Redia Yosianto
Ada semacam ketakutan yang terkalkulasi. Kian
detik kian membeludak saja. Tak hanya aku. Tidak hanya aku yang merasakannya.
Dia juga. Gadis yang saat ini melekat di dadaku. Larut dalam pelukan hangat yang
sebentar lagi akan jadi pelukan paling hambar. Tapi dia tidak akan pernah tahu
itu. Pelukan paling hambar itu.
Mendadak aku dan dia
melebur jadi satu. Kami tak mengatakan apa-apa. Mulut kami terkatup rapat.
Mataku terpejam. Mungkin matanya juga. Saat ini, malam ini, hati kami saja yang
berbicara banyak. Tak perlu lewat gelombang suara. Lewat rasa dan perasaan
saja. Itu sudah lebih dari cukup.
Bukan
salahmu
Bukan
salah kita…1)
Angin malam pelan
berhembus, mengiring napas-napas kami yang kian lama kian terasa letih. Saling
memburu. Saling menghangatkan. Kami tak ingin lepas. Kami ingin terus begini.
Sampai mati. Aku dan dia.
“Apakah kau akan
meninggalkanku?”
Aku ragu. Aku ingin
menenangkan hatinya. Meyakinkan dia bahwa aku hanya miliknya. Tapi itu sangat
sulit. Pelukanku sedikit mengendur. Namun, hangatnya tak berkurang. Satu hal
yang dia tidak pernah tahu, sebentar lagi pelukan ini akan berubah menjadi
pelukan yang paling hambar. Aku ingin menangis.
“Pras…”
“Kuantar pulang sekarang, ya? Istirahat saja di rumah. besok kita ketemu lagi. Mau?”
“Kuantar pulang sekarang, ya? Istirahat saja di rumah. besok kita ketemu lagi. Mau?”
Di
dalam pelukanku, Naria mengangguk. Aku senang. Tapi ketakutan yang terkalkulasi
tadi tidak serta merta berkurang. Justru kian membengkak. Seperti bisul yang
siap memuntahkan segala macam kesakitan yang sangat.
Aku
melepaskan pelukan. Pelukan yang sebentar lagi akan jadi pelukan paling hambar
yang pernah dirasakan oleh Naria. Kalaupun dia masih akan menyisakan rasa
hangatnya, itu hanya akan dia sebut sebagai sebuah kenangan saja.
“Kau
mau berjanji untukku?”
Aku
mengangkat alis. Semoga ini tidak dia terjemahkan dengan sebuah kata tanya
‘apa?’. Jujur, aku tak ingin tahu apa yang sekarang ini diinginkan oleh Naria.
Tapi aku keliru.
“Aku
ingin kau berjanji, kau tak akan pernah meninggalkan aku. Bisa?”
Aku…
aku hanya mengangguk perlahan. Itu pun agak lama kemudian. Aku mencintai gadis
yang ada di depanku saat ini, lebih dari apapun. Tapi, apakah dia sadar bahwa
sebenarnya tanganku kian jadi dingin? Bahwa malam ini pelukan yang dia dapat akan jadi pelukan
paling hambar yang pernah dia rasakan?
Bukan
salahmu
Bukan
salah kita…
Aku mencintaimu, Naria
Kumencintaimu,
lebih dari apapun…2)
Sampai
di rumah, ibu dan ayah menyambutku dengan senyum yang begitu dibuat-buat.
Semoga dia sadar bahwa senyumku juga sudah aku sunggingkan. Senyum yang dingin.
“Ini
Prasetyo. Bagaimana? Sudah besar kan, sekarang? Sudah ndak ingusan lagi. Cocok lah kalau bersanding dengan Nak Tiar,”
Kulihat,
empat orang tua yang duduk di ruang tamu itu tertawa terbahak-bahak. Seorang
gadis hanya mengulum senyum. Duduknya gelisah. Sebentar-sebentar mengangguk,
mengiyakan pertanyaan yang dilontarkan secara bergantian oleh keempat orang tua
tadi.
Tiba-tiba
wajah Naria berkelebat.
Mungkin,
saat ini Naria sedang berbaring dengan nyamannya sambil ditemani oleh janji
yang aku sampaikan lewat anggukan kepala tadi. Tahukah dia bahwa sebentar lagi
dan seterusnya dia akan sendirian? Tahukah dia bahwa pelukan yang aku berikan
tadi adalah pelukan penghabisan?
Di
mataku, tiba-tiba Naria menjelma sebagai nyala api yang tenang pada sebuah malam
yang dingin. Aku merasa sangat hangat saat dekat dengan nyala api itu. Tapi…
tapi nyala api itu sudah kutiup, aku matikan dengan paksa.
Tinggal
dingin yang kini lebih berkuasa.
Naria,
aku mencintaimu. Kumencintaimu, lebih
dari apapun…
Kota Baru
13.31 WIB
[ 0 6 - 2 0 1 3 ]
Catatan:
1) Lirik lagu Tic Band –
Perbedaan
2) Lirik lagu Ungu –
Kekasih Gelapku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar