenapa harus perempuan? Kenapa harus yang
lahir dalam hujan badai? Ada sejarahnya, Muja. Berhubungan erat dengan
asal mula berdirinya kampung itu. Sebenarnya, tempat itu bukanlah
pilihan kaum leluhurku sebagai tempat bermukim yang baru.
Oh…hampir lupa kuceritakan padamu, Muja. Ketika itu kaum leluhurku
meninggalkan pemukiman lama mereka karena bencana alam. Lumrah pada masa
itu, orang membuat perkampungan di dalam sungai-sungai kecil. Bukan di
tepi sungai besar seperti Kapuas, seperti sekarang. Konon, menurut
nenekku, selain untuk keperluan berladang, orang membuat kampung di
dalam sungai kecil adalah demi alasan keamanan. Soalnya, pada masa itu,
masih kental tradisi mengayau, ritual memenggal kepala untuk menunjukkan
kedewasaan, mendapatkan semacam gelar ksatria atau untuk memperolah
kesaktian.
Jadi, Muja, suatu ketika, pemukiman lama kaum
leluhurku mendapat bencana banjir bandang yang ganas. Kemudian, dengan
perahu-perahu sederhana, mereka keluar dari sungai kecil itu. Selain
meminta pendapat roh-roh gaib, para sesepuh kaum leluhurku dengan cermat
memeriksa setiap lokasi baru. Tetapi, selain tidak layak menurut para
sepuh, juga belum mendapat perkenan dri roh-roh gaib.
Mereka
terus mudik, mudik, dan mudik melawan arus Kapuas mencari tempat baru.
Dalam pencarian itu, Muja, pada sebuah tempat mereka terpaksa merapat.
Karena saat itu, angin, bertiup kuat dan langit dipenuhi mendung hitam
pekat yang menandakan akan segera turun hujan lebat.
Setelah
menyembunyikan perahu di sebuah anak sungai, mereka naik ke daratan.
Dengan cepat mereka membuat dangau-dangau. Kebetulan sekali, ketika
mencari kayu-kayu dan dedaun untuk ramuan dangau, mereka menemukan
sebuah gua besar. Sehingga sebagian besar rombongan berteduh di situ.
Kemudian, hujan pun turun dengan lebatnya. Angin menderu-deru. Gemuruh
guntur bersahtu-sahutan. Petir sabung-menyabung di langit. Daun-daun
berguguran. Ranting dan dedahan berpatahan. Kayu-kayu bertumbangan.
Dangau-dangau porak poranda. Sehingga kemudian, terpaksa mereka berjejal
semuanya ke dalam gua.
Sementara itu, petir yang
sabung-menyabung di langit, entah kenapa, lidah apinya senantiasa menuju
ke mulut gua. Pada beberapa tempat di sekeliling mulut gua, sambaran
petir berhasil meruntuhkan dinding tebing.
Konon menurut nenek,
karena terancam, sebab bisa saja lidah petir melongsorkan bebatuan di
atas mulut gua, yang berarti bisa-bisa mereka terkubur hidup-hidup
semuanya, salah seorang sepuh yang memiliki kesaktian tinggi, berkelahi
dengan petir itu. Benar-benar berkelahi, Muja, berkelahi! Tepat di atas
mulut gua ia berdiri. Menyambut setiap lidah api yang datang. Ada yang
berhasil ditangkapnya, kemudian ia lemparkan kembali ke celah-celah
awan. Selalu terdengar gemuruh ledakan yang maha dahsyat di langit
setiap ia berhasil mengirim balik lidah-lidah api itu, yang selalu pula
disambut gegap gempita pekik perang seluruh masyarakatnya yang di dalam
gua. Mereka semua harap-harap cemas. Siapakah yang bakal menjadi
pemenang? Sesepuh mereka? Ataukah petir itu?
Setelah
perkelahian berlangsung seperempat hari, hujan mulai mereda. Angin tak
lagi kencang. Hujan tinggal gerimis. Beberapa sepuh menyusul keluar,
mencari sepuh yang berkelahi dengan petir tadi. Mereka menemukannya
bersandar di dinding batu atas gua. Tubuhnya melepuh luka. Tangan
kanannya menggenggam erat-erat lidah api yang masih jilat menjilat
menyala. Ia dibopong masuk. Dan lidah api itu kemudian di pindahkan pada
tiga buah pelita.
Sementara itu, Muja, ketika perkelahian
melawan petir sedang berlangsung dengan serunya, salah seorang anggota
rombongan yang hamil tua, diriringi gegap gempita pekik peperangan,
melahirkan bayi perempuan. Dialah kemudian, atas bisikanroh-raoh gaib
yang diterima para sepuh, ditunjuk sebagai wanita penjaga api pertama.
Demikianlah, Muja. Tempat itu akhirnya dipilih sebagai tempat bermukim
baru leluhurku. Dalam beberapa generasi, perkampungan itu maju pesat.
Hasil ladang melimpah. Ikan-ikan di sungai pun bisa didapat dengan
mudah. Pemua-pemudanya banyak yang berkelana dan berhasil menjadi orang
besar di negeri rantau. Tokoh-tokoh kampung, kerap diundang ke istana
kerajaan (sekarang sudah menjadi ibukota kabupaten, Muja) untuk dimintai
pendapat mengenai kemajuan negeri. Demikian pula denan para pemusik dan
penyanyi, sering mereka dijemput dengan bidar-bidar nan menawan, untuk
menghibur raja dan keluarganya serta tetamu dari lain kerajaan.
Semua kemajuan itu, Muja, tak lepas dari peranan wanita-wanita penjaga
api. Untuk membakar ladang misalnya – bukan berarti mereka tak mengenal
cara membuat api dari batu atau kayu lempung – selalu apinya diambil
dari pelita-pelita yang dijaga para wanita itu. Niscaya, hasil panen
akan baik. Demikian pula untuk memasak, maka apapun makanannya, saiapa
saja yang menyantapnya akan memiliki kewibawaan dan suara yang sangat
bagus. Jika ia pria, maka wajahnya akan memancarkan keteguah hati,
suaranya lantang serta fasih, sehingga siapa saja akan terdesima
menyimak kata demi kata yang diucapkannya. Jika ia perempuan, wajahnya
bersinar menawan, gerak tuturknya terpuji mengesankan dan senandungnya
akan merdu di pendengaran, sanggup memikat sukma sesiapa saja yang rindu
penghiburan.
Tapi nenekku, Muja, tidak tahu dengan persis
berapa generasi sebenarnya para wanita penjaga api itu. Tapi yang jelas,
jarang melebihi dua orang. Seakan sudah diatur, Muja, jika seorang
penjaga api sudah berumur, selalu ada bayi perempuan yang lahir dalam
hujan badai, sebagi teman, serta menggantikannya kelak jika ia sudah
wafat.
…
“Ada baiknya kita pulang sekarang,” kataku setelah manghabiskan gelas kedua jus sawo.
“Tapi ceritamu blum selesai!” protesnya sengit.
Ada semacam kebahagiaan aneh menyelinap dalam benakku saat melihat keantusiasan di wajah cantiknya.
“Sudah berapa lama kita pacaran, Muja?”
“Bukankah kita ke sini untuk merayakan tahun ketiga?”
“Dan…kau bukan keturunan wanita penjaga api, kan?”
“Lho…kenapa? Apa selama ini kau pernah melihat mataku bercahaya? Dan
kau tahu, kan, keluargaku berasal dari pulau seberang, dari garis
keturunan mana aku berhubungan dengan wanita penjaga api itu, lantas,
semisal pun iya, aku keturunannya, memangnya kenapa?
Nah…nah…di situlah letak belum selesainya ceritamu. Apa yang kemudain
terjadi dengan para wanita penjaga api itu? Kenapa pula akhirnya kampung
itu ditinggalkan? Dan kenapa pula kalian disuruh menjauh dari wanita
dengan mata bercahaya?”
Diberondong pertanyaan-pertanyaan
seperti itu, semakin terasa bahwa aku sangat mencintainya. Segera
kurengkuh ia dalam pelukan. Sambil membelai rambutnya yang legam dan
panjang, aku berbisik:
“Selain untuk merayakan tiga tahun kebersamaan kita, sebenarnya…aku hendak menyampaikan sesuatu kepadamu…”
“Katakanlah…” ujarnya seraya balas membelai punggungku dengan lembur.
“Mau kuselesaikan dulu ceritaku?”
…
Untuk menjawab semua pertanyaanmu tadi, Muja, akan kuceritakan apa yang
dialami salah seorang sepupuku. Ia adalah salah satu dari kami bertiga
yang terserang demam panas setelah mengunjungi kuburan leluhur.
Peristiwa itu, kalau aku tak salah ingat, terjadi kira-kira tiga bulan
sebelum aku mengenalmu.
Saat itu ia hendak menikah dengan seorang
penyanyi kelab malam. Tapi ditentang habis-habisan keluargaku. Bukan
karena profesinya, Muja, bukan. Tapi karena penyanyi kelab malam itu
adalah keturunan wanita penjaga api, aku menyaksikan sendiri, betapa
dari dalam dua bola matanya, memancar cahaya dua nyala pelita. Aku dan
beberapa keluarga lelaki lain yang masih lajang, kecuali sepupuku yang
hendak menikah itu, seketika berkeringat kepanasan. Sakit sekali
rasanya, Muja. Sakit. Seakan sekujur tubuh berada di dalam kobar api.
Tetapi, Muja, sepupuku itu tak mau mendengar. Malam itu juga, mereka
pergi meninggalkan kampung. Setiba di kota, esok paginya mereka
berangkat ke kota lain. Namun dalam perjalanan itu, bis yang
ditumpanginya masuk jurang dan terbakar. Sopir, kernet dan seluruh
penumpang tewas dalam keadaan mengenaskan. Gosong oleh api. Kecuali
mayat wanita keturunan penjaga api itu, Muja, tubuh dan pakainnya utuh
dalam pelukan sepupuku.
Demikianlah, Muja, kenapa kami disuruh
menjauh. Dan sebenarnya, Muja, para wanita penjaga api itu tidak
memiliki keturunan, karena mereka tidak boleh kawin. Mereka harus suci
sampai mati. Kecuali wanita penjag api terakhir, ia menjalin cinta
dengan seorang pemuda dan kemudian hamil. Mereka dihukum, diarak
telanjang bulat keliling kampung. Setelah itu dibuang ke sungai. Sebelum
dicemplungkan ke sungai, wanita penjaga api itu sempat mengucapkan
serapah.
Katanya, bukan kehendaknya ia lahir dalam huja badai,
bukan keinginannya menjadi wanita penjaga api. Ia hanya ingin menjadi
wanita biasa. Tapi warga kampung sudah bulat, mereka harus dihukum. Ia
kemudian berjanji, jika ia mati dalam hukuman, arwahnya akan membalas
dendam, jika ia selamat, keturunanya akan senantiasa membayangi
keturunan seluruh warga kampung dalam terror mematikan.
Beberapa hari setelah proses hukuman itu, Muja, warga kampung menemukan
hanya jenazah si pemuda, tanpa wanita penjaga api. Setelah jenazah itu
dikebumikan, malamnya, rumah-rumah penduduk terbakar…
…
“Ihhh…” terbayang ngeri di wajah Muja. Ia semakin tenggelam.
Sambil terus membelai, kuhayati aroma dan hangat tubuhnya. Tubuh
kekasihku, calon pendamping hidupku. Aku bersyukur, ia bukan keturunan
wanita penjaga api.
“Muja…” bisikku, “maukah kau jadi istriku?” Ia tengadah dan menatapku lekat-lekat.
“Ini sebuah permintaan, Muja, yang bisa kau tolak atau kau terima. Tapi aku sangat berharap, kau menerimanya, Muja.”
“Perkawinan bukan perkara main-main…” ujarnya dengan mata berkaca-kaca. “Kau bersungguh-sungguh?!”
Aku mengangguk mantap.
“Kau mau menerimaku apa adanya?” tanyanya dengan tatapan penuh selidik.
Kuhapus air mata yang mengalir di pipinya.
“Meskipun seandainya aku keturunan wanita penjaga api?”
“Aku yakin bukan,” jawabku balas menatapnya lekat-lekat.
“Aku bersedia,” katanya mengangguk manja dan tersenyum bahagia. Dari
bening dua bola matanya yang masih berkaca-kaca, tampak nyala dua
pelita…
~SELESAI~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar